SAHABAT DAN KONTEKSTUALISASI HADīś
Serangan dan hujatan terhadap
sumber-sumber Islam tidak pernah berhenti bahkan semakin menjadi trend yg sangat nyata. Dalam keyakinan umat Islam sumber rujukan
setelah al-Quran dan Sunnah adalah Sahabat. Sahabat oleh umat Islam diyakini
sebagai orang yang paling
memahami Islam karena mereka menyaksikan langsung turunnya al-Quran dan
menyaksikan langsung tindak tanduk Nabi. Dalam kenyataannya sahabat tidak
jarang berbeda dengan Nabi baik masa
beliau hidup maupun setelah
meninggal. Kenyataan ini menimbulkan isu krusial dalam kajian hadis khususnya dan dalam pemikiran Islam secara umum.
Posisi
penting dan sentral yang dimiliki oleh Sahabat Nabi seperti demikian tentu bukan sesuatu apriori dan tanpa
alasan atau argumen. Argumen normatif yang sering diajukan ialah adanya
penegasan berbagai ayat dan Hadis Nabi yang memberi pengakuan terhadap keadilan
Sahabat atau keterpercayaan mereka dalam hal-hal agama. Keadilan itu
meniscayakan ketidakmungkinan Sahabat menyelewengkan pemahaman agama karena
dorongan nafsu
atau ambisi dan kepentingan pribadi dan golongan. Meyakini kemungkinan
terjadinya perkara demikian akan berakibat sangat fatal bagi keimanan
seseorang. Sementara alasan-alasan faktual bagi otoritas pandangan-pandangan
keagamaan Sahabat ialah kesaksian mereka terhadap turunnya wahyu karena mereka
hidup sezaman dengan Nabi, merekalah yang telah menyaksikan berbagai peristiwa
yang mengundang respon wahyu baik berupa ayat al-Quran maupun Sunnah Nabi,
mereka juga menyaksikan langsung ucapan-ucapan dan pesan-pesan Nabi dari bibir
Nabi tanpa perantara. Mereka pula
melakukan dialog langsung dengan Nabi seputar berbagai isu yang terjadi dalam
internal umat Islam di zaman kenabian.
Sejarah Islam mencatat bahwa, dalam menghadapi dinamika
umat Islam baik yang berkaitan dengan
kehidupan internal umat maupun yang terkait dengan isu eksternal, Nabi
seringkali melibatkan Sahabat-Sahabatnya dalam memberi pandangan untuk
mendiskusikan dan menyelesaikan problematika yang muncul. Dalam kasus-kasus tertentu Nabi memilih pandangan Sahabatnya dan meninggalkan pendapatnya sendiri. Dari kenyataan ini tidak
jarang pengkaji Islam menegaskan bahwa Sunnah Nabi tidak hanya bersumber dari wahyu
tapi juga dari pengalaman-pengalaman Nabi sebagai manusia baik hasil upaya
pemikirannnya sendiri maupun dari kontribusi pemahaman Sahabat-sahabatnya.
Sumbangan pemikiran Sahabat Nabi dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan keumatan terinspirasi oleh penegasan Nabi sendiri mengenai
unsur kemanusiaan yang melekat pada dirinya sehingga menimbulkan kesadaran
tersendiri dalam pikiran para Sahabatnya bahwa memang benar ada hal-hal yang
dapat didiskusikan dari apa yang ditimbulkan oleh Nabi.
Dalam sejarah Sahabat Nabi terlihat Umar bin Khattab
adalah sosok Sahabat yang paling sering berani mengajukan pandangan yang berbeda
dengan apa yang telah digariskan oleh Nabi sendiri baik ketika baginda
Rasulullah masih hidup maupun setelah baginda meninggal. Yang sangat menarik
perhatian kita ialah bahwa pandangan-pandangan yang diajukan oleh Umar
seringkali diakui dan selanjutnya dipilih oleh Nabi untuk diamalkan. Yang
menjadi persoalan kemudian adalah bahwa meskipun sangat jelas pengakuan Nabi
atas pandangan-pandangan brilian Umar namun masih banyak sekelompok pengkaji
mengeksploitasi peristiwa-peristiwa itu sebagai bentuk pembangkangan atau
pelanggaran agama yang telah dilakukan oleh Umar yang tak dapat ditolerir.
Dalam konteks kajian dan studi hadits (periwayatan), mereka bahkan menjadikan
keberanian Umar itu sebagai bukti ketidak-adilan sahabat Nabi. Isu yang mereka selalu
munculkan adalah bagaimana mungkin ajaran-ajaran Islam dapat diterima dari
sumber yang tidak terpercaya ( ‘Adam al-‘adūl) dan dari sumber yang
selalu mempertanyakan perintah-perintah Nabi. Bahkan kelompok ini, misalnya,
membuat polarisasi Sahabat menjadi dua; Kelompok Sahabat Wahyawiyyin dan
Kelompok Sahabat Rakyawiyyin. Wahyawiyyin adalah kelompok sahabat
yang selalu taat terhadap perintah dan larangan Nabi dan tidak pernah sekalipun
membantah atau mempertanyakan keinginan-keinginan Nabi. Rakyawiyyin adalah
kelompok sahabat yang tidak mau menerima begitu saja perintah dan larangan Nabi
tapi mereka selalu membangkang dan menyesuaikan perintah dan larangan itu
dengan akal pikiran dan hawanafsu mereka. Menurut mereka sahabat yang termasuk
dalam kelompok pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan sahabat yang dapat
dimasukkan dalam kategori kedua ialah Umar bin Khattab[1].
Polarisasi Sahabat Nabi menjadi Wahyawiyyin dan Rakyawiyyin
dengan mengacu pada pengertian yang sudah dikemukakan diatas tidak dapat
diterima. Karena itulah polarisasi ini tidak begitu populer di kalangan
pengkaji Ahlissunnah. Polarisasi yang sangat dikenal baik dalam kajian Sunni
ialah Tekstual dan Kontekstual sebagai terjemahan operasional dari term Ahlul
Atsar dan Ahlu al-Ra’yi. Kedua term ini berkaitan dengan metode
memahami hadis lebih dari sikap perlakuan atas wahyu baik al-Quran maupun
Sunnah.
Tulisan ini akan mengupas isu perbedaan Sahabat dengan
Sunnah Nabi dengan mengajukan rumusan seperti berikut; Bagaimana cara Sahabat
memperlakukan Sunnah Nabi; Metodologi apa yang digunakan oleh sahabat dalam
memahami dan menerapkan sunnah Nabi; mengapa dan apa penyebab perbedaan sahabat
dengan Sunnah Nabi? ; layakkah perbedaan sahabat disebut sebagai pembangkangan
terhadap wahyu Allah?.
PERLAKUAN SAHABAT TERHADAP
STATUS SUNNAH.
Sahabat dan Sunnah Gair
Tasyrī‘iyyah
Seperti yang sudah disentuh sebelumnya bahwa dengan
diback up oleh banyak faktor Sahabat Nabi merupakan generasi umat Islam yang
paling berpeluang untuk memahami status Sunnah dengan baik, benar dan tepat.
Dari kenyataan interaksi Sahabat dengan Nabi, dapat terlihat dengan jelas bahwa
Sahabat tidak selamanya memahami prilaku Nabi sebagai wahyu yang mesti
diamalkan tapi kadang-kadang Nabi berucap atau beramal dan sahabat memahaminya
sebagai prilaku biasa sebagai manusia dan tidak ada kemestian untuk
mengamalkannya. Cara perlakuan Sahabat terhadap Sunnah ini kemudian menjadi
embrio teori Sunnah Tasyrī‘iyyah dan Sunnah Gair Tasyrī‘iyyah yang kemudian populer
dalam kajian studi Islam.
Ada beberapa kasus yang dapat diambil sebagai sampel
disini. Misalnya,
Nabi suatu ketika enggan makan biawak. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Ia berkata, saya bersama Khalid bin al-Walid bin al-Mugirah dan Rasulullah
masuk ke rumah Maimunah binti al-Haris lalu kami dijamu dengan biawak bakar.
Nabi pun mengulurkan tangannya ke arah biawak untuk mengambilnya, namun sebagian
perempuan yang ada di rumah Maimunah mengatakan, beritahulah Rasulullah tentang
apa yang ia mau makan. Nabi pun mengangkat tangannya dan tidak jadi mengambil
biawak itu. Aku (Khalid) berkata kepada Nabi, haramkah memakan biawak ya
Rasulullah? Tidak, kata Nabi. Namun biawak itu tidak ada di daerah kaumku maka
aku merasa jijik dengannya (tidak menyukainya).[2] Ibnu
Hajar al-‘Asqalani mengatakan: pernyataan Nabi itu merupakan penjelasan tegas
mengenai penyebab ia tidak memakannya yaitu hanya karena faktor kebiasaan.[3]
Contoh lain yang dapat dikemukakan ialah
kisah tentang Fatimah binti Qais. Satu ketika Ia melapor kepada Rasulullah bahwa
Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm melamarnya lalu Nabi memberikan kepadanya
pengarahan dengan mengatakan bahwa Abu jahm itu adalah orang yang tidak pernah
meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul). Adapun Muawiyah Dia
seoarang miskin yang tidak memiliki harta maka nikahilah Usamah Bin Zaid, tapi
Fatimah tidak menyukainya kemudian Nabi mengatakan kedua kalinya nikahilah
Usamah maka Fatimah menerimanya dan menikahinya sehingga Allah memberikan
kebaikan kepadanya. [4]
Contoh lain yang tidak kalah pentingnya
untuk dikemukakan dan dapat membuktikan hal ini adalah revisi yang dilakukan
oleh al-Habāb Ibnu al-Munzir terhadap Nabi pada saat terjadi perang Badar.
Al-Habab Ibnu Al-Munzir bertanya kepada Nabi “Ya Rasulallah apakah ini adalah
posisi yang ditunjukkan oleh Allah SWT yang tidak dapat sama sekali dilanggar
ataukah posisi ini merupakan pendapat Nabi atau strategi perang yang diinginkan
oleh Nabi sendiri?” Rasulullah menjawab kepada al-Habāb dengan mengatakan “bukan,
tapi ini sekadar strategi perang saya”.[5]
Tiga kasus yang disebutkan diatas
merupakan sebagian bukti bahwa perilaku sahabat yang “berbeda” dengan Sunnah
Nabi tidak dapat dipahami sebagai sebuah pelanggaran yang disengaja oleh
Sahabat terhadap ketentuan Sunnah tapi karena perlakuan Sahabat terhadap Sunnah
yang diakui keabsahannya sendiri oleh Nabi. Hal ini sedikit banyaknya dapat
menjelaskan kesalahan polarisasi sahabat menjadi anti wahyu (rakyawiyyin) dan
taat wahyu (Wahyawiyyin) seperti yang telah mendominasi metodologi kajian hadis
bagi kalangan Syiah. Bahkan polarisasi yang sesat itulah yang kemudian
mendorong pengkaji Syiah menuduh para Sahabat menyalahi ketentuan-ketentuan
Sunnah karena tuntutan kepentingan politik, hawa nafsu dan kepentingan
kelompok. Bahkan Syiah juga dalam kasus-kasus tertentu menolak teori Sunnah
Tasyrīi’yyah dan Gair
Tasyrīiyyah yang
dapat memberi jalan keluar bagi prilaku-prilaku sahabat yang menyalahi
Sunnah-Sunnah Nabi.
Sahabat dan Sunnah Temporal
Selain teori Sunnah Tasyrīi’yyah dan Gair
Tasyrīi’yyah yang
telah nyata dalam perlakuan Sahabat terhadap Sunnah, teori lain yang juga tidak
kalah pentingnya berlaku pada metode Sahabat ialah teori Sunnnah Universal dan
temporal. Teori ini bukan hanya diterima oleh Sahabat tapi juga diamalkannya
dengan tepat dan benar.
Salah
satu kasus yang layak untuk diajukan sebagai contoh di sini adalah penakwilan
yang mereka lakukan menyangkut pengharaman Rasul terhadap daging-daging keledai
yang jinak. Ibnu Abi Aufa meriwayatkan bahwa suatu ketika kami mengalami
kelaparan pada perang Haibar maka daging-daging yang dimasak dalam panci-panci
sudah masak tiba-tiba ada seseorang yang memanggil dan berteriak: kalian jangan
memakan daging-daging keledai, dan tumpahkanlah daging yang dimasak di
panci-panci itu. Lebih lanjut Ibnu Abi Awfa berkata: maka pada saat itu kami
mendiskusikan penyebab pelarangan makan daging keledai, ada yang mengatakan bahwa
pelarangan itu karena Nabi belum membagi-bagi atau belum melakukan pembagian
harta rampasan yang diperoleh dari perang itu sementara keledai yang disembelih
untuk kemudian dimakan adalah bagian dari harta rampasan. Namun sebagian
sahabat yang lain mengatakan bahwa alasan pengharamannya karena keledai itu
memakan makanan kotor.
Ibnu
Abbas berkata saya tidak tahu apakah Rasulullah melarang makan daging keledai
itu karena ia merupakan binatang yang dipakai sebagai binatang angkutan. Sehingga Nabi tidak mau alat transportasi mereka habis, ataukah Nabi
mengharamkannya makan binatang keledai pada perang Haibar.[6]
Dalam
kitab Al-Żabāih, pada
pembahasan tentang peperangan, Ibnu Hajar mengatakan saya sudah mengemukakan bahwa
Ibnu Abbas memiliki sikap yang tidak tegas mengenai pelarangan makan daging
keledai; apakah karena alasan khusus yang bersifat temporal ataukah alasan
pelarangan itu bersifat kekal atau abadi.[7]
Dari kisah ini dapat dipahami bahwa
kedua sahabat yang dimaksud memahami pelarangan memakan keledai jinak hanya karena
alasan atau sebab khusus bukan alasan yang universal, Ibnu Abbas misalnya
mengaitkan pelarangan itu dengan kemaslahatan parsial dan temporal yaitu
menjaga agar keledai-keledai jinak itu tidak punah kalau mereka dibiarkan
menyembelih keledai sebebas-bebasnya. Dan inilah yang disebut dengan
tindakan-tindakan Nabi yang muncul sebagai posisinya sebagai pemimpin negara.
Contoh penting dalam hal ini adalah
perkembangan hukum terkait unta-unta sesat. Ketika Nabi ditanya tentang
unta-unta sesat, Nabi menjawab “kenapa anda terlalu memperhatikan urusan itu?
Biarkan saja unta-unta itu sesat. Toh mereka memiliki kaki dan mulut, ia dapat
mendatangi sumber air, ia dapat memakan pepohonan sampai ia menemukan atau ia
ditemukan oleh tuannya”.[8]
Dari kisah ini dapat dipahami bahwa
Nabi tidak mengizinkan orang-orang untuk menangkap unta-unta sesat yang tidak
diketahui tuannya, bahkan Nabi memilih untuk membiarkan unta-unta itu sesat dan
kebijakan Nabi itu berlaku sepanjang zaman Nabi dan zaman Abu Bakar aS-Siddiq
dan Umar. Unta-unta yang hilang dibiarkan bebas sampai ditemukan oleh tuannya
berdasarkan pesan dan kebijakan atau perintah Nabi.
Namun ketika memasuki periode
Khalifah Usman, ia merubah kebijakan Nabi dan memeritahkan untuk menangkap
unta-unta sesat itu, mengumumkannya, menjualnya dan ketika sudah ditemukan
tuannya, maka ia diberikan harga penjualannya.[9]
Mungkin saja penyebab perubahan kebijakan itu karena terjadi perubahan karakter
masyarakat yang sudah tidak memperhatikan amanah (kejujuran), sebab waktu itu
sudah terjadi perkembangan masyarakat baru yang menghimpun banyak jenis atau
macam masyarakat yang tidak menyaksikan periode kenabian dan zaman wahyu. Atau
boleh jadi penyebab perubahan kebijakan oleh Usman karena sesuatu yang lain.
Namun yang pasti bahwa Usman tidak mengalami keraguan untuk menyalahi prosedur
yang diwariskan oleh Nabi, yaitu tidak menangkap unta-unta sesat karena ia
meyakini bahwa tindakan Nabi itu karena dikehendaki oleh kemaslahatan yang
sudah berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Setelah Usman telah tiada dan Ali
bin Abi Talib menggantikannya sebagai khalifah, Ali pun menyetujui dan
melestarikan kebijakan Usman untuk menangkap unta-unta sesat itu sampai ketemu
dengan tuannya, namun Ali tidak menganjurkan untuk menjualnya, tapi ia memilih
untuk membuatkan unta-unta itu kandang (dari biaya APBN/Bait al-Mal) kemudian
diberi makan dengan makanan yang tidak terlalu mengenyangkannya dan tidak
menguruskannya. Siapa saja yang mampu memberi keterangan atau bukti atas
kepemilikan atas unta-unta itu maka ia dapat mengambilnya, kalau tidak
unta-unta itu tetap dipelihara dan tidak dijual.[10]
Sahabat Nabi terutama Khulafa
al-Rasyidun sangat paham adanya keterkaitan erat antara tindakan atau kebijakan
Nabi dengan kondisi-kondisi yang hidup pada masyarakat Islam, maka dengan
demikian, mereka merubah kebijakan itu karena alasan-alasan yang membidani
lahirnya kebijakan-kebijakan itu sudah berubah. Dan yang pasti adalah mereka
menganggap kebijakan atau tindakan Nabi itu lahir dari posisinya sebagai
pemimpin dan tidak mencerminkan hukum agama yang bersifat universal yang kekal.
Demikianlah telah menjadi jelas
bahwa betapa al-Khulafa al-Rasyidun—dengan praktik-praktik
perundang-undangan yang mereka lakukan karena kapasitas yang mereka miliki
sebagai pemimpin umat—telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam
menjelaskan tindakan-tindakan Nabi yang
bernuansa kebijakan politik; bukan bernuansa hukum universal, kalau tidak, maka
banyak dari perilaku-perilaku Nabi yang tidak dapat dipahami dengan jelas
posisinya dan akan memicu perdebatan sengit dan krusial di kalangan ulama.
Dari sekian banyak Sahabat Nabi yang
mengadopsi teori Sunnah Universal dan Temporal, Umar bin Khattab adalah sosok
Sahabat yang paling banyak dan sering menjadi sampel bagi teori ini. Hal itu
disebabkan oleh disamping karena kedekatannya dengan Nabi juga karena
kecerdasannya yang brilian dan posisinya sebagai pemimpin Negara (Khalifah).
Sosok Umar memiliki banyak kebijakan yang berbeda dengan Sunnah Nabi karena ia
meyakini bahwa meskipun Sunnah mesti dijunjung tinggi tapi kandungannya ada
yang temporal tidak universal. Berikut ini penjelasannya;
1.
Bagian zakat bagi Muallaf. Di
zaman Nabi orang-orang muallaf mendapatkan bagian zakat oleh Nabi berdasarkan
al-Quran. Tradisi (Sunnah) itu juga ingin dilanjutkan oleh Abu Bakar. Tapi Umar
keberatan dengan kebijakan Abu Bakar. Umar meyakini bahwa Pemberian bagian
zakat oleh Nabi kepada muallaf adalah kebijakan Sunnah temporal yakni hanya
pada masa kelemahan Islam. Ketika Islam sudah menjadi kuat dan berwibawa Islam
tidak perlu membujuk hati orang-orang muallaf. Keberatan Umar disetujui oleh
Abu Bakar sebagai khalifah saat itu dan diamini pula oleh semua sahabat[11].
2.
Pembagian tanah-tanah rampasan untuk
para pejuang dan tentara Islam oleh Umar bin Khattab dan Usman.
Keduanya mengeluarkan kebijakan untuk tidak membagikan tanah-tanah itu kepada
pejuang, tapi diserahkan untuk menjadi milik negara untuk dimanfaatkan oleh
generasi-generasi yang akan datang kemudian.
Ada segelintir orang mengatakan bahwa
kebijakan kedua khalifah itu sebenarnya tidal legal, karena Nabi membagikan
tanah Khaibar ketika ditaklukkan. Bahkan mereka mengatakan bahwa apabila Imam
(pemerintah) menahan dan tidak membagikannya tanah rampasan itu, maka keputusan
itu harus dianulir atau digugat karena menyalahi Sunnah (perilaku) Nabi.
Pendapat ini dibantah oleh banyak ulama, terutama oleh Ibnu Taimiyah, ia
mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang keliru dan sebuah tindakan
yang berani atas Khulafa Rasyidun, sebenarnya prilaku Nabi menyangkut
pembagian tanah rampasan hanya menunjukkan kebolehan dan tidaklah menunjukkan
sebuah kewajiban. Jika sekiranya kita tidak mampu menghadirkan dalil mengenai
tidak wajibnya membagi-bagikan tanah rampasan itu maka cukuplah perilaku Khulafa
Rasyidun itu yang menjadi dalil, dan yang kedua bukankah Mekah itu adalah
daerah yang ditaklukkan secara paksa, dan toh tidak dibagi-bagikan kepada
tentara? Dan bukankah peristiwa penaklukan Mekah ini fakta yang didukung dengan
berbagai hadis yang sahih?[12]
Ibnu Taimiyah menjadikan perilaku Khulafa Rasyidun sebagai sarana yang
cukup untuk mengarahkan seseorang memahami posisi tindakan-tindakan Nabi. Dan
kemudian memberi peran penting bagi perilaku Khulafa Rasyidun yang
menyalahi perilaku Nabi sebagai sarana penting untuk mengalihkan perilaku Nabi
menjadi perilaku yang tidak mengandung hukum kewajiban.
[1] Pandangan seperti ini banyak mendominasi pandangan pengkaji dari kalangan
Syiah. Pandangan mereka ini sangat terkait dengan teori al- ‘Ismah dan ‘Adālat
al-Sahābah.
[2] HR Al-Bukhari (Kitab Makanan, bab: Nabi tidak makan sesuatu sebelum
diberitahu apa makanan itu), muslim (bab: kebolehn makan biawak), Nasai
(binatang buruan dan binatang sembelihan bab biawak), Malik dalam kitab Al-Muatta (bab hadist-hadist
memakan biawak); Al- Bagawi, Syarh Sunnah, jilid 11, h. 237.
[4] HR Muslim, Kitab Talaq, bab: yang ditalaq tiga tidak ada kewajiban
menafkahinya.
[5] Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, jilid 2, h. 192. Dan al-Bani
telah melemahkan hadist tersebut dalam takhrij hadits “ Fiqh al-Sirah”
karya Syekh Muhammad al-Gazali, dan sanad-sanad ada yang dhaif ataupun munkar. Sementara pengkaji lain
melihat bahwa hadits-hadits tersebut bisa saja naik ke derajat hasan. Lihat Sa
‘du al-Din al- ‘utsmāni, (2010) Kontekstualisasi Hadis, Makassar : Alauddin
Press, h.74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar