Islam moderat atau moderasi Islam adalah satu diantara banyak terminologi yang muncul dalam dunia pemikiran Islam terutama dalam dua dasawarsa belakangan ini, bahkan dapat dikatakan bahwa moderasi Islam merupakan isu abad ini. Term ini muncul ditengarai sebagai antitesa dari munculnya pemahaman radikal
dalam memahami dan mengeksekusi ajaran atau pesan-pesan agama. Dengan demikian, memperbincangkan wacana moderasi Islam tidak pernah luput dari pembicaraan mengenai Radikalisme dalam Islam.Kalau kita merujuk kepada al-Quran sebagai acuan ekspresi keberagamaan baik pada level pemahaman maupun penerapan, maka secara eksplisit ia menegaskan eksistensi umat moderat (Ummatan Wasathan)[1] sebagai induk bagi pemahaman Islam atau seorang muslim moderat. Dengan demikian, semestinya eksistensi Islam moderat sebagai sebuah term tidak menjadi bahan perdebatan bagi kalangan muslim, namun nampaknya term ini tidak sedikit dari kelompok Islam menolaknya, karena alasan-alasan tertentu, termasuk alasan bahwa term itu adalah produk negatif yang tendensius barat dan karenanya harus ditolak. Islam moderat bagi kelompok ini harus ditolak karena pihak barat memiliki pemaknaaan khusus tentangnya dan barat kemudian memiliki ciri-ciri khusus bagi seseorang untuk layak dijuluki sebagai seorang muslim moderat[2].
Berdasarkan kenyataan diatas, maka harus ditegaskan lebih awal bahwa ketika tulisan ini memakai term itu maka ia memaknainya dengan mengacu pada esensi dan substansi yang dikandungnya tanpa harus melirik kepada siapa yang memproduknya. Apa lagi bila term itu memiliki akar yang jelas dalam sumber Islam yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi. Berangkat dari hal itu, maka memberi pengertian apa yang dimaksud moderasi Islam sangat perlu untuk menghindari kekeliruan dalam memahami tulisan ini. Dan untuk mempertegas pengertian itu tulisan ini juga akan mendiskusikan karakteristik-karakteristik yang harus dimiliki dan turut mewarnai substansi moderasi Islam.
Karena wilayah moderasi dalam Islam terlalu luas meliputi aspek aqidah, fiqhi, akhlak, filsafat dan lain-lain, maka tulisan ini hanya akan melacak wacana moderasi Islam dalam Aspek hukum atau fiqhi Islam.
Moderasi Islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata lain seorang muslim moderat adalah muslim yang memberi setiap nilai atau aspek yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari hak yang semestinya. Karena manusia-siapa pun ia-tidak mampu melepaskan dirinya dari pengaruh dan bias baik pengaruh tradisi, pikiran, keluarga, zaman dan tempatnya, maka ia tidak mungkin merepresentasikan atau mempersembahkan moderasi penuh dalam dunia nyata. Yang mampu melakukan hal itu adalah hanya Allah.[3]
Kehadiran Islam sebagai agama adalah untuk menarik manusia dari sikap ekstrim yang berlebihan dan memposisikannya pada posisi yang seimbang. Maka dalam ajaran-ajaran Islam terdapat unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan Insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara Maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al-jamaaiyyah) dan maslahah individu (al-fardiyyah), dan lain-lain sebagainya. Konsekwensi dari moderasi Islam sebagai agama, maka tidak satupun unsur atau hakikat-hakikat yang disebutkan diatas dirugikan.[4]
Ajaran moderasi yang disampaikan oleh Islam melalui al-Quran dan Sunnah Nabi mengalami kristalisasi dalam interaksi-interaksi sosial Nabi, para sahabatnya dan ulama-ulama yang datang kemudian. Meskipun dalam prakteknya sahabat Nabi sendiri kadang-kadang mengekspresikan keberagamaannya tidak sejalan dengan ajaran washatiyyah sebagaimana mestinya. Bukan hanya priode Nabi, distorsi terhadap moderasi Islam juga terjadi pada generasi selanjutnya. Kelompok khawarij yang kemudian dilanjutkan oleh kelompok zahiriyyah merupakan bentuk eksperesi keagamaan yang bisa merepresentasikan pemahaman keagamaan yang tidak moderat.
Dengan demikian, maka kita dapat mengatakan bahwa pemahaman atau sikap ekstrim atau berlebihan dalam memahami dan mengeksekusi ajaran dan pesan-pesan Islam merupakan tantangan bagi moderasi Islam di semua zaman dengan level atau tingkatan yang berbeda. Oleh karena itulah, layak untuk kita mengatakan bahwa peran yang harus dimainkan oleh seluruh ulama, ilmuan, cendikiawan muslim adalah melakukan mainstreaming wacana moderasi Islam di semua level keilmuan. Dan saya kira bahwa “Moderasi Islam (Washatiyyah Islamiyyah)” adalah salah satu wacana yang menjadi isu dan obsesi penting bagi ikatan cendikiawan alumni timur tengah. Dan peluncuran buku dalam edisi khusus tentang Washatiyyah Islamiyyah merupakan momentum sangat penting dalam rangka menampilkan wajah Islam yang sesuai dengan ide-ide moral al-Quran yang sedang mulai mengalami reduksi yang signifikan.
Sebelum kita melihat lebih jauh pandangan pakar hukum Islam menyangkut moderasi Islam dalam wilayah fiqih, maka secara umum dapat dikatakan bahwa isu keilmuan yang telah menjadi pemicu polarisasi islam moderat dan Islam radikal sejak dulu sampai sekarang adalah pengakuan adanya dialektika antara wahyu, akal (maslahat), dan realita. Sikap seorang ulama yang mengakui adanya sentralisasi teks dalam arti bahwa teks adalah sumber dan mekanisme ijtihad yang hampa dari maksud tertentu dan tidak mengandung ide moral maka ia akan berpotensi untuk memproduk pemahaman keagamaan (fiqhi) yang bernuansa radikal. Karena hasil ijtihad yang bersumber dari pemisahan teks dari ide moral yang dikandungnya (kemaslahatan, keadilah, persamaan, kerahmatan), maka ijtihad itu lepas dari unsur dan nilai humanistik dan hanya dipenuhi oleh nilai ketuhanan. Berpihak kepada nilai ketuhanan dengan cara menampakkan keberpihakan kepada wahyu secara ekstrim tanpa ingin memberi porsi bagi nilai kemaslahatan manusia itulah sesungguhnya embrio dari munculnya radikalisme dalam memahami dan menerapkan pesan agama. Sisi lain dari ekstrimisme adalah posisi realitas kehidupan dari institusi teks. Kesiapan dan kemampuan seseorang melibatkan realitas dalam proses pembacaan atau pemahaman teks-teks suci merupakan bagian dari isu ekstrimisme itu sendiri. Dalam wacana hukum Islam istitusi “realitas” sering sekali dijabarkan dalam bentuk zaman, tempat, kondisi dan orang. Keinginan seorang muslim (terutama ilmuan Islam) untuk memahami dengan baik dan benar zaman yang ia hidupi dan orang beraktifitas, kondisi manusia, orang yang melakukan ajaran-ajaran Islam kemudian melibatkannya dalam memahami teks-teks suci adalah potensi utama bagi munculnya moderasi Islam.
Salah satu contoh yang bisa menjadi sampel kurangnya apresiasi terhadap realitas dalam memahami dan menerapkan pesan teks-teks suci adalah konflik yang terjadi antara Abdullah bin Umar dan anaknya Bilal[5]. Suatu ketika Abdullah menyampaikan kepada anaknya sebuah riwayat dari Nabi mengenai perempuan dan salat jamaah di mesjid. Kata Ibnu Umar, berdasarkan sabda Nabi (teks) perempuan tidak boleh dilarang pergi ke mesjid[6]. Ibnu Umar nampaknya ingin hadis itu diamalkan pada zaman ia hidup meskipun di zamannya sudah terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan berbeda dengan kondisi di zaman Nabi. Ia tidak berusaha mencoba mendialogkan zamannya dengan zaman Nabi. Berbeda dengan Ibnu Umar, Bilal anaknya ternyata punya sensitifitas dengan perubahan zamannya, ia cukup mengerti dengan realitas kehidupan zamannya.
Berangkat dari kesadarannya atas perubahan zaman yang dihidupinya, Bilal dengan lantang mengatakan kepada bapaknya, “hadis itu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan zaman sekarang”. Kata dia, perempuan-perempuan sekarang harus dilarang ke Mesjid. Pernyataan yang cukup berani itu membuat bapaknya marah. Dalam sebuah riwayat Ibnu Umar, saking marahnya, langsung memukul wajah anaknya[7]. Sudah bisa ditebak, kemarahan Ibnu Umar karena Bilal berani menggugat teks Nabi sebagai sumber primer. Bagi Ibnu Umar, tidak argumen yang bisa digunakan di depan sebuah teks.
Berangkat dari penjelasan yang sudah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar adalah bagian dari pemahaman atau sikap yang tidak mencerminkan moderasi Islam. Penyebabnya adalah ia tidak mencoba mengungkap realitas sosial pada saat hadis (teks) itu dituturkan oleh Nabi. Seperti yang sudah dikemukakan bahwa memahami teks-apakah itu al-Quran atau pun hadis- dan melepaskan dari konteksnya adalah salah satu faktor atau potensi sikap radikal[8].
Apa yang dituduhkan oleh Ibnu Umar terhadap anaknya yaitu kelancangannya menggugat dan melecehkan teks ternyata tidak realistis dan kurang beralasan. Berdasarkan riwayat, perbedaan yang terjadi antara Ibnu Umar dan anaknya seputar masalah tadi ternyata sampai di telinga Aisyah. Pada saat Aisyah mengetahui perdebatan itu, Aisyah kemudian mengeluarkan pernyataan yang cukup menarik dan sedikit mengagetkan. Aisyah mengatakan, “Andai saja Rasulullah masih hidup dan melihat bagaimana ulah dan perilaku perempuan-perempuan sekarang niscaya Nabi akan merubah pendapatnya dan pastilah beliau melarang perempuan pergi ke mesjid”[9].
Berdasarkan pembelaan Aisyah bagi Bilal, kiranya dapat dipahami sebab perbedaan antara bilal dan bapaknya mengenai masalah ini yaitu perbedaan keduanya mengapresiasi realitas sosial dan pengaruhnya bagi pengembangan atau perubahan hukum yang dikandung oleh sebuah teks.
Dari keterangan diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa kurangnya pengetahuan mengenai dinamika realitas kehidupan dan tidak adanya pengakuan terhadap pengaruh yang bisa ditimbulkan oleh dinamika itu terhadap pemahaman dan penerapan pesan teks-teks suci merupakan potensi besar bagi pemahaman dan prilaku keislaman yang radikal dan tentu tantangan besar bagi tumbuh-kembangnya moderasi Islam.
[1] QS al-Baqarah : 143 bandingkan dengan ayat sebelumnya “ Shiratan Mustaqiman” dan QS Ali Imran :111. Ayat-ayat yang dimaksud menjadi referensi bagi banyak ilmuan dalam membangun ajaran moderasi dalam Islam.
[2] Nampaknya pemicu penolakan itu adalah karena hampir semua orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai muslim moderat adalah mereka yang pro atau melindungi proyek-proyek barat di hampir semua negara muslim.
[3] Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Kalimaat fi al-Wasatiyyah al-Islamiyyah wa Ma’alimuha, Kuwait: al-Markaz al-Alami Lilwasatiyyah, thn 2007.
[4] Lihat ibid.
[5] Lihat Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam, Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, Beirut. Mustafa Shalabi di tahun 60-an telah menulis sebuah disertasi di Fak. Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar dengan judul Ta’lil al-Ahkam. Buku ini menjadi rujukan awal dan utama dalam konteks diskursus dialektika ijtihad dan realita dan kemaslahatan.
[7] Lihat Opcit.
[8] Untuk memudahkan pemahaman bagi kasus Ibnu Umar dan anaknya, sebaiknya kita membandingkannya dengan kasus ziarah kubur yang tadinya dilarang oleh Nabi dan pada akhirnya diizinkan karena larangan yang terjadi sebelumnya memiliki konteksnya tersendiri yang berbeda ketika pembolehan itu dikeluarkan oleh Nabi.
[9] Terjemahan bebas dari riwayat yang berbunyi “Law Ra’aannabiyyu Maa Fa’alathun Nisaaulyaum Lamana’aha al-Masaajida”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar