MELACAK AKAR ISU
KONTEKSTUALISASI
HADīś
DALAM TRADISI NABI & SAHABAT
Dr. H.
Hamzah Harun al-Rasyid, MA
Dr. H.
Abd. Rauf Amin, MA
KATA SAMBUTAN
Prof. Dr.
Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A.
(Dirjen Pendis Kemenag RI,
Doktor ‘Ulum al-Hadis
University of Bonn Germany)
Berinteraksi Dengan Sunnah
Nabi
Adalah konsensus umat Islam dari dulu hingga sekarang
bahwa Nabi Muhammad memiliki otoritas absolut untuk menjelaskan hakekat wahyu
yang diturunkan kepadanya. Beliau
adalah penjelas yang paling benar dan genuine terhadap isi dan kandungan
Al-Qur’an. Dialektika dan interaksi beliau dengan Al-Qur’an, aksi dan reaksi
beliau terhadap realitas mengkonstruk apa yang kemudian disebut dengan Sunnah. Sunnah
Nabi sebagai sumber otoritas agama di samping
Al-Qur’an, disepakati oleh ulama. Dalam perjalanan sejarah Islam, terdapat
sekelompok umat Islam yang tidak mengakui Sunnah
Nabi sebagai sumber otoritas, tetapi kelompok tersebut marginal dan gagal
menikmati penerimaan umat secara signifikan.
Para ulama telah mengajukan sejumlah argumen yang
mengharuskan Sunnah Nabi dijadikan sebagai sumber otoritas, diantarnya; 1)
ayat-ayat yang berbicara tentang perintah mengikuti dan mentaati Nabi sangat
banyak; 2) hadis-hadis yang memerintahkan hal yang sama bertaburan dalam kitab
koleksi hadis; 3) konsep infallibility (‘ismah) Nabi atau keterjagaan
Nabi dari melakukan kesalahan dalam menerima dan menyampaikan risalah agama; 4)
ketidak mampuan kita memahami Al-Qur’an sendiri tanpa bantuan Sunnah Nabi,
misalnya ketika Allah dalam Al-Qur’an berfirman “dirikanlah solat dan
tunaikanlah zakat”. Dari ayat ini hanya diketahui wajibnya solat, tetapi kita
tidak mendapat informasi apa hakekat salat, bagaimana cara melaksanakannya,
waktunya dan jumlahnya serta kepada siapa diwajibkan. Apa hakekat zakat? Kepada siapa diwajibkan?
Harta jenis apa yang harus dizakati, berapa qadarnya syarat wajibnya dan
lain-lain. Banyak sekali ayat yang memerlukan penjelasan Sunnah untuk bisa memahaminya. Hal ini semua
menunjukkan bahwa Sunnah
adalah sumber otoritas yang tak terhindarkan selain Al-Qur’an. Fakta-fakta ini
membawa kesepakatan atau konsensus umat menerima kehujjahan Sunnah Nabi.
Sunnah Nabi yang genuine terefleksi dalam teks-teks
hadis sahih yang terfragmentasi dalam koleksi kitab-kitab hadis. Tingkat
apresiasi umat Islam terhadap kitab koleksi hadis ini berfariasi, tetapi secara
umum kitab hadis koleksi al-Bukhari dan Muslim telah mendapat penerimaan bukan
saja secara normative tetapi secara empiris telah dijadikan “kitab suci kedua”
setelah Al-Qur’an.
Apakah Sunnah Nabi yang terbentuk oleh sinar
intelektualitas dengan dinamika interaksi sosial politik budaya abad ketujuh masehi bersifat mengikat (binding) untuk
diterapkan di abad dua
puluh satu ini sehingga harus diterapkan secara mutlak?. Kalau harus dijadikan referensi dalam
kehidupan manusia modern sekarang ini, haruskah diterapkan secara harfiah dan
mengikuti bahasa teks hadis sahih secara totalitas atau secara parsial atau
cukup secara substansif saja? Apakah Nabi maksum dalam semua sisi kehidupannya
sehingga apapun yang diucapkan dan dilakukan adalah divinely inspired?
Sejauhmana konteks sejarah dan setting sosial politik dan budaya dapat dipertimbangkan
dalam memahami teks-teks hadis yang merupakan verbalisasi Sunnah? Demikian pula, sejauhmana pentingnya
memahami ultimate goal dari terkonstruksinya sebuah Sunnah? Last but not least, sejauhmana
hadis sahih merefleksikan Sunnah
yang genuine?
Jawaban
pertanyaan di atas adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana
seharusnya Sunnah Nabi diperlakukan atau bagaimana
berinteraksi dengan Sunnah
Nabi. Pertanyaan-pertanyaan di atas
setidaknya telah melahirkan beberapa trend pemikiran, diantaranya:
Pertama, mereka
yang menerima Sunnah Nabi apa adanya. Mencoba mengamalkan
secara maksimal apa yang terdapat dalam kitab-kitab hadis terutama kutub
al-sitta atau bahkan kutub al-tis’a secara harfiah. Mengapa sebuah Sunnah tercipta? Apa tujuannya, dalam suasana
seperti apa, kepada siapa Nabi sedang berinteraksi dan lain lain tidak jarang
diabaikan atau setidaknya dianggap sekunder. Bagi mereka, teks-teks hadis sudah
jelas, memahaminya sederhana dan yang paling primer adalah mengamalkannya.
Pembacaan mereka terhadap kitab-kitab ini telah membentuk perilaku keberagamaan
yang khas. Mereka tidak hanya menjadikan hadis-hadis
sebagai sumber hukum, tetapi berusaha mencontoh secara maksimal cara-cara Nabi
hidup, seperti cara berpakaian, cara makan, cara bergaul dengan masyarakat dan
keluarganya. Menerima secara total dan mutlak semua aksi, reaksi dan interaksi
Nabi, seakan Nabi masih hidup, seakan Nabi berbicara dan merespon masalah
mereka secara langsung. Bagi mereka menerapkan Sunnah
Nabi apa adanya adalah solusi terbaik, karena Nabi telah membentuk komunitas
ideal yang belum ada tandingannya dalam sejarah kemanusiaan. Kehidupan Nabi
harus dikembalikan di era modern ini. Bagi kelompok ini, metode pembacaan
teks-teks keagamaan yang paling benar adalah metode yang telah dicontohkan oleh
Nabi dan para sahabatnya, kemudian tabiin dan tabi tabiin. Banyak argumen dan
dalil yang diajukan, di antaranya
hadis Nabi yang artinya “…sebaik baik masa adalah masaku kemudian masa
sesudahku kemudian masa berikutnya…”. Kelompok ini biasa disebut dengan
kelompok Salafiyyah.
Kedua, mereka yang kritis terhadap penerapan Sunnah Nabi. Mereka melihat Nabi bukan hanya
utusan Allah yang menyampaikan risalah ketuhanan kepada manusia. Mereka
memahami bahwa, di samping
sebagai rasul yang menerima dan menyampaikan risalah ketuhanan yang tidak
mungkin salah (maksum), Nabi juga sebagai manusia biasa, pemimpin politik,
kepala suku, kepala keluarga, pimpinan perang, suami dan lain-lain. Bagi
kelompok ini, untuk memahami substansi Sunnah
Nabi, status Nabi harus didefinisikan terlebih dahulu. Metode pembacaan Sunnah seperti ini membuat kelompok ini
memahami Sunnah Nabi secara berfariasi; ada Sunnah-sunnah
yang berlaku temporal, universal, partikular, lokal, hanya untuk orang tertentu dan lain-lain. Sunnah Nabi yang binding (mengikat)
hanyalah yang berkaitan dengan status Nabi sebagai rasul pembawa risalah.
Nabipun maksum dalam konteks ini saja. Beliau tidak mungkin salah dalam
menerima dan menyampaikan wahyu. Tetapi menyangkut urusan dan statusnya yang
lain, aksi, reaksi dan interaksi beliau tidak hanya tidak mengikat tetapi juga
bisa salah. Kelompok ini ingin menjelaskan teks-teks hadis sebagai sesuatu yang
tidak terpisah dari konteksnya. Bukan hanya itu, mereka juga mencoba mencari
makna dibalik samudera teks yang begitu luas dan dalam. Bagi mereka akar sejarah yang menopang
terbentuknya atau mapannya sebuah Sunnah
Nabi terlalu penting untuk diabaikan. Bagi kelompok ini, Sunnah Nabi sangat penting dirujuk dan
dijadikan sebagai sumber kebenaran agama, tetapi harus direvitalisasi dan
diterjemahkan dalam bahasa dan sinar intelektualitas modernitas. Bagi kelompok
ini, tidak semua Sunnah
Nabi mengikat dan diikuti secara mutlak. Ketika Nabi sebagai kepala Negara,
manusia biasa, kepala keluarga, panglima perang dan lain-lain, Nabi bisa saja
salah. Ala kulli hal, kelompok ini tetap menjadikan Sunnah sebagai sumber otoritas agama, tetapi
dengan pembacaan kritis dan proporsional. Embrio jenis pembacaan seperti ini
sudah ada sejak masa pembentukan pemikiran hukum Islam sampai hari ini. Tulisan-tulisan yang anda
sedang baca dalam Buku ini adalah salah satu contohnya.
Ketiga, mereka
yang menganggap bahwa Sunnah
Nabi adalah contoh dari sebuah model pembacaan teks yang ideal. Nabi telah
menunjukkan cara terbaik memahami sekaligus membumikan dan mengamalkan
pesan-pesan ketuhanan yang terkonstruk dalam Sunnahnya
dan terekam dalam hadis-hadis sahihnya. Sunnah
tersebut paling valid untuk masanya, masa di mana
Al-Qur’an diturunkan. Tetapi, contoh tersebut bukan satu-satunya dan terakhir. Contoh tersebut ideal untuk zamannya,
tidak harus selamanya ideal sampai hari kiamat. Oleh karena itu, tidak ada
keharusan secara mutlak mengikutinya di era modern ini, karena Sunnah tersebut memiliki konteks sejarahnya
sendiri. Kelompok ini menghargai Nabi dan Sahabatnya sebagai penafsir, tetapi
tafsirnya tidak harus diadopsi secara mutlak karena tafsir atau pemahaman
tersebut sesuai dengan pandangan dunia mereka saat itu. Takaran untuk menerima
atau menolaknya adalah modernitas dan kontemporerinitas. Teks-teks agama
termasuk hadis adalah sebuah organisme yang hidup dan dinamis, dan untuk
memahaminya harus di bawah
sinar intelektual kekinian agar teks-teks tersebut tidak menjadi rigid dan
rapuh. Metode pembacaan teks seperti ini dipelopori oleh Syahrur dalam beberapa
karya monumentalnya dan diamini oleh beberapa penstudi Islam liberal.
Keempat, mereka
yang mempersoalkan otentisitas hadis sebagai representasi genuine dari Sunnah. Kelompok ini terbagi-bagi mulai dari
yang sangat skeptis menolak sama sekali eksistensi Sunnah yang genuine, sampai yang non skeptis
mengakui kemungkinan mengkonstruksi Sunnah
Nabi dari serpihan-serpihan literature yang ada, tetapi menafikan reliabilitas
(keterpercayaan) metode ulumul hadis sebagai metode yang bisa menyajikan informasi
yang otentik tentang Nabi. Bagi yang ekstrim dari kelompok ini berpendapat
bahwa tidak ada Sunnah
Nabi yang dapat direngkuh dari literature yang tersedia. Yang ada adalah
konstruksi tradisi generasi setelah Nabi. Mungkin generasi Sahabat, Tabiin atau
setelahnya, tetapi secara umum pada paroh kedua abad kedua atau ketiga hijriah.
Bagi yang non skeptic mengakui kemungkinan adanya Sunnah
Nabi dari serpihan-serpihan informasi yang fragmented dari kitab-kitab koleksi
hadis, tetapi harus direkonstruksi kembali karena metode ulumul hadis memiliki
kelemahan epistimologis yang sangat mendasar. Kelompok ini diwakili oleh
orientalis.
Tulisan-tulisan terutama tulisan Professor Dr Sa’duddin
Usman yang merupakan tulisan utama dalam buku ini masuk dalam kategori kelompok kedua. Sebagai
sarjana usul fiqh yang banyak merujuk kepada tokoh-tokoh disiplin ilmu ini, ia
menekankan urgensi memahami baik konteks sosial, budaya, ekonomi politik saat
sebuah Sunnah terkonstruk maupun the ultimate goal
(tujuan ahir) dari sebuah Sunnah
dilakonkan, diucapkan dan ditakriri oleh Nabi. Dengan model pembacaan seperti
ini, ia berusaha memposisikan Sunnah
Nabi secara proporsional dan fair.
Salah
satu daya tarik dari tulisan Sa’duddin Usman adalah kesetiaannya merujuk kepada ulama-ulama
klasik dalam membangun argumennya serta penyajian contohnya yang jelas dan
elaboratif. Dengan kata lain, penulis buku ini dengan rendah hati mengakui
bahwa upaya kontekstualisasi hadis yang sedang dilakukannya sesungguhnya telah
dimulai oleh ulama-ulama klasik jauh sebelumnya. Berikut kutipan penulis buku
ini dari karya klasik monumental Ibn Qutayba Ta’wil Mukhtalif al-Hadith:
“Bagi kami Sunnah itu ada tiga kategori.
Kategori pertama adalah Sunnah yang disampaikan oleh Jibril dari Allah kepada Nabi
seperti hadis yang berbunyi “Seseorang tidak boleh memadu isterinya dengan bibinya (dari
ayah) dan bibinya (dari ibu)”. Kategori kedua adalah Sunnah yang diberikan kepada
Nabi otoritas untuk mensyariatkannya dan Allah menyuruhnya untuk menggunakan
pendapatnya di dalamnya, dan dengannya ia bisa memberi kemudahan (rukhsah)
kapan saja dan bagi siapa saja ia inginkan berdasarkan alasan-alasan tertentu,
seperti pengharaman Nabi terhadap pemakain sutra bagi laki-laki dan kemudahan
yang diberikannya kepada Abd Rahman bin ‘Auf karena alasan penyakit yang
dideritanya, seperti juga halnya larangan Nabi memakan dan menyimpan daging
kurban setelah tiga hari, begitu pula larangan ziarah kubur dan meminum Nabi,
kemudian setelah itu Nabi mengatakan kepada para sahabatnya “Dulu saya melarang
kalian menyimpan daging kurban setelah tiga hari tapi sekarang saya melihat
orang-orang memberi makan tamunya dan menyimpankan keluarganya yang sedang
tidak ada maka saya izinkan untuk memakan daging kurban yang dulu saya larang
dan mengizinkan pula untuk menyimpannya semau kalian. Dulu juga saya melarang
kalian dari melakukan ziarah kubur namun sekarang saya melihat ia (ziarah
kubur) melembutkan hati, bisa membuat orang meneteskan air mata, dulu juga saya melarang meminum nabiz, tapi sekarang saya
mengizinkan untuk meminumnya dan janganlah kalian meminum minuman memabukkan”.
Penulis kemudian melihat dari penjelasan Ibn Kutayba bahwa Sunnah Nabi terbagi ke dalam tiga kategori,
pertama adalah wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepadanya dan tipe Sunnah
seperti ini adalah hukum yang mengandung keharusan yang berlaku untuk semua
umat Islam. Kedua adalah Sunnah yang disyariatkan oleh Rasul berdasarkan
pendapat dan ijtihadnya dan tipe Sunnah seperti ini sangat berkaitan dengan
alasan atau kondisi yang melingkupi Sunnah itu ketika disyariatkan dan ini
hanya mengandug hukum khusus yang tidak berlaku umum. Ketiga adalah Sunnah yang
yang ditunjukkan oleh Rasul sebagai pendidikan bagi umat dalam arti sebagai
bimbingan untuk melakukan hal yang lebih baik.
Berangkat dari paradigma klasifikasi Sunnah Nabi di atas, penulis membreak down
secara lebih rinci lagi dengan contoh-contoh yang enak dikonsumsi. Tetapi,
secara metodologis upaya penulis ini bukan sesuatu yang baru. Langkah ini
adalah langkah kesekian dari langkah yang telah dimulai oleh pendahulunya terutama
dari para fuqaha atau sarjana fikhi yang memang selalu dituntut untuk
memberi respon dinamis dan hidup atas masalah umat ini.
Kelemahan buku ini adalah
tidak ditemukan analisis yang memadai tentang kesahihan sumber yang ia kutip,
tetapi ini adalah tipikal sebagian ulama usul fiqh, untuk tidak mengatakan mainstream.
Seakan akan sumber yang dikutipnya tak perlu disoal, harus diterima sebagai
sebuah kebenaran. Buku ini merupakan kontribusi penting dalam upaya
merevitalisasi dan memposisikan Sunnah dihati kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar