Jumat, 08 Januari 2016

1. Klasifikasi Rasul Tentang Tindakan-Tindakannya



Kenyataan literatur-literatur hadis menunjukkan bahwa Nabi sendiri dalam banyak hadis  menjelaskan bahwa tindakan-tindakannya berbeda antara satu dengan yang lain dan beliau memiliki posisi yang berfariasi ketika ia melakukan tindakan-tindakan itu.  Di antara contoh kasus yang bisa dikemukan dalam hal ini adalah:

A. Beliau menjelaskan bahwa di antara tindakannya ada yang berdasarkan unsur “manusiawi” yang ada pada dirinya. Beliau misalnya mengatakan :
إنما أنا بشر أرضي كما يرضى البشر وأغضب كما يغضب البشر، فأيما دعوت عليه من أمتي بدعوة ليس لها بأهل أن يجعلها طهورا وزكاة وقربة يقربه بها منه يوم القيامة. [1]
Artinya :
Sesungguhnya saya adalah manusia biasa, saya kadang-kadang senang seperti manusia lain senang, saya juga kadang-kadang marah seperti halnya manusia lain, maka barangsiapa di antara kalian yang saya marahi tapi ia sendiri tidak pantas untuk mendapatkan kemarahan itu maka hendaknya ia menjadikannya sebagai sumber kesucian dirinya dan sebagai ketaatan yang ia akan peroleh pahalanya di hari kiamat”. Tindakan Nabi seperti ini muncul karena tabiatnya yang dia sendiri tidak memiliki ikhtiar di dalamnya.
B. Beliau menjelaskan bahwa ada kalanya beliau bertindak berdasarkan kebiasaan dan habitatnya. Karena itulah, ketika beliau ditanya tentang hukum memakan biawak, apakah haram atau halal? Beliau menjawab “Tidak” tapi memakan biawak itu tidak ada di daerah kaumku dan kaumku tidak biasa memakannya karena itu aku merasa tidak menyukainya.[2] Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan: pernyataan Nabi itu merupakan penjelasan tegas mengenai penyebab ia tidak memakannya yaitu hanya karena faktor kebiasaan.[3]
C.  Pada momentum yang berbeda, beliau menjelaskan bahwa sering sekali melakukan tindakan tertentu berdasarkan pada pengalaman-pengalaman sebagai manusia biasa. Kasus yang paling sering digunakan untuk hal ini adalah kisah tentang perkawinan buah kurma yang dilakukan oleh para sahabat dan beliau menyarankan mereka untuk tidak melakukannya dan mereka pun mentaati Nabi, tapi ternyata buah kurma ketika panen hasilnya tidak baik lalu para sahabat memberitahu Nabi mengenai keburukan hasil panen kurma, ketika beliau disampaikan tentang hal itu beliau lalu mengatakan :
إن كان ينفعهم ذلك فليصنعوه فإني إنما ظننت ظنا فلا تؤاخذوني بالظن، ولكن إذا حدثتكم عن الله شيئا فخذوا به، فإني لن أكذب على الله عز وجل. [4]  إنما أنا بشر إذا أمرتكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأيي فإنما أنا بشر.
Artinya:
“Kalau yang demikian itu (mengawinkan kurma) bermanfaat, maka sebaiknya mereka melakukannya, karena apa yang saya sarankan dulu hanyalah berdasarkan pendapat saya maka janganlah kalian menyesalkanku karena pendapat saya. Tapi kalau sekiranya saya menyampaikan sesuatu dari Allah maka laksanakanlah karena sesungguhnya saya tidak pernah melakukan kebohongan atas nama Allah….. sesungguhnya saya adalah manusia biasa, sekiranya aku memerintahkan sesuatu untuk dilakukan maka lakukanlah dan kalau saya memerintahkan sesuatu tapi hanya berlandaskan pendapatku maka sesungguhnya aku hanya manusia biasa”.
Perlu disebutkan di sini bahwa Imam Nawawi mengelompokkan ke dalam satu bab khusus untuk hadis-hadis ini, ia memberi nama bab itu dengan “Kewajiban mengikuti apa yang disampaikan Nabi secara Syar’i dan tidak apa yang disampaikannya berdasarkan pendapatnya menyangkut masalah-masalah keduniaan. Artinya Imam Nawawi menganggap tindakan-tindakan Nabi seperti yang dikemukakan di atas adalah tindakan keduniaan bukan tindakan syari’i.[5]
D. Nabi juga menjelaskan bahwa kadang-kadang pula bertindak atas nama kemaslahatan umum yang berbasis ijtihad. Beliau melakukan hal itu berdasarkan posisinya sebagai pemimpin atau kepala negara. Misalnya, ketika beliau ingin melakukan rekonsiliasi (musalahah) dengan suku Gatfan pada peristiwa perang Khandak yang isinya mereka diminta untuk mundur dari pengepungan kota Madinah dengan kompensasi mereka mendapatkan setengah dari tanaman-tanaman yang ada di Madinah. Setelah beliau selesai menuliskan perjanjian damai, beliau kemudian megirimkan surat perjanjian itu ke Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’d bin Ubadah meminta pendapat dari keduanya. Kedua sahabat itu merespon surat itu dengan mengatakan: “ Ya Rasulullah, apakah hal ini adalah suatu perkara yang kamu suka lalu kami diminta untuk mengikutinya ataukah perintah wahyu yang harus dilaksanakan? lalu Rasul menjawab: tidak, ini hanya kebijakan saya yang menurut saya baik untuk dilaksanakan oleh kalian.[6] Dalam kasus ini sangat jelas terlihat bahwa Nabi menyatakan apa yang ingin dilakukannya yakni membuat surat perdamaian seperti di atas hanyalah kebijakannya semata demi kemaslahatan umum atau kemaslahatan umat.
E. Pada hal yang lain, Nabi menjelaskan bahwa kadang-kadang ia bertindak dalam hal pemberian keputusan hukum untuk pihak-pihak yang berperkara berdasarkan alat bukti dan keterangan yang dipahaminya, kemudian ia menyatakan bahwa tindakan itu bukanlah wahyu tapi ijtihadnya semata. Ia mengatakan :
إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض، فمن قضيت له بشيء من حق أخيه فلا يأخذه إنما أقتطع له قطعة من النار.
Artinya :
Sesungguhnya kalian mengajukan perkara kepadaku, dan mungkin saja salah seorang pihak yang berperkara pintar memberi keterangan atau hujjah dari pada pihak lain. Maka siapa yang memenangkan perkara hanya karena pintar bersilat lidah meskipun sebenarnya ia berada pada posisi yang salah sehingga ia mengambil hak saudaranya maka janganlah sekali-sekali mengambil hak saudaranya karena sesungguhnya yang ia ambil adalah api neraka.[7]
Dalam bukunya “ Syarh Ma’anil Asar” Imam al-Tahawi mengelompokkan tipologi tindakan Nabi seperti ini ke dalam bab yang ia sebut dengan “seorang hakim memutuskan perkara berdasarkan keterangan formal (zahir) tapi sesungguhnya yang benar adalah sebaliknya”.[8]
F. Nabi juga menyatakan bahwa beliau kadang-kadang menyampaikan sesuatu hanya sebatas saran dan petunjuk. Contohnya seorang sahabat yang bernama Barirah ketika ia baru saja dimerdekakan oleh keluarganya, Rasulullah kemudian menyampaikan pesan kepadanya agar ia kembali kepada suaminya. Barirah mengatakan kepada Rasulullah “Ya Rasul, apakah kamu menyuruhku (perintah agama)? Nabi kemudian mengatakan kepadanya “Tidak” saya hanya memberi saran. Barirah kemudian berkata “ Saya sudah tidak suka lagi suamiku”.[9]
Dalam kasus ini sangat jelas bahwa apa yang disampaikan Nabi kepada Barirah hanyalah sebatas saran biasa dan bukanlah perintah agama yang tidak boleh dilanggar.
G. Pada kasus yang lain, Nabi menjelaskan tipologi tindakannya yang lain yaitu bahwa ia kadang-kadang memberi kebijakan bukan kebijakan untuk dilaksanakan oleh semua sahabatnya dan bukan juga berlaku untuk orang yang datang kemudian pasca sahabat tapi hanya untuk sebagian sahabatnya saja. Seperti misalnya keringanan (dispensasi) yang diberikan kepada Abi Burdah bin Niyar yaitu ia bisa berkurban dengan anak domba. Nabi mengatakan “tidak sah dilakukan oleh selain kamu”.[10]
Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa ada banyak manfaat yang terkandung dalam hal pemberian keringanan atau pemberian hukum khusus bagi seseorang dan tidak bisa dilakukan oleh yang lain meskipun tidak memiliki alasan.[11]
Dari dalil-dalil dan beberapa argumentasi yang telah dikemukakan di atas sangat jelas terlihat sebagai bukti nyata menyangkut keberagaman tindakan-tindakan Nabi dan bahwa setiap tindakan atau perilaku Nabi memiliki konteks tertentu dan memiliki muatan hukum khusus.


[1] Telah ditakhrij sebelumnya.
[2] HR Al-Bukhari (Kitab Makanan, bab: Nabi tidak makan sesuatu sebelum diberitahu apa makanan itu), muslim (bab: kebolehn makan biawak), Nasai (binatang buruan dan binatang sembelihn bab biawak), Malik  dalam kitab Al-Muatta (bab hdist-hdist memakan biawak).
[3] Fathul Bari, jilid 9 h.582
[4] HR Muslim (Kitab Fathil Al-A'malima, bab kewajiban mentaati apa yang dikatakannya yang bersifat syar’i) Ahmad dalam kitab Al-Musnad hadist no. 1322.
[5] Syarh Nanawawi ‘Ala Sahih Muslim, jilid 15 h.116.
[6] ‘Imad Al-din, Dirasah al-Sirah, h. 214-215
[7] HR Bukhari (Al-Hay, bab sabda Rasul harta-harta kamu haram bagi kamu dan setiap penghianat memiliki bendera pada hari kiamat), Muslim (perkara pengadilan, bab keputusan hukum berdasarkan dalil yang nampak dan kepiawaian menyampaikan hujjah), Turmidzi (hukum-hukum, bab hadist-hadist yang menyangkut ancaman bagi orang yang mengambil hak-hak orang lain dalam keputusan hukum).
[8] Syarh Ma’ani Al-Asar, jilid 2 h. 287.
[9] HR Bukhari, Kitab Al-Talaq (permohonan Nabi menyangkut suami Barirah), al-Nasai (Kitab: Adab al-Qudat, bab permohonan hakim kepada pihak yang bertikai sebelum mengeluarkan keputusan perkara).
[10] HR al-Bukhari (Kitab binatang kurban, bab perkataan Nabi kepada Abu Burdah: berkurbanlah dengan anak domba).
[11] Fath al-Bari, jilid 10 h. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...