Terjadi kesepakatan
di kalangan ulama-ulama ushul bahwa hukum-hukum agama tidak disyariatkan dengan
sia-sia dan hampa makna. Namun hukum-hukum itu berorientasi pada terciptanya
kemaslahatan dan membidik target-target tertentu yang kemudian akan menjadi
pondasi dan filosofi ketetapan-ketetapan hukum. Perbuatan-perbuatan hukum bagi
al-Syatibi misalnya “tidaklah disyariatkan karena sendirinya tapi
karena makna
dan tujuan-tujuan yang ada dibalik perbuatan-perbuatan itu”.[1] Makna-makna itulah
yang menjadi maksud pembicara (Allah) yang harus dicari dan harus dipegangi,
sebab lafaz-lafaz sesungguhnya harus dimaknai sebagai petunjuk untuk mengetahui
maksud pembicara. Dengan demikian, apa bila maksud dan tujuan pembicara sudah
menjadi jelas dengan cara apapun ia diperoleh maka itulah yang harus diamalkan,
demikianlah ditegaskan oleh Ibn-al-Qayyim.[2]
Upaya untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan Syari (Allah/Rasul) dari
perkataannya, mengharuskan seseorang untuk mempertimbangkan konteks baik itu
berupa konteks bahasa (Siyaq lafzi) maupun konteks sosial (Siyaq Hali). Yang
dimaksud dengan konteks bahasa (sering juga disebut dengan konteks internal)
adalah mempertimbangkan segala hal yang mempunyai kaitan dengan lafaz-lafaz
yang meliputi sebuah perkataan dan strukturnya di dalam teks/Nash. Dan yang
dimaksud dengan konteks sosial adalah meliputi beberapa indikator atau petunjuk
yang berkaitan dengan faktor-faktor apa yang melatar belakangi terjadinya
tindakan Nabi dan budaya orang yang diajak bicara baik individual maupun
komunal, kondisi sosial dan semua yang berkaitan dengan hal itu yang dapat
mempengaruhi makna perkataan dan mampu membantu dalam memahami maksud dan
tujuan pembicara (Nabi).
Pakar-pakar ushul
sejak dini sudah memiliki kesadaran mendalam tentang pentingnya posisi
“Konteks” dalam memahami dan memposisikanvSunnah dengan
benar. Boleh jadi ulama ushul yang pertama kali menyadari hal itu adalah Imam
Syafii yang menamai konteks itu dengan term “Kondisi atau Situasi (al-Hal).
Berkaitan dengan hal ini Imam Syafii mengatakan:
“Rasulullah melakukan sesuatu sebagaiSunnah dan pada
kesempatan yang lain ia melakukan sesuatu yang lain yang bukan Sunnah tapi sebagian pendengarnya (perkataan Nabi) tidak memahami
perbedaan antara kedua kondisi di mana Rasul melakukan Sunnahnya” .[3]
Lebih dari itu,
Imam Syafii menegaskan bahwa kemampuan memahami konteks-konteks yang melingkupi
teks-teks Hadis Nabi merupakan bagian penting dari solusi untuk keluar dari
jebakan “Ambivalensi” teks-teks hadis antara satu dengan yang lain. Bahkan,
pada beberapa tempat dalam bukunya ikhtilaf al-hadis,[4] ia menjelaskan bahwa ketidakmampuan memahami konteks-konteks
hadis yang dimaksud akan melahirkan asumsi terjadinya ambivalensi dalam
hadis-hadis Nabi, dan dengan demikian maka pengetahuan yang cukup mengenai
konteks yang dimaksud merupakan pilar atau syarat utama untuk memperoleh
pemahaman yang benar dari Sunnah Nabi.
Pasca Imam Syafii,
ulama-ulama ushul turut berkontribusi dalam memberi penjelasan menyangkut
pentingnya konteks-konteks sosial dalam rangka memperoleh pemahaman yang benar
terhadap teks-teks agama terutama ketika mereka membahas peran konteks dalam
mentaksis lafaz-lafaz umum.[5] Kita boleh mengatakan
bahwa Imam al-Syatibi adalah salah seorang tokoh ushul yang memberi penjelasan
yang sangat jelas mengenai hubungan erat antara maksud atau tujuan Syari’
(Allah/Nabi) dengan konteks yang melingkupi teks-teks agama. Karena itulah maka
mengetahui maksud perkataan orang Arab sangat erat kaitannya dengan
mengetahui konteks yang mengiringi perkataan-perkataan yang dimaksud. Konteks-konteks
yang dimaksud adalah kondisi perkataan itu sendiri, kondisi pembicara, kondisi
pendengar dan kondisi semuanya, karena satu pernyataan atau perkataan bisa
dipahami dengan pemahaman yang berbeda karena perbedaan konteks atau kondisi
atau karena perbedaan pembicara atau pendengarnya atau selainnya.[6] Berdasarkan hal itu, maka ketika seorang pembaca teks-teks
agama tidak mengetahui sebagian atau semua konteks yang melingkupi teks yang
ingin dibacanya atau dipahaminya maka dia akan kehilangan semua makna atau
sebagian makna teks-teks yang sedang dibacanya.[7]
Dengan redaksi yang berbeda tapi memiliki penegasan yang sama, Ibn
al-Qayyim menyatakan bahwa memperoleh pengetahuan terhadap maksud syara’ masuk
dalam kategori “Fiqh” yang merupakan substansi yang lebih khusus dari pada “pemahaman”
dan orang yang tidak memahami maksud dan tujuan yang dimaksud maka ia belum
dianggap telah memahami perkataan atau pernyataan-pernyataan Nabi. [8]
Ibn-al-Qayyim lebih lanjut mengatakan bahwa salah satu bentuk pemahaman
yang benar terhadapSunnah adalah membedakan antara sanksi-sanksi atau hukuman
(‘Uqubah) yang merupakan ketentuan yang berlaku untuk semua umat Islam dan
hukuman yang berlaku berdasarkan kemaslahatan dan dengan demikian hukuman itu
mungkin saja satu saat tidak diberlakukan karena tidak ditemukan adanya
kemaslahatan yang menghendaki pemberlakuannya. Salah satu contoh yang
dikemukakan Ibn al-Qayyim adalah perintah Nabi untuk membunuh peminum miras pada
keempat kalinya, hukuman itu tidak dibatalkan oleh Nabi tapi tidak
menjadikannya sebagai hukuman yang harus diberlakukan untuk semua kondisi
karena hukuman itu diserahkan kepada kebijakan (ijtihad) pemerintah tergantung
pada kemaslahatan yang dilihatnya.[9]
Dengan demikian, maka Ibn al-Qayyim dalam masalah ini sangat jelas
memanfaatkan teori atau konsep “konteks” untuk membedakan konteks perundangan
yang berlaku untuk semua umat Islam dan konteks perundangan yang ditentukan
oleh ijtihad imam berdasarkan maslahah. Kata Ibn al-Qayyim, siapa yang tidak
mampu membedakan dua konteks ini maka ia tidak bisa memahami Sunnah dengan
benar.
Demikianlah bisa dilihat dengan jelas betapa pengetahun menyangkut dalam
konteks apa Nabi menuturkan ucapannya atau melakukan tindakannya merupakan
sebuah keharusan bagi ulama dalam rangka menangkap maksud dari sebuah hadis
tertentu atau memahami maqasid al-Syari’ah dari pernyataan-peryataan
(teks-teks) agama.
Perlu dikemukakan bahwa konteks atau posisi yang sering dilakoni oleh Nabi
ketika menuturkan hadis-hadisnya atau menyatakan tindakannya adalah konteks
atau posisi “pembuat hukum” atau Musyarri’ dan posisi “pemberi bimbingan” atau
Mursyid dengan berbagai bentuknya.
Dengan demikian,
meskipun Nabi memiliki peran atau fungsi utama adalah “Penyampai Risalah”,
namun beliau pada saat yang sama mempunyai peran lain yaitu pemimpin umat dan
pemimpin politik. Karena itulah, kadang-kadang beliau bertindak dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin politik yang tentu berbeda dengan
tindakan-tindakan beliau yang muncul dari kapasitasnya sebagai Nabi atau Rasul
atau kapasitas-kapasitas yang lain yang dimilikinya.
[5] Liht misalnya pada Al-Burhan Fi Usul Al-Fiqh karangan AL-Juwaini,
editor: Abdul ‘Azim Mahmud Al-dib, jilid
1 h. 253, dan Al-Mustasfa karangan Al-Gazali editor : Hamzah Bin Zaihir
Hafiz, jilid 3 h. 30 dan 229.
[8] ‘Ilamul Muwaqqi’in, jilid 1 h.119.
[9] Fusul Fi al-Qiyas dalam kitab Al-Qiyas Fi al-Syari’ Al-Islami karangan
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah h.130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar