MAINSTREAMING MODERASI ISLAM
ABSTRAK
Umat Islam diperintahkan untuk menyampaikan
pesan-pesan Islam yang terkandung dalam al-Quran. Perintah ilahi ini kemudian
dipopulerkan dengan istilah kewajipan berdakwah. Berdakwah dalam Islam bukan
sahaja sebagai kewajipan tetapi ia juga
sebagai sebuah ajaran normatif-universal. Kerana itu, gerakan dakwah selalu
sahaja menghadapi berbagai cabaran,
khususnya di era serba kompleks
yang tidak lagi memiliki batas-batas wilayah, akibatnya, sudah tidak menjadi penghalang bagi komuniti
dunia untuk saling berjejaring dan saling mempengaruhi dan inilah yang disebut
dengan era globalisasi. Permasalahan kajian adalah bagaimanakah cabaran dan
peluang dakwah Islamiyyah
dalam era globalisasi. Bagaimanakah
peran strategis dakwah dapat membangun asumsi yang benar berkaitan
dengan karakter manusia moderen yang sudah
terglobalkan. Kajian ini menyimpulkan bahawa; manusia modern adalah sebuah komuniti baharu yang jauh berbeza dengan komuniti muslim yang hidup di zaman awal-awal Islam.
Oleh kerana itu, gerakan dakwah mesti menempuh cara, metod dan strategi yang baharu
pula agar ia dapat berjalan seiring dengan perkembangan dunia
global yang sangat dinamis. Dalam konteks ini, “moderasi Islam” menjadi sebuah alternatif guna membekali intelektualiti seorang dai. Seorang dai mesti mengadopsi
strategi dan wacana keagamaan (fiqh) yang ideal, fleksibel, kondisional, dan
realistis, sebab perkara yang demikian itulah membuat perjuangan dakwah Nabi,
sahabat, dan tokoh-tokoh Islam mengukir kejayaan dalam dunia dakwah. Gerakan
dakwah mesti bersinergi dengan gerakan
pembaharuan pemikiran (ijtihad)
kerana keterpisahan keduanya akan menjadi ancaman
serius bagi gerakan dakwah di era global saat ini. Artikel ini merekomendasikan
perlunya gerakan dakwah membangun konsep-konsep dakwa yang berdiri tegak di
atas teori-teori qurani dan keilmuan Islam klasik yang masih relevan dengan
zaman ini, seperti teori substansialisasi ( al-Umuru bi Maqasidiha),
Kontekstualisasi (tagayyurul fatawi bitagayyuri al-azminati wa al-amkinah) dan
rasionalisasi (ta’lil al-Ahkam).
Muqaddimah
Islam adalah agama universal.
Karakter universaliti Islam digambarkan
dan dilukiskan dalam banyak ayat al-Quran. Ia dihadirkan untuk memberi
inspirasi (hidayah) bagi semua manusia yang hidup di muka bumi agar mereka
menikmati kehidupan yang penuh dengan kebahagian hakiki dan abadi. Disamping
menyeruh orang-orang beriman, al-Quran sering sekali menyeruh manusia. Dengan
demikian, manusia semuanya menjadi komuniti Qur’ani. Hal ini
dilukiskan oleh banyak penulis arab dengan menyebutnya sebagai “ Alamiyyatul
Islam”.
Dari realiti diatas, umat Islam kemudian diperintahkan untuk
menyampaikan pesan-pesan Islam yang terkandung dalam al-Quran. Perintah ilahi
ini kemudian dipopulerkan dengan istilah kewajiban berdakwah. Berdakwah dalam
Islam bukan hanya sebagai kewajiban tapi
ia juga merupakan sebuah ajaran normatif-universal karena ia
satu-satunya kanal untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan.
Sebagai sesebuah ajaran
normatif, sebagaimana halnya ajaran-ajaran kebaikan lainnya, aktiviti atau
gerakan dakwah tidak selamanya menuai sukses dan berjalan mulus, namun ia selalu menghadapi berbagai cabaran dan tentangan,
oleh kerana itu, gerakan dakwah mesti selalu siap menghadapi setiap cabaran dan
tentangan yang menghadangnya, terutama sekali di era yang serba kompleks saat
ini, era dimana skat-skat (batas-batas) wilayah sudah tidak menjadi penghalang
bagi komuniti dunia untuk saling berjejaring dan saling mempengaruhi dan inilah
yang disebut dengan era globalisasi. Oleh
yang demikian,
boleh dikata saat ini kita sedang menyaksikan pertarungan antara Universaliti Islam vs globalisasi dunia (Alamiyyatul Islam Amam
Aulamat al-Dunya).
Artikel ini akan memfokuskan
diri pada bagaimana setiap muslim harus membangun kesadaran dalam diri bahwa
tugas dan peran suci yang harus diembannya adalah menarik hati setiap orang
baik yang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai muslim atau yang belum (
non-muslim) untuk ber-Islam dengan baik dan benar. Peran strategis ini akan
mengalami kendala dan hambatan yang luar biasa
bila seorang dai tidak mampu membangun asumsi yang benar berkaitan dengan karakter-karakter manusia
moderen yang sudah terglobalkan.
Manusia moderen adalah komuniti yang baharu yang jauh berbeza dengan komuniti muslim yang hidup
di zaman awal-awal Islam. Oleh kerana itu, gerakan dakwah harus menempuh cara, metode,
strategi baru yang mampu berjalan seiring dengan perkembangan dunia global yang
sangat dinamis. Dengan demikian, dakwah tidak hanya dilakukan melalui
cara-cara klasik tapi juga melalui media moderen yakni dengan cara mengemukakan
kandungan dakwa melalui tulisan, buku, majalah dan internet. Dengan demikian,
seorang dosen, guru, ilmuan adalah bagian dari gerakan dan misi dakwah.
Potret Era Globalisasi
Era
globalisasi sering digambarkan sebagai sebuah babak sejarah dimana setiap
negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain sama ada antar negara mahupun antar individu. Persaingan yang
terjadi di era global ini memiliki keberkesanan dan dampak yang negatif jika
dicermati dengan seksama. Globalisasi memang menjadi lokomotif perubahan tata
dunia yang tentu saja akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran
mahupun materi. Ada beberapa
dampak negatif globalisasi yang digulirkan oleh dunia Barat yang sangat
berpotensi mempengaruhi kehidupan seorang muslim, dan sekaligus menjadi
tantangan dakwah di era globalisasi, iaitu:
Pertama,
kecenderungan maddiyyah (materialisme).
Kedua,
adanya proses individualisasi. Kehidupan kolektif, kebersamaan, gotong royong,
telah diganti dengan semangat individualisme yang kuat.
Ketiga,
sekulerisme yang sentiasa memisahkan kehidupan agama dengan urusan masyarakat, sebab agama dinilai hanya
persoalan privat antar individu semata.
Keempat,
munculnya relativiti norma-norma etika, moral,
dan akhlak. Sehingga dalam suatu konteks masyarakat yang dianggap tabu bisa
saja dalam konteks masyarakat yang lain dianggap biasa-biasa sahaja.[4]
Mengikut Ali Syari'ati, bahawa bahaya yang paling besar yang dihadapi oleh umat
manusia zaman sekarang ini bukanlah
ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah [5].
Unsur kemanusiaan dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat,
inilah mesin-mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan
dan kehendak alam yang fitrah.
Dampak
globalisasi dalam dunia dakwah sangat dirasakan . Banyak kasus yang muncul,
misalnya pergaulan bebas, persoalan miras, narkoba, dan lain-lain, kesemua
perkara ini disebabkan oleh sebuah pemujaan terhadap kebebasan pribadi yang
tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama. Sehingga dampaknya ternyata bukan
hanya menimpa dirinya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat dan siswa yang
lain. Oleh kerana itu, nilai-nilai negatif tersebut
haruslah dinetralisir dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang sangat
menekankan keseimbangan kehidupan. Sikap seorang muslim dalam menghadapi
kehidupan adalah dengan tetap istiqamah dalam hidayah Allah swt. untuk menjalankan
kenikmatan agama Islam secara kaffah, bukan malah menggantinya dengan kekufuran
yang akan menyebabkan kerugian dirinya sendiri seperti yang Allah firmankan
dalam QS. Ibrahim (14): 28-29:
Globalisasi perspektif Yusuf al-Qaradawi
adalah upaya melenyapkan dinding dan jarak antara satu bangsa dengan bangsa
lain, dan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga,
semuanya menjadi dekat dengan kebudayaan dunia, pasar dunia dan keluarga dunia.[6]
Dengan kata lain globalisasi ialah suatu proses membuka keadaan, atau sebuah proses yang berjalan dan
bertujuan menjadikan negara-negara di dunia bagaikaan satu unit. Masih kata
Yusuf al-Qardhawi, bahawa terdapat perbezaan mendasar antara makna globalisasi
(al-‘aulamah) yang dipahami dunia barat pada hari ini dengan makna globalisasi
(al-‘alamiah) yang dimaksudkan oleh Islam. Menurtu dia, Universaliti Islam merujuk kepada ayat QS. Al-Anbiya
(21): 107:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين.
Dan tidaklah Kami mengutus
kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Globalisasi
atau al-‘alamiah yang dipahami oleh Islam
adalah sesuatu yang berasaskan nilai-nilai penghormatan dan persamaan
kepada seluruh manusia,(QS. Al-Isra: 70) bahawa setiap manusia memiliki hak dan tanggung jawab yang
sama dihadapan Allah swt. Hal ini berbeza dengan pemahaman Barat mengenai globalisasi
(al-‘aulamah) sekarang ini, yang mengartikannya sebagai keharusan untuk
menguasai secara politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosio kultural masyarakat
agar sejalan dengan kepentingan Negara-negara Barat yang disponsori oleh Amerika. Penguasaan tersebut kemudian
diarahkan lebih fokus lagi pada penguasaan Barat terhadap tatanan dunia Islam [7].
Pengaruh
globalisasi terhadap dunia pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bahagian
utama, yaitu :
Pertama, globalisasi
politik yang dimulai dari berakhirnya perang dunia kedua dan dimulainya perang
dingin antara kekuatan-kekuatan besar di dunia untuk saling memperebutkan
otoriti, pengaruh, hegemoni dan
perebutan sumber ekonomi dan pasar internasional serta perang peradaban dan
kultural di dunia global yang tak terbatasi lagi oleh wilayah teritorial. Dan
berakhirnya perang dingin merupkan awal bagi
era globalisasi dalam arti yang sebenarnya.
Kedua,
Globalisasi Ekonomi. Menurut Jamaluddin ‘Atiyah, yang dimaksud dengan
globalisasi di bidang ekonomi ialah menyatukan seluruh dunia kepada satu pasar
bebas (free market) atau pemindahan kepemilikan umum dan perseroan-perseroan
kepemilikan khusus untuk mengurangi pengawasan dan campur tangan pemerintah
dalam negeri.[8]
Dengan tatanan ekonomi baru yang oleh dunia Barat disebut dengan globalisasi
atau pasar besar, mereka menjanjikan dunia dimana setiap orang menjadi pintar
dan kaya. Tapi kenyataan yang terjadi adalah negara-negara maju dengan
perusahaan-perusahaan besarnya menjadikan tatanan ekonomi baru yang disebut
dengan globalisasi atau pasar bebas sebagai penjajahan model baru.
Ketiga,
Globalisasi Sosial dan Budaya. Pengaruh
globalisasi telah masuk kedalam seluruh kehidupan masyarakat, serta
menghilangkan sekat-sekat geografis antara satu negara dengan negara yang lain,
antara satu budaya dengan budaya yang lain. Dengan menggunakan istilah
“kebudayaan internasional” atau “modernisme”, Barat yang dimotori oleh Eropa
dan Amerika secara gigih mengekspor kebudayaan mereka ke belahan dunia yang
lain. Dengan isu globalisasi ini, Barat ingin mewajibkan model, pemikiran,
perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap bangsa lain. Sedangkan
orang-orang Prancis memandang bahawa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikanisasi yang
mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa
kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide
rendah namun fasiliti yang fantastik, dan (3)
minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya. [9].
Tetapi
yang lebih penting dari semua itu adalah globalisasi pemikiran (gazwul fikri)
atau perang pemikiran sebagai hasil daripada perkembangan teknologi dan
informasi khususnya televesi dan internet. Dibandingkan dengan perang fisik
atau militer, maka ghazwul fikri ini memiliki beberapa keunggulan. Antaranya
ialah: Pertama, dana yang diperlukan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk
perang fisik. Kedua, sasaran daripada ghazwul fikri ini tidak terbatas. Ketiga,
serangannya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja. keempat,
tidak ada korban dari pihak penyerang. Kelima, korban tidak merasakan bahawa sesungguhnya dirinya dalam kondisi
diserang. Keenam, kesan yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
Ketujuh, efektif dan efisien [10].
Dengan
demikian, gerakan dan lembaga atau insitusi dakwah mesti mempertimbangkan
kondisi real ini dalam mengemban misi dakwah di era globalisasi dan bagaimana
metode dakwah yang diterapkan di era globalisasi. Kecangggihan dan kemodernan
globalisasi harus dijawab dengan dakwah yang canggih dan modern, bukan dengan
dakwah konvensional.
Mempertimbangkan Kerumitan Gerakan
Dakwah Di Era Globalisasi
Untuk menguji kesuksesan
sebuah gerakan atau misi dakwah, maka unsur zaman merupakan isu penting yang
menarik dibicarakan. Kita dapat mengatakan bahawa kejayaan atau kesuksesan
dakwah sangat tergantung pada kemampuan seorang dai atau gerakan dakwah
memahami konstruk zaman dengan berbagai karakater dan problematikanya. Pada
konteks ini, dapat dikatakan bahawa kejayaan dakwa di masa lalu disebabkan oleh
adanya gerakan dakwah telah berjaya memahami karakter zamannya. Yang pasti
adalah kondisi dan karakter zaman awal Islam sangat jauh berbeza dengan zaman sekarang yang kemudian
disebut dengan era global. Era sekarang adalah era revolusi informasi dan
komunikasi, era kemajuan sains dan tekhnologi.
Tantangan dakwah yang amat
kompleks dewasa ini dapat dilihat dari minimal dari tiga perspektif, yaitu:
Pertama, perspektif prilaku
(behaviouristic perspective). Salah satu tujuan dakwah adalah terjadinya
perubahan prilaku (behaviour change) pada masyarakat yang menjadi obyek dakwah
kepada situasi yang lebih baik. Tampaknya, sikap dan prilaku (behaviour)
masyarakat dewasa ini hampir dapat dipastikan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan
sekitarnya.
Kedua, tantangan dakwah dalam
perspektif transmisi (transmissional perspective). Dakwah dapat diertikan sebagai proses penyampaian atau
transmisi ajaran agama Islam dari da’i sebagai sumber kepada masyarakat dakwah
sebagai penerima. Ketika ajaran agama ditrasmisikan kepada masyarakat yang
menjadi obyek, maka peranan media sangat menentukan. Ziauddin Sardar
mengemukakan bahawa abad informasi ternyata
telah menghasilkan sejumlah besar problem. Menurutnya, bagi dunia Islam,
revolusi informasi menghadirkan cabaran khusus
yang harus diatasi, agar umat Islam dapat memanfaatkannya untuk mencapai tujuan dakwah[11].
Ketiga, cabaran dakwah perspektif interaksi. Ketika
dakwah dilihat sebagai bentuk komunikasi yang khas (komunikasi Islami), maka
dengan sendirinya interaksi sosial akan terjadi, dan di dalamnya terbentuk
norma-norma tertentu sesuai pesan-pesan dakwah. Yang menjadi cabaran dakwah
dewasa ini, adalah bahawa pada saat yang sama masyarakat yang menjadi obyek
dakwah pasti berinteraksi dengan pihak-pihak lain atau masyarakat sekitarnya
yang belum tentu membawa pesan yang baik, bahkan mungkin sebaliknya.
Moderasi Islam Dan Kesuksesan Gerakan
Dakwah:
a.
Potret Moderasi Islam
Sejatinya adalah perubahan
zaman akan mempengaruhi perubahan sosial atau perlakuan masyarakat terhadap
institusi zaman dengan berbagai kerumitan atau problematika kehidupan yang
melingkupinya. Kecanggihan media turut mempengaruhi tingkat dan cara berpikir
masyarakat moderen, sehingga banyak orang mengkategorikan zaman ini sebagai
zaman pemikiran dan falsafah sehingga masyarakat moderen cenderung
mempertanyakan segala yang ada termasuk nilai dan ajaran-ajaran agama. Kondisi
ini mengharuskan setiap dai, ulama, harus menjelaskan pemikiran-pemikiran
keagamaan dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan karakter zaman seperti
yang sudah disinggung sebelumnya. Sejatinya ini tidak menjadi problem bagi
dakwah Islamiyyah, karena Islam sesungguhnya adalah agama yang rasional dan
filosofis yang sejak awal boleh dideteksi melalui ajakan al-Quran dengan bentuk
yang cukup berfariasi untuk berfikir mendalam mengenai isu-isu penting dalam
kehidupan ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan, kemanusiaan, dan
kehidupan. Dengan demikian memperkenalkan Islam dengan menggunakan
logika-logika Islam dan ide-ide moral yang universal merupakan bagian dari
proses moderasi Islam yang merupakan ciri khas atau karakter Islam. Moderasi
Islam menghendaki seorang dai untuk tidak hanya melihat teks-teks suci, tapi
harus juga mempertimbangkan konteks sosial masyarakat dakwah. Dan ini merupakan
metode al-Quran dalam membangun masyarakat dakwah. Bukan hanya itu tapi sikap
moderat mengharuskan seseorang untuk membuka kran rasionalisasi ajaran Islam
dalam arti harus mengemukakan nilai dan ajaran Islam dengan mengaitkan dengan
rahsia-rahsia atau hikmah-hikmah yang ada di balik ajaran-ajaran Islam.
Kalau kita merujuk kepada
al-Quran sebagai acuan ekspresi keberagamaan sama ada pada level pemahaman mahupun penerapan, maka secara eksplisit ia
menegaskan eksistensi umat moderat (Ummatan Wasathan)[12].
Berdasarkan kenyataan diatas,
maka harus ditegaskan lebih awal bahawa ketika artikel ini menganjurkan untuk menjadikan
al-washatiyyah sebagai acuan dalam melakukan gerakan dakwah maka ia memaknainya
dengan mengacu pada esensi dan substansi yang dikandungnya. Apa lagi substansi
“Moderasi” memiliki akar yang jelas dalam sumber Islam yaitu al-Quran dan
Sunnah Nabi. Berangkat dari hal itu, maka memberi pengertian apa yang dimaksud
moderasi Islam sangat perlu untuk menghindari kekeliruan dalam memahami Artikel
ini..
Moderasi Islam adalah sebuah
pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua
sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap
yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata
lain seorang muslim moderat adalah muslim yang memberi setiap nilai atau aspek
yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari hak yang semestinya. Karena
manusia-siapa pun ia-tidak mampu melepaskan dirinya dari pengaruh dan bias sama
ada pengaruh tradisi, pikiran, keluarga mahupun zaman dan tempatnya, maka ia
tidak mungkin merepresentasikan atau mempersembahkan moderasi penuh dalam dunia
nyata. Yang mampu melakukan hal itu adalah hanya Allah.[13]
Kehadiran Islam sebagai agama
adalah untuk menarik manusia dari sikap ekstrim yang berlebihan dan
memposisikannya pada posisi yang seimbang. Maka dalam ajaran-ajaran Islam
terdapat unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan Insaniyyah (kemanusiaan),
mengkombinasi antara Maddiyyah
(materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu
(revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al-jamaaiyyah) dan
maslahah individu (al-fardiyyah), dan lain-lain sebagainya. Konsekwensi dari
moderasi Islam sebagai agama, maka tidak satupun unsur atau hakikat-hakikat
yang disebutkan diatas dirugikan.[14]
Ajaran moderasi yang
disampaikan oleh Islam melalui al-Quran dan Sunnah Nabi mengalami kristalisasi
dalam interaksi-interaksi sosial Nabi, para sahabatnya dan ulama-ulama yang
datang kemudian. Meskipun dalam prakteknya sahabat Nabi sendiri kadang-kadang
mengekspresikan keberagamaannya tidak sejalan dengan ajaran washatiyyah
sebagaimana mestinya. Bukan hanya priode Nabi, distorsi terhadap moderasi Islam
juga terjadi pada generasi selanjutnya. Kelompok khawarij yang kemudian
dilanjutkan oleh kelompok zahiriyyah merupakan bentuk eksperesi keagamaan yang
bisa merepresentasikan pemahaman keagamaan yang tidak moderat.
Dengan demikian, maka kita
dapat mengatakan bahawa pemahaman atau sikap ekstrim atau berlebihan dalam
memahami dan mengeksekusi ajaran dan pesan-pesan Islam merupakan cabaran
bagi moderasi Islam di semua zaman
dengan level atau tingkatan yang berbeza. Oleh kerana itulah, layak untuk kita
mengatakan bahawa peran yang harus dimainkan oleh institusi dakwah dengan
seluruh unsurnya yang penting yakni seluruh ulama, ilmuan, cendikiawan muslim
adalah melakukan mainstreaming wacana moderasi Islam di semua level keilmuan.
Sebelum kita melihat lebih
jauh pandangan ulama Islam menyangkut moderasi Islam, maka secara umum dapat
dikatakan bahawa isu keilmuan yang telah menjadi pemicu terbentuknya moderasi
Islam sejak dahulu sehingga sekarang adalah pengakuan adanya dialektika antara
wahyu, akal (maslahat), dan realiti. Sikap seorang dai dan ulama yang mengakui
adanya sentralisasi teks dalam arti bahawa teks adalah sumber dan mekanisme
ijtihad yang hampa dari maksud tertentu dan tidak mengandung ide moral maka ia
akan berpotensi untuk memproduk pemahaman keagamaan (fiqhi) yang bernuansa
radikal. Karena hasil ijtihad yang bersumber dari pemisahan teks dari ide moral
yang dikandungnya (kemaslahatan, keadilan, persamaan, kerahmatan), maka ijtihad
itu lepas dari unsur dan nilai humanistik dan hanya dipenuhi oleh nilai
ketuhanan. Berpihak kepada nilai ketuhanan dengan cara menampakkan keberpihakan
kepada wahyu secara ekstrim tanpa ingin memberi porsi bagi nilai kemaslahatan
manusia itulah sesungguhnya embrio dari
munculnya radikalisme dalam memahami dan menerapkan pesan agama. Sisi lain yang dapat memicu munculnya sikap
moderat dalam diri seorang ulama (dai)
adalah pengakuannya terhadap posisi realiti kehidupan dan teks-teks secara seimbang. Kesiapan dan kemampuan seseorang melibatkan
realiti dalam proses pembacaan atau pemahaman teks-teks suci merupakan bagian
dari terbentuknya
sikap moderat. Dalam wacana hukum Islam
istitusi “realiti” sering sekali dijabarkan dalam bentuk zaman, tempat, kondisi
dan orang. Keinginan seorang muslim (terutama ilmuan Islam) untuk memahami
dengan baik dan benar zaman yang ia hidupi dan orang beraktifiti, kondisi
manusia, orang yang melakukan ajaran-ajaran Islam kemudian melibatkannya dalam
memahami teks-teks suci adalah potensi utama bagi munculnya moderasi Islam.
Salah satu contoh yang bisa menjadi sampel kurangnya
apresiasi terhadap realiti dalam memahami dan menerapkan pesan teks-teks suci
adalah konflik yang terjadi antara Abdullah bin Umar dan anaknya Bilal[15].
Suatu ketika Abdullah menyampaikan kepada anaknya sebuah riwayat dari Nabi
mengenai perempuan dan salat jamaah di mesjid. Kata Ibnu Umar, berdasarkan
sabda Nabi (teks) perempuan tidak boleh dilarang pergi ke mesjid[16].
Ibnu Umar nampaknya ingin hadis itu diamalkan pada zaman ia hidup meskipun di
zamannya sudah terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan berbeda dengan
kondisi di zaman Nabi. Ia tidak berusaha mencoba mendialogkan zamannya dengan
zaman Nabi. Berbeda dengan Ibnu Umar, Bilal anaknya ternyata punya sensitifiti
dengan perubahan zamannya, ia cukup mengerti dengan realiti kehidupan zamannya.
Berangkat dari kesadarannya atas perubahan zaman yang
dihidupinya, Bilal dengan lantang mengatakan kepada bapaknya, “hadis itu sudah
tidak releven lagi untuk diterapkan zaman sekarang”. Kata dia,
perempuan-perempuan sekarang harus dilarang ke Mesjid. Pernyataan yang cukup
berani itu membuat bapaknya marah. Dalam sebuah riwayat Ibnu Umar, saking
marahnya, langsung memukul wajah (menampar) anaknya[17].
Sudah bisa ditebak, kemarahan Ibnu Umar karena Bilal berani menggugat teks Nabi
sebagai sumber primer. Bagi Ibnu Umar, tidak ada`argumen yang bisa digunakan di depan sebuah teks.
Berangkat dari penjelasan yang sudah dikemukakan sebelumnya,
maka dapat dikatakan bahawa apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar adalah bagian
dari pemahaman atau sikap yang tidak mencerminkan moderasi Islam. Penyebabnya
adalah ia tidak mencoba mengungkap realiti sosial pada saat hadis (teks) itu dituturkan oleh Nabi.
Seperti yang sudah dikemukakan bahawa memahami teks-apakah itu al-Quran atau
pun hadis- dan melepaskan dari konteksnya adalah salah satu faktor atau potensi
sikap radikal[18].
Apa yang dituduhkan oleh Ibnu
Umar terhadap anaknya iaitu kelancangannya menggugat
dan melecehkan teks ternyata tidak realistis dan kurang beralasan. Berdasarkan
riwayat, perbedaan yang terjadi antara Ibnu Umar dan anaknya seputar masalah
tadi ternyata sampai di telinga Aisyah. Pada saat Aisyah mengetahui perdebatan
itu, Aisyah kemudian mengeluarkan pernyataan yang cukup menarik dan sedikit
mengagetkan. Aisyah mengatakan, “Andai saja Rasulullah masih hidup dan
melihat bagaimana ulah dan perilaku perempuan-perempuan sekarang niscaya Nabi
akan merubah pendapatnya dan pastilah beliau melarang perempuan pergi ke mesjid”[19].
Berdasarkan pembelaan Aisyah
bagi Bilal, kiranya dapat dipahami sebab perbedaan antara bilal dan bapaknya
mengenai masalah ini iaitu perbedaan keduanya mengapresiasi realiti sosial dan
pengaruhnya bagi pengembangan atau perubahan hukum yang dikandung oleh sebuah
teks.
Dari keterangan diatas
kiranya dapat disimpulkan bahawa kurangnya pengetahuan mengenai dinamika
realiti kehidupan dan tidak adanya pengakuan terhadap pengaruh yang boleh ditimbulkan oleh dinamika itu terhadap pemahaman
dan penerapan pesan teks-teks suci merupakan potensi besar bagi pemahaman dan
prilaku keislaman yang radikal dan tentu tantangan besar bagi tumbuh-kembangnya
moderasi Islam.
Dengan demikian, perlu
ditegaskan sejak awal bahawa kesuksesan, keberhasilan dan kejayaaan misi,
institusi, gerakan dan lembaga dakwa di era ini adalah tergantung pada
kemampuannya membangun tipe fiqhi dakwah yang selalu memperhatikan dan
meng-update informasi-informasi aktual berkaitan dengan kondisi sosial dan
kemampuan masyarakatnya kemudian mengemukakan atau menjelaskan misi-misi agama
berdasarkan kondisi-kondisi zaman yang sudah dipahaminya dengan benar dan
sempurna.
b.
Moderasi Islam dalam Al-Quran
Pada beberapa ayat al-Quran, Allah swt. Memberi petunjuk
pelaksanaan bagi penterjemahan moderasi Islam, yang paling menonjol adalah
fleksibiliti al-Quran melalui pengakuaannya terhadap kondisi yang berfariasi
yang selalu mengiringi kehidupan manusia. Pada waktu tertentu ia mengalami
kondisi normal dan pada waktu lain ia mengalami perubahan kondisi menjadi tidak
normal. Dalam terminologi al-Quran disebut dengan kondisi dharurah.
Pengakuan al-Quran terhadap kondisi dharurah manusia sebagai eksekutor ajaran
dan pesan ilahi merupakan pondasi yang sangat kokoh bagi berkembangnya moderasi
Islam, karena konsep dharurah adalah terjemahan bagi keberpihakan Islam
terhadap kemanusiaan. Al-Quran memberi penegasan bagi otoriti dharurah dalam
pelaksanaan hukum Islam dalam banyak kesempatan termasuk diantaranya firmannya
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[20]
Dalam konteks yang lain,
al-Quran mengemukakan otoriti dharurah
dalam mempengaruhi hukum. Allah berfirman “Barangsiapa yang kafir
kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia
tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Wacana moderasi dengan
perangkat dharurah yang telah dibangun kokoh dalam al-Quran mengalami
konseptualisasi yang mengagumkan dalam tradisi pakar hukum Islam. Pengakuan
mereka terhadap konsep dharurah sangat tinggi, hukum bagi mereka-bagaimana pun
kuatnya-tidak mampu bertahan di hadapan kondisi keterpaksaan yang dialami oleh
manusia. Dalam tradisi fiqhi kondisi dharurah dapat menggugurkan kewajiban dan
membolehkan larangan-larangan (al-Mahzurat). Banyak kaidah yang telah
dirumuskan oleh pakar hukum Islam untuk mempertajam konsep dharurah sekaligus
menjadi indikator atas apresiasi dan keberpihakan terhadap kemanusiaan (kemaslahatan). Kaidah-kaidah itu
sebagai berikut;
1.
Segala bentuk kemudaratan mesti ditiadakan (al-Dararu Yuzaal)
2.
Kemudaratan tidak boleh ditiadakan
dengan cara menciptakan kemudaratan baru (al-Dararu laa Yuzaalu bi al-Darari)
3.
Kondisi-kondisi darurat yang dialami
oleh manusia membolehkannya untuk melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama (al-Daruuraat
Tubiihul Mahzuuraat).
4.
Larangan yang dapat dilakukan disebabkan
karena kondisi darurat disesuaikan dengan substansi darurat itu sendiri (al-Daruuratu
Tuqaddaru bi qadarihaa)[21].
Yang menarik dalam wacana
darurah sebagai pilar moderasi Islam adalah posisi “keperluan” yang disetarakan dengan
“darurat”. Artinya, fleksibiliti hukum Islam tidak hanya dipengaruhi
oleh kondisi keterpaksaan tapi keperluan yang mendesak pun mampu melenturkan
hukum Islam. Kaidah yang dirumuskan untuk menopang ketentuan ini adalah al-Haajatu
Tunazzalu manzilat al-Daruurat ‘ammatan kaanat awa khaassah[22].
Konsep ini juga banyak mewarnai perkembangan hukum dalam Islam. Dalam wacana
fiqhi klasik, salah satu sampel yang dapat menjadi terapan teori otoriti
keperluan adalah transaksi jual beli yang tidak menghadirkan barang pada saat
transaksi yang dalam fiqhi disebut dengan Bai’u al-Salam atau ‘Aqdu
al-Istishnaa. Sementara salah satu standar
(ketentuan) bagi legaliti atau keabsahan transaksi jual beli adalah barang dan
harga harus diserahkan pada saat transaksi, dan ketentuan ini diberlakukan
untuk menghindari terciptanya riba. Transaksi istishnaa dan jual beli salam
masing-masing merupakan transaksi dimana barang tidak diserahkan pada saat
transaksi, lagi-lagi kedua bentuk transaksi ini dibolehkan, meskipun melanggar
ketentuan umum, kerana keduanya merupakan keperluan umum masyarakat, sehingga bila ia tidak
dibolehkan sangat berpotensi untuk
menciptakan stagnasi ekonomi masyarakat, sehingga dapat dibayangkan misalnya betapa beresikonya
kalau pemesanan-pemesanan barang seperti mobil (kreta) tidak dibolehkan. Dalam konteks
kekinian, tidak sedikit ilmuan membolehkan untuk berinteraksi dengan bank-bank
konvensional, meskipun bank-bank itu menerapkan sistem bunga (riba), hanya kerana salah satu alasannya bahawa berinteraksi dengan bank-bank itu merupakan keperluan mendesak dan belum sampai pada level
darurat[23].
c. Dakwah Dan Fiqh Moderat
Perangkat yang tidak kalah
pentingnya dalam memajukan dan menumbuh-kembangkan misi dakwah sekaligus
menjadi icon besar bagi moderasi yang dimaksud adalah fiqh al-Taysir.
Fiqhi al-Taysir adalah fiqhi
yang memposisikan hukum Islam sebagai hukum yang bertujuan untuk mendidik
manusia bukan menyiksanya. Fiqhi ini memahami bahawa ketika manusia merasa
sempit perasaannya dan mengalami kesulitan dalam menjalankan pesan hukum, maka
ia harus diberi kemudahan sesuai ketentuan yang berlaku dalam agama. Fiqhi ini
tidak seperti yang disalahpahami oleh segelintir orang bahawa ia merupakan
upaya menundukkan teks-teks suci untuk ditafsirkan atau diinterpretasi sesuai
dengan apa yang dianggap mudah oleh hawa nafsu, tapi fiqhi ini adalah upaya
mencari pendapat yang paling mudah dari berbagai pendapat fiqhi yang ada kerana
pendapat itulah yang sesuai dengan kemaslahatan manusia (mashlahah syar’iyyah).
Mencari atau memilih yang mudah dari pilihan-pilihan yang ada bukanlah sesuatu
yang baharu dalam Islam. Fiqhi
al-Taysir telah dibangun oleh al-Quran- dan Sunnah. Betapa banyak ayat dalam
al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah menginginkan kemudahan bukan
kesusahan bagi hambanya. Berdasarkan riwayat Aisyah, Rasulullah selalu memilih
yang mudah dari dua perkara yang ditawarkan kepadanya[24].
Salah satu rumusan kaidah fiqhi yang sangat tepat untuk dikemukakan dalam hal
moderasi Islam dan relevansinya dengan fiqhi al-Taysir adalalah rumusan kaidah
yang dikonstruk oleh Imam al-Gazali yaitu “ Idzaa Dhaaqa al-Amru ittasa’a Wa
Idza ittaa’a al-Amru Dhaaqa (apa bila perkaranya menjadi sempit maka
perkara itu harus diperluas dan apabia perkaranya menjadi luas maka perkara itu
harus dipersempit). Potongan pertama kaidah ini mencerminkan fiqhi al-Taysir
sementara gabungan dua potongan itu menggambarkan moderasi dalam produk fiqhi.
Kalau kita merenungkan kaidah al-Gazali ini maka kita menemukan relevensinya
dengan perangkat lain yaitu konsep Saddu al-Dzaraai dan Istihsaan.
d.
Saddu Al-Dzaraai, Istihsan : Sebuah
Ikhtiar Membangun Fiqhi Dakwah
Kalau kita menggunakan
standar atau ukuran “fleksibiliti” dalam rangka mendeteksi kekuatan wacana atau
fenomena moderasi dalam Islam, maka konsep Istihsan dan Saddu al-Dzariah
merupakan lahan yang sangat subur bagi moderasi dalam Islam sekaligus menjadi
mesin yang sangat efektif bagi pengembangan dakwah. Ide yang menjadi muatan
Istihsan adalah otoriti yang diberikan kepada seorang mujtahid untuk
mengalihkan atau memindahkan hukum yang sudah tetap bagi suatu kasus tertentu
dan diperkuat oleh ketentuan umum dalam hukum Islam untuk kemudian menetapkan
hukum baru bagi kasus yang dimaksud karena ada pertimbangan-pertimbangan syar’i
yang lain atau karena penerapan hukum yang pertama tidak lagi mengandung
kemaslahatan atau penerapannya boleh jadi mendatangkan kemudaratan[25].
Untuk melihat posisi penting yang dimiliki konsep ini, bahkan berdasarkan
sebuah riwat, Imam Malik mengatakan “Sembilan persepuluh (9/10) dari realiti fikih dibangun atas konsep istihsan”.
Riwayat lain dari seorang ulama mazhab Maliki, ia mengatakan, “sesiapa yang
terlalu berlarut dalam menggunakan qiyas maka ia dikhawatirkan akan menyalahi
Sunnah”[26].
Nampaknya, statement ini dikemukakan dalam konteks penggunaan qiyas yang
berlebihan kerana ada anggapan bahawa qiyaslah yang lebih mendekati Nash (Teks)
ketika tidak ada hukum bagi kasus baru yang tidak dijelaskan di dalam nash,
padahal sikap berlebihan yang demikian berpotensi untuk mereduksi dimensi
kemanusiaan dalam bangunan Hukum Islam. Seorang dai harus mengadopsi atau
memanfaatkan fiqh al-Istihsan ketika ia menyampaikan dakwahnya di hadapan
masyarakat moderen apakah melalui mimbar, radio, tv, internet, media cetak dll.
Demikian halnya pendekatan
atau konsep saddu al-Dzariah, ia tidak kalah pentingnya dalam memperkaya misi
dakwah dan moderasi hukum Islam. Substansi yang terkandung dalam saddu
al-Dzariah adalah menutup akses, sarana, atau jalan yang mengantarkan kepada
kemafsadatan, atau kemudaratan. Sarana yang digunakan untuk terjadinya
kemudaratan harus ditutup atau dilarang untuk dilakukan meskipun ia memiliki
hukum kebolehan pada dasarnya, apa lagi kalau ia memang sudah diharamkan sejak
awal. Dengan demikian, bisa dipahami bahawa ijtihad dapat memproduk hukum yang
bertentangan secara kasat mata dengan hukum normal (awal) meskipun sesuai
dengan substansi atau inti paling dalam dari ajaran hukum, dan inilah yang
menjadi esensi konsep Saddu al-Dzariah dan Istihsan. Sisi lain dari Saddu
al-Dzariah adalah otoriti yang diberikan kepada seorang mujtahid untuk membuka
akses-akses atau jalan-jalan yang dapat membawa kepada terciptanya kemaslahatan
atau kebaikan universal. Sisi yang menarik dari teori ini, karena seorang
mujtahid diberi kewenangan untuk membuka akses kemaslahatan meskipun terpaksa menghalalkan yang dilarang dalam
Islam. Contoh yang sering dikemukakan oleh pakar hukum adalah berbohong yang
tadinya diharamkan dalam Islam, tapi dalam kasus-kasus tertentu dibolehkan demi
menghindari terjadinya kemafsadatan[27].
e. Karakteristik
Moderasi Islam
Setelah kita menggarisbahwahi
wacana dan fenomena moderasi secara
seksama, maka untuk membangun dan memperkokoh bangunan moderasi Islam yang
sudah terbangun, nampaknya kita harus mengemukakan kriteria atau karakteristik
moderasi Islam untuk mendukung pengembangan dakwah Islam. Konsekwensinya,
seseorang dapat dikatakan seorang muslim moderat, dai moderat sangat
dipengaruhi oleh komitmennya pada kriteria atau karakteristik yang akan kita
kemukakan di sini seperti pertama, pengakuan akan adanya “Tujuan Hukum”
di balik teks-teks suci dan memperhatikannya ketika ingin memahami hukum atau
pesan dari Nash. Karakteristik ini
penulis istilahkan dengan “Substansialisasi Ajaran Islam” . Kedua,
komitment terhadap cara pemahaman teks atau hukum yang mengaitkannya dengan
konteksnya (red: Asbab al-Nuzul atau Asbab al-Wurud) yang penulis istilahkan
dengan “Kontekstualisasi Ajaran Islam”. Ketiga, Keberpihakan pada teori
“Ta’lil” atau Rasionalisasi Hukum dalam bidang muamalah. Teori ini berbasis
pada bahwa inti dari muamalah adalah kemaslahatan, Keempat, membedakan
antara bidang ibadah dan Muamalah. Kelima, Membedakan antara Substansi
ajaran dan Sarana.
f.
Dakwah dan Substansialisasi Ajaran Islam
Karakteristik
pertama yang harus diperhatikan oleh misi dan gerakan dakwah adalah
pengakuannya terhadap adanya rahsia dan tujuan-tujuan luhur yang bergerak di
balik ajaran-ajaran Islam dan mencari dengan segala daya upaya yang ia miliki
sebelum ia menetapkan sebuah keputusan hukum. Ketika ia sudah mendapatkannya ia
mengaktifkannya dalam proses memahami sebuah teks hukum. Ia tidak jumud pada
permukaan (formalitas) sebuah teks tetapi ia menyelami teks itu dan kemudian
memahami teks berdasarkan penyelaman makna di dasar-dasar teks. Ia selalu menghadirkan
tujuan teks dan memandangnya sebagai sesuatu yang penting sebelum memberi
interpretasi atau penjelasan mengenai teks.
Kalau
kita mundur ke belakang untuk melihat kondisi fiqhi sahabat, terapan-terapan
teori substansialisasi ajaran Islam dapat ditemukan dengan mudah. Salah satu
sampel yang dapat masuk dalam kategori ini adalah kasus Bani Quraidzah.
Berdasarkan formaliti teks (hadis Nabi), para
sahabat dilarang oleh Nabi untuk salat Ashar di jalan dan salat Ashar harus
dilaksanakan di Bani Quraidzah. Hadis itu berbunyi “Laa Yushalliyanna
Ahadukum al-Ashra Illa fi Banii Quraidzah”. Sejarah menuturkan tidak semua
sahabat mengikuti perintah Nabi itu secara formal. Sebagian sahabat memilih
salat Ashar sebelum sampai di Bani Quraidzah karena waktu Ashar sudah hampir
habis, dan khawatir habis sebelum sampai di Bani Quraidzah. Pertanyaannya,
kenapa kelompok sahabat yang dimaksud berani menyalahi perintah Nabi?
Jawabannya karena mereka menangkap substansi makna di balik larangan itu yaitu
bahwa Nabi menginginkan agar sahabat bersegera, bercepat-cepat menuju tempat
yang dituju. Harapan Nabi kalau itu dilakukan dapat diduga dengan kuat sahabat
akan sampai di Bani Quraidzah jauh sebelum waktu Ashar Habis. Pada titik ini
kita dapat dengan mudah menemukan terapan substansialisasi ajaran Islam yang
dimaksud. Kasus-kasus kontemporer yang dapat dimasukkan sebagai terapan ini
adalah hukum formaliti jenggot dan substansi
“Pembedaan antara muslim-non muslim”.
g. Dakwah
dan Kontekstualisasi Ajaran Islam
Ciri khas
yang kedua yang mesti diperhatikan oleh gerakan dakwah adalah pengakuan dirinya atas teori
kontekstualisasi Ajaran Islam. Inti dari teori ini adalah upaya melacak
unsur-unsur sejarah yang melingkupi sebuah ajaran, kemudian memberi pengaruh
bagi unsur-unsur itu bagi pemahaman atau penerapan sebuah ajaran atau hukum.
Teori ini berasumsi bahwa sebuah hukum boleh jadi ditetapkan oleh Allah atau
Nabi disebabkan oleh kondisi atau keadaan tertentu yang menghendaki adanya
hukum tertentu pula. Konsekwensinya, bila kondisi itu sudah berubah dan terjadi
kondisi baharu yang berbeza maka semestinya hukum yang dahulu tadi juga
beruba dan digantikan dengan hukum
baharu atau kembali kepada hukum normal. Kerana itulah, teori ini berasumsi
bahawa siapa pun yang ingin memahami pesan yang terkandung dalam sesebuah teks
atau nash, maka pengetahuan tentang dua kondisi yaitu kondisi zaman turunnya
wahyu atau kondisi zaman Nabi menuturkan hadisnya dan kondisi zaman sekarang
adalah sebuah keharusan.
Kasus yang sesuai untuk
menjadi contoh bagi teori ini adalah larangan Nabi bagi wanita untuk bepergian
tanpa mahram. Kata Nabi, “Laa Tusaafirul Mar’atu Illa ma’a Dzii
Mahramin” yang artinya seorang perempuan tidak boleh bepergian (melakukan
perjalanan) tanpa mahram. Kalau formaliti hadis ini diterapkan maka seorang perempuan kemana sahaja ia pergi ia mesti dikawal atau ditemani oleh suaminya
atau saudaranya atau bapaknya. Kalau ini benar, maka perilaku wanita moderen
yang hidup zaman sekarang sudah tidak sesuai dengan hadis tadi.
Namun, apabila konsep
Kontekstualisasi ajaran kita gunakan untuk mengukur perilaku wanita sekarang
maka kita dapat mengatakan bahawa apa yang dilakukan wanita zaman sekarang
(bepergian tanpa mahram) bukanlah sebuah pelanggaran agama. Alasannya kerana
hadis yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram dituturkan oleh Nabi
disebabkan oleh sebuah konteks saat itu
menghendakinya, dimana perjalanan seorang wanita sangat berbahaya bagi dirinya
atau bagi reputasi baiknya. Hal itu mudah dipahami, kerana jarak yang mesti ditempuh seseorang
pejalan adalah padang pasir yang sangat riskan dengan binatang buas atau
kelompok penjahat yang tidak bermoral, ditambah dengan alat transportasinya
adalah unta. Dengan kata lain, konteks hadis larangan itu adalah konteks tidak
aman, sehingga kalau ingin dibandingkan dengan konteks sekarang maka kita dapat
mengatakan bahawa konteks hadis itu sudah berubah kerana konteks sekarang
adalah konteks aman. Seorang wanita yang ingin berangkat ke sebuah daerah
misalnya tidak perlu dikawal oleh seorang mahramnya kerana perjalanan sangat aman[28].
Dengan demikian, maka pada intinya teori kontekstualisasi ajaran ingin
menyampaikan bahwa ada hukum-hukum yang dibangun oleh Rasulullah berdasarkan
konteks zaman itu menghendakinya, dan boleh jadi konteks sekarang tidak
menghendakinya, dan kemudian hukum-hukum itu tentu tidak dapat dipertahankan
kerana sudah kehilangan konteksnya[29].
Begitu besar pengaruh yang
dimainkan teori ini dalam perkembangan pemikiran Islam terutama dalam bidang pengembangan
hukum Islam, maka kita dapat mengatakan bahawa betapa banyak pendapat memiliki
kekuatan pada zaman dahulu, namun zaman sekarang menjadi lemah kerana alasan
bahawa pendapat-pendapat itu sudah kehilangan konteksnya.
Kontekstualisasi ajaran yang mengakar
di dalam tradisi Nabi (Sunnah) telah banyak menginspirasi ulama-ulama yang
datang kemudian. Salah seorang ulama yang cukup populer yang memiliki gagasan
kuat mengenai teori ini adalah ulama yang bermazhab hanbali yakni Imam Ibn
al-Qayyim. Dalam buku monumentalnya “ I’laam al-Muwaqqi’iin, ia telah memberi
ruang khusus (pasal) untuk mengkristalkan konsep kontekstualisasi fiqhi Islam”
dengan memberi judul ruang itu dengan “ Tagayyur al-Fatwaa Wakhtilafuhaa
Bihasabi tagayyuri al-Azminati wa al-amkinati wa al-Ahwaal wal al-Niyyaat wal
‘Awaaid” yang artinya perubahan dan perbezaan fatwa karena perubahan zaman,
tempat, kondisi, niat dan tradisi[30].
h. Dakwah
dan Rasionalisasi Ajaran Islam
Ciri ketiga adalah
keberpihakan gerakan dakwah terhadap konsep rasionalisasi ajaran. Konsep
rasionalisasi Ajaran berbeza dengan konsep substansialisasi ajaran.
Substansialisasi-seperti yang telah dikemukakan sebelumnya-adalah upaya yang
dilakukan oleh seorang faqih atau mujtahid untuk menentukan sasaran apa yang
ingin dicapai oleh sebuah ajaran. Sementara yang dimaksud dengan Rasionalisasi
ajaran adalah mencari kemudian menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ada
atau tidaknya sebuah hukum yang terkandung di dalam sebuah teks. Mayoriti penulis muslim kontemporer merujuk ke
term “Hikmah” untuk memaknai Substansialisasi dan merujuk ke term “Illat” untuk
memaknai rasionalisasi. Untuk lebih mempermudah pemahaman mengenai hal ini,
perlu dikemukakan contoh berikut; Islam membolehkan seseorang muslim untuk
melakukan jama’, qashar atau kedua-duanya dalam sebuah perjalanan (safar).
Islam mengaitkan antara hukum bolehnya menjama’ atau mengqashar dengan
perjalanan kerana pada biasanya seseorang mengalami
kesusahan (masyaqqah) dalam
perjalanan. Akibat adanya kesusahan (masyaqqah) yang biasanya dialami oleh
seorang muslim yang berjalan maka Islam ingin meniadakan masyaqqah itu dengan memberinya kemudahan yaitu jama’
atau qashar. Mengaitkan hukum jama’ atau qashar dengan adanya perjalanan
berarti yang terjadi adalah rasionalisasi, tapi mengaitkannya dengan masyaqqah
maka sesungguhnya yang terjadi adalah substansialisasi bukan rasionalisasi.
Atau kita dapat menggunakan rasionalisasi makro untuk memaknai substansialisasi
dan menggunakan rasionalisasi mikro untuk memaknai rasionalisasi.
Untuk rasionalisasi makro
ulama kita sering menjelaskannya dengan mengatakan bahwa kehadiran ugama
(Islam) sesungguhnya memiliki tujuan utama yaitu terciptanya kemaslahatan bagi
umat manusia dan mencegah terjadi kemafsadatan dan kemudaratan. Berdasarkan
tujuan ini, seorang ulama (faqih atau mujtahid) sangat dianjurkan untuk selalu
merujuk kepada kode etik “kemaslahatan” baik ketika ia melakukan rasionalisasi
makro atau mikro.
Penutup
Setelah memaparkan potret
riil tentang era globalisasi dengan berbagai isu yang melingkupinya dan
perlunya umat Islam mendisain metod dan strategi dakwah yang harus menjadi
inspirasi bagi masyarakat yang hidup di era ini. Dan setelah mempertimbangkan
karakter masyarakat yang hidup di era globalisasi ini, maka artikel ini dapat
menyimpulkan pemaparan-pemaparan tersebut ke dalam point-point penting berikut
:
1. Perubahan
zaman dari babak ke babak berikutnya merupakan sebuah keniscayaan. Keniscayaan
perubahan zaman turut mempengaruhi keniscayaan perubahan sosial masyarakat
menghidupi sebuah zaman. Dalam konteks dakwah Islamiyyah, umat Islam di zaman
globalisasi saat ini sudah sangat jauh berbeza dengan zaman awal Islam.
2. Keberhasilan
dakwah Islamiyyah sesungguhnya sangat tergantung atau dipengaruhi oleh
kemampuan gerakan dakwah memainkan metod dan strategi dakwah yang sesuai dengan
karakter zamannya.
3. Masyarakat
moderen yang sudah terglobalkan memiliki karakter yang sudah sangat jauh berbeza dengan karakter masyarakat yang
sederhana yang hidup di zaman awal Islam. Dengan demikian, gerakan dakwah mau
atau tidak mau harus mempertimbangkan perbezaaan karakter-karakter yang dimaksud.
4. Salah
satu alasan kenapa Islam dapat dengan mudah diterima oleh komuniti dakwah
adalah kerana Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai ajaran yang moderat,
sebuah ajaran yang mampu mengakomodir keperluan dan kemaslahatan manusia.
Ajaran moderat harus ditumbuh kembangkan di era globalisasi ini oleh gerakan
dakwah dengan tiga instrumen utama yakni substansialisasi ajaran,
kontekstualisasi ajaran, dan rasionalisasi ajaran. Terapan-terapan konsep ini
sangat banyak ditemukan dalam tradisi keilmuan kita, tidak terkecuali dalam
tradisi dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad
Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam, Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, Kairo.
2. Yusuf al-Qaradhawi, Kalimaat
fi al-Wasatiyyah al-Islamiyyah wa Ma’alimuha, Kuwait: al-Markaz al-Alami
Lilwasatiyyah, thn 2007
3. ---------------------------,
Dirasah fi Fiqhi Maqasid al-Syariah, Dar al-Syuruq, Kairo, 2007
4. Ahmad al-Raisuni dan
Muhammad Jamal Barut, al-Ijtihad: al-Nash, al-Waqi, al-Mashlahah,
Dar al-Fikr, Dimasyq, 2000.
5. Yahya
Muhammad, Jadaliyyat al-Khitab wa al-Waqi’, , Cet. Muassasah Al-Intisyarr al-'Arabi,
Beirut, Cet. I, 2002.
6.
Ibn al-Qayyim, I’laam
al-Muwaqqi’in, Dar –Aljil, Beirut,
thn 1973.
7.
Agustian, Ari Ginanjar. ESQ; Emotional
Spiritual Quetiont. Cet. VI; Jakarta: Arga, 2002
8.
Atiyah, Amaluddin, al-Waqi’
wa al-mits?l fi al-fikri al-islami al-mu’asir,
Beirut: Darr al-hud?, 2002.
9.
Halim, Abdul El-Muhammady,
Dinamika Dakwah Suatu Perspektif dari Zaman Awal Islam hingga Kini, Kuala
Lumpur: Budaya Ilmu, 1992.
10. Jamilah,
Maryam, Islam dalam Kancah Modernisasi, Bandung: NV Tarate, 1983.
11. Rais,
Amin. Tauhid Sosial. Cet. I; Bandung: Mizan, 1998
12. Sardar,
Ziauddin, Information and The Muslim World: A Strategy for The Twenty-First
Century, diterjemahkan oleh Priyono dengan judul Tantangan Dunia Islam Abad 21
Menjangkau Informasi. Cet. VII; Bandung: Mizan, 1996
13. Yusuf
al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta: CV. Pustaka Al-Kautsar, 2001
[1] Makalah Seminar pada Konprensi Antarabangsa Islam
Borneo (KAIB) anjuran UITM Sarawak dengan KUPU-SB yang berlangsung pada tgl
26-27 Jun 2012 di Persidangan Antarabangsa Bridex Jerudong Negara Brunei
Darussalam.
[2] Penyarah Kunjungan pada Fakulti Usuluddin Kollej
Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan (KUPU-SB).
[3] Penolong Rais Kollej Universiti Perguruan Ugama Seri
Begawan (KUPU-SB).
[4]
Rais, Amin. Tauhid Sosial. Cet. I; Bandung: Mizan, 1998, h. 65-66.
[5] Ali Syariati dalam Agustian, Ari Ginanjar.
ESQ; Emotional Spiritual Quetiont. Cet. VI; Jakarta: Arga, 2002, h. Xiii.
[6]
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta: CV. Pustaka
Al-Kautsar, 2001, h. 21
[7] Ibid.
[8]
Atiyah,Jamaluddin, al-Waqi’
wa al-mitsal fi al-fikri al-islami
al-mu’asir, Beirut: Dar al-hadi?, 2002, h. 52.
[9]
Jamilah, Maryam, Islam dalam Kancah Modernisasi, Bandung: NV Tarate, 1983, h. 84.
[10]
Halim, Abdul El-Muhammady, Dinamika Dakwah Suatu Perspektif dari Zaman Awal
Islam hingga Kini, Kuala Lumpur: Budaya Ilmu, 1992, h. 95.
[11]
Sardar, Ziauddin, Information and The Muslim World: A Strategy for The
Twenty-First Century, diterjemahkan oleh Priyono dengan judul Tantangan Dunia
Islam Abad 21 Menjangkau Informasi. Cet. VII; Bandung: Mizan, 1996, h. 16-17.
[12] QS al-Baqarah : 143 bandingkan dengan ayat sebelumnya “
Shiratan Mustaqiman” dan QS Ali Imran :111. Ayat-ayat yang dimaksud menjadi
referensi bagi banyak ilmuan dalam membangun ajaran moderasi dalam Islam.
[13] Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Kalimaat fi al-Wasatiyyah
al-Islamiyyah wa Ma’alimuha, Kuwait: al-Markaz al-Alami Lilwasatiyyah, thn
2007.
[14] Lihat ibid.
[15] Lihat Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam,
Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, Beirut. Mustafa Shalabi di tahun 60-an telah
menulis sebuah disertasi di Fak. Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar dengan
judul Ta’lil al-Ahkam. Buku ini menjadi rujukan awal dan utama dalam
konteks diskursus dialektika ijtihad dan realita dan kemaslahatan.
[16] Hadis itu bunyinya : “Laa Tamna’uu Nisaa’akum
al-Masaajida”.
[17] Lihat Opcit.
[18] Untuk memudahkan pemahaman bagi kasus Ibnu Umar dan
anaknya, sebaiknya kita membandingkannya dengan kasus ziarah kubur yang tadinya
dilarang oleh Nabi dan pada akhirnya diizinkan karena larangan yang terjadi
sebelumnya memiliki konteksnya tersendiri yang berbeda ketika pembolehan itu
dikeluarkan oleh Nabi.
[19] Terjemahan bebas dari riwayat yang berbunyi “Law
Ra’aannabiyyu Maa Fa’alathun Nisaaulyaum Lamana’aha al-Masaajida”.
[20]
QS al-Baqarah :
173, bandingkan dengan QS
al-Maidah : 3, QS al-An’am : 119, 145, QS al-Nahl : 115
[21] Lihat Imam al-Suyuti, al -Asybaah wa al-Nadzaair,
Dar al-Kutub al-ilmiyyah, Beirut, thn, cet, h.
[22] Lihat Ibid.
[23] Mayoritas ulama memakai standar terancamnya nyawa
seseorang atau terjadinya luka pada anggota badannya untuk menandai terjadinya
darurat.
[24] Bunyi riwayat itu adalah “ Maa Khuyyira Rasulullahi
Baina Amraini Illaa khataara Aysarahuma”.
[25] Lihat Imam
al-Syatibi, al-Muwaafaqaat, Dar al-Ma’rifah, Beirut: 1995, vol. 4, h.207
[26] Lihat Ibid,
h.210.
[27] Dalam
tradisi teori hukum Islam, ketika kemafsadatan
[28]
Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqhi Maqasid al-Syariah, Dar al-Syuruq,
Kairo, Thn 2006 h. 166.
[29] Untuk lebih memperdalam pengetahuan mengenai teori kontekstualisasi
hukum dianjurkan merujuk ke gagasan yusuf al-Qaradhawi mengenai teori ini di
berbagai bukunya diantaranya Kaifa Nata’amal Ma’ al-Sunnah”, Diraasah
fi Fiqh Maqasid al-Syariah Bain al-Maqasid al-Kulliyah wa al-Nusus al-Juziyyah.
Dalam buku-buku yang dimaksud Y.al-Qaradhawi banyak mengemukakan contoh kasus
kontemporer yang bisa dijadikan bahan renungan betapa teori Kontekstualisasi
memiliki orisinalitas yang mengakar dalam tradisi salaf dan bukanlah teori
baru.
[30] Lihat Ibn al-Qayyim, I’laam
al-Muwaqqi’in, Dar –Aljil, Beirut, thn
1973 vol 2 h. 425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar