Yusuf al-Qaradhawi adalah salah
seorang ulama kontemporer yang sangat tekun menekankan perlunya memahami dan
mengamalkan Sunnah dengan tidak melepaskannya dari konteks sosial yang
melingkupi penuturan sebuah Hadis. Hampir di semua karya dan tulisannya kita
dapat menangkap pesan itu dengan kuat. Bahkan ia mengklaim bahwa tanpa cara itu
kita dapat dikategorikan sebagai orang yang melanggar Sunnah.
Bagi Qardawi hal ini harus menjadi
teori baku dan keyakinan seorang pembaca hadis dan tentu hal ini tidak mudah.
Karena itu perkara ini membutuhkan fiqhi yang dalam, kajian yang serius dan
studi luas atas teks-teks Sunnah Nabi dan mesti juga memerlukan pengetahuan
mendalam terhadap tujuan-tujuan Syariat Islam.
Bagi Qaradhawi hal ini tidak perlu diherankan sebab
seperti yang dimaklumi bersama bahwa ulama kita menegaskan bahwa salah satu
faktor yang dapat membantu memahami ayat-ayat al-Quran dengan benar dan tepat
ialah memahami sebab-sebab turunnya. Hal ini diperlukan untuk menghindari
jebakan yang telah menjebak kaum Khawarij
ekstrim dimana mereka menerapkan ayat-ayat kepada umat Islam, yang semestinya
berlaku untuk kaum Musyrik. Ini sangat berbahaya, karena itu merupakan bagian
dari penyelewengan al-Quran dan makna-maknanya yang sesungguhnya. Kalau
prosedur ini harus diambil dalam rangka memahami al-Quran dengan benar maka
apatah lagi bila terkait dengan cara memahami hadis; memahami Asbāb Wurūd al-Hadis adalah sebuah kemestian
yang tidak bisa ditawar. Sebab Sunnah lebih rumit dari al-Quran. Hadis lebih banyak memberi solusi atas
persoalan-persoalan terkait dengan zaman dan tempat tertentu dan memiliki
spesifikasi-spesifikasi dan detail yang tidak dimiliki oleh al-Quran.
Karena itu pembaca Sunnah harus
super hati-hati. Ia harus meyakini kategorisasi Sunnah dan mendeteksinya
berdasarkan metodologi yang sudah dibangun oleh ulama. Ia harus sadar diantara
hadis-hadis itu ada yang bersifat umum untuk semua orang dan ada juga hanya
bersifat khusus untuk kalangan tertentu. Ada Sunnah yang bersifat Universal
untuk segala zaman dan ada yang bersifat temporal saja. Dan ini semua dapat
diketahui melalui pendekatan kontekstual terhadap Sunnah Nabi.
Beberapa
Contoh Sunnah Kontekstual
Dalam karyanya yang cukup monumental
“ Kaifa Nata‘āmal Ma ‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah ( Bagaimana cara tepat
memperlakukan Sunnah)”, Qaradhawi mengemukakan beberapa contoh hadis yang mesti
dibaca secara kontekstual dan karena cara ini tidak dilakukan banyak orang
kemudian keliru dalam memahami dan menerapkannya.
Sebenarnya dalam karyanya itu
Qaradhawi tidak hanya menyebut pendekatan kontekstual sebagai satu-satunya cara
tepat memahami hadis atau Sunnah tapi ia mengemukakan delapan kode etik yang
harus diperhatikan oleh pembaca hadis yakni pertama, Memahami Sunnah di Bawah
cahaya al-Quran. Kedua, Membaca Sunnah secara tematik. Ketiga, Mengkompromikan
atau mentarjih Hadis-hadis yang berbeda/bertolak belakang. Keempat, Membedakan
antara hukum yang bersifat instrument (Wasīlah) dan hukum yang bersifat Universal dalam sebuah Hadis.
Kelima, Membedakan antara makna Hakiki dan makna Majazi dalam sebuah Hadis.
Keenam, Memverifikasi cakupan-cakupan lafadz sebuah Hadis. Ketuju, Membedakan
antara alam gaib dan alam Syahadat. Kedelapan, Membaca Hadis berdasarkan
konteksnya.
- Hadis “ Kalian lebih tahu mengenai urusan duniamu”.
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم :
"أنتم أعلم بأمر دنياكم"
Memahami hadis ini dengan
melepaskannya dari konteksnya memicu kesalah pahaman yang luar biasa. Sebab
dengan memahami secara tekstual maka tidak sedikit orang yang menggunakan hadis
itu untuk melepaskan diri dari berbagai hukum dan aturan Islam yang mengatur
bidang ekonomi, perdagangan dan politik dengan asumsi bahwa perkara-perkara
yang demikian adalah domain keduniaan dan tidak ada hubungannya dengan agama
dan wilayah itu adalah wilayah kita karena kita yang lebih mengetahuinya dan
untuk mengaturnya Nabi telah menyerahkannya kepada manusia berdasarkan Hadis
Nabi tadi.
Berdasarkan pengetahun mendalam
terhadap al-Quran siapa pun tidak mungkin memahami hadis di atas secara membabi
buta seperti tadi. Sebab betapa banyak ayat al-Quran yang berbicara mengenai aturan-aturan
hukum terkait jual beli, perusahaan, sewa menyewa dan pinjaman dan lain lain
untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia. Bahkan ayat paling panjang
dalam al-Quran terkait urusan dunia yakni hukum mendokumentasi pinjam meminjam.
Seperti yang sudah dikemukakan
sebelumnya, hadis ini dapat dipahami dengan benar dengan melihat konteksnya.
Konteks penuturan Hadis ini adalah kasus pengawinan kurma jantan dan betina
yang dilakukan oleh sahabat di Madinah. Nabi yang kebetulan bukan ahli pertanian
karena tidak berasal dari komunitas pertanian memberi himbauan berdasarkan
pendapat pribadinya yang boleh jadi salah, agar para sahabat tidak
melakukannya. Ironisnya Sahabat memahami himbauan itu sebagai wahyu atau ada
hubungannya dengan agama, lalu mereka mengabaikan atau meninggalkan pengawinan
kurma dan itu berpengaruh buruk terhadap hasil tanaman. Karena Nabi diberitahu
mengenai buruknya panen lalu Nabi mengeluarkan statemennya yang cukup populer “
sesungguhnya dulu itu saya hanya menyangka itu benar, karena itu janganlah
menyalahkanku karena sangkaanku.....namun apabila saya menyampaikan
kepadamu perkara yang sumbernya dari Allah maka kamu harus menerimanya, karena
saya tidak mungkin berbohong atas nama Allah. lalu mengatakan “ Kalianlah
yang lebih mengetahui urusan duniamu”.
Inilah konteks dimana hadis tadi disampaikan. Dengan sangat mudah dapat
dipahami bahwa urusan dunia yang dimaksudkan adalah urusan yang sama sekali
tidak ada keterangan wahyu mengenainya dan bukan persoalan agama yang diatur
oleh syariat.
- Hadis “ Perempuan tidak boleh bepergian tanpa mahram”
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "لا تسافر
امرأة إلا ومعها محرم"
Hadis ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim (Muttafaq
‘Alaih). Hadis ini tidak boleh dipahami secara serampangan berdasarkan
zahirnya, sebab Hadis ini memiliki konteksnya sendiri.
Alasan yang melatar belakangi pelarangan
perjalanan sendirian bagi perempuan adalah kekhawatiran atas dirinya bila
bepergian tanpa suami dan mahram di zaman dimana perjalanan dilakukan dengan
menggunakan unta di padang pasir yang sunyi dari perkampungan dan sepi dari
bangunan-bangunan. Dalam perjalanan seperti ini kalau musibah tidak mengenai
dirinya pasti akan mengenai kehormatannya.
Zaman sekarang dapat dikatakan bahwa alasan
diatas sudah tidak relevan. Sebab perjalanan zaman moderen rata-rata
menggunakan pesawat yang mengangkut ratusan penumpang ataukah kereta api yang
penumpangnya bisa mencapai ribuan. Dengan demikian, tidak ada lagi kekhawatiran
atas perempuan apabila melakukan perjalanan sendirian dan karena itu secara
agama tidak ada halangan baginya untuk melakukannya. Dan ini tentu tidak bisa
dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum agama yang dikandung Hadis Nabi
tadi. Bahkan dalam riwayat lain Nabi memberi indikasi bahwa satu saat umat Islam
akan mengalami rasa aman yang sangat luar biasa sehingga seorang perempuan dari
Hira (daerah dekat Kufah) akan menunaikan ibadah haji sendirian tidak ada yang
dia takuti kecuali Allah, (HR Bukhari dari ‘Uday bin Hātim).
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka tidak
mengherankan jika ada diantara fuqaha yang membolehkan seorang perempuan
menunaikan ibadah haji tanpa mahram dan suami, kalau ia bersama dengan
perempuan-perempuan yang saleh dan jujur atau bersama dengan rombongan yang
aman. Karena itu, kita menemukan sejarah menuturkan seperti yang disebutkan
dalam kitab Shahih al-Bukhāri bahwa Aisyah ra beserta isteri-isteri Nabi yang lain
menunaikan haji di zaman Umar hanya ditemani oleh Utsman bin ‘Affan dan Abd
Rahman bin ‘Auf. Bahkan sebahagian fuqaha mengatakan bahwa cukup ditemani oleh
seorang perempuan yang saleh dan jujur, sementara yang lain mengatakan bahwa ia
bisa berpergian sendirian apabila perjalanan yang akan ditempuhnya aman, ini
adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam al-Syairāzi, seorang pembesar ulama
fikih Syafii. Perbedaan ulama yang dimaksud diatas hanya berlaku pada
perjalanan Haji dan Umrah. Namun sebagian ulama Syafiiyyah memberlakukan
kebolehan perempuan bepergian sendirian di semua bentuk perjalanan.
Hal penting yang perlu juga diketengahkan disini terkait
perlunya membaca Hadis berdasarkan konteksnya ialah keharusan menggali hukum
dari sebuah Hadis dan mengaitkan hukum itu dengan tradisi atau kebiasaan yang
berlaku di zaman itu. Dengan kata lain, seorang pembaca Hadis harus mendeteksi
atau memferifikasi lebih awal apakah hukum yang dikandung Hadis yang sedang
dibacanya adalah hukum universal tidak terkait dengan tradisi yang berlaku di
zaman Nabi. Apa bila teks Hadis itu dibangun diatas tradisi saat itu maka,
apabila tradisi sekarang berbeda dengan tradisi zaman Nabi maka kandungan hukum
Hadis itu mesti juga berubah.
- Dua Ukuran Nishāb untuk zakat uang
Salah satu contoh kasus bagi hukum teks
Hadis yang sangat terkait dengan tradisi ialah ketentuan dari Nabi mengenai dua
nishab bagi zakat uang. Pertama, 200 dirham (595 gr) untuk zakat perak
(Fidhdhah) dan 20 Mitsqāl atau dinar (85 gr) untuk zakat emas. Perlu diingat
bahwa tukaran 1 dinar di zaman Nabi sama dengan 10 dirham.
Dengan metode kontekstual kita ingin
menegaskan bahwa sesungguhnya Nabi tidak bermaksud menentukan dua kadar Nisab
yang berbeda bagi zakat uang tapi Nabi hanya menentukan satu nishab saja namun
beliau memberi taksiran Nisab itu dengan dua mata uang karena keduanya
digunakan di zamannya, maka dengan itu beliau memberi taksiran berdasarkan
tradisi itu. Maka jadilah beliau menentukan nisab dengan dua mata uang yang
sama persis.
Berdasarkan hal itu maka apabila di
zaman sekarang kondisi persamaan nilai tukar kedua mata uang itu berubah
sehingga nilai perak jatuh drastis maka kita tidak boleh menentukan nishab
dengan dua mata uang yang sangat jauh berbeda nilainya. Misalnya, kita tidak
boleh mengatakan bahwa nisab zakat uang ditaksir dengan senilai 85 gram emas
atau 595 gram perak sementara nilai satu gram emas lebih dari sepuluh kali
lipat dari nilai satu gram perak. Karena itu sangat tidak masuk akal kita
misalnya mengatakan kepada si fulan yang memiliki uang rupiah yang banyak: Kamu
adalah orang kaya bila ditaksir kekayaanmu dengan nilai perak, pada saat yang
sama kita mengatakan kepada si fulan lainnya yang memiliki uang rupiah yang
banyak: Kamu adalah miskin bila ditaksir kekayaanmu dengan nilai emas.
Maka solusi hukum yang terbaik
berdasarkan pendekatan pembacaan kontekstual terhadap Sunnah Nabi ialah
menentukan nisab zakat uang dengan satu standar yang akan menjadi ukuran
kekayaaan seseorang yang wajib zakat yakni hanya standar emas. Pendapat ini
mendapat dukungan dari banyak kalangan fuqaha kontemporer termasuk Yusuf
al-Qaradawi, Syekh Muhammad Abu Zahrah, Syekh Abdul Wahab Khallaf dan
lain-lain.
Sekali lagi harus ditegaskan bahwa
memahami Hadis Nabi dengan menggunakan pendekatan kontekstual dalam kasus ini
bukanlah sebuah pelanggaran terhadap Hadis tetapi justeru sebaliknya bahwa
ketentuan Hadis mengenai kasus ini sangat terkait dengan tradisi di zaman Nabi
dan ketentuan hukum yang berdasarkan tradisi harus berubah apabila tradisi itu
sudah tidak berlaku lagi pada saat ia mau diterapkan.
Pentingnya memikirkan dan
mempertimbangkan konteks sebuah hadis berbanding lurus dengan bahayanya
mengabaikan konteks sebuah sunnah Nabi. Namun sangat disayangkan bahwa
pendekatan tekstual yang memahami hadis secara rigid dan harfiah, tdk berusaha
mencari tujuan dan alasan atau tradisi yang melatar belakangi sebuah tindakan
dan sabda Nabi masih eksis di era kontemporer ini dan diadopsi oleh sebuah
kelompok atau sebuah gerakan Islam, bahkan Yusuf al-Qaradhawi tidak ragu
menyebutnya sebagai kelompok al-Dzāhiriyya al-Judud-Neo-Dzāhiriyyah. Berikut uraian
produk-produk pemahaman hukum berbahaya kelompok ini;
- Pengguguran Uang Kertas dari kewajiban Zakat.
Kelompok ini berpandangan bahwa
uang-uang kertas yang digunakan oleh negara-negara dunia saat ini termasuk
negara-negara muslim tidak dapat dipandang sebagai mata uang yang diakui oleh
agama seperti yang dimaksud dalam al-Quran dan Hadis. Konsekwensinya uang-uang
kertas itu tidak dikenakan kewajiban zakat, tidak pula berlaku hukum riba
padanya karena mata uang yang legal dalam pandangan Islam ialah hanya emas dan
perak saja.
Logika yang aneh bin ajaib yang kita
dengarkan dari kelompok ini, misalnya, bahwa meskipun seseorang memiliki jutaan
rupiah, dollar atau ringgit misalnya namun ia tetap tidak diwajibkan
mengeluarkan zakat setiap tahun dari uang-uang itu kecuali jika ia mau berbaik
hati untuk mengeluarkannya. Bukan hanya itu, bahkan bagi mereka, anda boleh
saja memberikan pinjaman seseorang atau lembaga keuangan tertentu seperti bank
dari uang-uang itu dan anda boleh saja menerima bunga dari pinjaman itu berapa
saja hanya karena alasannya sederhana yakni uang-uang kertas itu bukanlah
termasuk kategori harta atau barang yang bisa berlaku riba (Amwāl Ribawiyyah).
Padahal kalau mereka mau meluangkan
waktunya untuk sedikit berpikir, maka mereka akan menemukan kerancuan dalam
sistem berpikir mereka. Kenapa tidak, uang-uang kertas itu mereka pakai untuk
membeli barang, mereka menggunakannya untuk memberi upah kepada orang, mereka
pakai untuk bayar mahar, terima gaji dan insentif dan harga-harga komiditi.
Uang-uang itu juga yang mereka sangat lindungi dari pencurian dan perampokan
sehingga mereka menyimpan dan mengamankannya di bank-bank, dan mereka juga
mempertaruhkan nyawanya jika ada orang yang ingin merampasnya dari mereka.
Uang-uang itu juga mereka jadikan patokan kekayaaan dan kemiskinan seseorang.
Semua undang-undang di dunia menghukum dengan hukuman yang berat bagi siapa
saja yang mencuri uang-uang kertas itu.
- Pengguguran Komoditi dagang dari Kewajiban Zakat
Pandangan
fikih yang sangat aneh yang dihasilkan oleh pendekatan tekstual dan mengabaikan
peran konteks sosial ialah pandangan hukum kelompok Islam kontemporer yang
membebaskan barang-barang dagangan dari kewajiban zakat. Salah seorang tokoh
Islam kontemporer yang berpendapat demikian ialah Syekh Nashiruddin al-Albani.
Sebelum dia, sesungguhnya pandangan ini sudah dianut oleh kalangan
al-Zahiriyyah, Syiah Imamiyyah, Ibnu Hazm, dan al-Syaukani. Pandangan semacam
ini, kata Qaradhawi, adalah pandangan yang jelas-jelas menyalahi tujuan umum
Syariat Islam, melanggar keumuman al-Quran dan al-Sunnah, dan bertentangan
dengan keyakinan mayoritas Ulama Islam.
Dalam
memperkuat argumennya, logika yang cukup mengerikan yang digunakan oleh Syekh
al-Albani, kata Qaradhawi ialah bahwa berdasarkan hukum dasar dalam Islam”
seseorang terbebas dari kewajiban apa pun dalam hal keuangan dan harta
kekayaan, meskipun ia memiliki jutaan uang, dan harta –harta orang kaya sangat
dihormati dan terperlihara tidak bisa diganggu-ganggu. Karena itu, kematian dan
kelaparan orang-orang miskin dan orang lemah tidak dapat menggeser prinsip itu
kecuali apabila orang-orang kaya itu sendiri yang tergerak hatinya dan ingin
berbuat baik kepada mereka. Yang sangat memilukan karena pandangan ini selalu
menggiring umat Islam bahwa itu adalah petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Situasi
yang menyedihkan ini kemudian mengantarkan Qaradhawi menegaskan bahwa
kadang-kadang memang Islam sangat dirugikan oleh penganutnya yang baik lebih
dari kerugian yang diperolehnya dari musuh-musuhnya yang jahat.
Syekh
Qaradhawi bisa saja memaklumi Imam al-Syaukani karena telah berpandangan
demikian, karena boleh jadi kondisi zamannya tidak terlalu kuat memberinya
pengaruh terhadap pandangannya tetapi dia sama sekali tidak dapat memaklumi dan
memahami al-Albani ketika berpandangan demikian bahkan ia sama sekali tidak
percaya kalau ia berpandangan demikian, namun ia sangat terkejut dan kaget
ketika dia membaca langsung pendapatnya itu dalam karyanya “Tamām al-minnah
fi al-Ta ‘līq ‘alā Fiqh al-Sunnah”.
- Keharusan Mengeluarkan Zakat Fitrah dari Makanan/Tidak Sah Dengan Nilai Uang.
Pandangan
lain yang sangat aneh dari kelompok tekstual-neo zahiriyyah-ialah sikapnya yang
sangat keras mengenai kemestian mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan
dan bukan dalam bentuk uang. Bahkan mereka mengatakan bahwa mengeluarkan zakat
fitrah dalam bentuk uang bukan makanan adalah tidak sah dan harus menggantinya
dengan makanan kalau ia menginginkan zakatnya diterima.
Sikap
mereka ini sangat aneh dan lucu. Sebab isu ini adalah termasuk isu yang
diperselisihkan oleh ulama dan para pakar hukum Islam. Teori baku dalam hukum
Islam ialah isu khilafiyyah tidak boleh dipersoalkan dan bersikap intoleran.
Kalau
kita mencermati realitas sejarah, maka kita dapat melihat fleksibilitas yang
nyata dalam ibadah zakat. Misalnya, pada masa Nabi zakat fitrah didistribusikan
setelah salat subuh dan sebelum salat idul fitri dilaksanakan. Ini beralasan
sebab pada masa itu masyarakat cukup saling mengenal antara satu dengan yang
lain karena jumlahnya tidak terlalu banyak. Orang-orang lemah yang memerlukan
bantuan pun dengan mudah dapat dikenali. Dengan demikian antara salat subuh dan
salat id adalah sangat cukup untuk menyalurkan zakat fitrah untuk orang fakir
miskin. Karena itu hampir tidak ada masalah mengenai waktu distribusi zakat
fitrah.
Namun di
zaman sahabat komunitas muslim bertambah banyak dan penduduk pun bertambah, dan
rumah-rumah penduduk berjauhan sehingga waktu antara salat subuh dan salat id
sudah tidak cukup untuk penyaluran zakat fitrah. Karena itulah Fiqhi yang
diterapkan sahabat ialah mereka memberikan zakat fitrahnya satu atau dua hari
sebelum salah id.
Kondisi
ini pun berubah pada zaman setelahnya, zaman dimana para ulama dan para pakar
hukum Islam hidup. Di zaman ini masyarakat muslim semakin luas dan kompleks.
Realitas baru yang dihadapi oleh ulama di zaman ini menghendaki terjadinya
perubahan fiqhi. Ulama fikih dari kalangan Hanābilah membolehkan menunaikan
zakat pada pertengahan bulan ramadhan sementara ulama fiqhi al-Syāfi ‘iyyah
membolehkannya bahkan pada awal ramadhan. Tidak hanya sebatas ini, bahkan
mereka mewajibkan zakat tidak hanya terbatas pada makanan-makanan yang
disebutkan oleh Sunnah Nabi tapi mereka mewajibkannya pada semua yang menjadi
makanan pokok pada sebuah daerah atau wilayah.
Dalam
rangka merespon perubahan zaman, bahkan ulama fikih saat itu mengembangkan
ijtihad dengan membolehkan mengeluarkan zakat dengan uang apalagi bila zakat
dengan uang lebih efektif dan lebih bermanfaat. Pandangan ini merupakan mazhab
Abu Hanifa dan murid-muridnya juga mazhab Umar bin Abdul Aziz. Bagi mereka,
ajaran zakat bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup fakir miskin di hari raya
dan tujuan ini disamping dapat terwujud dengan memberinya makanan juga dengan
memberinya uang. Bahkan boleh jadi uang lebih efektif dalam memenuhi keperluan
mereka terutama pada zaman sekarang. Ijtihad seperti ini merupakan upaya untuk
mewujudkan substansi/tujuan atau semangat Nash.
Argumen
paling utama yang diajukan oleh kelompok tekstualis dalam masalah ini ialah
Nabi hanya mewajibkan zakat fitrah dari beberapa jenis makanan pokok tertentu
yakni kurma, anggur kering (zabib), gandum (qamh) dan Sya ‘īr( sejenis gandum).
Kata mereka, karena hanya ini yang disebut maka kita harus komitmen dengan apa
yang ditentukan oleh Nabi dan tidak boleh menyalahinya dengan menggunakan akal
bebas.
Sesungguhnya
bila isu ini direnungkan dengan cermat maka ternyata pandangan ini menyalahi
substansi Hadis Nabi meskipun sudah mengikutinya secara formal. Pendekatan
kontekstual menemukan bahwa rahasia dibalik penyebutan beberapa jenis makanan
yang wajib zakat fitrah karena Nabi sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan
zaman itu. Atas dasar perhatiannya itu, maka Nabi mewajibkan zakat dari jenis
makanan yang banyak dimiliki masyarakat. Sehingga jenis makanan itu mudah
didapatkan oleh muzakki dan bermanfaat bagi penerima. Mata uang saat itu memang
sudah ada tapi sangat langka terutama bagi masyarakat pedalaman sementara
makanan-makanan pokok yang disebut dalam hadis berlimpah dan fakir miskin
sangat memerlukannya. Melihat realitas itu Nabi mewajibkan zakat dari
jenis-jenis makanan itu.
Berdasarkan
hal itu, maka ketika kondisinya sudah berubah dimana mata uang berlimpah dan
justru bahan makanan pokok langka dan bahkan fakir miskin tidak terlalu
membutuhkan makanan tapi lebih memerlukan uang untuk dirinya dan keluarganya
maka berzakat dengan uang jauh lebih mudah bagi muzakki dan lebih bermanfaat
bagi fakir miskin.
- Haramnya Berfoto.
Kelompok
tekstual juga bersikeras mengharamkan foto yang banyak dikenal dan dilakukan
oleh masyarakat moderen sekarang. Bahkan kemajuan teknologi sudah sampai pada kemampuan
memotret manusia dalam kondisi bergerak dan berbicara seperti yang bisa
disaksikan pada siaran televisi.
Sejak
fenomena itu muncul dalam kehidupan kontemporer sejak itu pula ulama memberi
pandangan mereka mengenai status hukumnya antara menghalalkannya dan
mengharamkannya. Mayoritas ulama kontemporer membolehkannya. Syekh Bikhyit
al-Muthī‘i mufti Mesir saat itu termasuk yang membolehkannya dan mengupasnya
dalam sebuah karyanya “al-Qaul al-Kāfī fī Ibāhat al-Tashwīr” dengan
menegaskan bahwa alasan hukum (illat) pengharaman bagi perbuatan memotret
“al-Tashwīr” yang disebutkan oleh banyak hadis dan melaknat para pemotret itu
ialah tidak lain melainkan karena “ Mereka berusaha menyerupai ciptaan Allah “.
Pandangannya itu dikaitkan dengan hadis Nabi riwayat Aisyah “ Sesungguhnya orang
yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang
menandingi/menyerupai ciptaan Allah. Dengan demikian hadis itu sesungguhnya
hanya bisa diterapkan kepada para pembuat patung bukan pada photographer. Sebab
photograpy itu tidak mengandung sifat menyerupai ciptaan Allah tetapi tidak
lebih dari memindahkan ciptaan Allah dalam sebuah kertas sama persis dengan
menampakkan diri depan cermin.
Disamping
itu, kalau kita perhatikan tingkatan ancaman (laknat dan siksaan paling sadis)
yang disebutkan dalam hadis sangat tidak seimbang dengan perbuatan “Photograpy”
karena ia tidak mengandung adanya kemudaratan besar baik pada diri sendiri
maupun orang lain. Karena itulah mesti ada usaha untuk memberi interpretasi
lain bagi hadis itu misalnya dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ialah
membuat patung atau sejenisnya yang digunakan untuk penyembahan selain Allah.
Yang
tidak kalah mengherankan ialah mereka mengharamkan menonton televisi dan
memasukkannya dalam rumah bukan karena tv itu menayangkan tayangan-tayangan
yang haram seperti tari dan nyanyian yang disertai penampakan aurat tapi hanya
karena tv itu mengandung unsur photo
(Taswīr) yang disebutkan dalam Sunnah meskipun misalnya tv menayangkan
tayangan-tayangan yang tidak ada keraguan mengenai kehalalan atau kebolehannya.
Kaitannya
dengan ini, Syekh al-Qaradhawi memiliki kisah yang cukup menarik dan sedikit
aneh. Ia mengisahkan bahwa suatu ketika dalam sebuah konfrensi internasional
tentang dakwah dan Dai yang diselenggarakan oleh Universitas Madinah para kru
televisi pemerintah datang ke lokasi untuk meliput jalannya seminar yang
dihadiri ratusan ulama dari berbagai penjuru dunia. Namun sayang karena mereka
dilarang oleh wakil rektor universitas Madinah dengan alasan peliputan oleh tv
adalah sebuah kemungkaran yang tidak pantas terjadi dalam kampus universitas
Islam sekaliber universitas Madinah. Padahal mayoritas ulama yang hadir pada
saat itu memboleh peliputan itu dan menganggapnya tidak menimbulkan masalah
apapun dalam pandangan Islam.
Bibliography
Qaradhawi,
Yusuf. Kaifa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Kairo: Dār al-Syurūq,
2002
Qaradhawi,
Yusuf. Dirāsah fī Fiqh al-Maqāsid: Bain al-Maqāsid al-Kulliyyah wa
al-Nushūs al-Juz’iyyah, Kairo: Dār al-Syurūq,
2008.
Imarah, Muhammad dkk, al-Sunnah
al-Tasyrī ‘iyyah wa Gair al-Tasyrī ‘iyyah, Kairo: Nahdat Misr, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar