Dalam bahasa Arab
kata “Sunnah” berarti tingkah laku,[1] jalan,[2] tabiat dan kebiasaan.[3] Semua makna ini mengandung arti keberlangsungan, kelestarian
dan pengulangan. Kata “Sunnah” sering sekali muncul dalam teks-teks agama
dengan arti-arti bahasa yang dimaksud di atas. Para sahabat Nabi pun sangat
mengerti kata Sunnah dengan arti-arti bahasanya. Para sahabat itu tidak
meyakini tindakan Nabi sebagaiSunnah kecuali
kalau tindakan itu mengandung
hukum kewajiban untuk mengikutinya, bahkan kadang-kadang mereka menyatakan
bahwa sebagian tindakan Nabi tidak termasuk Sunnah. Berikut ini
kita akan melihat dengan sangat jelas pernyatan-pernyataan yang tegas dari Ibnu
Abbas dan Sayyidatuna Aisyah menyangkut hal ini.
A. Dari Abi al-Tufail, ia berkata “saya mengkonfirmasi kepada
Ibnu Abbas bahwa kaummu mengatakan bahwa Nabi lari-lari kecil di Ka’bah dan
mereka mengklaim hal itu sebagai Sunnah, apa benar? Ibnu Abbas menjawab,
mereka (kaumku) benar dan bohong. Saya bertanya, apa maksudnya mereka benar dan
bohong. Ketika mereka mengatakan Nabi lari-lari kecil di Ka’bah itu benar tapi
kalau mereka mengatakan lari-lari itu adalah Sunnah itu adalah
bohong. Pada waktu perjanjian damai Hudaibiyyah, suku Quraisy berkata
biarkanlah Muhammad dan para sahabatnya mati dengan kematian yang hina. Tapi
ketika mereka membuat perjanjian damai dan mengizinkan Nabi dan Sahabat-sahabatnya
untuk datang ke Mekah tahun berikutnya. Maka ketika Nabi sampai dengan
sahabatnya di Mekah, Nabi lalu berkata kepada Sahabatnya silahkan kalian
bertawaf dan lari-lari kecil sebanyak tiga kali dan hal itu bukanlah sebuahSunnah.
Saya kembali bertanya, kaummu mengatakan Rasulullah melakukan tawaf di atas
untanya antara Safa dan Marwah dan kata mereka itu adalah Sunnah. Ibnu Abbas
berkata, mereka benar dan bohong. Saya lalu bertanya, apa maksudnya mereka
benar dan bohong? Ibnu Abbas menjawab mereka benar karena memang benar Nabi
bertawaf di atas untanya tapi kalau ia mengatakan itu termasuk Sunnah maka mereka
bohong, karena waktu itu orang-orang tidak mau meninggalkan posisi Nabi maka
beliau tawaf di atas mimbar agar orang-orang bisa mendengar kata-katanya dan
melihat posisinya agar Nabi tidak tersentuh dengan tangan-tangan mereka.[4]
Statement di atas
bisa dipahami dengan sangat jelas bahwa Ibnu Abbas memahami bahwa ada
tindakan-tindakan Nabi yang harus diikuti disebut dengan Sunnah dan ada yang
tidak harus diikuti dan tidak disebut denganSunnah meskipun tindakan itu pasti
telah dilakukan oleh Nabi.
Abu Sulaiman
al-Khattabi mengomentari pernyataan Ibnu Abbas “bukan Sunnah” bahwa itu
berarti perbuatan atau tindakan itu adalah sebuah perbuatan yang tidak disunnatkan
untuk dilakukan oleh semua umat Islam dalam arti sebagai sebuah ibadah seperti
perbuatan-perbuatanSunnah yang lain yang merupakan ibadah, tapi harus dipahami
bahwa perbuatan itu dilakukan oleh Nabi karena ada faktor-faktor tertentu.[5]
Dalam kamus Lisan
al-‘Arab, hal senada juga dikemukan oleh Ibnu Manzur. Ia mengatakan, “Termasuk
dalam hal ini hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi lari-lari
kecil waktu melakukan tawaf di Kabah tapi itu bukanSunnah artinya hal itu tidak
disunnatkan untuk dilakukan oleh semua umat Islam karena Nabi melakukannya
karena ada alasan khusus yaitu bahwa Nabi ingin memperlihatkan kekuatan jumlah
pengikut Nabi kepada orang-orang musyrik. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu
Abbas sementara ulama lain berpendapat bahwa lari-lari kecil pada waktu
melakukan tawaf qudum adalahSunnah”.[6]
B. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya bahwa Aisyah bekata,
turun di Abtah (tempat) bukanlah merupakan perbuatan Sunnah. Karena
sesungguhnya Nabi turun di tempat itu karena alasan bahwa tempat itu lebih
memberi keleluasaan untuk keluar.[7]
Dalam “Syarah
Muslim” Imam Nawawi berkomentar bahwa “turunnya Nabi di Abtah pada hari
Nafar merupakan perbedaan. Sebab Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, dan beberapa
khalifa yang lain melakukannya. Sementara Aisyah dan Ibnu Abbas tidak
melakukannya dan keduanya menyatakan bahwa tindakan Nabi itu hanya kebetulan
bukanlah sesuatu yang disengaja, dan dengan demikian maka masalah ini merupakan
perbedaan pendapat di kalangan sahabat”.[8]
Dalam Lisan
al-‘Arab juga disebutkan bahwa al-Zujaj berkata “keterangan yang ada dalam
hadis bahwa Nabi pergi ke al-Muhassab dan beliau tidaksunnatkan artinya
tidak menjadikannya Sunnah yang pengamalannya merupakan
ibadah…”[9] dan perbedaan ulama
mengenai apakah al-Muhassab merupakan ibadah atau bukan adalah perbedaan yang
sangat populer.[10]
Tapi hal yang sangat penting dan menarik di sini adalah
mencermati ungkapan Ibnu Qayyim, ia mengatakan “ulama Salaf berbeda
pendapat mengenai hal “al-Muhassab” apakah ia merupakan perbuatanSunnah atau
sekedar sesuatu yang kebetulan dilakukan oleh Nabi”.[11]
Karena
pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di atas maka sebahagian ahli hadis
dan ahli ushul memberi definisi Sunnah sebagai “apa yang telah dilakukan
oleh Nabi untuk diikuti”. Definisi Sunnah seperti ini misalnya dianut oleh
Abu Ya’la al-Farra (w.458H),[12] al-Khatib al-Bagdadi (w.463H),[13] Abu al-Walid al-Baji (w.474H), [14] dan hampir sama dengan definisi ini definisi yang diajukan
oleh Abu Bakar al-Jassas. Ia mengatakan bahwa Sunnah adalah apa
yang dilakukan atau diucapkan oleh Nabi agar umatnya mengikutinya dan selalu
mengamalkannya.[15]
Dan sesungguhnya definisi Sunnah
sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik berupa perkataan,
perbuatuan maupun ketetapan adalah definisi yang tidak populer kecuali bagi
para ahli ushul yang ada pasca abad kelima hijriyyah seperti Sadr al-Syariah
(w.747H),[16] al-Syaukani (w.1250H), [17] Abi Zahra,[18] Ali Hasaballah[19] Muhammad Amin al-Syanqiti dll.[20] Dengan demikian, para ahli usul mutaqaddimun
membatasi pengertian Sunnah dan mereka menyebutkan bahwa ada perilaku Nabi
untuk diikuti dan ada pula yan tidak untuk diikuti dan bahwa tidak semua
perilaku dan tindakan Nabi adalah “Sunnah”. Kenyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas kesadaran ulama salaf sejak
dini menyangkut keberagaman perilaku dan tindakan Nabi.
Dengan demikian,
ketegasan mengenai batasan pengertian Sunnah seperti ini melahirkan sebuah
kesimpulan bahwa tindakan atau perilaku Nabi yang dilakukannya dan mengandung
makna mubah bukanlah sebuahSunnah. Atas dasar itu, maka turunnya Nabi di Abtah
misalnya bukanlah ibadah, dan bukan juga sesuatu yang wajib dan mandub, tapi
tidak ada dosa bagi orang yang berhaji jika melakukannya. Begitu pula halnya
melakukan sai antara shafa dan marwah dalam keadaan berkendaraan, ia merupakan
perbuatan mubah dan telah dilakukan sendiri oleh Nabi. Meskipun demikian Ibnu
Abbas mengatakan hal itu bukanlah sebuah Sunnah. Karena itulah maka sebagian
besar ulama ushul tidak memasukkan dalam kategori Sunnah kecuali apa
yang diperintahkan atau yang dianjurkan. Ulama-ulama yang dimaksud termasuk di antaranya;
1.
Abu Bakar Al-Jassas: Ia mengatakan “kategori Sunnah ada tiga yaitu: wajib, fardu, dan nadb
dan hal-hal yang mubah tidak termasukSunnah. Karena kita sudah menjelaskan
bahwa yang namanya Sunnah adalah apa yang beliau ucapkan dan lakukan untuk
dikuti dan selalu dilakukan dan melakukannya mendapat pahala dan hal ini semua
tidak terdapat pada hal-hal yang mubah. [21]
2.
Al-Khatib al-Bagdadi : Ia mengatakan “Sunnah adalah apa yang dilakukan oleh Nabi untuk menjadi
panutan dan mengandung anjuran, karena ituSunnah kalau disebutkan dalam
diskursus agama maka yang dimaksud hanyalah yang diperintahkan dan dilarang
oleh Nabi dan dianjurkan untuk mengerjakannya baik yang berupa ucapan maupun
perbuatan yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an. [22]
3.
Abu Ya’la al-Farra dalam kitab “al-‘Uddatu fi Usul al-Fiqh”[23] dan Majduddin al-Fairuzabadi dalam
kitab “Basair Zawi al-Tamyiz[24] masing-masing menyebutkan definisiSunnah
dengan makna seperti yang telah dikemukakan di atas.
4. Muhammad al-Muruzi: Ia mendefinisikanSunnah dengan
mengatakan “Sunnah itu mengandung tiga kategori; Sunnah yang disepakati oleh
ulama sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan (wajib),Sunnah yang disepakati
sebagai sesuatu yang dianjurkan untuk dikerjakan (sunnah),Sunnah yang
diperselisihkan apakah ia harus dikerjakan atau hanya dianjurkan. KemudianSunnah yang harus dikerjakan bisa berbentuk amal bisa
juga berbentuk iman”. [25]
5. Ibnu Taimiyah: Ia memberi
definisiSunnah sebagai berikut; “setiap ketaatan itu adalah amal yang baik dan
setiap amal yang baik adalah ketaatan yaitu amal yang disyariatkan dan
disunnatkan dan ia merupakan perbuatan yang diperintahkan baik berupa perintah
kewajiban maupun perintah anjuran. Itu juga dapat disebut dengan amal yang
baik, itu adalah kebaikan (al-hasan) dan itulah yang disebut al-bir
dan al-khair. [26]
Dari keterangan ini
dipahami bahwa Ibnu Taimiyah mengkategorikan amal yang disunnatkan adalah amal
yang disyariatkan dan diperintahkan untuk dikerjakan baik berupa perintah wajib
maupun perintah anjuran. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan-pernyataan
Ibnu Taimiah pada beberapa kesempatan bahwa mengikuti Nabi tidak boleh kecuali
hanya pada perbuatan-perbuatannya yang disengaja untuk dilakukannya. Karena
itu, kalau ia tidak sengaja melakukan sesuatu namun hanya terjadi secara
kebetulan maka Nabi sendiri menginginkan perbuatannya itu tidak harus diikuti. [27] Dengan
demikian, maka perilaku atau tindakan yang muncul dari Nabi dengan secara
kebetulan maka hal itu harus dipahami sebagai bukanSunnah.
6. Fakhruddin al-Razi: Ia mengatakan “kata Sunnah itu tidak
hanya terbatas pada hal-hal yang mandub saja tapi ia mencakup semua perbuatan
yang diketahui wajib atau dianjurkan untuk dilakukan karena ada perintah Nabi atau
karena Nabi sendiri selalu mengerjakannya karena kataSunnah sesungguhnya
mengandung arti “keseringan” melakukan.[28]
7. Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
ia ketika mengomentari hadis Nabi yang berbunyi “Summa ‘Alimu min Al-Qur’ani
Summa ‘Alimu min al-Sunnati” mengatakan, yang dimaksud denganSunnah adalah
apa yang mereka terima dari Nabi berupa perbuatan yang wajib dikerjakan atau
perbuatan yang dianjurkan untuk dilaksanakan. [29]
8. Ulama Ushul seringkali menyebutkan bahwa sebagian dari perilaku atau tindakan Nabi
bukan merupakanSunnah. Al-Gazali misalnya mengatakan, “Sebagian ulama hadis
mengatakan bahwa menyerupai (melakukan) semua perbuatan dan perilaku Nabi
adalahSunnah, dan ini adalah pendapat yang salah” .[30]
Kata kunci yang
harus dipertegas dari semua yang telah dipaparkan di atas adalah bahwa
ternyata sahabat-sahabat Nabi sangat memahami keberagaman perilaku-perilaku Nabi
bukan hanya itu, tapi mereka kemudian mampu membedakan posisi perilaku-perilaku
itu antara satu perilaku dengan perilaku yang lain. Dan ketika ada tindakan Nabi
yang tidak dipahami statusnya oleh mereka, maka tindakan yang dimaksud segera
dipertanyakan oleh mereka statusnya, seperti yang terjadi pada kasus seorang sahabat
wanita yang bernama Barirah dan kasus rekonsiliasi Nabi dengan suku Gatfan yang
berisi pembagian tanaman-tanaman madinah yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Salah satu ulama
moderen yang menegaskan kenyataan ini adalah Muhammad Tahir Ibn ‘Asyur. Ia
mengatakan “Para Sahabat Nabi mampu membedakan antara tindakan Nabi yang
berorientasi Tasyri’i dan perilaku yang tidak demikian, dan
kalau mereka merasa tidak jelas tentang posisi atau status sebuah perilaku
tertentu dari Nabi mereka segera menanyakan statusnya” .[31]
[1] Ibnu Faris, Mu’jam Maqayyisi llugah, jilid 3 h. 61, Ibnu Manzur, Lisanul ‘Arab ( Kata
entri sunan 16 ).
[2] Al-Jauhar, Al-Shihah, jilid 5 h. 2138, Ibnu Manzur, Lisanul
‘Arab (Kata Entri Sunan).
[4] HR Abu Daud ( Kitab Manasik, bab lari-lari kecil), Muslim Kitab Hjji, bab
Anjuran lari-lari kecil pada saat tawaf dan umrah, Turmudzi kitab hajji, bab
Say antara Safa dan Marwah
[7] HR Ahmad Hadits No.10332, Bukhari Kitab Hjji bab Tentang Mahsab, Muslim
Kitab Hajji, bab Anjuran mendatangi Mahsab pada hari nafar. Menurut riwayat
Muslim pada kitab hajji bahwasanya Ibnu Umar berpendapat bahwa mendatangi
mahsab adalah sunnah dan Dia pernah shalat Dhuhur pada hari nasfar di Mahsab
hadits no. 23109. Perlu diketahui bahwa Al-Abtah disebut juga dengan Al-mahsab.
Imam Al-Syaukani mengatakan al-Mahsab adalah nama tempat yang luas antara dua
gunung lebih dekat ke Mina dari pada ke Mekkah (Nailu Al-Autar, jilid 5
h.16).
[9] Lisanul ‘Arab, jilid 13 h. 235
[10] Al-Mugni, jilid 3 h. 483, Nailul
Al-Authar, jilid 5 h.165.
[11] Zadul Ma’ad, jilid 3 h. 294.
[12] Al-Uddah fi Udzulil Fiqh, jilid
1 h.165.
[13] Al-Faqih Wal mutafaqqih, jilid 1
h. 86.
[14] Ihkamul Fusul, h.173.
[16] Al-Tankih fi Usul al-Fiqh ma‘a Syarhihi al-Taudih, jilid 2 h. 3.
[19] Usul Al-Tasyri’ al-Islami, h.
35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar