HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Saya mohon maaf kepada
panitia bila kemarin saya banyak tanya kenapa kegiatan ini dilakukan di
pesantren. Jangan-jangan ada yang susupi. Karena sekarang ini banyak persepsi
negatif terhadap pesantren terkait dengan pesantrennya Abu Bakar Baasyir.
Kemarin saya yang membacakan deklarasi penolakan ISIS di Kab. Gowa. Kalau soal
Pancasila, kami setiap hari senin membacakan pancasila di upacara bendera.
Ungkapan ini
disampaikan oleh pimpinan Pesantren NU Bahrul Ulum Kab. Gowa ketika memberi
sambutan acara seminar kebangsaan “Implementasi Nilai Pancasila dalam
Masyarakat” kerja sama eLSAS dan Kementerian Dalam Negeri tanggal 25 September
2014. Ungkapan yang menunjukan ‘kekhawatiran’ pesantren dikaitkan dengan
ideologi radikal seperti ISIS adalah bentuk terjemahan dari cara pandang dunia
terhadap Islam. Pasca tragedi WTC (World Trade Center) pada tanggal 11
September 2001, sentimen anti- Islam bermunculan dimana-mana. Mulai dari
intimidasi kaum muslim di Eropa hingga munculnya film dan kartun yang
‘menghina’ Nabi Muhammad.
Cara
ini kembali terlihat ketika ISIS mulai merebak di seluruh dunia. Islam
Indonesia menjadi obyek perhatian dunia. Kedatangan Tony Blair pada tanggal 12
September 2014 yang secara khusus membahas Islam di Indonesia mengindikasikan
itu. Islam Indonesia menjadi penting dibicarakan dalam dua hal, sebagai tempat
jaringan terorisme dan sekaligus sebagai tempat perlawanan ideologis.
Kedatangan Tony Blair menunjukkan betapa Islam Indonesia menjadi perhatian
dunia ‘ketika’ terorisme kembali merebak. Ini tentu saja, tidak terlepas dari
simplikasi Islam dan terorisme yang memang mulai menggejala pasca tragedi 9/11.
Akibat
yang paling menyedihkan dari simplikasi itu adalah munculnya perspektif yang
buruk terhadap pesantren. Kemunculan jaringan ISIS di Indonesia membuat
pesantren kembali menjadi ‘tertuduh’ seperti yang dirasakan oleh pimpinan
Pesantren Bahrul Ulum tadi. Media nasional Tempo.com sudah menunjukkan
tuduhannya terhadap pesantren dengan membuat judul berita yang sangat
simplistis. Terduga anggota ISIS Pernah Nyantri di Tebuireng. Pilihan
judul ini tentu tidak muncul begitu saja tetapi ada upaya yang melanggengkan
defenisi lama yang mengaitkan pesantren dengan kegiatan terorisme di Indonesia.
Semua orang tahu, pesantren Tebuireng adalah pesantren yang memiliki sejarah
panjang dan peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Tidaklah mungkin
pesantren Tebuireng menjadi tempat pembibitan gerakan radikalisme agama.
Beberapa
hari sebelumnya, Jenderal TNI Moeldoko mengeluarkan pernyataan untuk masuk ke
pesantren dan sekolah untuk mencegah penyebaran paham ISIS. Perhatikan petikan
berita di bawah ini:
Perkembangan IS di
Indonesia semakin mengkhawatirkan. Keberadaan kelompok radikal itu sudah
terdeteksi di beberapa kota seperti Solo dan Pekanbaru. Untuk menangkal semakin
berkembangnya kelompok terlarang itu, TNI akan mengerahkan anggotanya masuk ke
pesantren-pesantren dan sekolah. Rencana itu dipaparkan oleh Panglima TNI
Jenderal Moeldoko saat menggelar silaturrahmi antara TNI dan Ormas Islam di
Mabes TNI Cilangkap kemarin (10/9). Moeldoko menyatakan pihaknya siap membantu
negara untuk memerangi kelompok yang dikabarkan sempalan Al-Qaidah itu. “Kami
siap memerangi ISIS di Indonesia. Apalagi kini keberadaan ISIS semakin nyata”.
Pria asal Kediri itu
mengatakan TNI sudah menyiapkan cara untuk menangkal keberadaan kelompok
radikal itu. Caranya dengan menerjunkan anggota TNI ke pesantren-pesantren dan
sekolah. Tidak dalam rangka memata-matai institusi tersebut namun prajurit TNI
akan menjadi pengajar. Mereka akan mengajar tentang pemahaman kebangsaan dan
membongkar apa sebenarnya paham ISIS yang dianggap terlarang itu. Menurut dia
dengan cara-cara yang membuka wawasan akan lebih mudah memberi pengajaran
(Radar Sulteng, 12/9).
Pesantren sudah
sejak lama dicurigai sebagai lahan subur ideologi terorisme hanya karena
sebagian pelaku terorisme alumni salah satu pesantren Ngruki. Memori itu oleh
media Tempo hendak dihadirkan kembali ke permukaan untuk membenarkan asumsi
yang terlampau tidak adil terhadap pesantren, bahwa perilaku terorisme adalah
produk pesantren. Sikap TNI yang ingin mengajari pesantren dan sekolah-sekolah
wawasan kebangsaan menunjukkan apriori yang berlebihan terhadap dunia
pesantren. Padahal, pesantren adalah lembaga perguruan asli Indonesia yang
menjadi penyokong utama nalar kebangsaan. Pesantren menjadi tempat persemaian
universalitas Islam, nilai lokal, dan nilai kebangsaan. Lalu mengapa TNI harus
masuk ke pesantren untuk mengajarkan wawasan kebangsaan?
Pesantren
adalah korban. Tetapi anehnya, beberapa elemen bangsa justeru melanggengkan
narasi ‘korban’ itu. Setiap gerakan terorisme berkembang, pesantren menjadi
salah satu titik yang ‘patut’ diwaspadai. TNI sebagai elemen ketahanan nasional
merasa penting untuk masuk ke pesantren, untuk “mengajari” pesantren tentang
wawasan kebangsaan.
Memang
harus diakui, perkembangan masyarakat Islam Indonesia belakangan memang sangat
pesat. Pesantren-pesantren berbasis salafisme pun berkembang dengan
pesat. Munculnya beberapa pelaku teroris bom Bali yang merupakan alumni
Pesantren Ngruki menyebabkan kecurigaan terhadap pesantren mulai tumbuh.
Padahal, simplifikasi ini membahayakan eksistensi pesantren. Ajaran Islam
memang mengandung unsur “perlawanan” terhadap ketidakadilan yang terefleksi
dari semangat jihad. Tetapi, pada pelaku bom bunuh diri memiliki pengalaman
personal yang sangat panjang dimana wacana tidak semata dipengaruhi oleh
pesantren. Artinya, wacana kepesantrenan –kalaupun mengarah pada radikalisme
agama- tidak tunggal dan dominan dalam memengaruhi pilihan individu seseorang.
Ada banyak faktor lain yang menyebabkan seorang alumni pesantren tumbuh menjadi
pribadi yang berbeda dengan semangat kepesantrenan.
Dalam
sejarah Indonesia, pesantren adalah salah satu sendi utama bangsa Indonesia
dalam merebut kemerdekaan dan menginisiasi integrasi agama (Islam) dan nalar
kebangsaan. Peran Kyai Hasyim Asy’arie dalam mendorong perlawanan terhadap
tentara Sekutu dalam perang Surabaya tangga1 10 November 1948 adalah bentuk
nyata peran pesantren dalam konteks nasionalisme. Seruan jihad Kyai Hasyim
Asyarie membangkitkan perlawanan para santri yang ikut bergabung dengan pasukan
Bung Tomo.
Di
kawasan Timur Indonesia, ada tiga pesantren “tua” yang memiliki pengaruh
penting dan menjadi elemen penting dalam konteks pembangunan bangsa. Pesantren
yang dimaksud adalah pesantren Al-Khairat yang berbasis di Palu (Sulawesi
Tengah), Pesantren As’adiyah yang berbasis di Sengkang (Sulawesi Selatan), dan
Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad) yang berbasis di Barru, Pinrang, dan
Pare-Pare (Sulawesi Selatan). Tiga pesantren ini memiliki jaringan yang cukup
kuat di kawasan Timur Indonesia.
Pesantren
Al-Khairat menjadi simbol dari penerimaan ulama terhadap nasionalisme. SIS
Al-Jufri yang populer dalam masyarakat Sulawesi Tengah dengan sebutan “Guru
Tua” adalah ulama yang secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada
kemerdekaan Republik Indonesia, ketika diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta.
Pesantren
Al-Khairat menjadi simbol Islam nasionalis dengan watak moderat. Pesantren
Al-Khairat mendapatkan kepercayaan publik yang sangat tinggi untuk menjadi
tempat persemaian keislaman dengan model yang moderat dan damai. Perhatikan
petikan wawancara berikut:
Disini, tidak bisa
berkembang yang begitu-begitu. Orang Bodoh itu kalau ada yang mau bergabung
seperti ISIS itu. Kuat Al- Khaerat disini pak! Kalau sudah ada yang aneh-aneh
pasti orang sudah tolak. Saya pernah juga pak diajak oleh (Jamaah) tabligh.
Saya bilang bagus, tetapi kalau sudah berlebih-lebihan sudah susah. Kalau
Al-Khaerat itu sederhana pak. Sehari-hari yang lurus saja (An, warga palu)
Ini
ungkapan seorang warga Palu yang sehari-hari berprofesi sebagai supir angkutan
umum yang melayani jasa pengangkutan dari Bandara ke segala jurusan dalam kota.
Ada dua idiom menarik dari kalimatnya. “kuat Al- Khaerat disini” dan “yang
aneh-aneh”. Al-Khaerat menjadi penting dalam struktur sosial masyarakat Palu.
Lembaga pesantren yang dididirikan oleh Al-Mukarram Sis (Sayyid Idrus bin
Salim) Al-Djufrie menjadi titik tolak bagi warga untuk mengartikulasikan identitas
keislamannya. Al-Khaerat berhasil menciptakan ‘imajinasi’ tentang apa yang
disebut dengan Islam yang baik bagi warga Palu. Sehingga dalam pikiran sopir
tadi, JT (Jamaah Tabligh) adalah sesuatu yang aneh, asing, bukan bagian dari
dirinya. Karena cara beragamanya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Al-
Khaerat yang “sederhana dan sehari-hari lurus”. Tentu saja yang dimaksud sopir
tadi adalah sistem “khuruj” yang menjadi ciri khas JT.
Dengan
cara itu pula, si sopir merasa kalau orang yang mau ikut gerakan radikal itu
adalah orang bodoh. Gerakan itu bukan hanya tidak sesuai dengan ‘angan-angan’
tentang Islam yang sebenarnya tetapi juga tentang ‘pengorbanan’ yang tidak
masuk dengan melakukan tindakan-tindakan radikal seperti bom bunuh diri. Warga
ini percaya betul model keagamaan yang dikembangkan Al-Khaerat adalah mekanisme
pertahanan yang sangat efektif dalam mencegah segala bentuk pengaruh Islam yang
muncul belakangan.
Suara
rakyat ini tentu saja bukan suara hampa yang lahir dari kekaguman yang
berlebihan terhadap Al-Khaerat. Kelompok elit Palu pun merasakan hal yang sama.
Salah contoh adalah petikan wawancara berikut ini:
Di Palu tidak ada (radikalisme)...
karena ada lembaga pendidikan yang sudah mengakar. Al-Khaerat yang paling besar
di Sulawesi Tengah. Al-khaerat ini kan punya paradigma keagamaan yang moderat.
Di lain tempat ada juga DDI, NU, dan juga Muhammadiyah. Jadi yang radikal
hampir pasti tidak bisa masuk ke Palu. Bahkan menurut saya di Poso pun,
masyarakat tidak terlalu respon. (Wawancara Khaerullah, KUA Palu Selatan).
Al-Khaerat menjadi
isu penting dibicarakan dalam konteks Sulawesi Tengah tanpa bermaksud
mengabaikan organisasi massa Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiyah.
Al-khaerat telah demikian berhasil mengembangkan satu sistem norma Islam yang
berangkat dari cara berfikir Islam yang moderat. Lembaga pendidikan Al-Khaerat
yang berjumlah ribuan di kawasan Timur Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah,
Manado, Maluku dan Maluku Utara menjadi pilar penting pembentukan generasi
muslim Indonesia yang moderat.
Peran
pesantren kembali menjadi signifikan dalam konteks nasionalisme ketika terjadi
pergolakan politik yang berbasis agama dengan munculnya DI/TII yang dipimpin
oleh Kahar Muzakkar. Pergolakan politik yang semula terjadi karena distribusi
militer yang kurang adil berubah menjadi gerakan politik Islam.
Kahar
Muzakkar mendirikan Darul Islam (Negara Islam) dan mencoba mempromosikan ke
umat Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu cara yang dilakukan oleh Kahar
Muzakkar adalah merekrut ulama Sulawesi Selatan sebagai bagian dari
pemerintahannya. Beberapa ulama dibawa (paksa) masuk ke hutan untuk dijadikan
sebagai menteri. Ulama yang sempat dibawa adalah KH. Abdurrahman Mattammeng, KH.
Abdurrahman Ambo Dalle, KH. Junaid Sulaiman, KH. Rafi Sulaiman dan beberapa
ulama lainnya. Ulama-ulama As’adiyah secara tegas menolak keberadaan DI/TII.
Mereka tidak bersedia diajak untuk menjadi bagian dari DI/TII.
Pesantren
harus diletakkan sebagai bagian penting dalam proses ‘perlawanan’ terhadap
terorisme dan radikalisme agama bukan sebaliknya. Dalam konteks Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Selatan, pesantren telah memainkan peran yang sangat penting dalam
proses membangun nasionalisme dan sekaligus menolak bentuk radikalisasi agama.
Para
ulama berperan penting dalam ‘gagal’-nya gerakan DI/TII di Sul-sel dengan
menolak bergabung. Kalaupun ada beberapa ulama yang bergabung, itu melalui
proses “penculikan”. Hanya KH. Ahmad Marzuki (pendiri Pesantren Darul
Istiqamah) yang secara nyata memberi dukungan. Ulama-ulama seperti AG.H.
Abdurrahman Ambo Dalle, AG.H. Abdurrahman Mattammeng, AG.H. Junaid Sulaiman,
AG.H. Rafii Sulaiman yang sempat ikut ke hutan tidak membangun keberpihakan ideologis.
Ketika mereka keluar dari hutan tak satu pun yang melanjutkan model perjuangan
Islam ala DI/ TII. Gurutta Ambo Dalle misalnya kembali sebagai “tulang punggu”
pesantren DDI dengan mengembangkan wacana keislaman sunni yang moderat dan
toleran. Sedangkan ulama lain seperti AGH. Yunus Martan, AG.H. Muhammad Ramli,
dan AG.H. Abdul Malik Muhammad secara tegas menolak. Bahkan penolakan AGH.
Yunus Martan dan AGH. Abdul Malik Muhammad disertai dengan cerita-cerita
karamah.
Jargon
“Negara Islam” yang dikampanyekan oleh Kahar Muzakkar tidak cukup kuat menarik
perhatian para ulama Sulawesi Selatan. Dengan demikian, gagalnya gerakan DI/TII
tidak semata-mata karena keberhasilan negara “menghabisi” pasukan Kahar melalui
operasi militer, tetapi juga karena para ulama tidak memberi dukungan penuh.
Mengapa
para ulama Sulsel menolak DI/TII? Para ulama ini sudah khatam dengan “fiqhu
siyasah”. Politik dalam pengertian semua madzhab Sunni adalah perilaku yang
tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad (Ahmad Baso, 2013). Politik yang dipahami
oleh para ulama nusantara yang berhaluan Syafi’ian adalah politik berbasis
kemaslahatan umat. Pembentukan Negara Islam adalah ijtihadi, bukan dharuri.
Pilihan, bukan kewajiban syar’i. Kalaupun dilakukan harus dengan tujuan
utama (maqasid syar’i) kemaslahatan umat bukan bentuk negara. Oleh
karena itu, ulama Indonesia tidak memiliki pemahaman untuk memformalkan agama
sebagai bentuk negara.
Pesantren Al-Khaerat, Pesantren As’adiyah, Pesantren DDI (Darul
Dakwah wal Irsyad, dan pesantren lainnya telah membuktikan diri sebagai bagian
penting dalam perjalanan memelihara ideologi dan wacana keislaman yang
berkesesuaian dengan visi kebangsaan Indonesia. Alumni pesantren ini menjadi
bagian dari penyebar model keislaman moderat yang menyebabkan wacana keislaman
di Indonesia berjalan pada alur moderatisme dan lentur terhadap perubahan
sosial yang terjadi dari masa ke masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar