Secara
Umum Sahabat Nabi memiliki metode yang dinamis dalam memahami teks-teks agama
secara umum dan teks-teks hadis secara khusus. Dalam berinteraksi dengan
teks-teks itu Sahabat tidak jumud dan tekstual. Dapat dikatakan bahwa sikap dan
prinsip pemahaman Sahabat atas teks-teks Sunnah bukanlah hasil murni pemikiran
mereka tapi itu adalah hasil dari dinamika interaksi mereka dengan Nabi ketika
masih hidup yang kurang lebih 23 tahun. Sepanjang itu Sahabat memiliki
pengalaman dengan Nabi dalam merespon dinamika umat Islam.
Sejak
awal-awal Islam pendekatan kontekstual atas penafsiran teks-teks Sunnah dan
penerapannya sudah mulai muncul secara nyata dan menjadi ruh bagi teori
kontekstualisasi teks-teks agama pada priode kemudian. Berikut ini
contoh-contoh pemahaman kontekstual Sahabat
1.
Kasus Bani Quraizah.
Kasus
yang paling populer yang dapat dijadikan sebagai bentuk interpretasi dan
aplikasi kontekstual atas teks-teks Sunnah ialah kasus Banī Quraizah. Berikut
hadis yang menceritakan peristiwa itu yang telah membuat Sahabat Nabi berbeda
pendapat mengenainya;
عن ابن عمر – رضي الله عنهما
- قال: قال رسول الله e يوم
الأحزاب: » لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة« فأدرك بعضهم العصر في الطريق، فقال
بعضهم لا نصلي حتى نأتيها، وقال بعضهم: بل نصلي، لم يرد منا ذلك، فذكر ذلك للنبي e فلم
يعنف واحدا منهم[1].
Artinya:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda pada perang
Ahzāb, “
Jangan ada diantara kalian yang salat Ashar kecuali di Bani Quraizah. Sebagian
dari mereka mendapati masuknya salat Ashar di tengah jalan (belum sampai di
Bani Quraizah). Lalu mereka berbeda pandangan; ada yang berpandangan kita tidak
boleh salat sebelum sampai di Bani Quraizah, sementara yang lain berpandangan
kita harus salat karena Nabi tidak bermaksud demikian. Maka setelah mereka
bertemu Nabi, mereka menyampaikan kasus mereka, dan Nabi pun tidak menyalahkan
keduanya.
Berdasarkan
formalitas teks (hadis Nabi), para sahabat dilarang oleh Nabi untuk salat Ashar
di jalan dan salat Ashar harus dilaksanakan di Bani Quraidzah. Hadis itu
berbunyi “Laa Yushalliyanna Ahadukum al-Ashra Illa fi Banii Quraidzah”.
Sejarah menuturkan tidak semua sahabat mengikuti perintah Nabi itu secara
formal. Sebagian sahabat memilih salat Ashar sebelum sampai di Bani Quraidzah karena
waktu Ashar sudah hampir habis, dan khawatir habis sebelum sampai di Bani
Quraidzah. Pertanyaannya, kenapa kelompok sahabat yang dimaksud berani
menyalahi perintah Nabi? Jawabannya karena mereka menangkap substansi makna di
balik larangan itu yaitu bahwa Nabi menginginkan agar sahabat bersegera,
bercepat-cepat menuju tempat yang dituju. Harapan Nabi, kalau itu dilakukan
dapat diduga dengan kuat sahabat akan sampai di Bani Quraidzah jauh sebelum
waktu Ashar Habis. Pada titik ini kita dapat dengan mudah menemukan terapan
substansialisasi teks yang dimaksud[2].
2.
Shalat Jamaah Perempuan di Masjid.
Contoh lain yang dapat menjadi sampel bagi apresiasi terhadap
pendekatan kontekstual dalam memahami dan menerapkan pesan teks-teks Sunnah
adalah konflik yang terjadi antara Abdullah bin Umar dan anaknya Bilal[3]. Suatu
ketika Abdullah menyampaikan kepada anaknya sebuah riwayat dari Nabi mengenai perempuan
dan salat jamaah di mesjid. Kata Ibnu Umar, berdasarkan sabda Nabi (teks) perempuan tidak
boleh dilarang pergi ke mesjid. Riwayat yang dimaksud ialah sebagai
berikut;
قال رسول الله e : » لا تمنعوا إماء الله
مساجد الله ولكن لِيَخْرُجْنَ وهن تَفـِلَاتٌ « ([4]) وقال
أيضا: » لا تمنعوا
نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن « [5]
Artinya: Rasulullah bersabda: Janganlah
kalian melarang perempuan-perempuan pergi ke Masjid (untuk salat), tapi tetap
harus tidak memakai wangi wangian dan berdandanan. Dalam riwayat lain Nabi
bersabda: Janganlah kalian melarang perempuan-perempuan pergi ke mesjid dan
(salah) di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.
Ibnu Umar nampaknya ingin hadis itu diamalkan pada zaman ia
hidup meskipun di zamannya sudah terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan
berbeda dengan kondisi di zaman Nabi. Ia tidak berusaha mencoba mendialogkan
(menyesuaikan) zamannya dengan zaman Nabi. Berbeda dengan Ibnu Umar, Bilal anaknya
ternyata punya sensitifitas dengan perubahan zamannya, ia cukup mengerti dengan
realitas kehidupan zamannya.
Berangkat dari kesadarannya atas perubahan zaman yang
dihidupinya, Bilal dengan lantang mengatakan kepada bapaknya, “Hadis itu sudah
tidak relevan lagi untuk diterapkan zaman sekarang”. Kata dia, perempuan-perempuan
sekarang mesti dilarang ke Mesjid. Pernyataan yang cukup berani
itu membuat bapaknya marah. Dalam sebuah riwayat Ibnu Umar, saking marahnya,
langsung memukul wajah anaknya[6].
Sudah dapat ditebak, kemarahan Ibnu Umar karena Bilal berani menggugat teks
Nabi sebagai sumber primer. Bagi Ibnu Umar, tidak ada argumen yang dapat digunakan untuk
berhadapan sebuah
teks.
Berangkat dari penjelasan yang sudah dikemukakan sebelumnya,
maka dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar adalah bagian dari
pemahaman atau sikap yang tidak mencerminkan moderasi Islam. Penyebabnya adalah
ia tidak mencoba mengungkap realitas sosial pada saat Hadis (teks) itu
dituturkan oleh Nabi. Seperti yang sudah dikemukakan bahwa memahami teks-apakah
itu al-Quran atau pun hadis- dan melepaskan dari konteksnya adalah salah satu
faktor atau potensi sikap radikal[7].
Apa yang dituduhkan oleh Ibnu Umar terhadap anaknya yaitu
kelancangannya menggugat dan melecehkan teks ternyata tidak realistis dan
kurang beralasan. Berdasarkan riwayat, perbedaan yang terjadi antara Ibnu Umar
dan anaknya seputar masalah tadi ternyata sampai ke telinga Aisyah. Pada saat
Aisyah mengetahui perdebatan itu, Aisyah kemudian mengeluarkan pernyataan yang
cukup menarik dan sedikit mengagetkan. Aisyah mengatakan, “Andai saja
Rasulullah masih hidup dan melihat bagaimana ulah dan perilaku
perempuan-perempuan sekarang niscaya Nabi akan merubah pendapatnya dan pastilah
beliau melarang perempuan pergi ke mesjid”[8].
Berdasarkan pembelaan Aisyah bagi Bilal,
kiranya dapat dipahami sebab perbedaan antara bilal dan bapaknya mengenai
masalah ini yaitu perbedaan keduanya mengapresiasi realitas sosial dan
pengaruhnya bagi pengembangan atau perubahan hukum yang dikandung oleh sebuah
teks.
[1] HR al-Bukhari, Kitab : al-Magazi, bab: kepulangan Nabi dari Perang Ahzab
menuju Bani Quraizah, no hadis : 3893.
[2] Lihat Abd Rauf Amin, Moderasi Islam dalam Tradisi Pakar Hukum Islam (Wacana
dan Karakteristik) dalam Konstruksi Islam Moderat: Menguak
Prinsip Rasionalitas, Humanitas, dan Universalitas Islam, 2012, Makassar: Icatt
Press, h.167.
[3] Lihat Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam, Beirut: Dar
al-Nahdah al-‘Arabiyyah. Mustafa Shalabi di tahun 60-an telah menulis
sebuah disertasi di Fak. Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar dengan judul Ta’lil
al-Ahkam. Buku ini menjadi rujukan awal dan utama dalam konteks diskursus
dialektika ijtihad dan realita dan kemaslahatan.
[6] Lihat Opcit.
[7] Untuk memudahkan pemahaman bagi kasus Ibnu Umar dan anaknya, sebaiknya
kita membandingkannya dengan kasus ziarah kubur yang tadinya dilarang oleh Nabi
dan pada akhirnya diizinkan karena larangan yang terjadi sebelumnya memiliki
konteksnya tersendiri yang berbeza ketika pembolehan itu dikeluarkan oleh Nabi.
[8] Terjemahan bebas dari riwayat yang berbunyi “Law Ra’ā al-Nabiyyu Mā
Fa’alathu al- Nisāu al-Yaum Lamana’ahā
al-Masājida”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar