Dari
kenyatan ijtihad para sahabat ditemukan bahwa masa sahabat adalah zaman yang
hidup dan sarat dengan ijtihad karena banyaknya kasus-kasus baru yang terjadi
sama sekali tidak terjadi sebelumnya. Salah satu cara yang mereka tempuh untuk
menyelesaikan masalah-masalah baru adalah melakukan upaya Ta’lil yakni
usaha yang serius untuk mendeteksi atau menangkap apa alasan hukum yang
disebutkan oleh Nabi tanpa menyebutkan alasannya atau dengan menyebut alasannya
tapi alasan hukum itu memiliki masalah-masalah teknis.
Ada beberapa metode Sahabat dalam menangani masalah
pengembangan hukum-hukum dalam al-Sunnah,
diantaranya sebagai berikut[1]:
1). Nash
mengemukakan Hukum-Hukum tanpa menyebutkan alasan/illat hukumnya, lalu sahabat
menetapkan illat atau alasan bagi Nash itu berdasarkan upaya ijtihad mereka,
kemudian mereka menetapkan hukum baru berdasar illat yang mereka tetapkan untuk
hukum Nash tadi. Contoh kasus bagi
metode ini sebagai
berikut;
A.
Rasulullah Saw bersabda:
لا تقطع الأيدي في السفر، في
رواية أخرى : لا تقطع الأيدي في الغزو
Artinya:
“ Hendaknya tidak ada potong
tangan pada saat terjadi perjalanan (safar)”. Riwayat lain berbunyi “Hendaknya
tidak ada potong tangan disaat perang”.
Dua
riwayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Nabi menetapkan sebuah hukum tanpa
ada alasannya, sehingga muncul pertanyaan “ kenapa tidak boleh menerapkan had
pada saat perang?. Itu yang tidak dijelaskan oleh Nabi. Pertanyaan kedua, apa
respon sahabat di hadapan hukum tanpa ada illat dalam kasus ini? Apakah mereka berpangku
tangan dan meyakini Nash ini adalah Ta’abbudi yakni tidak dapat dirasionalkan?.
Hasil
penelitian Muhammad Mustafa Syalabi menunjukkan bahwa salah seorang sahabat
Nabi yang bernama Zaid bin Tsabit melakukan rasionalisasi pada Nash ini.
Statemen Zaid bin Tsabit adalah
لا تقام الحدود في دار الحرب
مخافة أن يلحق أهلها بالعدو
Artinya:
“Sanksi-Sanksi (hukuman)
Had tidak
boleh diterapkan di daerah perang karena khawatir orang yang dikenai sanksi had
dan tentara lain akan bergabung kepada barisan musuh”.
Selain Zaid, Umar juga
ditemukan melakukan rasionalisasi pada Nash ini. Umar mengatakan:
ألا لا يجلدن أمير جيش أو سرية
أحدا الحد حتى يطلع على الدرب لئلا يحمله الشيطان أن يلحق بالكفار.
Artinya:
“Ketahuilah, jangan sama
sekali ada panglima perang atau komandan batalion yang meng-had tentara yang
berperang sebelum meninggalkan daerah lawan karena di khawatirkan akan
dipengaruhi hatinya oleh syetan untuk bergabung ke barisan lawan/musuh.
Abu Yusuf mengemukakan data
menarik dari Alqamah. Alqamah bercerita sebagai berikut:
“Kami ikut perang bersama
Huzaifah di daerah roma dan tentara Islam di bawah pimpinan panglima seorang
Quraisy. Panglima kami meminum khamar dan kami mau menjatuhinya hukuman had, tapi
tiba-tiba Huzaifah berkata “Kenapa kalian mau menjatuhinya had sementara kita
sedang mendekat dengan musuh, khawatir itu akan menyemengati lawan untuk
menyerang kita”.
Sumber yang
sama dari Alqamah mengatakan:
Al-Walid bin Uqbah, panglima
perang waktu itu terkena musibah karena minum khamar lalu mabuk. Orang-orang
berkata kepada Ibu Masud dan Huzaifah bin al-Yaman, “Jatuhkanlah had padanya”,
kami tidak akan menerapkan had padanya, kata Ibnu Masud dan Huzaifah, karena
kita punya posisi sudah dekat dengan musuh, kami tidak mau mereka tahu sehingga
mereka berani untuk menyerang kita”.
Ada beberapa hal yang dapat ditarik dari
kisah-kisah diatas diantaranya bahwa para sahabat telah menangkap maksud inti
dari larangan Nabi yang ada dalam Nash itu, membuat mereka tidak hanya terpaku
pada Nash tapi mereka memahami maksud itu kemudian menerapkannya pada had-had
lain. Sebab dalam
Nash hanya menyebutkan potong tangan sementara sahabat juga menerapkan pada kasus minum khamar yang semestinya
hukumannya adalah dera. Kata kuncinya bagi mereka adalah penerapan hukum dapat
dipending ketika mengakibatkan bahaya bagi umat Islam.
Hal lain yang dapat ditangkap dari kisah
ini adalah kalau kita mencermati bentuk kontekstualisasi beberapa sahabat tadi
ternyata berbeda antara sahabat yang satu dengan sahabat yang lain. Umar dan
Zaid misalnya mengemukakan alasan tidak diterapkannya had di saat perang karena
dikhawatirkan orang akan bergabung ke musuh, kemungkinannya ini hanya dapat
berlaku pada tentara/serdadu biasa karena panglima perang tidak mungkin akan
bergabung kepada musuh. Tapi kemungkinan yang dapat terjadi kalau panglima
perang yang dijatuhi sanksi had adalah kekhawatiran akan pandangan musuh yang
menganggap lemah kekuatan umat Islam dan membuatnya bersemangat dan punya keberanian
untuk menyerang. Meskipun sahabat berbeda dalam memberi kontekstualisasi namun mereka sepakat bahwa
penerapan had pada saat itu akan mendatangkan bahaya bagi umat Islam.
Hal penting untuk
dikemukakan disini adalah bahwa tampaknya perkara ini menjadi kesepakatan Sahabat dan tidak ada dari
kalangan mereka yang mengingkarinya. Yang terjadi adalah bahwa sebagian dari
mereka meminta agar diterapkan had hanya karena hukum dasar yang mereka ketahui
mengenai perlunya penerapan had bila sudah memenuhi syarat-syaratnya. Namun
setelah mereka diberitahu sebab tidak diterapkannya had mereka tidak ada yang
menggugat. Yang kedua, kontekstualisasi yang dilakukan oleh sahabat dalam kasus ini sama sekali tidak
melanggar Nash dan tidak menabrak ijma’, karena yang terjadi dalam kasus ini tidak lebih dari sekadar
menunda penerapan had karena ada maslahah yang menghendakinya, boleh jadi karena umat
Islam memerlukannya (orang yang kena had) atau dikhawatirkan
akan menjadi murtad, atau akan bergabung ke barisan musuh.
Perlu
dikemukan bahwa menunda penerapan had karena sesuatu alasan syar‘i merupakan
tradisi yang selalu terjadi dalam syariat Islam, seperti menunda had bagi
perempuan yang hamil sampai ia melahirkan, perempuan yang sedang menyusui
sampai anaknya disapi, orang sakit dll. Ini jelas bagi kita bahwa semua ini
dilakukan hanya memperhatikan maslahah orang yang kena had, apatah lagi bila
kemaslahatan umum menghendaki penundaan hukum. Dengan demikian, maka jelas kasus
ini membuktikan bahwa Sahabat telah melakukan kontekstualisasi dengan cara
mencari dan kemudian menetapkan alasan hukum bagi hukum yang tidak disebutkan
alasannya dalam sebuan Nash. Sekarang kita beralih kepada bentuk
pemahaman Sahabat yang kedua atas Sunnah sebagai berikut;
2). Nash mengemukakan atau menyebutkan
hukum-hukum secara mutlak atau mengemukakannya dengan menyebut Illatnya[2].
Sahabat kemudian meninjau ulang atau menganalisis hukum itu dan hasil analisis
mereka menunjukkan illat yang disebutkan Nash tidak terjadi lagi atau tujuan
hukum nya telah berubah. Berdasarkan perubahan itu sahabat kemudian melakukan
perubahan hukum berdasarkan perubahan illat atau tujuan hukum yang ada dalam
Nash tadi.
Contoh kasus bentuk ini adalah kisah yang sangat
populer dalam pemikiran hukum Islam dan sering disalah pahami oleh banyak
orang. Kasus yang dimaksud adalah hukum pemberian bagian zakat bagi
seorang muallaf.
Bagian zakat seorang muallaf
telah ditegaskan Alquran dan Nabi pun pernah memberikan bagian itu kepada
muallaf di zamannya. Di banyak kesempatan Nabi mengatakan “ saya sangat suka
memberi seseorang untuk membujuk hatinya”. Orang-orang muallaf saat itu ada
yang sudah masuk Islam tapi masih lemah imannya dan zakat diberikan untuk
memperkuat imannya, ada juga yang belum masuk Islam dan ia diberi bagian zakat
untuk membujuk hatinya untuk masuk Islam.
Kondisi ini berlanjut setelah
wafatnya Nabi sampai satu saat dimana Abu Bakar didatangi oleh dua orang dari
kelompok muallaf bernama ‘Uyaynah bin Husān dan al-Aqra’ bin Hābis, keduanya mengatakan
kepada Abu Bakar, “wahai sang khalifah, negara kita punya sebidang tanah yang
tidak dikelolah, apa tidak sebaiknya sang khalifah mengalokasikan sebagian dari
tanah itu untuk kami berdua?”. Abu Bakar kemudian menuliskan surat hak kelolah
untuk keduanya. Lalu keduanya pergi menemui Umar untuk menjadi saksi atas hak
itu. ketika bertemu Umar, surat itu kemudian diambil oleh Umar lalu diludahi
yang membuat keduanya tersinggung sampai mengeluarkan kata-kata kasar. Umar
kemudian mengatakan, “Dulu waktu Nabi masih hidup, kalian dapat bagian zakat
waktu itu karena kondisi Islam masih lemah sehingga umat Islam memerlukan
penguatan, sekarang Islam sudah kuat dan tidak perlu lagi kalian, pergilah anda
berdua mencari usaha sendiri. Ketika Abu Bakar mengetahui perlakuan Umar kepada
kedua muallaf itu, ia tidak menyalahkannya. Bahkan bukan hanya Abu Bakar, tapi
semua sahabat tidak ada yang menggugat prilaku Umar itu sehingga dapat dipahami
bahwa terjadi ijma sahabat mengenai teori “ Hukum tergantung pada ada atau tidaknya
illatnya[3]”.
3). Alquran
mensyariatkan hukum-hukum tertentu atau hukum-hukum itu dipraktekkan oleh
Rasul, kemudian sahabat melarang hal-hal itu untuk dilakukan karena mereka
menangkap akan adanya mafsadah yang terjadi ketika hal-hal itu dilakukan,
meskipun mereka sendiri mengakui hal-hal itu dibolehkan pada dasarnya.
Kasus yang sangat populer mengenai
bentuk kontekstualisasi Sahabat atas Sunnah adalah kasus Umar yang mengeluarkan
larangan kepada umat Islam untuk tidak mengawini perempuan non muslim, padahal al-Quran jelas-jelas memasukkannya
sebagai perbuatan yang halal. Dalam Surah al-Maidah ayat 5, Allah berfirman;
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ
حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Terjemahnya:
Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik.
Dalam
kitab Ahkam al-Quran karangan al-Jashshas disebutkan bahwa seorang
sahabat bernama Huzaifah menikahi seorang perempuan yahudi, dan Umar
mengirimkan surat yang isinya perintah kepada Huzaifah untuk menceraikan
Isterinya. Suratnya dibalas oleh Huzaifah berisi pertanyaan “Apakah saya telah
melakukan hal haram?, Umar kemudian membalas surat Huzaifah yang isinya berupa
penegasan bahwa apa yang anda lakukan tidak haram, namun perintah saya
berdasarkan kekhawatiran saya kalau anda melakukan itu akan menggauli wanita
yang tidak suci. Bahkan berdasarkan riwayat lain bahwa Umar sangat tegas
melarang Huzaifah dengan katanya “ Jangan lepaskan suratku ini sebelum anda
menceraikan isterimu, saya khawatir prilakumu akan dicontoh oleh umat Islam
yang lain dan mereka berbondong-bondong menikan wanita-wanita non muslim karena
kecantikannya dan itu akan menjadi fitnah bagi wanita-wanita muslim[4].
Apa yang dikhawatirkan oleh
Umar saat itu sudah dibenarkan oleh realitas umat Islam saat ini. Di
sebagian daerah laki-laki muslim sangat merasa bangga ketika ia menikahi orang
bule atau wanita non muslim. Bahkan seolah-olah yang melakukan itu adalah
dinggap orang moderen yang berperadaban, dan sebaliknya orang yang menikah dengan
wanita muslim dianggap orang kolot. Perempuan-perempuan bule sangat dikagumi
dan dimanja seolah-olah menikah dengan mereka menjadi standar kemoderenan.
Boleh
jadi ada yang menggugat riwayat ini dan mengatakan, riwayat ini tidak otentik karena
riwayat-riwatnya berbeda sementara riwayat riwayat itu menyampaikan satu kisah.
Dengan
demikian kemungkinan salahnya lebih besar dari pada kemungkinan benarnya.
Gugatan
itu dapat disanggah dengan mengatakan, bahwa tidak ada kontradiksi antara
riwayat-riwayat itu karena kemungkinan Umar mengirim surat ke Huzaifah dua
kali, setiap kali ia mengirim surat ia mengemukakan alasan pelarangannya
berbeda dengan alasan yang ada di surat lain. Kemungkinan kedua boleh jadi juga
Umar Cuma mengirim surat satu kali dan di dalam surat itu ia mengemukakan dua
alasan pelarangannya, tapi kemudian perawi-perawi meriwayatkan alasan-alasan
itu secara terpisah, satu perawi menyebut satu alasan dan yang lain menyebut
alasan yang lain, dan ini boleh sekali terjadi dalam dunia periwayatan hadis.
Kalau
kita ingin menganalisis kronologis ketetapan hukum al-Quran yang membolehkan
pernikahan dengan non muslim dan mencoba merekonstruksi situasi yang terjadi
saat turunnya al-Quran, kita akan menemukan suatu situasi yang berbeda dengan
situasi kita sekarang. Orang-orang Islam saat itu bepergian ke suatu daerah bukan
daerah mereka untuk berjihad di jalan Allah atau menyebarkan Islam. Di daerah
jihad perempuan-perempuan muslimah sangat sedikit jumlahnya sementara kondisi saat itu
memaksa untuk bergaul dengan komunitas non muslim untuk penyebaran da’wah. Hal
penting juga pantas dikemukakan bahwa umat Islam yang pergi ke daerah itu
adalah orang-orang yang kuat imannya yang memiliki proteksi kuat menyangkut
fitnah perempuan, bagaimana tidak? Rasulullah ada di tengah-tengah mereka.
Dalam konteks sosial inilah Alquran menghalalkan bagi umat Islam nikah dengan
wanita non muslimah, disamping kebijakan itu menciptakan hubungan yang baik
dengan komuniti muslim dan meminimalisasi konfilik yang dapat terjadi. Kalau
kita mengetahui konteks ini maka kita dapat memahami bahwa hukum boleh nikah
dalam kasus ini harus diposisikan sebagai hukum yang sangat erat
kaitannya dengan kondisi “keperluan” yang menguntugkan umat Islam. Dengan kata
lain, pernikahan dengan wanita non muslimah sesungguhnya bukan ajaran inti tapi
ia dibolehkan karena saat itu mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam.
4). Sahabat
menetapkan atau mengeluarkan kebijakan hukum-hukum yang tegas yang tidak pernah
ditetapkan sebelumnya, tujuannya adalah untuk menolak atau menghindari
terjadinya kemafsadatan-kemafsadatan tertentu baik bersifat yakin maupun
berdasarkan perkiraan yang kuat, meskipun berujung pada pembatasan makna umum
Nash atau mengabaikan arti dzahir Nash[5].
Contoh kasus tipologi rasionalisasi ini dapat dilihat sebagai berikut:
Kasus jatuhnya talaq tiga yang dijatuhkan sekaligus dalam satu
waktu. Penjelasannya sebagai berikut; pada zaman jahiliyyah dan berlangsung
sampai awal-awal Islam bahwa orang-orang saat itu menceraikan isterinya dan
merujuknya semaunya tanpa mengenal batas maksimal sampai berapa kali. Perlakuan
itu merugikan perempuan-perempuan saat itu. Maka perempuan-perempuan itu datang
ke Nabi mengeluhkan masalah mereka, maka turunlah ayat 229 surah al-Baqarah
yang berbunyi:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Terjemahnya:
Talak (yang dapat dirujuki)
dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik.
Ayat ini menjelaskan talak
yang benar yang membatalkn kekacauan
tradisi jahiliyyah dan membatasinya dengan tiga kali saja. Dan membolehkan
seorang suami untuk rujuk pada dua talak pertama selama dalam iddah dan
membolehkan juga rujuk tapi harus dengan akad nikah baru kalau iddahnya selesai
tanpa harus seorang wanita kawin dengan laki-laki lain. Boleh juga rujuk
kembali setelah tiga kali cerai tapi dengan syarat dua-duanya harus sudah
pernah kawin dengan yang lain.
Hukum itu berlangsung aman dan
dengan penuh ketaatan dari umat Islam. Dan kalau ada diantara mereka yang
menceraikan isterinya dengan cara yang salah seperti orang yang menceraikan
isterinya langsung tiga kali sekaligus dalam satu waktu dan ia mendatangi Nabi
mengungkapkan penyesalannya, Nabi menjelaskan bahwa talak yang dijatuhkan tiga
kali sekaligus tidak sah tapi tetap ia dihitung satu kali saja.
Orang-orang mentaati cara ini
sejak zaman Rasul, pada zaman Abu Bakar dan dua tahun masa pemerintahan Umar.
Setelah itu terjadilah perubahan kondisi masyarakat dan mereka melanggar atau
mengabaikan ketentuan cerai yang benar, menceraikan isteri langsung tiga kali
sekaligus pada satu waktu menjadi fenomena sosial, mereka mempersusah diri
mereka pada perkara yang diringankan oleh Allah.
Kondisi ini meresahkan
perasaan Umar sebab orang tidak takut mempermainkan hukum-hukum Allah, maka ia
berpikir mendalam bakal apa yang ia lakukan terkait fenomena ini. Pertama yang
ia lakukan adalah berkonsultasi –seperti kebiasaanya-dengan para pembesar dari
kalangan sahabat menyangkut hukuman apa yang sesuai yang dapat menjera orang-orang yang
meremehkan hukum Allah. Ibnu Abbas memberi komentar bahwa pada saat kasus yang sama terjadi, Nabi tetap
menjatuhkan satu kali talak dalam kasus talak tiga sekaligus. Umar
merespon usulan Ibnu Abbas dengan mengatakan, “sesungguhnya orang-orang
sekarang telah mempermainkan hukum Allah, mereka mempercepat sesuatu yang
diinginkan Allah untuk tidak dipercepat, maka sebaiknya kita memberinya sanksi
dengan menjatuhkan apa yang mereka inginkan, maka kemudian Umar mengeluarkan
keputusannya seperti yang ia inginkan yaitu talak tiga yang dijatuhkan tiga
kali sekaligus jatuh tiga kali.
Kasus umar ingin menjelaskan
kepada kita bahwa hikmah disyariatkannya talak tiga kali secara terpisah tidak
secara sekaligus adalah untuk kemaslahatan suami dan isteri karena
kemungkinan besar waktu ia menjatuhkan talak ia tidak dapat menahan
kemarahannya, sehingga ketika ia mengintrospeksi dirinya mungkin sekali ia akan
menyesali perbuatannya. Disinilah Allah ingin berbuat baik dengan mensyariatkan
rujuk. Tapi ketika umar menemukan mereka tidak mau memanfaatkan kemudahan ini
dan mereka menyalahi ketentuan Allah, Umar menyiksanya dan memberinya sanksi,
tujuannya agar mereka kembali mentatai hukum Allah.
Intinya
adalah Umar dalam kasus ini memberlakukan mashlahah meskipun kebijakannya tidak
sesuai dengan Nash, ia memberi orang sanksi dalam bentuk melarang melakukan
sesuatu yang dibolehkan oleh Agama.
5). Sahabat
melakukan perbuatan atau aktifitas tertentu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Mereka mengemukakan alasan bagi perbuatan-perbuatan mereka itu
dengan alasan “Perbuatan itu adalah perbuatan baik”. Atau mereka melakukan
banyak aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan memberi
alasan/illat yang sesuai dengan illat-illat yang sudah diakui dalam Nash-Nash
tertentu[6].
Salah satu kasus yang dapat menjadi sampel
disini adalah dialog antara Umar dengan Abu Bakar mengenai masalah pengumpulan al-Quran. Ketika kondisi
terbunuhnya banyak pembaca Alquran dalam perang meresahkan Umar, lalu ia
menghadap Abu Bakar selaku penentu kebijakan segala persoalan agama dan
kenegaraan mengenai usulannya tentang pengumpulan Alquran. Abu Bakar berkata
kepada Umar, bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan Rasul. Jawaban Umar saat itu adalah “ pengumpulan al-Quran adalah sebuah kebaikan
dan menyangkut kemaslahaan umat Islam”. Ketika Abu Bakar terbuka hatinya dan
yakin dengan kebaikan pengumpulan al-Quran ia kemudian menyuruh Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan Alquran, Zaid kemudian berkata kepada Abu Bakar “Kenapa kamu ingin
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Abu Bakar pun
menjawab “ Ia adalah kebaikan dan bermanfaat bagi umat Islam”.
Sisi maslahah yang dapat
ditangkap dari pengumpulan al-Quran adalah bahwa membiarkan Al-Quran tidak
terkumpul dan terpisah-pecah atau bercerai-berai maka cepat atau lambat akan
hilang dan sumber yang lain sudah meninggal semua.
Dari
pemaparan mengenai sikap dan perlakuan para Sahabat Nabi terhadap teks-teks
agama secara umum dan teks-teks Sunnah secara khusus, dapatlah ditarik
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut;
1. Generasi
Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling genuine pemahamannya terhadap
Sunnah karena didukung banyak faktor yang tidak dimiliki oleh generasi lainnya;
mereka menyaksikan langsung turunnya Al-Quran, mereka berinteraksi langsung
dengan Nabi, mereka dapat memahami dengan mudah konteks sosial yang telah
mengiringi kehadiran wahyu satu persatu begitu pula kebijakan-kebijakan Nabi
(Sunnah). Dengan demikian, Sahabat sebagai sebuah sumber tidak dapat diabaikan
bahkan merupakan sebuah kemestian dalam rangka memahami ajaran-ajaran agama
yang terkandung dalam al-Quran maupun Hadis.
2.
Memahami Sunnah melalui pendekatan
Konteks merupakan trend yang sangat jelas di zaman Sahabat. Mereka menempuh
pendekatan ini dengan pelbagai bentuknya dalam rangka memahami sunnah.
Pendekatan ini bukanlah sepenuhnya produk pemahaman mereka tapi ia merupakan
inspirasi dari bimbingan Nabi sebagai hasil dari dinamika interaksi sepanjang
23 tahun masa kenabian. Dalam pelbagai kesempatan Nabi memberi bimbingan
langsung kepada Sahabatnya bahwa meskipun beliau sebagai Nabi dan Rasul Allah
tapi itu tidak membebaskannya dari karakternya sebagai manusia. Sebagai
konsekwensinya, Nabi tidak jarang berperilaku dan perilakunya tidak mengandung
hukum yang mesti ditaati. Bukan hanya itu, tapi Sahabat pun memahami teks
Sunnah tidak selamanya universal tapi juga memahaminya secara temporal seperti
yang sudah dikemukakan diatas.
3.
Berdasarkan keterangan yang sudah
dikemukakan, perbedaan Sahabat dengan Sunnah Nabi muncul dari adanya metodologi
yang benar dalam memahami dan menerapkan Sunnah bukan dibina atas pemahaman
serampangan yang dipicu oleh hawa nafsu belaka.
4. Perilaku-perilaku
Sahabat yang tampak berbeda dari apa yang dilukiskan dalam Sunnah tidak boleh
dipahami sebagai bentuk pelanggaran yang disengaja atau tidak, apalagi dipahami
sebagai sebuah konspirasi untuk mendurhakai perintah atau larangan Nabi karena
kepentingan politik atau tuntutan hawa
nafsu seperti yang telah dituduhkan oleh musuh-musuh Islam terutama
kalangan pengkaji Syiah yang dengan secara nyata berdasarkan bukti menuduh para
Sahabat utama dengan tuduhan kefasikan dan kekafiran hanya karena
Sahabat-sahabat yang mulia itu memiliki pemahahaman yang berbeda dari apa yang
ada dalam Sunnah. Wallahu A ‘lam bi al-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar