Jumat, 08 Januari 2016

3. Urgensi “Konteks” Dalam Rangka Memahami Maksud Teks



Terjadi kesepakatan di kalangan ulama-ulama ushul bahwa hukum-hukum agama tidak disyariatkan dengan sia-sia dan hampa makna. Namun hukum-hukum itu berorientasi pada terciptanya kemaslahatan dan membidik target-target tertentu yang kemudian akan menjadi pondasi dan filosofi ketetapan-ketetapan hukum. Perbuatan-perbuatan hukum bagi al-Syatibi misalnya “tidaklah disyariatkan karena sendirinya tapi
karena makna dan tujuan-tujuan yang ada dibalik perbuatan-perbuatan itu”.[1]  Makna-makna itulah yang menjadi maksud pembicara (Allah) yang harus dicari dan harus dipegangi, sebab lafaz-lafaz sesungguhnya harus dimaknai sebagai petunjuk untuk mengetahui maksud pembicara. Dengan demikian, apa bila maksud dan tujuan pembicara sudah menjadi jelas dengan cara apapun ia diperoleh maka itulah yang harus diamalkan, demikianlah ditegaskan oleh Ibn-al-Qayyim.[2]
Upaya untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan Syari (Allah/Rasul) dari perkataannya, mengharuskan seseorang untuk mempertimbangkan konteks baik itu berupa konteks bahasa (Siyaq lafzi) maupun konteks sosial (Siyaq Hali). Yang dimaksud dengan konteks bahasa (sering juga disebut dengan konteks internal) adalah mempertimbangkan segala hal yang mempunyai kaitan dengan lafaz-lafaz yang meliputi sebuah perkataan dan strukturnya di dalam teks/Nash. Dan yang dimaksud dengan konteks sosial adalah meliputi beberapa indikator atau petunjuk yang berkaitan dengan faktor-faktor apa yang melatar belakangi terjadinya tindakan Nabi dan budaya orang yang diajak bicara baik individual maupun komunal, kondisi sosial dan semua yang berkaitan dengan hal itu yang dapat mempengaruhi makna perkataan dan mampu membantu dalam memahami maksud dan tujuan pembicara (Nabi).
Pakar-pakar ushul sejak dini sudah memiliki kesadaran mendalam tentang pentingnya posisi “Konteks” dalam memahami dan memposisikanvSunnah dengan benar. Boleh jadi ulama ushul yang pertama kali menyadari hal itu adalah Imam Syafii yang menamai konteks itu dengan term “Kondisi atau Situasi (al-Hal). Berkaitan dengan hal ini Imam Syafii mengatakan:
Rasulullah melakukan sesuatu sebagaiSunnah dan pada kesempatan yang lain ia melakukan sesuatu yang lain yang bukan Sunnah tapi sebagian pendengarnya (perkataan Nabi) tidak memahami perbedaan antara kedua kondisi di mana Rasul melakukan Sunnahnya” .[3]
Lebih dari itu, Imam Syafii menegaskan bahwa kemampuan memahami konteks-konteks yang melingkupi teks-teks Hadis Nabi merupakan bagian penting dari solusi untuk keluar dari jebakan “Ambivalensi” teks-teks hadis antara satu dengan yang lain. Bahkan, pada beberapa tempat dalam bukunya ikhtilaf al-hadis,[4] ia menjelaskan bahwa ketidakmampuan memahami konteks-konteks hadis yang dimaksud akan melahirkan asumsi terjadinya ambivalensi dalam hadis-hadis Nabi, dan dengan demikian maka pengetahuan yang cukup mengenai konteks yang dimaksud merupakan pilar atau syarat utama untuk memperoleh pemahaman yang benar dari Sunnah Nabi.
Pasca Imam Syafii, ulama-ulama ushul turut berkontribusi dalam memberi penjelasan menyangkut pentingnya konteks-konteks sosial dalam rangka memperoleh pemahaman yang benar terhadap teks-teks agama terutama ketika mereka membahas peran konteks dalam mentaksis lafaz-lafaz umum.[5]  Kita boleh mengatakan bahwa Imam al-Syatibi adalah salah seorang tokoh ushul yang memberi penjelasan yang sangat jelas mengenai hubungan erat antara maksud atau tujuan Syari’ (Allah/Nabi) dengan konteks yang melingkupi teks-teks agama. Karena itulah maka mengetahui maksud perkataan orang Arab sangat erat kaitannya dengan mengetahui konteks yang mengiringi perkataan-perkataan yang dimaksud. Konteks-konteks yang dimaksud adalah kondisi perkataan itu sendiri, kondisi pembicara, kondisi pendengar dan kondisi semuanya, karena satu pernyataan atau perkataan bisa dipahami dengan pemahaman yang berbeda karena perbedaan konteks atau kondisi atau karena perbedaan pembicara atau pendengarnya atau selainnya.[6] Berdasarkan hal itu, maka ketika seorang pembaca teks-teks agama tidak mengetahui sebagian atau semua konteks yang melingkupi teks yang ingin dibacanya atau dipahaminya maka dia akan kehilangan semua makna atau sebagian makna teks-teks yang sedang dibacanya.[7]
Dengan redaksi yang berbeda tapi memiliki penegasan yang sama, Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa memperoleh pengetahuan terhadap maksud syara’ masuk dalam kategori “Fiqh” yang merupakan substansi yang lebih khusus dari pada “pemahaman” dan orang yang tidak memahami maksud dan tujuan yang dimaksud maka ia belum dianggap telah memahami perkataan atau pernyataan-pernyataan Nabi. [8]
Ibn-al-Qayyim lebih lanjut mengatakan bahwa salah satu bentuk pemahaman yang benar terhadapSunnah adalah membedakan antara sanksi-sanksi atau hukuman (‘Uqubah) yang merupakan ketentuan yang berlaku untuk semua umat Islam dan hukuman yang berlaku berdasarkan kemaslahatan dan dengan demikian hukuman itu mungkin saja satu saat tidak diberlakukan karena tidak ditemukan adanya kemaslahatan yang menghendaki pemberlakuannya. Salah satu contoh yang dikemukakan Ibn al-Qayyim adalah perintah Nabi untuk membunuh peminum miras pada keempat kalinya, hukuman itu tidak dibatalkan oleh Nabi tapi tidak menjadikannya sebagai hukuman yang harus diberlakukan untuk semua kondisi karena hukuman itu diserahkan kepada kebijakan (ijtihad) pemerintah tergantung pada kemaslahatan yang dilihatnya.[9]
Dengan demikian, maka Ibn al-Qayyim dalam masalah ini sangat jelas memanfaatkan teori atau konsep “konteks” untuk membedakan konteks perundangan yang berlaku untuk semua umat Islam dan konteks perundangan yang ditentukan oleh ijtihad imam berdasarkan maslahah. Kata Ibn al-Qayyim, siapa yang tidak mampu membedakan dua konteks ini maka ia tidak bisa memahami Sunnah dengan benar.
Demikianlah bisa dilihat dengan jelas betapa pengetahun menyangkut dalam konteks apa Nabi menuturkan ucapannya atau melakukan tindakannya merupakan sebuah keharusan bagi ulama dalam rangka menangkap maksud dari sebuah hadis tertentu atau memahami maqasid al-Syari’ah dari pernyataan-peryataan (teks-teks) agama.
Perlu dikemukakan bahwa konteks atau posisi yang sering dilakoni oleh Nabi ketika menuturkan hadis-hadisnya atau menyatakan tindakannya adalah konteks atau posisi “pembuat hukum” atau Musyarri’ dan posisi “pemberi bimbingan” atau Mursyid dengan berbagai bentuknya.
Dengan demikian, meskipun Nabi memiliki peran atau fungsi utama adalah “Penyampai Risalah”, namun beliau pada saat yang sama mempunyai peran lain yaitu pemimpin umat dan pemimpin politik. Karena itulah, kadang-kadang beliau bertindak dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik yang tentu berbeda dengan tindakan-tindakan beliau yang muncul dari kapasitasnya sebagai Nabi atau Rasul atau kapasitas-kapasitas yang lain yang dimilikinya.


[1] Al-Muwafaqat, jilid 4 h. 95.
[2] ‘Ilam al-Muwaqqi’in, jilid 2 h. 218.
[3] Al-Risalah, editor Ahmad Syakir, h. 214.
[4] Dicetak diakhir kitab al-Umm.
[5] Liht misalnya pada Al-Burhan Fi Usul Al-Fiqh karangan AL-Juwaini, editor: Abdul  ‘Azim Mahmud Al-dib, jilid 1 h. 253, dan Al-Mustasfa karangan Al-Gazali editor : Hamzah Bin Zaihir Hafiz, jilid 3 h. 30 dan 229.
[6] Al-Muwafaqat fi Usul Al-Syari’ah, jilid 3 h.347
[7] Ibid.,
[8]Ilamul Muwaqqi’in, jilid 1 h.119.
[9] Fusul Fi al-Qiyas dalam kitab Al-Qiyas Fi al-Syari’ Al-Islami karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah h.130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...