Jumat, 08 Januari 2016

QARADHAWI DAN SIGNIFIKANSI KONTEKS DALAM MEMAHAMI SUNNAH

            Yusuf al-Qaradhawi adalah salah seorang ulama kontemporer yang sangat tekun menekankan perlunya memahami dan mengamalkan Sunnah dengan tidak melepaskannya dari konteks sosial yang melingkupi penuturan sebuah Hadis. Hampir di semua karya dan tulisannya kita dapat menangkap pesan itu dengan kuat. Bahkan ia mengklaim bahwa tanpa cara itu kita dapat dikategorikan sebagai orang yang melanggar Sunnah.
           
Dalam pandangan Qaradhawi, memahami Sunnah dengan mempertimbangkan tujuan (Maqasid), konteks (Mulābasāt) dan faktor-faktor (Asbāb) yang membidani lahirnya Sunnah itu merupakan kode etik dan koridor  penting dalam kajian dan studi Hadis. Ia lebih lanjut mengatakan, setiap pembaca hadis harus memahami bahwa sebuah hadis mesti dicari sebab-sebab dituturkannya, illat yang terkait dengan hukum yang dikandungnya baik illat itu disebutkan dalam hadis itu, digali dari hadis itu atau dipahami dari realitas dimana hadis itu diucapkan. Dengan demikian pembaca hadis yang cerdas ia akan mendapatkan bahwa ada Sunnah Nabi yang dibangun diatas kondisi temporal tertentu untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan atau untuk mengatasi problem zaman itu saja. Konsekwensinya kadang-kadang ketika membaca sebuah Sunnah tampak bahwa ia mengandung hukum bersifat umum tetapi setelah dicermati dan diteliti ternyata kandungan hukumnya sangat terkait dengan sebuah illat dan ia akan tidak berlaku ketika kehilangan illatnya begitupun sebaliknya.
            Bagi Qardawi hal ini harus menjadi teori baku dan keyakinan seorang pembaca hadis dan tentu hal ini tidak mudah. Karena itu perkara ini membutuhkan fiqhi yang dalam, kajian yang serius dan studi luas atas teks-teks Sunnah Nabi dan mesti juga memerlukan pengetahuan mendalam terhadap tujuan-tujuan Syariat Islam.
            Bagi Qaradhawi hal ini tidak perlu diherankan sebab seperti yang dimaklumi bersama bahwa ulama kita menegaskan bahwa salah satu faktor yang dapat membantu memahami ayat-ayat al-Quran dengan benar dan tepat ialah memahami sebab-sebab turunnya. Hal ini diperlukan untuk menghindari jebakan yang telah menjebak kaum Khawarij ekstrim dimana mereka menerapkan ayat-ayat kepada umat Islam, yang semestinya berlaku untuk kaum Musyrik. Ini sangat berbahaya, karena itu merupakan bagian dari penyelewengan al-Quran dan makna-maknanya yang sesungguhnya. Kalau prosedur ini harus diambil dalam rangka memahami al-Quran dengan benar maka apatah lagi bila terkait dengan cara memahami hadis; memahami Asbāb Wurūd al-Hadis adalah sebuah kemestian yang tidak bisa ditawar. Sebab Sunnah lebih rumit dari al-Quran. Hadis lebih banyak memberi solusi atas persoalan-persoalan terkait dengan zaman dan tempat tertentu dan memiliki spesifikasi-spesifikasi dan detail yang tidak dimiliki oleh al-Quran.
            Karena itu pembaca Sunnah harus super hati-hati. Ia harus meyakini kategorisasi Sunnah dan mendeteksinya berdasarkan metodologi yang sudah dibangun oleh ulama. Ia harus sadar diantara hadis-hadis itu ada yang bersifat umum untuk semua orang dan ada juga hanya bersifat khusus untuk kalangan tertentu. Ada Sunnah yang bersifat Universal untuk segala zaman dan ada yang bersifat temporal saja. Dan ini semua dapat diketahui melalui pendekatan kontekstual terhadap Sunnah Nabi.

Beberapa Contoh Sunnah Kontekstual
            Dalam karyanya yang cukup monumental “ Kaifa Nata‘āmal Ma ‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah ( Bagaimana cara tepat memperlakukan Sunnah)”, Qaradhawi mengemukakan beberapa contoh hadis yang mesti dibaca secara kontekstual dan karena cara ini tidak dilakukan banyak orang kemudian keliru dalam memahami dan menerapkannya.
            Sebenarnya dalam karyanya itu Qaradhawi tidak hanya menyebut pendekatan kontekstual sebagai satu-satunya cara tepat memahami hadis atau Sunnah tapi ia mengemukakan delapan kode etik yang harus diperhatikan oleh pembaca hadis yakni pertama, Memahami Sunnah di Bawah cahaya al-Quran. Kedua, Membaca Sunnah secara tematik. Ketiga, Mengkompromikan atau mentarjih Hadis-hadis yang berbeda/bertolak belakang. Keempat, Membedakan antara hukum yang bersifat instrument (Wasīlah) dan hukum yang bersifat Universal dalam sebuah Hadis. Kelima, Membedakan antara makna Hakiki dan makna Majazi dalam sebuah Hadis. Keenam, Memverifikasi cakupan-cakupan lafadz sebuah Hadis. Ketuju, Membedakan antara alam gaib dan alam Syahadat. Kedelapan, Membaca Hadis berdasarkan konteksnya.

  1. Hadis “ Kalian lebih tahu mengenai urusan duniamu”.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "أنتم أعلم بأمر دنياكم"
            Memahami hadis ini dengan melepaskannya dari konteksnya memicu kesalah pahaman yang luar biasa. Sebab dengan memahami secara tekstual maka tidak sedikit orang yang menggunakan hadis itu untuk melepaskan diri dari berbagai hukum dan aturan Islam yang mengatur bidang ekonomi, perdagangan dan politik dengan asumsi bahwa perkara-perkara yang demikian adalah domain keduniaan dan tidak ada hubungannya dengan agama dan wilayah itu adalah wilayah kita karena kita yang lebih mengetahuinya dan untuk mengaturnya Nabi telah menyerahkannya kepada manusia berdasarkan Hadis Nabi tadi.
            Berdasarkan pengetahun mendalam terhadap al-Quran siapa pun tidak mungkin memahami hadis di atas secara membabi buta seperti tadi. Sebab betapa banyak ayat al-Quran yang berbicara mengenai aturan-aturan hukum terkait jual beli, perusahaan, sewa menyewa dan pinjaman dan lain lain untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia. Bahkan ayat paling panjang dalam al-Quran terkait urusan dunia yakni hukum mendokumentasi pinjam meminjam.
            Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, hadis ini dapat dipahami dengan benar dengan melihat konteksnya. Konteks penuturan Hadis ini adalah kasus pengawinan kurma jantan dan betina yang dilakukan oleh sahabat di Madinah. Nabi yang kebetulan bukan ahli pertanian karena tidak berasal dari komunitas pertanian memberi himbauan berdasarkan pendapat pribadinya yang boleh jadi salah, agar para sahabat tidak melakukannya. Ironisnya Sahabat memahami himbauan itu sebagai wahyu atau ada hubungannya dengan agama, lalu mereka mengabaikan atau meninggalkan pengawinan kurma dan itu berpengaruh buruk terhadap hasil tanaman. Karena Nabi diberitahu mengenai buruknya panen lalu Nabi mengeluarkan statemennya yang cukup populer “ sesungguhnya dulu itu saya hanya menyangka itu benar, karena itu janganlah menyalahkanku karena sangkaanku.....namun apabila saya menyampaikan kepadamu perkara yang sumbernya dari Allah maka kamu harus menerimanya, karena saya tidak mungkin berbohong atas nama Allah. lalu mengatakan “ Kalianlah yang lebih mengetahui urusan duniamu”.  Inilah konteks dimana hadis tadi disampaikan. Dengan sangat mudah dapat dipahami bahwa urusan dunia yang dimaksudkan adalah urusan yang sama sekali tidak ada keterangan wahyu mengenainya dan bukan persoalan agama yang diatur oleh syariat.

  1. Hadis “ Perempuan tidak boleh bepergian tanpa mahram
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "لا تسافر امرأة إلا ومعها محرم"
                        Hadis ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘Alaih). Hadis ini tidak boleh dipahami secara serampangan berdasarkan zahirnya, sebab Hadis ini memiliki konteksnya sendiri.
                        Alasan yang melatar belakangi pelarangan perjalanan sendirian bagi perempuan adalah kekhawatiran atas dirinya bila bepergian tanpa suami dan mahram di zaman dimana perjalanan dilakukan dengan menggunakan unta di padang pasir yang sunyi dari perkampungan dan sepi dari bangunan-bangunan. Dalam perjalanan seperti ini kalau musibah tidak mengenai dirinya pasti akan mengenai kehormatannya.
                        Zaman sekarang dapat dikatakan bahwa alasan diatas sudah tidak relevan. Sebab perjalanan zaman moderen rata-rata menggunakan pesawat yang mengangkut ratusan penumpang ataukah kereta api yang penumpangnya bisa mencapai ribuan. Dengan demikian, tidak ada lagi kekhawatiran atas perempuan apabila melakukan perjalanan sendirian dan karena itu secara agama tidak ada halangan baginya untuk melakukannya. Dan ini tentu tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum agama yang dikandung Hadis Nabi tadi. Bahkan dalam riwayat lain Nabi memberi indikasi bahwa satu saat umat Islam akan mengalami rasa aman yang sangat luar biasa sehingga seorang perempuan dari Hira (daerah dekat Kufah) akan menunaikan ibadah haji sendirian tidak ada yang dia takuti kecuali Allah, (HR Bukhari dari ‘Uday bin Hātim).
                        Berdasarkan pertimbangan diatas, maka tidak mengherankan jika ada diantara fuqaha yang membolehkan seorang perempuan menunaikan ibadah haji tanpa mahram dan suami, kalau ia bersama dengan perempuan-perempuan yang saleh dan jujur atau bersama dengan rombongan yang aman. Karena itu, kita menemukan sejarah menuturkan seperti yang disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhāri bahwa Aisyah ra beserta isteri-isteri Nabi yang lain menunaikan haji di zaman Umar hanya ditemani oleh Utsman bin ‘Affan dan Abd Rahman bin ‘Auf. Bahkan sebahagian fuqaha mengatakan bahwa cukup ditemani oleh seorang perempuan yang saleh dan jujur, sementara yang lain mengatakan bahwa ia bisa berpergian sendirian apabila perjalanan yang akan ditempuhnya aman, ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam al-Syairāzi, seorang pembesar ulama fikih Syafii. Perbedaan ulama yang dimaksud diatas hanya berlaku pada perjalanan Haji dan Umrah. Namun sebagian ulama Syafiiyyah memberlakukan kebolehan perempuan bepergian sendirian di semua bentuk perjalanan.
Hal penting yang perlu juga diketengahkan disini terkait perlunya membaca Hadis berdasarkan konteksnya ialah keharusan menggali hukum dari sebuah Hadis dan mengaitkan hukum itu dengan tradisi atau kebiasaan yang berlaku di zaman itu. Dengan kata lain, seorang pembaca Hadis harus mendeteksi atau memferifikasi lebih awal apakah hukum yang dikandung Hadis yang sedang dibacanya adalah hukum universal tidak terkait dengan tradisi yang berlaku di zaman Nabi. Apa bila teks Hadis itu dibangun diatas tradisi saat itu maka, apabila tradisi sekarang berbeda dengan tradisi zaman Nabi maka kandungan hukum Hadis itu mesti juga berubah.
  1. Dua Ukuran Nishāb untuk zakat uang
            Salah satu contoh kasus bagi hukum teks Hadis yang sangat terkait dengan tradisi ialah ketentuan dari Nabi mengenai dua nishab bagi zakat uang. Pertama, 200 dirham (595 gr) untuk zakat perak (Fidhdhah) dan 20 Mitsqāl atau dinar (85 gr) untuk zakat emas. Perlu diingat bahwa tukaran 1 dinar di zaman Nabi sama dengan 10 dirham.
            Dengan metode kontekstual kita ingin menegaskan bahwa sesungguhnya Nabi tidak bermaksud menentukan dua kadar Nisab yang berbeda bagi zakat uang tapi Nabi hanya menentukan satu nishab saja namun beliau memberi taksiran Nisab itu dengan dua mata uang karena keduanya digunakan di zamannya, maka dengan itu beliau memberi taksiran berdasarkan tradisi itu. Maka jadilah beliau menentukan nisab dengan dua mata uang yang sama persis.
            Berdasarkan hal itu maka apabila di zaman sekarang kondisi persamaan nilai tukar kedua mata uang itu berubah sehingga nilai perak jatuh drastis maka kita tidak boleh menentukan nishab dengan dua mata uang yang sangat jauh berbeda nilainya. Misalnya, kita tidak boleh mengatakan bahwa nisab zakat uang ditaksir dengan senilai 85 gram emas atau 595 gram perak sementara nilai satu gram emas lebih dari sepuluh kali lipat dari nilai satu gram perak. Karena itu sangat tidak masuk akal kita misalnya mengatakan kepada si fulan yang memiliki uang rupiah yang banyak: Kamu adalah orang kaya bila ditaksir kekayaanmu dengan nilai perak, pada saat yang sama kita mengatakan kepada si fulan lainnya yang memiliki uang rupiah yang banyak: Kamu adalah miskin bila ditaksir kekayaanmu dengan nilai emas.
            Maka solusi hukum yang terbaik berdasarkan pendekatan pembacaan kontekstual terhadap Sunnah Nabi ialah menentukan nisab zakat uang dengan satu standar yang akan menjadi ukuran kekayaaan seseorang yang wajib zakat yakni hanya standar emas. Pendapat ini mendapat dukungan dari banyak kalangan fuqaha kontemporer termasuk Yusuf al-Qaradawi, Syekh Muhammad Abu Zahrah, Syekh Abdul Wahab Khallaf dan lain-lain.
            Sekali lagi harus ditegaskan bahwa memahami Hadis Nabi dengan menggunakan pendekatan kontekstual dalam kasus ini bukanlah sebuah pelanggaran terhadap Hadis tetapi justeru sebaliknya bahwa ketentuan Hadis mengenai kasus ini sangat terkait dengan tradisi di zaman Nabi dan ketentuan hukum yang berdasarkan tradisi harus berubah apabila tradisi itu sudah tidak berlaku lagi pada saat ia mau diterapkan.
            Pentingnya memikirkan dan mempertimbangkan konteks sebuah hadis berbanding lurus dengan bahayanya mengabaikan konteks sebuah sunnah Nabi. Namun sangat disayangkan bahwa pendekatan tekstual yang memahami hadis secara rigid dan harfiah, tdk berusaha mencari tujuan dan alasan atau tradisi yang melatar belakangi sebuah tindakan dan sabda Nabi masih eksis di era kontemporer ini dan diadopsi oleh sebuah kelompok atau sebuah gerakan Islam, bahkan Yusuf al-Qaradhawi tidak ragu menyebutnya sebagai kelompok al-Dzāhiriyya al-Judud-Neo-Dzāhiriyyah. Berikut uraian produk-produk pemahaman hukum berbahaya kelompok ini;
  1. Pengguguran Uang Kertas dari kewajiban Zakat.
            Kelompok ini berpandangan bahwa uang-uang kertas yang digunakan oleh negara-negara dunia saat ini termasuk negara-negara muslim tidak dapat dipandang sebagai mata uang yang diakui oleh agama seperti yang dimaksud dalam al-Quran dan Hadis. Konsekwensinya uang-uang kertas itu tidak dikenakan kewajiban zakat, tidak pula berlaku hukum riba padanya karena mata uang yang legal dalam pandangan Islam ialah hanya emas dan perak saja.
            Logika yang aneh bin ajaib yang kita dengarkan dari kelompok ini, misalnya, bahwa meskipun seseorang memiliki jutaan rupiah, dollar atau ringgit misalnya namun ia tetap tidak diwajibkan mengeluarkan zakat setiap tahun dari uang-uang itu kecuali jika ia mau berbaik hati untuk mengeluarkannya. Bukan hanya itu, bahkan bagi mereka, anda boleh saja memberikan pinjaman seseorang atau lembaga keuangan tertentu seperti bank dari uang-uang itu dan anda boleh saja menerima bunga dari pinjaman itu berapa saja hanya karena alasannya sederhana yakni uang-uang kertas itu bukanlah termasuk kategori harta atau barang yang bisa berlaku riba (Amwāl Ribawiyyah).
            Padahal kalau mereka mau meluangkan waktunya untuk sedikit berpikir, maka mereka akan menemukan kerancuan dalam sistem berpikir mereka. Kenapa tidak, uang-uang kertas itu mereka pakai untuk membeli barang, mereka menggunakannya untuk memberi upah kepada orang, mereka pakai untuk bayar mahar, terima gaji dan insentif dan harga-harga komiditi. Uang-uang itu juga yang mereka sangat lindungi dari pencurian dan perampokan sehingga mereka menyimpan dan mengamankannya di bank-bank, dan mereka juga mempertaruhkan nyawanya jika ada orang yang ingin merampasnya dari mereka. Uang-uang itu juga mereka jadikan patokan kekayaaan dan kemiskinan seseorang. Semua undang-undang di dunia menghukum dengan hukuman yang berat bagi siapa saja yang mencuri uang-uang kertas itu.  
  1. Pengguguran Komoditi dagang dari Kewajiban Zakat
Pandangan fikih yang sangat aneh yang dihasilkan oleh pendekatan tekstual dan mengabaikan peran konteks sosial ialah pandangan hukum kelompok Islam kontemporer yang membebaskan barang-barang dagangan dari kewajiban zakat. Salah seorang tokoh Islam kontemporer yang berpendapat demikian ialah Syekh Nashiruddin al-Albani. Sebelum dia, sesungguhnya pandangan ini sudah dianut oleh kalangan al-Zahiriyyah, Syiah Imamiyyah, Ibnu Hazm, dan al-Syaukani. Pandangan semacam ini, kata Qaradhawi, adalah pandangan yang jelas-jelas menyalahi tujuan umum Syariat Islam, melanggar keumuman al-Quran dan al-Sunnah, dan bertentangan dengan keyakinan mayoritas Ulama Islam.
Dalam memperkuat argumennya, logika yang cukup mengerikan yang digunakan oleh Syekh al-Albani, kata Qaradhawi ialah bahwa berdasarkan hukum dasar dalam Islam” seseorang terbebas dari kewajiban apa pun dalam hal keuangan dan harta kekayaan, meskipun ia memiliki jutaan uang, dan harta –harta orang kaya sangat dihormati dan terperlihara tidak bisa diganggu-ganggu. Karena itu, kematian dan kelaparan orang-orang miskin dan orang lemah tidak dapat menggeser prinsip itu kecuali apabila orang-orang kaya itu sendiri yang tergerak hatinya dan ingin berbuat baik kepada mereka. Yang sangat memilukan karena pandangan ini selalu menggiring umat Islam bahwa itu adalah petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Situasi yang menyedihkan ini kemudian mengantarkan Qaradhawi menegaskan bahwa kadang-kadang memang Islam sangat dirugikan oleh penganutnya yang baik lebih dari kerugian yang diperolehnya dari musuh-musuhnya yang jahat.
Syekh Qaradhawi bisa saja memaklumi Imam al-Syaukani karena telah berpandangan demikian, karena boleh jadi kondisi zamannya tidak terlalu kuat memberinya pengaruh terhadap pandangannya tetapi dia sama sekali tidak dapat memaklumi dan memahami al-Albani ketika berpandangan demikian bahkan ia sama sekali tidak percaya kalau ia berpandangan demikian, namun ia sangat terkejut dan kaget ketika dia membaca langsung pendapatnya itu dalam karyanya “Tamām al-minnah fi al-Ta ‘līq ‘alā Fiqh al-Sunnah”.  
  1. Keharusan Mengeluarkan Zakat Fitrah dari Makanan/Tidak Sah Dengan Nilai Uang.
Pandangan lain yang sangat aneh dari kelompok tekstual-neo zahiriyyah-ialah sikapnya yang sangat keras mengenai kemestian mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan dan bukan dalam bentuk uang. Bahkan mereka mengatakan bahwa mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang bukan makanan adalah tidak sah dan harus menggantinya dengan makanan kalau ia menginginkan zakatnya diterima.
Sikap mereka ini sangat aneh dan lucu. Sebab isu ini adalah termasuk isu yang diperselisihkan oleh ulama dan para pakar hukum Islam. Teori baku dalam hukum Islam ialah isu khilafiyyah tidak boleh dipersoalkan dan bersikap intoleran.
Kalau kita mencermati realitas sejarah, maka kita dapat melihat fleksibilitas yang nyata dalam ibadah zakat. Misalnya, pada masa Nabi zakat fitrah didistribusikan setelah salat subuh dan sebelum salat idul fitri dilaksanakan. Ini beralasan sebab pada masa itu masyarakat cukup saling mengenal antara satu dengan yang lain karena jumlahnya tidak terlalu banyak. Orang-orang lemah yang memerlukan bantuan pun dengan mudah dapat dikenali. Dengan demikian antara salat subuh dan salat id adalah sangat cukup untuk menyalurkan zakat fitrah untuk orang fakir miskin. Karena itu hampir tidak ada masalah mengenai waktu distribusi zakat fitrah.
Namun di zaman sahabat komunitas muslim bertambah banyak dan penduduk pun bertambah, dan rumah-rumah penduduk berjauhan sehingga waktu antara salat subuh dan salat id sudah tidak cukup untuk penyaluran zakat fitrah. Karena itulah Fiqhi yang diterapkan sahabat ialah mereka memberikan zakat fitrahnya satu atau dua hari sebelum salah id.
Kondisi ini pun berubah pada zaman setelahnya, zaman dimana para ulama dan para pakar hukum Islam hidup. Di zaman ini masyarakat muslim semakin luas dan kompleks. Realitas baru yang dihadapi oleh ulama di zaman ini menghendaki terjadinya perubahan fiqhi. Ulama fikih dari kalangan Hanābilah membolehkan menunaikan zakat pada pertengahan bulan ramadhan sementara ulama fiqhi al-Syāfi ‘iyyah membolehkannya bahkan pada awal ramadhan. Tidak hanya sebatas ini, bahkan mereka mewajibkan zakat tidak hanya terbatas pada makanan-makanan yang disebutkan oleh Sunnah Nabi tapi mereka mewajibkannya pada semua yang menjadi makanan pokok pada sebuah daerah atau wilayah.
Dalam rangka merespon perubahan zaman, bahkan ulama fikih saat itu mengembangkan ijtihad dengan membolehkan mengeluarkan zakat dengan uang apalagi bila zakat dengan uang lebih efektif dan lebih bermanfaat. Pandangan ini merupakan mazhab Abu Hanifa dan murid-muridnya juga mazhab Umar bin Abdul Aziz. Bagi mereka, ajaran zakat bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup fakir miskin di hari raya dan tujuan ini disamping dapat terwujud dengan memberinya makanan juga dengan memberinya uang. Bahkan boleh jadi uang lebih efektif dalam memenuhi keperluan mereka terutama pada zaman sekarang. Ijtihad seperti ini merupakan upaya untuk mewujudkan substansi/tujuan atau semangat Nash.
Argumen paling utama yang diajukan oleh kelompok tekstualis dalam masalah ini ialah Nabi hanya mewajibkan zakat fitrah dari beberapa jenis makanan pokok tertentu yakni kurma, anggur kering (zabib), gandum (qamh) dan Sya ‘īr( sejenis gandum). Kata mereka, karena hanya ini yang disebut maka kita harus komitmen dengan apa yang ditentukan oleh Nabi dan tidak boleh menyalahinya dengan menggunakan akal bebas.
Sesungguhnya bila isu ini direnungkan dengan cermat maka ternyata pandangan ini menyalahi substansi Hadis Nabi meskipun sudah mengikutinya secara formal. Pendekatan kontekstual menemukan bahwa rahasia dibalik penyebutan beberapa jenis makanan yang wajib zakat fitrah karena Nabi sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan zaman itu. Atas dasar perhatiannya itu, maka Nabi mewajibkan zakat dari jenis makanan yang banyak dimiliki masyarakat. Sehingga jenis makanan itu mudah didapatkan oleh muzakki dan bermanfaat bagi penerima. Mata uang saat itu memang sudah ada tapi sangat langka terutama bagi masyarakat pedalaman sementara makanan-makanan pokok yang disebut dalam hadis berlimpah dan fakir miskin sangat memerlukannya. Melihat realitas itu Nabi mewajibkan zakat dari jenis-jenis makanan itu.
Berdasarkan hal itu, maka ketika kondisinya sudah berubah dimana mata uang berlimpah dan justru bahan makanan pokok langka dan bahkan fakir miskin tidak terlalu membutuhkan makanan tapi lebih memerlukan uang untuk dirinya dan keluarganya maka berzakat dengan uang jauh lebih mudah bagi muzakki dan lebih bermanfaat bagi fakir miskin.
  1. Haramnya Berfoto.
Kelompok tekstual juga bersikeras mengharamkan foto yang banyak dikenal dan dilakukan oleh masyarakat moderen sekarang. Bahkan kemajuan teknologi sudah sampai pada kemampuan memotret manusia dalam kondisi bergerak dan berbicara seperti yang bisa disaksikan pada siaran televisi.
Sejak fenomena itu muncul dalam kehidupan kontemporer sejak itu pula ulama memberi pandangan mereka mengenai status hukumnya antara menghalalkannya dan mengharamkannya. Mayoritas ulama kontemporer membolehkannya. Syekh Bikhyit al-Muthī‘i mufti Mesir saat itu termasuk yang membolehkannya dan mengupasnya dalam sebuah karyanya “al-Qaul al-Kāfī fī Ibāhat al-Tashwīr” dengan menegaskan bahwa alasan hukum (illat) pengharaman bagi perbuatan memotret “al-Tashwīr” yang disebutkan oleh banyak hadis dan melaknat para pemotret itu ialah tidak lain melainkan karena “ Mereka berusaha menyerupai ciptaan Allah “. Pandangannya itu dikaitkan dengan hadis Nabi riwayat Aisyah “ Sesungguhnya orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang menandingi/menyerupai ciptaan Allah. Dengan demikian hadis itu sesungguhnya hanya bisa diterapkan kepada para pembuat patung bukan pada photographer. Sebab photograpy itu tidak mengandung sifat menyerupai ciptaan Allah tetapi tidak lebih dari memindahkan ciptaan Allah dalam sebuah kertas sama persis dengan menampakkan diri depan cermin.
Disamping itu, kalau kita perhatikan tingkatan ancaman (laknat dan siksaan paling sadis) yang disebutkan dalam hadis sangat tidak seimbang dengan perbuatan “Photograpy” karena ia tidak mengandung adanya kemudaratan besar baik pada diri sendiri maupun orang lain. Karena itulah mesti ada usaha untuk memberi interpretasi lain bagi hadis itu misalnya dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ialah membuat patung atau sejenisnya yang digunakan untuk penyembahan selain Allah.
Yang tidak kalah mengherankan ialah mereka mengharamkan menonton televisi dan memasukkannya dalam rumah bukan karena tv itu menayangkan tayangan-tayangan yang haram seperti tari dan nyanyian yang disertai penampakan aurat tapi hanya karena tv itu mengandung unsur  photo (Taswīr) yang disebutkan dalam Sunnah meskipun misalnya tv menayangkan tayangan-tayangan yang tidak ada keraguan mengenai kehalalan atau kebolehannya.
Kaitannya dengan ini, Syekh al-Qaradhawi memiliki kisah yang cukup menarik dan sedikit aneh. Ia mengisahkan bahwa suatu ketika dalam sebuah konfrensi internasional tentang dakwah dan Dai yang diselenggarakan oleh Universitas Madinah para kru televisi pemerintah datang ke lokasi untuk meliput jalannya seminar yang dihadiri ratusan ulama dari berbagai penjuru dunia. Namun sayang karena mereka dilarang oleh wakil rektor universitas Madinah dengan alasan peliputan oleh tv adalah sebuah kemungkaran yang tidak pantas terjadi dalam kampus universitas Islam sekaliber universitas Madinah. Padahal mayoritas ulama yang hadir pada saat itu memboleh peliputan itu dan menganggapnya tidak menimbulkan masalah apapun dalam pandangan Islam.

Bibliography
Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Kairo: Dār al-Syurūq, 2002
Qaradhawi, Yusuf. Dirāsah fī Fiqh al-Maqāsid: Bain al-Maqāsid al-Kulliyyah wa al-Nushūs al-Juz’iyyah, Kairo: Dār al-Syurūq, 2008.
Imarah, Muhammad dkk, al-Sunnah al-Tasyrī ‘iyyah wa Gair al-Tasyrī ‘iyyah, Kairo: Nahdat Misr, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...