Kenyataan literatur-literatur hadis menunjukkan bahwa Nabi sendiri dalam
banyak hadis menjelaskan bahwa
tindakan-tindakannya berbeda antara satu dengan yang lain dan beliau memiliki
posisi yang berfariasi ketika ia melakukan tindakan-tindakan itu. Di antara contoh kasus
yang bisa dikemukan dalam hal ini adalah:
A. Beliau
menjelaskan bahwa di antara tindakannya ada yang berdasarkan
unsur “manusiawi” yang ada pada dirinya. Beliau misalnya mengatakan :
إنما أنا بشر أرضي كما يرضى البشر وأغضب كما يغضب البشر، فأيما
دعوت عليه من أمتي بدعوة ليس لها بأهل أن يجعلها طهورا وزكاة وقربة يقربه بها منه
يوم القيامة. [1]
Artinya :
“Sesungguhnya
saya adalah manusia biasa, saya kadang-kadang senang seperti manusia lain
senang, saya juga kadang-kadang marah seperti halnya manusia lain, maka
barangsiapa di antara kalian yang saya marahi tapi ia sendiri tidak pantas
untuk mendapatkan kemarahan itu maka hendaknya ia menjadikannya sebagai sumber
kesucian dirinya dan sebagai ketaatan yang ia akan peroleh pahalanya di hari
kiamat”. Tindakan Nabi seperti ini muncul karena tabiatnya yang dia sendiri
tidak memiliki ikhtiar di dalamnya.
B. Beliau menjelaskan
bahwa ada kalanya beliau bertindak berdasarkan kebiasaan dan habitatnya. Karena
itulah, ketika beliau ditanya tentang hukum memakan biawak, apakah haram atau
halal? Beliau menjawab “Tidak” tapi memakan biawak itu tidak ada di daerah
kaumku dan kaumku tidak biasa memakannya karena itu aku merasa tidak
menyukainya.[2]
Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan: pernyataan Nabi itu merupakan penjelasan
tegas mengenai penyebab ia tidak memakannya yaitu hanya karena faktor
kebiasaan.[3]
C. Pada momentum yang berbeda, beliau
menjelaskan bahwa sering sekali melakukan tindakan tertentu berdasarkan pada
pengalaman-pengalaman sebagai manusia biasa. Kasus yang paling sering digunakan
untuk hal ini adalah kisah tentang perkawinan buah kurma yang dilakukan oleh
para sahabat dan beliau menyarankan mereka untuk tidak melakukannya dan mereka
pun mentaati Nabi, tapi ternyata buah kurma ketika panen hasilnya tidak baik
lalu para sahabat memberitahu Nabi mengenai keburukan hasil panen kurma, ketika
beliau disampaikan tentang hal itu beliau lalu mengatakan :
إن كان
ينفعهم ذلك فليصنعوه فإني إنما ظننت ظنا فلا تؤاخذوني بالظن، ولكن إذا حدثتكم عن
الله شيئا فخذوا به، فإني لن أكذب على الله عز وجل. [4] إنما أنا بشر إذا أمرتكم فخذوا به وإذا أمرتكم
بشيء من رأيي فإنما أنا بشر.
Artinya:
“Kalau yang demikian itu (mengawinkan
kurma) bermanfaat, maka sebaiknya mereka melakukannya, karena apa yang saya
sarankan dulu hanyalah berdasarkan pendapat saya maka janganlah kalian
menyesalkanku karena pendapat saya. Tapi kalau sekiranya saya menyampaikan
sesuatu dari Allah maka laksanakanlah karena sesungguhnya saya tidak pernah
melakukan kebohongan atas nama Allah….. sesungguhnya saya adalah manusia biasa,
sekiranya aku memerintahkan sesuatu untuk dilakukan maka lakukanlah dan kalau
saya memerintahkan sesuatu tapi hanya berlandaskan pendapatku maka sesungguhnya
aku hanya manusia biasa”.
Perlu disebutkan di
sini bahwa Imam Nawawi mengelompokkan ke dalam satu bab khusus untuk
hadis-hadis ini, ia memberi nama bab itu dengan “Kewajiban mengikuti apa yang
disampaikan Nabi secara Syar’i dan tidak apa yang disampaikannya berdasarkan
pendapatnya menyangkut masalah-masalah keduniaan. Artinya Imam Nawawi
menganggap tindakan-tindakan Nabi seperti yang dikemukakan di atas adalah
tindakan keduniaan bukan tindakan syari’i.[5]
D. Nabi juga
menjelaskan bahwa kadang-kadang pula bertindak atas nama kemaslahatan umum yang
berbasis ijtihad. Beliau melakukan hal itu berdasarkan posisinya sebagai
pemimpin atau kepala negara. Misalnya, ketika beliau ingin melakukan
rekonsiliasi (musalahah) dengan suku Gatfan pada peristiwa
perang Khandak yang isinya mereka diminta untuk
mundur dari pengepungan kota Madinah dengan kompensasi mereka mendapatkan
setengah dari tanaman-tanaman yang ada di Madinah. Setelah beliau selesai
menuliskan perjanjian damai, beliau kemudian megirimkan surat perjanjian itu ke
Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’d bin Ubadah meminta pendapat dari keduanya. Kedua
sahabat itu merespon surat itu dengan mengatakan: “ Ya Rasulullah, apakah hal
ini adalah suatu perkara yang kamu suka lalu kami diminta untuk mengikutinya
ataukah perintah wahyu yang harus dilaksanakan? lalu Rasul menjawab: tidak, ini hanya
kebijakan saya yang menurut saya baik untuk dilaksanakan oleh kalian.[6] Dalam kasus ini sangat jelas terlihat bahwa Nabi menyatakan
apa yang ingin dilakukannya yakni membuat surat perdamaian seperti di atas hanyalah kebijakannya
semata demi kemaslahatan umum atau kemaslahatan umat.
E. Pada hal yang
lain, Nabi menjelaskan bahwa kadang-kadang ia bertindak dalam hal pemberian
keputusan hukum untuk pihak-pihak yang berperkara berdasarkan alat bukti dan
keterangan yang dipahaminya, kemudian ia menyatakan bahwa tindakan itu bukanlah
wahyu tapi ijtihadnya semata. Ia mengatakan :
إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض، فمن
قضيت له بشيء من حق أخيه فلا يأخذه إنما أقتطع له قطعة من النار.
Artinya :
Sesungguhnya kalian
mengajukan perkara kepadaku, dan mungkin saja salah seorang pihak yang
berperkara pintar memberi keterangan atau hujjah dari pada pihak lain. Maka
siapa yang memenangkan perkara hanya karena pintar bersilat lidah meskipun
sebenarnya ia berada pada posisi yang salah sehingga ia mengambil hak
saudaranya maka janganlah sekali-sekali mengambil hak saudaranya karena
sesungguhnya yang ia ambil adalah api neraka.[7]
Dalam bukunya “ Syarh Ma’anil Asar” Imam al-Tahawi mengelompokkan
tipologi tindakan Nabi seperti ini ke dalam bab yang ia sebut dengan “seorang
hakim memutuskan perkara berdasarkan keterangan formal (zahir) tapi
sesungguhnya yang benar adalah sebaliknya”.[8]
F. Nabi juga
menyatakan bahwa beliau kadang-kadang menyampaikan sesuatu hanya sebatas saran
dan petunjuk. Contohnya seorang sahabat yang bernama Barirah ketika ia baru
saja dimerdekakan oleh keluarganya, Rasulullah kemudian menyampaikan pesan
kepadanya agar ia kembali kepada suaminya. Barirah mengatakan kepada Rasulullah
“Ya Rasul, apakah kamu menyuruhku (perintah agama)? Nabi kemudian mengatakan
kepadanya “Tidak” saya hanya memberi saran. Barirah kemudian berkata “ Saya
sudah tidak suka lagi suamiku”.[9]
Dalam kasus ini
sangat jelas bahwa apa yang disampaikan Nabi kepada Barirah hanyalah sebatas
saran biasa dan bukanlah perintah agama yang tidak boleh dilanggar.
G. Pada kasus yang
lain, Nabi menjelaskan tipologi tindakannya yang lain yaitu bahwa ia
kadang-kadang memberi kebijakan bukan kebijakan untuk dilaksanakan oleh semua
sahabatnya dan bukan juga berlaku untuk orang yang datang kemudian pasca sahabat
tapi hanya untuk sebagian sahabatnya saja. Seperti misalnya keringanan (dispensasi)
yang diberikan kepada Abi Burdah bin Niyar yaitu ia bisa berkurban dengan anak
domba. Nabi mengatakan “tidak sah dilakukan oleh selain kamu”.[10]
Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa ada banyak manfaat yang
terkandung dalam hal pemberian keringanan atau pemberian hukum khusus bagi
seseorang dan tidak bisa dilakukan oleh yang lain meskipun tidak memiliki
alasan.[11]
Dari dalil-dalil dan beberapa argumentasi yang telah dikemukakan di atas
sangat jelas terlihat sebagai bukti nyata menyangkut keberagaman
tindakan-tindakan Nabi dan bahwa setiap tindakan atau perilaku Nabi memiliki
konteks tertentu dan memiliki muatan hukum khusus.
[1] Telah ditakhrij sebelumnya.
[2] HR Al-Bukhari (Kitab Makanan, bab: Nabi tidak makan sesuatu sebelum
diberitahu apa makanan itu), muslim (bab: kebolehn makan biawak), Nasai
(binatang buruan dan binatang sembelihn bab biawak), Malik dalam kitab Al-Muatta (bab hdist-hdist
memakan biawak).
[4] HR Muslim (Kitab Fathil Al-A'malima, bab kewajiban mentaati apa yang
dikatakannya yang bersifat syar’i) Ahmad dalam kitab Al-Musnad hadist no. 1322.
[7] HR Bukhari (Al-Hay, bab sabda Rasul harta-harta kamu haram bagi kamu dan
setiap penghianat memiliki bendera pada hari kiamat), Muslim (perkara
pengadilan, bab keputusan hukum berdasarkan dalil yang nampak dan kepiawaian
menyampaikan hujjah), Turmidzi (hukum-hukum, bab hadist-hadist yang menyangkut
ancaman bagi orang yang mengambil hak-hak orang lain dalam keputusan hukum).
[9] HR Bukhari, Kitab Al-Talaq (permohonan Nabi menyangkut suami Barirah),
al-Nasai (Kitab: Adab al-Qudat, bab permohonan hakim kepada pihak yang bertikai
sebelum mengeluarkan keputusan perkara).
[10] HR al-Bukhari (Kitab binatang kurban, bab perkataan Nabi kepada Abu Burdah:
berkurbanlah dengan anak domba).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar