Minggu, 19 Februari 2012

Moderasi Islam dan Wacana Fiqhi al-Taysir


Perangkat yang tidak kalah pentingnya dalam memajukan dan menumbuh-kembangkan Moderasi Islam dalam wilayah pemahaman dan penerapan hukum Islam sekaligus menjadi icon besar bagi moderasi yang dimaksud adalah fiqh al-Taysir.

Fiqhi al-Taysir adalah fiqhi yang memposisikan hukum Islam sebagai hukum yang bertujuan untuk mendidik manusia bukan menyiksanya. Fiqhi ini memahami bahwa ketika manusia merasa sempit perasaannya dan mengalami kesulitan dalam menjalankan pesan hukum, maka ia harus diberi kemudahan sesuai ketentuan yang berlaku dalam agama. Fiqhi ini tidak seperti yang disalahpahami oleh segelintir orang bahwa ia merupakan upaya menundukkan teks-teks suci untuk ditafsirkan atau diinterpretasi sesuai dengan apa yang dianggap mudah oleh hawa nafsu, tapi fiqhi ini adalah upaya mencari pendapat yang paling mudah dari berbagai pendapat fiqhi yang ada karena pendapat itulah yang sesuai dengan kemaslahatan manusia (mashlahah syar’iyyah). Mencari atau memilih yang mudah dari pilihan-pilihan yang ada bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Fiqhi al-Taysir telah dibangun oleh al-Quran- dan Sunnah. Betapa banyak ayat dalam al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah menginginkan kemudahan bukan kesusahan bagi hambanya. Berdasarkan riwayat Aisyah, Rasulullah selalu memilih yang mudah dari dua perkara yang ditawarkan kepadanya[1]. Salah satu rumusan kaidah fiqhi yang sangat tepat untuk dikemukakan dalam hal moderasi Islam dan relevansinya dengan fiqhi al-Taysir adalalah rumusan kaidah yang dikonstruk oleh Imam al-Gazali yaitu “ Idzaa Dhaaqa al-Amru ittasa’a Wa Idza ittaa’a al-Amru Dhaaqa (apa bila perkaranya menjadi sempit maka perkara itu harus diperluas dan apa perkaranya menjadi luas maka perkara itu harus dipersempit). Potongan pertama kaidah ini mencerminkan fiqhi al-Taysir sementara gabungan dua potongan itu menggambarkan moderasi dalam produk fiqhi. Kalau kita merenungkan kaidah al-Gazali ini maka kita menemukan relevansinya dengan perangkat lain yaitu konsep Saddu al-Dzaraai dan Istihsaan.


[1] Bunyi riwayat itu adalah “ Maa Khuyyira Rasulullahi Baina Amraini Illaa khataara Aysarahuma”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...