Tak pelak lagi, kajian dan studi Hadis merupakan kajian
yang selalu menarik. Alasannya sangat sederhana, bahwa Hadis atau Sunnah menurut keyakinan umat Islam adalah sumber kedua agama dan keberagamaan.
Karena posisinya sebagai sumber kedua, maka tidak mengherankan, mayoritas
keberagamaan umat Islam seringkali lebih terinspirasi oleh Hadis dibanding oleh
sumber pertama, Al-Qur’an. Dengan demikian, Sunnah memiliki posisi yang sangat
sentral bagi kajian-kajian dan studi-studi Islam dan banyak menyedot perhatian
banyak pihak tak terkecuali kalangan orientalis Barat.
Baik Al-Qur’an maupun Hadis masing-masing memiliki
problem yang berbeda. Karena Al-Qur’an sumber pertama ajaran-ajaran Islam, maka
ia memiliki lebih sedikit problem dibanding dengan Hadis karena posisinya
sebagai sumber kedua. Al-Qur’an, menurut keyakinan semua umat Islam diyakini
sebagai firman Allah, huruf demi huruf, kata demi kata dan lafaz demi lafaz.
Dengan demikian, problem Al-Qur’an hanya terletak pada tata cara memahami
kandungannya, tidak boleh ada perdebatan mengenai redaksi Al-Qur’an apakah
benar datangnya dari Allah atau tidak.
Berbeda halnya dengan Al-Qur’an, Hadis memiliki problem
ganda. Pertama, setiap sabda atau kata yang diklaim berasal dari Nabi, tetap
harus diverifikasi menyangkut apakah sabda atau kata itu benar adanya diucapkan
oleh Nabi atau tidak. Problem ini memicu perdebatan bagi pengstudi Hadis yang
terekam dalam kajian Hadis yang disebut dengan kajian sanad. Kajian ini
merupakan kajian sangat krusial dan di dalamnya terdapat berbagai versi
mengenai kesahihan atau otentikasi sebuah Hadis. Kedua, setiap Hadis yang sudah
dinilai sebagai ucapan yang benar adanya bersumber dari Nabi harus dipahami
sesuai apa yang diinginkan oleh penuturnya (Nabi). Pada level ini Hadis juga
tidak jarang memicu masalah, karena sebuah ucapan atau perilaku Nabi boleh jadi
menimbulkan banyak pemaknaan atau interpretasi. Standar apa yang dipakai untuk
memperoleh pemahaman yang benar dari ucapan dan perilaku Nabi?. Pertanyaan
inilah yang kemudian menghasilkan sebuah kajian khusus yang disebut dengan
kajian matan atau kajian Fiqh al-Sunnah.
Memahami Hadis Nabi dengan benar dan memperoleh makna
atau arti sebuah Hadis seperti yang dimaksudkan atau dingingkan oleh Nabi
sendiri bukanlah persoalan yang mudah. Karena ia tidak mudah, maka kita sering
sekali menyaksikan perbedaaan pemahaman atau perdebatan ulama yang pemicunya
adalah Hadis Nabi. Dan yang paling menarik, ketika kita melacak isu pemahaman
Hadis dalam lintas sejarah, ternyata salah satu fakta yang ditemukan adalah
bahwa generasi sahabat yang merupakan generasi paling dekat dengan sumber
otoritas agama (Nabi) adalah generasi yang pertama kali mengalami problem atau
isu kerumitan memahami ucapan Nabi. Dan yang paling menarik lagi Sahabat Nabi tidak jarang menolak sebuah
Hadis yang disampaikan kepadanya karena salah satu alasannya kandungan Hadis
yang didengarnya tidak sesuai dengan alur pikirannya. Aisyah dan Umar adalah
dua dari kalangan Sahabat yang sering mengalami hal ini.
Perbedaan pandangan atau sikap ulama kita dalam
mengkonstruk pemahaman atau pemaknaan Hadis sangat dipengaruhi atau dipicu oleh
isu-isu metodologis yang mengkonstruknya. Sepanjang pengetahuan saya, isu
metodologis yang paling awal mengiringi perjalanan isu pemahaman Hadis adalah
metode tekstual dan kontekstual. Meskipun kedua metode ini sama-sama eksis
dengan diperkuat dengan teori-teorinya masing-masing dalam studi Hadis
kontemporer, namun sesungguhnya ia sudah mulai terlihat dan diterapkan pada
masa awal-awal Islam. Contoh kasus yang sangat populer yang mampu membuktikan
tesis ini adalah kisah Bani Quraizah yang membelah sikap sahabat Nabi
menjadi dua, kelompok sahabat tekstual dan kontekstual.
Dalam kisah ini, berdasarkan Hadis Nabi, ketika
tentara-tentara Islam ingin menyerang komunitas Yahudi yang bernama Bani Quraizah di Madinah, Nabi
mengemukakan strategi perangnya untuk kemudian ditaati oleh para tentara Islam.
Strategi perang itu adalah Nabi menyerukan kepada mereka agar “Jangan sama
sekali ada diantara mereka yang shalat Ashar kecuali di daerah Bani Quraizah”.
Ketika mereka sudah meninggalkan Nabi menuju daerah Bani Quraizah, di tengah
jalan terjadi masalah karena waktu shalat Ashar sudah mau habis sementara mereka belum sampai di daerah Bani Quraizah.
Sebagian sahabat memahami larangan Nabi untuk tidak shalat Ashar kecuali di
Bani Quraizah secara tekstual dan dengan cara itu, mereka meninggalkan waktu
shalat Ashar berlalu dan melakukannya pada waktu lain di Bani Quraizah. Tapi
sahabat lain memahami larangan itu secara kontekstual, dan dengan demikian,
mereka melanggar ucapan Nabi dan mereka melakukan shalat Ashar sebelum sampai
di Bani Quraizah. Salah satu alasan yang mereka kemukakan ketika melanggar
Hadis Nabi adalah substansi yang ingin disampaikan oleh Nabi melalui sabdanya
tadi ialah agar tentara cepat-cepat bergerak dan bersegera dalam perjalanannya,
artinya bukanlah pelaksanaan shalat Ashar di Bani Quraizah yang menjadi
substansi. Berdasarkan riwayat, ketika mereka sudah kembali dan menyampaikan
perbedaan mereka kepada Nabi, beliau membenarkan semua kebijakan Sahabat yang
berbeda. Dari Hadis ini kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa baik
metode tekstual maupun metode kontekstual adalah dua metode yang sama-sama
benar dalam memahami Hadis.
Metode kontekstual yang sudah terlihat embrionya pada
masa awal Islam kemudian melahirkan teori-teori pendukung sebagai upaya yang berkelanjutan
dalam memelihara metode kontekstual sebagai Grand Method.
Teori pendukung metode kontekstual yang menarik adalah
teori pemahaman Hadis yang selalu mempertanyakan validitas makna atau kandungan
sebuah Hadis. Teori ini kemudian dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan
seperti berikut; apakah semua perintah atau larangan Nabi merupakan
perpanjangan tangan dari wahyu? Kalau jawabannya ya, maka pertanyaan
selanjutnya yang relevan untuk diajukan adalah apakah perintah atau larangan
itu merupakan pesan wahyu yang berlaku secara universal, harus dieksekusi oleh
semua tanpa melihat tempat, waktu dan kondisi atau berlaku secara temporal,
berlaku untuk waktu, zaman dan kondisi tertentu? Teori temporalitas dan
universalitas dalam memahami Hadis kemudian membidani lahirnya teori
kesejarahan atau historical metode yang selalu berupaya mencari sisi
kesejarahan dari sebuah teks Hadis.
Terlepas dari perdebatan yang telah dan sedang
berlangsung mengenai validitas teori kesejarahan terutama dalam memahami Hadis
ini, tampaknya kita masih sangat memerlukan adanya upaya-upaya rekonstruksi
metodologi bagi teori kesejarahan yang tentu sedikit banyaknya masih menyisakan
masalah. Teori Historical Methode yang dipaksakan tanpa merumuskan
terlebih dahulu koridor dan kode etik yang akan mengawalnya dari penyimpangan
hanya akan menjadi bagian krusial dari proses pemahaman hadis alih-alih menjadi
Problem Solver bagi upaya untuk mengaktualisasikan Hadis Nabi dengan
cara yang benar dan tepat.
Kiranya pondasi metodologi yang mesti menjadi starting point kita dalam
isu kontekstualisasi Hadis ialah perlunya seorang pembaca Hadis membangun
kesadaran mendalam mengenai karakter manusiawi yang melekat pada diri Nabi dan
karakter itu-menurut pengakuan Nabi sendiri-sering mengambil peran pada saat Nabi
bertutur dan berbuat (berperilaku) yang kemudian disebut dengan Hadis atau Sunnah.
Karena itulah, kita dapat mengatakan bahwa spirit yang semestinya selalu hadir dalam
gagasan-gagasan kontekstualisasi Hadis
ialah penekanan pada perlunya mempertanyakan atau memverifikasi lebih
dahulu posisi Nabi ketika seorang pembacanya (Hadis) ingin mengkonstruk sebuah
pemahaman darinya.
Ternyata ucapan atau perbuatan Nabi (red: tindakan) tidak
selamanya keluar dari diri Nabi sebagai seorang rasul, tapi Nabi sendiri
mengaku bahwa tindakan-tindakannya banyak yang lahir dari dirinya sebagai
seorang penguasa, hakim, mufti dan manusia biasa. Setiap posisi Nabi memiliki
muatan hukum yang berbeda. Konsekuensinya, bilamana sebuah perbuatan Nabi lahir
dari seorang Nabi penguasa, maka sudah pasti tindakan itu merupakan kebijakan
yang bisa direvisi sebagaimana halnya setiap keputusan seorang penguasa yang
lain yang kebijakan-kebijakannya menerima kritikan dan perubahan baik dari
dirinya sendiri maupun penguasa yang berkuasa setelahnya. Demikianlah
semestinya kita memberi perlakuan terhadap perilaku-perilaku Nabi yang lain
yang tidak mencerminkan pesan ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar