ASWAJA DALAM PERSPEKTIF AS’ADIYAH
Dr. H. Hamzah Harun al-Rasyid, Lc, MA
(Dosen Fak. Tarbiyah dan Program Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar)
Term “Ahli Sunah” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bukan juga suatu term yang muncul seiring dengan kemunculan Abu Hasan al-Ashcari di awal abad ke-4H.Term ini telah menjadi istilah populer sejak peride sahabat hingga masa-masa berikutnya. Ketika ayat al-Qura'an berbunyi يوم تبيض وجوه وتسود وجوه “pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram”, Abdullah bin Abbas, seorang sahabat yang terkenal cerdas memberikan penafsiran, bahwa yang dimaksud dengan wajahnya putih berseri-seri adalah mereka yang tergabung dalam kelompok Ahli Sunah sedangkan yang wajahnya hitam muram adalah mereka yang berhaluan Ahli bid’ah yang sesat .
Berdasarkan kutipan diatas, dapat difahami bahwa term ahli Sunah telah menjadi istilah populer dikalangan ulama salaf untuk menghadapi ahli bid’ah. Ayyub al-Sakhtiyani (67-31H), Sufyan al-Thawri (w.161H), al-Fadl ibn Iyad (w. 187 H) Abu Ubayd al-Qasim ibn Salam (158-224 H), dan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah sederet tokoh-tokoh salaf yang senantiasa menggunakan term tersebut .
Pendapat yang mengatakan bahwa; term ahli Sunah waljamaah pertama kali diidentikkan kepada aliran al-Ashcariyyah masih perlu penyelidikan yang mendalam, sebagaimana disinyalir oleh Mushthafa Shak’ah dalam bukunya “Islam bila madhahib”. al-Shakcah menegaskan:
“...Demikianlah kita mendapati term ahli Sunah waljamaah pertama kali diidentikkan kepada aliran al-Asy’ariyyah dan yang sejalan dengannya, kemudian term ini diperluas jangkauannya sehingga mencakup tokoh-tokoh aliran Fuqaha semisal Abu Hanifah, Malik, al-Shafi’i, Ibn Hanbal, al-Awza’i, dan ahli ra’yi dan qiyas...” .
Pendapat Shakcah di atas perlu dicermati dan tidak biasa diterima begitu saja, sebab selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas hidup jauh sebelum Asy’ari lahir, juga informasi sejarah menyatakan bahwa; setelah Asy’ari sampai ke puncak faham Muktazilah, beliau menyempatkan diri menelaah dan merenungi ajaran-¬ajaran Ahli Sunah, ini berarti bahwa istilah ahli Sunnah memang telah ada sebelum era al-Asy’ari.
Selama ini, ada beberapa pertanyaan yang sering muncul dan memerlukan jawaban yaitu; siapa dan bagaimana sesungguhnya aliran ahli Sunah waljamaah itu.? Apakah aliran ini identik dengan aliran al-Asy’ariyyah.? Ketika Hadis Nabi menyangkut “perpecahan umat” menyatakan bahwa yang selamat adalah “al-jama’ah”, siapa-siapa sesungguhnya yang berhak masuk dalam kategori al-jama’ah tersebut?. Apakah hanya aliran al-Asy’ariyah saja ataukah juga termasuk aliran-aliran yang lain?.
Secara etimologi, “al-Sunnah” berarti ‘cara’ atau ‘jalan’, sama halnya cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela . Hadis Rasulullah dalam pengertian ini, adalah:
“Barangsiapa yang merintis suatu jalan kebaikan kemudian jalan itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka baginya pahala dari kebaikan yang ia rintis, serta pahala daripada orang-orang yang mengikutinya sehingga hari kiamat tanpa dikurangi sedikit pun pahala orang-orang yang mengikutinya... .
Terminologi Sunnah mempunyai beberapa pengertian sesuai dengan disiplin ilmu yang memandangnya. Ulama Hadis misalnya, mengartikan sunnah sebagai segala tindak-tanduk Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan ataupun takrir beliau, demikian pula sifat-sifat kejadian (bentuk tubuhnya), akhlak maupun sejarahnya, sama halnya sebelum kenabian maupun sesudahnya . Sementara ulama Fiqh mendefinisikan Sunah sebagai suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa . Sunah juga diidentikkan dengan segala sesuatu yang ditunjuk oleh dalil-dalil shar’i, baik al-Qur’an, Hadis maupun ijtihad para sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan al-Hadis... . sebagaimana Hadis Rasulullah S.A.W. berbunyi: عليكم بسنتى وسنة خلفائى الراشدين المهديين bermaksud “berpegang teguhlah pada sunahku dan sunah khalifah-khalifahku yang cerdas dan mendapat hidayah”. Sunah juga diidentikkan kepada hal-hal yang berlawanan dengan bid’ah. Dikatakan: Si Fulan berada pada Sunnah, apa bila aktifitasnya sesuai dengan prilaku Rasulullah, dan dikatakan si Fulan berada pada bid’ah apabila aktifitasnya bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis
Demikianlah beberapa defenisi “Sunnah” dari berbagai tinjauan. Maka ketika kita membicarakan akidah ahli Sunah, maka tak syak lagi, bahwa yang dimaksud adalah akidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat-Nya. Oleh sebab itu, barang siapa yang berpegang teguh dan komitmen terhadap aqidah tersebut maka ia beraqidah “Ahli Sunnah “, dan hanya aqidah seperti inilah yang disepakati keabsahannya oleh mayoritas umat Islam, sehingga kata “ahli Sunnah” dilengkapi dengan kata “al-jamaah” sesudahnya, menjadilah “Akidah ahli Sunah waljamaah”.
Ketika Hadis tentang perpecahan umat dibaca oleh semua aliran pemikiran dalam Islam, ketika itu, tampil masing-masing dari mereka mengklaim dirinya sebagai pemegang otoritas kebenaran dengan sendirinya ia adalah golongan selamat dan berhak memakai label ‘ahli Sunah waljamaah’. Ibn al-Muthahhar misalnya, dalam mengutip statement gurunya, Nasiruddin al-Thusi, tokoh aliran Syiah Imamiyyah, disaat beliau ditanya tentang ‘al-firqah al-najiyah’ sebagaimana yang termaktub dalam Hadis Nabi yang berbunyi:ستفترق أمتى على ثلاثة وسبعين فرقة واحد منها ناجية والباقى فى النار Bermaksud “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan daripadanya selamat dan yang lainnya di neraka”. Ketika itu al-Thusi menjawab dengan mengutip salah satu Hadis yang menurutnya sahih, berbunyi: مثل أهل بيتى كمثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق Yang bermaksud: “Ahli baitku ibarat perahu Nabi Nuh, siapa yang menumpanginya maka dia akan selamat dan yang tidak menumpanginya akan tenggelam”. Hadis tersebut, menurut al-Thusi, memberi indikasi bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah aliran Syi’ah Imamiyyah.
Ibn Taymiyyah, salah seorang tokoh Salaf abad VII H. Dengan tegas menolak pernyataan al-Thusi diatas dalam bukunya Minhaj al-Sunnah. Ibn Taymiyyah dalam mematahkan argumen al-Thusi, meninjaunya dalam delapan aspek dan pada aspek kelima beliau menjelaskan bahwa Hadis Rasulullah s.a.w yang sesungguhnya membicarakan tentang ‘aliran selamat’ itu hanyalah berbunyi: من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابى bermaksud “Barangsiapa yang berpegang teguh pada apa yang aku pegangi sekarang dengan para Sahabatku”. Dalam riwayat lain:الجماعة هم bermaksud: “Mereka itu adalah kelompok majoritas”. Bahkan menurut Ibn Taymiyyah, justru Hadis ini jugalah yang menolak eksistensi Syiah Imamiyyah sebagai aliran yang selamat. Sebab mereka dengan tegas keluar dari jalur yang disepakati kaum Muslimin, seperti: menganggap kafir atau fasik Abu Bakar dan Umar, demikian juga halnya kepada tokoh ulama dan orang-orang ahli ibadah daripada majoriti ummat Islam lainnya .
Hadis yang dikleim oleh al-Thusi sebagai Hadis sahih di atas masih perlu ditinjau dan analisis kembali, sebab Imam al-Dhahabi dan al-Bani menganggapnya sebagai Hadith dha’if, karena konteks itu populer sebagai ungkapan Imam Malik dengan konteks: السنة مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق “Sunnah itu bagaikan perahu Nabi Nuh, siapa saja yang menumpanginya dia akan selamat dan siapa saja yang tidak menumpanginya maka dia akan binasa”. Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa konteks ungkapan itu memang benar, sebab orang-orang yang menumpangi perahu Nabi Nuh a.s. hanyalah mereka yang membenarkan dan mengikuti kerasulan Nabi Nuh, sedangkan mereka yang enggan menaiki perahu tersebut adalah mereka yang menolak dan mendustakan kerasulan Nabi Nuh. Oleh sebab itu, mengikuti Sunnah, kata Ibn Taymiyyah, berarti mengakui kerasulan dengan segala konsekwensinya seperti halnya para penumpang perahu Nabi Nuh tersebut .
Selanjutnya, aliran Muktazilah juga mengklaim dirinya sebagai “ahl al-haq” dan tergolonng الفرقة الناجية (golongan yang selamat). Seorang tokoh terkemuka Muktazilah, Amr ibn cUbayd berkata kepada khalifah al-Manshur: إظهر الحق يتبعك أهله bermaksud “tegakkanlah kebenaran niscaya ahli kebenaran itu akan mengikutimu.” . Yang dia maksud dengan kata “أهله” (ahli kebenaran) disini adalah aliran Muktazilah dengan mengambil landasan daripada Hadis yang diriwayatkan oleh Sufyan al-Thawri daripada Ibn Zubayr daripada Jabir ibn Abdullah daripada Nabi s.a.w, beliau berkata: ستفترق أمتى على ثلاثة وسبعين فرقة أبرها وأتقاها الفئة المعتزلة Yang bermaksud “umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, golongan yang paling baik dan bertaqwa daripada mereka adalah golongan muktazilah”.
Demikianlah upaya kaum Muktazilah untuk menjustifikasi pendapatnya. Sadar atau tidak, mereka melakukan dua hal yang kontradiktif yaitu; mereka dengan tegas menolak kebolehan berhujjah dengan menggunakan Hadis-Hadis Ahad khususnya apabila menyangkut persoalan akidah, pada hal Hadis yang disebutkan diatas, tidak ditemukan dalam kitab-kitab Hadis yang muktabar. Setidaknya jika seandainya Hadis tersebut memang benar tentu ia telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, atau paling tidak disebutkan didalam kitab-kitab sunan yang lain. Itu sebabnya, Muhamad Bakraym mengatakan bahwa; “ekses keambisian kaum Muktazilah untuk menjustifikasi pendapat-¬pendapatnya, akhirnya mereka mengeksploitasi Hadis-hadis nabi seiring dengan hawa nafsunya meskipun Hadis tersebut telah disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim” .
Demikianlah kondisi objektif aliran-aliran dalam Islam, tidak satupun dari mereka yang ingin ketinggalan, kecuali tampil mengibarkan panji-panji fanatisme sebagai pemilik autoritas kebenaran. Sebagai konsekwensi logis dari sikap fanatisme tersebut, teks-teks agama –al-Quran dan Hadis-- diselewengkan demi mempertahankan pendapatnya.
AL-FIRQAH AL-NAJIYAH
Berangkat daripada pemahaman term ahli Sunah waljamaah diatas, soalan selanjutnya adalah; Benarkah semua aliran dalam Islam itu termasuk beraqidah ahli Sunah waljamaah, dengan kata lain, kriteria apa yang dipakai untuk menilai sebuah aliran boleh-tidaknya memakai label ahli Sunah waljamaah?
Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, memasukkan delapan kelompok yang berhak memakai label ahli Sunah waljamaah, yaitu: Pertama, para ahli ilmu Kalam, yang memahami sebenar perkara-perkara keesaan Tuhan, kenabian, mengikuti metodologi aliran al-shiifatiyyah (menetapkan sifat-sifat Tuhan) tapi tidak terseret ke dalam faham tasybih (antropomorfis) dan ta’thil serta bid’ah kaum Syiah, Khawarij dan kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Kedua, aliran Fuqaha, sama halnya dari kelompok ahl al-ra'yi maupun ahl al-Hadis. Ketiga, aliran Muhadditsin, adalah mereka yang ahli dalam melacak jalur-jalur Hadis dan atsar, mampu membedakan antara Hadis-hadis shahih dan dha’if, menguasai al-jarh wa al-ta’dil. Keempat, para pakar kesusasteraan, semisal al-Khalil, Abu cAmr, Sibawayh, al-Farra', al-Akhfash dll. Kelima, para ahli Qurra dan Mufassirin yang melakukan penafsiran dan penakwilan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan aliran ahli Sunah waljamaah. Keenam Para ahli Zuhhad dari kalangan Shufisme, mereka giat beramal dengan tulus dan penuh kesadaran bahwa sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, kesemuanya akan dipertanggungjawabkan didepan Allah swt. Ketuju, Mereka yang bertugas di pos-pos pertahanan umat Islam untuk menjaga keamanan negara dari serangan musuh, menjaga martabat dan kehormatan umat Islam, dengan senantiasa mengamalkan ajaran ahli Sunah waljamaah di pos-pos pertahanan mereka. Kedelapan adalah semua negara yang mengaplikasikan syiar ahli Sunah waljamaah.
Pengelompokan al-Baghdadi di atas, masih terlalu umum, walaupun sesungguhnya benang merah yang membatasi antara ahli Sunah dan ahli bid’ah telah nampak dipermukaan. Oleh karena itu, Abu Bakr al-cArabi, salah seorang toko ulama al-Maliki dalam bukunya “al-cAwashim min al-qawashim” memberikan pembatasan yang lebih khusus lagi dengan hanya menyebut empat kategori, yaitu; Pertama, ahli Hadis yang senantiasa memelihara keaslian Hadis-hadis Rasulullah. Kedua, aliran kalam yang senantiasa menghadapi berbagai tantangan dan serangan pemikiran yang tertuju kepada Islam. Ketiga, Tokoh-tokoh Fuqaha yang senantiasa melicinkan jalan dan meletakkan dasar-dasar ibadah dan muamalah serta membentangkan batasan antara halal dan yang haram. Keempat, ahli Tasawuf yang senantiasa memfokuskan diri terhadap pembersihan jiwa dan pemantapan ibadah serta mengasingkan diri dari masyarakat ramai untuk focus beribadah dan melaksanakan kontemplasi dengan Tuhan.
Selain itu, Ibn Taymiyyah di dalam bukunya Minhaj al-Sunnah, menyimpulkan kepada tiga golongan yang berhak masuk dalam kategori aliran ahli Sunnah iatu; Pertama, ahli Hadis. Kedua, mazab Fiqh. Ketiga, aliran kalam dari kelompok ithbat (yang menetapkan sifat-sifat Tuhan), seperti : Ibn Kullab, al-Ashcari, dan al-Baqillani.
Dari keterangan diatas, dapat diambil sebuah ketegasan bahwa; yang termasuk di dalam kategori ahli Sunah waljamaah bukan saja daripada aliran teologi, tetapi juga aliran Fiqh, aliran Hadis dan aliran tasawwuf. Dalam konteks ini disebut aqidah Sunni, Fiqh Sunni, Hadis Sunni dan tasawwuf Sunni. Aqidah Sunni dimaksud sebagai sebuah istilah untuk menghadapi akidah bid’ah, Fiqh Sunni dimaksud sebagai istilah untuk menghadapi Fiqh Syi’ah, Hadis Sunni dimaksud sebagai istilah untuk menghadapi hadis palsu dan tasawwuf Sunni dimaksud sebagai sesebuah istilah untuk menghadapi tasawuf Falsafi.
RELEVANSI AL-ASY’ARIYYAH DAN ASWAJA
Kehadiran Abu Hasan Al-Asy’ari dalam khazanah pemikiran Salaf atau dengan istilah ahli Sunnah telah memberikan nuansa baru yang sangat spesifik daripada masa sebelumnya yaitu, masa Imam Ahmad bin Hanbal. Kalaulah dimasa-masa sebelumnya, tokoh-tokoh besar dalam bidang Fiqh dan Hadis yang terdiri daripada Abu Hanifa, Malik, Syafi’I dan Ibn Hanbal, demikian juga ulama hadis daripada kalangan Salaf seperti Sufyan al-Thawri mengharamkan Ilmu Kalam dengan mengemukakan alasan-alasan dan sebab-sebab yang merujuk kepada ketiadaan wujud Ilmu Kalam pada zaman hidup Nabi Muhammad s.a.w. dan para Sahabatnya, demikian juga Ilmu Kalam binaan Mu’tazilah pada zaman hidup Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal , maka Imam al-Asy’ari mempunyai pendapat yang berbeda dengan tokoh-tokoh Salaf tersebut, bahkan beliau menulis sebuah buku khusus bernama Risalah fi istihsan al-khawdh fi ‘ilm al-kalam untuk membela keligitimasian ilmu kalam sebagai salahsatu dari sekian banyak ilmu-ilmu Islam. Buku itu juga menjawab dan menolak pandangan dan pegangan negatif ulama figh dan ulama Hadis terhadap ilmu kalam. Premis al-Asy’ari ialah ulama yang menentang penggunaan akal dalam masalah agama dan perkara usuluddin adalah ulama yang hanya bermodalkan kejahilan dan cenderung kepada taklid.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, istilah ahli Sunah yang telah diekspresikan oleh kalangan ulama Salaf mempunyai bentuk dan nuansa yang berbeda dengan apa yang ditanpilkan dan diperjuangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Bagi al-Ash’ari, setiap ada problema aqidah yang muncul, selain dicarikan jawaban-jawabannya daripada al-Qur’an dan Sunah, juga mesti dilengkapi dengan argument-argument logika serta analisis kalamiyyah yang mendalam dan sistematis. Itu pulalah sebabnya, sehingga beliau dikenal sebagai pelopor berdirinya aliran ahli Sunah waljamaah dengan istilah yang lebih khusus “Aliran al-Asy’ariyyah”. Istilah mazhab ahl al-Sunnah wa al-jama’ah versi aqidah telah menjadi sebuah term yang relevan dengan mazhab al-Ash’ariyyah. Mazhab ini kemudian mendapat sambutan dari Abu al-Mansur al-Maturidi, salah seorang tokoh Sunni terkemuka di Samarkand.
ASWAJA DAN AS’ADIYYAH
Imam Abu Hasan al- Asy’ari, Abu al-Manshur al-Maturidi adalah dua sosok yang memiliki tempat tersendiri dikalangan kaum Sunni karena melalui dua ulama kharismatik itulah ahlu Sunnah Wal jama’ah lahir sebagai faham ideology keagamaan. Faham ini lahir sebagai reaksi terhadap perkembangan pemikiran kelompok Mu’tazilah yang begitu ‘liar’, dimana doktrin ketuhanan dan keimanannya semakin menimbulkan kegoncanagan spiritual idiologis yang dahsyat. Faham ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang diajarkan Imam Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi pada galibnya merupakan koreksi terhadap berkembangnya berbagai doktrin ketuhanan dan keimanan (visi aqidah) yang dipandang menyimpang dari ajaran Nabi dan para sahabatnya.
Kaitannya dengan pandangan jabariyah yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qodariyah yang berpaham tentang kemampuan manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti dalam tatapan ideologis kaum Syi’ah dan Mu’tazilah, kaum sunni (baca: aswaja) membuat garis batas yang jelas terhadap kedua kelompok tersebut. Secara epistemologis, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bisa diartikan sebagai “Para penganut tradisi nabi Muhammad dan Ijma ulama.” Secara terminologi, berarti “ajaran Islam yang murni sebagai mana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw, bersama para sahabatnya.” pengertian ini mengacu pada hadits Nabi memprediksikan bahwa suatu saat kelak ummat islam akan terpecah dalam 73 golongan, semua celaka kecuali satu firqah, yaitu mereka berpegang teguh pada pegangan beliau dan pegangan para sahabat-sahabatnya. Dalam hadist lain yang senada, golongan yang selama ini disebut sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Dalam nuansa komunitas kaum As’adiyyin (baca :Warga As’Adiyyah) definisi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah punya arti yang lebih sfesifik, sebagai faham yang berpegang teguh pada traidsi: (1) mengikuti ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hambali) dalam konsepsi Fiqhiyah, walau dalam praktek ritualisasi keseharian, para kiyai (ulama) penganut kuat madzhab Syafi’i. (2) Dalam fisi Aqidah kaum As’adiyyin lebih cenderung meng-imami ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari. (3) dalam fisi ketasawufan warga As’adiyyin menganut dasar-dasar ajaran Abu Qazim Al Junaidi dan al-Imam al-Ghazali.
Berangkat dari prediksi diatas, terlihat kaum As’adiyyin dalam menyikapi takdir global kehidupan (modernitas) menerimanya dengan penuh responsif dan lebih luwes, dengan tetap berupaya menyelaraskan dengan tradisi dan warisan budaya yang ada. Dengan penuh totalitas mengacu pada pesan-pesan Qur’ani dan Sunnah Rasul dus menjunjung tinggi nilai-nilai serta tradiasi salaf al-shalih dengan tidak mengabaikan warisan pada cerdik cendikia Islam sepanjang sejarah yang terkristalisasikan dalam mazhab-mazhab. Sebabnya adalah mustahil suatu generasi melalui upaya pembaruannya (guna menyikapi pelik keagamaan kontemporer) dari nol dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu.Toh penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya local dimana Islam disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan ajaran agama yang terkontaminasi sehingga perlu pemurnian. Karena penyelarasan dalam batasan yang jelas justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual.
Keseluruhan cara pandang warga As’adiyyin itu terakumulasi dalam sebuah kaidah ushul fiqh “al-Muhafazah ala al-qadim al-shalih wal akhzu bil jadid al ashlah” (mempertahankan milik lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Satu hal yang menandai karakteristik kaum As’adiyyin kaitannya dengan operasionalisasi ajaran Aswaja dalam pengambilan sumber hukum lebih cenderung ke konsepsi Syafi’iyyah (bagi mazhab syafii sumber hukum meliputi empat hal: Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma serta Qiyas), yang mengantar kaum As’adiyyin tampil dalam segala situasi secara fleksibel dan akomodatif serta tidak terpaku pada keputusan masa lalu dalam meluruskan dan merumuskan sikap mereka. Imam Syafi’i sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, watak itu didasari oleh aspek hisroris kehidupannya yang banyak mengembara dalam mengajarkan missinya di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir, dimana ajarannya berkembang sesuai dengan ‘pelik persoalan sosial keagamaan’ kondisi komunitasnya. Disamping secara konsepsi Fiqhiyah Imam Syafi’i memilih jalan tengah dari pemikiran Abu Hanifah al-Nu’man (yang cenderung rasionalistik) dan pemikiran Imam Malik Bin Anas (yang terpaku pada dogma Al-Sunnah saja), dalam fisi aqidah Imam Al Asy’ari pun telah ‘mengawinkan’ pemikiran Mu’tazilah yang rasionalistik dengan pola pemikiran yang berpijak pada kontek Nash.
Epoc keagamaan semacam itu pada gilirannya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas Aswaja, yang selalu I’tidal dan tawassuth, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan bersama, sikap tasamuh, (toleran terhadap perbedaan) tawazun (seimbang dan tidak ekstrim) serta ta’awun atas dasar kebajikan dan taqwa dan tdk berta’awun atas dasar al-itsm (perilaku dosa) dan ‘udwan (permusuhan), amar ma’ruf dan nahi mungkar, (menganjurkan kebaikan dan mencegah keburukan) dalam menterjmahkan hidup dan kehidupan yang ada. Permasalahannya adalah sudahkah perangkat ideology Aswaja itu menjadi bagian yang integral dalam diri kaum As’adiyyin?, sebab klaim yang ada, kaum As’adiyyin, terutama yang sedang aktif di Pondok Pesanteren selalu diidentikkan dengan kaum ‘sarungan’yang menggambarkan sosok bersarung dan berpeci,yang berjalan menunduk sambil satu tangannya memegang kitab kuningsementara satu tangan yang lain menggenggam untaian tasbih atau jika tidak bagi sementara orang kaum As’adiyyin adalah sebuah stereotip komunitas yang berushalli dan ber Qunut-ria dalam shalat mereka dan meyakini bilangan 23 dalam rakaat tarawihnyadengan bahasa yang sedikit minor warga As’adiyyin disebut sebagai kaum yang berlabel ‘tradisionalis’.
Apapun kalim yang disandangkan, satu hal yang tidak bisa kita nafikkan bahwa epoc ideology Aswaja adalah salah satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan beragama di negari kita, yang terihat begitu jelas dalam berbagai dimensi kehidupan yang ada. Sebab pelaku ideology aswaja yang basis massanya adalah masyarakat agraris (pertanian) lebih dekat dan akrab dengan alam, tinggal di wilayah pedesaan yang dalam pandangan kosmologisnya, mereka lebih mengutamakan harmoni dan sebisa mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama ketimbang nalar (rasio), mempercayakan nasib kepada taqdir jauh lebih di condongi ketimbang mempertaruhkannya kepada kemampuan dan prakarsa sendiri.
Dalam sudut keorganisasian, komunitas As’adiyyin lebih terasa tumbuh sebagai masyarakat paguyuban ketimbang patembayan, dengan tingkat kesetiaan warganya yang penuh totalitas kepada tokoh yang bersifat formal-impersonal (baca : para kiyai dan ulama) yang menjadi ‘panutan’ dalam berbagai bentuk konsensus keagamaan, yang oleh Masdar Farid Mas’udi disebut sebagai ‘Feodalisme’ gaya-Nu-an. Hal itu sah-sah saja terlebih dalam menyikapi ‘taqdir global langit’ kehidupan saat ini, dimana ‘model’ kehidupan masyarakat kota dan desa sudah begitu samar terkubur dan terpolakan oleh berbagai saluran media elektronik dan media massa. Diaman hal ini banyak menyentuh berbagai strata kehidupan masyarakat, yang punya nilai tersendiri bagi pelaku ideology aswaja dalam mempertahankan nilai dan tradisi pengajian sorogan (pesantren di dusun-dusun), Tahlilan, diba’an (membaca barzanji), dzikir Yasinan, sholawat badar, yang disekat dengan label ‘kolot’. Ditengah gebyar arus ‘model’ kehidupan modern yang kian global, peran para kiyai dan ulama, dus kaum cerdik cendekia muslim sangat diperlukan adanya.
Esensi permasalahan yang sebenarnya bukanlah pada tradisionalitas maupun modernitas dalam me-wajahkan sikap keagamaan yang ada, akan tetapi kebesaran dan keberanian kita dalam menata hati dan fikir dalam menyikapi globalitas taqdir (riak permasalahan zaman) dengan memegang teguh tradisi keyakinan kita beridiologi, dus mentransfer nilai-nilai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah pada diri dan komunitas kita. Itulah ‘garapan’ yang perlu kita pikirkan, sebab ‘kemajuan’ tidak mesti di pungkiri, akan tetapi harus di ‘sikapi’ sebagai konsekuwensi logis kehidupan insani , karena pada saatnya bukan suatu hal yang mustahil bila seorang kiyai didesa yang terpencil ikut mengisi pengajian via internet.
Para kiyai (seperti lazimnya dalam tradisi kaum As’adiyyin) tidak saja disibukkan dengan memberkahi tasyakuran haul dan acara-acara haflah, akan tetapi dituntut pula dengan berkah ‘ngaji’ ilmiah yang tertuang dalam karya tulis, dus makalah-makalah ilmiah keislaman lainnya. Para kiyai tiadak saja duduk pada seremonial ritualitas sorogan akan tetapi duduk pula dalam forum seminar dan temuan temuan ilmiah yang ada. Cara dan metode memang boleh berbeda (karena kondisi zaman) namun misi dan muatan haruslah tetap sama dengan menjadikan pesan qur’ani sebagai pijakan awal langkah amalan kita dus tetap memegang teguh tradisi kenabian dan Sunnah Rasul Saw, beserta para sahabatnya dengan mengikuti jejak Salaf al-shaleh. Sebab seperti pesan Qur’ani;
”Kebesaran adalah semangat konsistensi dalam menghadapi realitas yang ada, serta mampu menyikapi segala permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi kejujuran dalam beerkata dan berbuat” (QS:33:23).
Renungan ini hanyalah sekedar sebuah usaha untuk belajar memaknai suatu kelaziman yang ada, untuk menata kembali sikap ke-Aswaja-an kita dan kredibilitas ke-As’adiyahan kita. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar