Kalau kita menggunakan standar atau ukuran “fleksibilitas” dalam rangka mendeteksi kekuatan wacana atau fenomena moderasi dalam Islam, maka konsep Istihsan dan Saddu al-Dzariah merupakan lahan yang sangat subur bagi moderasi dalam Islam sekaligus menjadi mesin yang sangat efektif bagi pengembangan hukum Islam. Ide yang menjadi muatan Istihsan adalah otoritas yang diberikan kepada seorang mujtahid untuk mengalihkan atau memindahkan hukum yang sudah tetap bagi suatu kasus tertentu dan diperkuat oleh ketentuan umum dalam hukum Islam untuk kemudian menetapkan hukum baru bagi kasus yang dimaksud karena ada pertimbangan-pertimbangan syar’i yang lain atau karena penerapan hukum yang pertama tidak lagi mengandung kemaslahatan atau penerapannya boleh jadi mendatangkan kemudaratan[1]. Untuk melihat posisi penting yang dimiliki konsep ini, bahkan berdasarkan sebuah riwat, Imam Malik mengatakan “Sembilan persepuluh (9/10) dari realitas fikih dibangun atas konsep istihsan”. Riwayat lain dari seorang ulama mazhab Maliki, ia mengatakan, “siapa yang terlalu berlarut dalam menggunakan qiyas maka ia dikhawatirkan akan menyalahi Sunnah”[2]. Nampaknya, statement ini dikemukakan dalam konteks penggunaan qiyas yang berlebihan karena ada anggapan bahwa qiyaslah yang lebih mendekati Nash (Teks) ketika tidak hukum kasus baru tidak dijelaskan di dalam nash, padahal sikap berlebihan yang demikian berpotensi untuk mereduksi dimensi kemanusiaan dalam bangunan Hukum Islam.
Demikian halnya pendekatan atau konsep saddu al-Dzariah, ia tidak kalah pentingnya dalam memperkaya wacana moderasi hukum Islam. Substansi yang terkandung dalam saddu al-Dzariah adalah menutup akses, sarana, atau jalan yang mengantarkan kepada kemafsadatan, atau kemudaratan. Sarana yang digunakan untuk terjadinya kemudaratan harus ditutup atau dilarang untuk dilakukan meskipun ia memiliki hukum kebolehan pada dasarnya, apa lagi kalau ia memang sudah diharamkan sejak awal. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa ijtihad dapat memproduk hukum yang bertentangan secara kasat mata dengan hukum normal (awal) meskipun sesuai dengan substansi atau inti paling dalam dari ajaran hukum, dan inilah yang menjadi esensi konsep Saddu al-Dzariah dan Istihsan. Sisi lain dari Saddu al-Dzariah adalah otoritas yang diberikan kepada seorang mujtahid untuk untuk membuka akses-akses atau jalan-jalan yang dapat membawa kepada terciptanya kemaslahatan atau kebaikan universal. Sisi yang menarik dari teori ini, karena seorang mujtahid diberi kewenangan untuk membuka akses kemaslahatan meskipun harus terpaksa menghalalkan yang dilarang dalam hukum Islam. Contoh yang sering dikemukakan oleh pakar hukum adalah berbohong yang tadinya diharamkan dalam Islam, tapi dalam kasus-kasus tertentu dibolehkan demi menghindari terjadinya kemafsadatan[3].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar