Senin, 15 Januari 2018

Melawan Radikalisme Agama dengan Pesantren

HAMZAH HARUN  AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Saya mohon maaf kepada panitia bila kemarin saya banyak tanya kenapa kegiatan ini dilakukan di pesantren. Jangan-jangan ada yang susupi. Karena sekarang ini banyak persepsi negatif terhadap pesantren terkait dengan pesantrennya Abu Bakar Baasyir. Kemarin saya yang membacakan deklarasi penolakan ISIS di Kab. Gowa. Kalau soal Pancasila, kami setiap hari senin membacakan pancasila di upacara bendera.

Ungkapan ini disampaikan oleh pimpinan Pesantren NU Bahrul Ulum Kab. Gowa ketika memberi sambutan acara seminar kebangsaan “Implementasi Nilai Pancasila dalam Masyarakat” kerja sama eLSAS dan Kementerian Dalam Negeri tanggal 25 September 2014. Ungkapan yang menunjukan ‘kekhawatiran’ pesantren dikaitkan dengan ideologi radikal seperti ISIS adalah bentuk terjemahan dari cara pandang dunia terhadap Islam. Pasca tragedi WTC (World Trade Center) pada tanggal 11 September 2001, sentimen anti- Islam bermunculan dimana-mana. Mulai dari intimidasi kaum muslim di Eropa hingga munculnya film dan kartun yang ‘menghina’ Nabi Muhammad.
Cara ini kembali terlihat ketika ISIS mulai merebak di seluruh dunia. Islam Indonesia menjadi obyek perhatian dunia. Kedatangan Tony Blair pada tanggal 12 September 2014 yang secara khusus membahas Islam di Indonesia mengindikasikan itu. Islam Indonesia menjadi penting dibicarakan dalam dua hal, sebagai tempat jaringan terorisme dan sekaligus sebagai tempat perlawanan ideologis. Kedatangan Tony Blair menunjukkan betapa Islam Indonesia menjadi perhatian dunia ‘ketika’ terorisme kembali merebak. Ini tentu saja, tidak terlepas dari simplikasi Islam dan terorisme yang memang mulai menggejala pasca tragedi 9/11.
Akibat yang paling menyedihkan dari simplikasi itu adalah munculnya perspektif yang buruk terhadap pesantren. Kemunculan jaringan ISIS di Indonesia membuat pesantren kembali menjadi ‘tertuduh’ seperti yang dirasakan oleh pimpinan Pesantren Bahrul Ulum tadi. Media nasional Tempo.com sudah menunjukkan tuduhannya terhadap pesantren dengan membuat judul berita yang sangat simplistis. Terduga anggota ISIS Pernah Nyantri di Tebuireng. Pilihan judul ini tentu tidak muncul begitu saja tetapi ada upaya yang melanggengkan defenisi lama yang mengaitkan pesantren dengan kegiatan terorisme di Indonesia. Semua orang tahu, pesantren Tebuireng adalah pesantren yang memiliki sejarah panjang dan peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Tidaklah mungkin pesantren Tebuireng menjadi tempat pembibitan gerakan radikalisme agama.
Beberapa hari sebelumnya, Jenderal TNI Moeldoko mengeluarkan pernyataan untuk masuk ke pesantren dan sekolah untuk mencegah penyebaran paham ISIS. Perhatikan petikan berita di bawah ini:
Perkembangan IS di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Keberadaan kelompok radikal itu sudah terdeteksi di beberapa kota seperti Solo dan Pekanbaru. Untuk menangkal semakin berkembangnya kelompok terlarang itu, TNI akan mengerahkan anggotanya masuk ke pesantren-pesantren dan sekolah. Rencana itu dipaparkan oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko saat menggelar silaturrahmi antara TNI dan Ormas Islam di Mabes TNI Cilangkap kemarin (10/9). Moeldoko menyatakan pihaknya siap membantu negara untuk memerangi kelompok yang dikabarkan sempalan Al-Qaidah itu. “Kami siap memerangi ISIS di Indonesia. Apalagi kini keberadaan ISIS semakin nyata”.
Pria asal Kediri itu mengatakan TNI sudah menyiapkan cara untuk menangkal keberadaan kelompok radikal itu. Caranya dengan menerjunkan anggota TNI ke pesantren-pesantren dan sekolah. Tidak dalam rangka memata-matai institusi tersebut namun prajurit TNI akan menjadi pengajar. Mereka akan mengajar tentang pemahaman kebangsaan dan membongkar apa sebenarnya paham ISIS yang dianggap terlarang itu. Menurut dia dengan cara-cara yang membuka wawasan akan lebih mudah memberi pengajaran (Radar Sulteng, 12/9).
Pesantren sudah sejak lama dicurigai sebagai lahan subur ideologi terorisme hanya karena sebagian pelaku terorisme alumni salah satu pesantren Ngruki. Memori itu oleh media Tempo hendak dihadirkan kembali ke permukaan untuk membenarkan asumsi yang terlampau tidak adil terhadap pesantren, bahwa perilaku terorisme adalah produk pesantren. Sikap TNI yang ingin mengajari pesantren dan sekolah-sekolah wawasan kebangsaan menunjukkan apriori yang berlebihan terhadap dunia pesantren. Padahal, pesantren adalah lembaga perguruan asli Indonesia yang menjadi penyokong utama nalar kebangsaan. Pesantren menjadi tempat persemaian universalitas Islam, nilai lokal, dan nilai kebangsaan. Lalu mengapa TNI harus masuk ke pesantren untuk mengajarkan wawasan kebangsaan?
Pesantren adalah korban. Tetapi anehnya, beberapa elemen bangsa justeru melanggengkan narasi ‘korban’ itu. Setiap gerakan terorisme berkembang, pesantren menjadi salah satu titik yang ‘patut’ diwaspadai. TNI sebagai elemen ketahanan nasional merasa penting untuk masuk ke pesantren, untuk “mengajari” pesantren tentang wawasan kebangsaan.
Memang harus diakui, perkembangan masyarakat Islam Indonesia belakangan memang sangat pesat. Pesantren-pesantren berbasis salafisme pun berkembang dengan pesat. Munculnya beberapa pelaku teroris bom Bali yang merupakan alumni Pesantren Ngruki menyebabkan kecurigaan terhadap pesantren mulai tumbuh. Padahal, simplifikasi ini membahayakan eksistensi pesantren. Ajaran Islam memang mengandung unsur “perlawanan” terhadap ketidakadilan yang terefleksi dari semangat jihad. Tetapi, pada pelaku bom bunuh diri memiliki pengalaman personal yang sangat panjang dimana wacana tidak semata dipengaruhi oleh pesantren. Artinya, wacana kepesantrenan –kalaupun mengarah pada radikalisme agama- tidak tunggal dan dominan dalam memengaruhi pilihan individu seseorang. Ada banyak faktor lain yang menyebabkan seorang alumni pesantren tumbuh menjadi pribadi yang berbeda dengan semangat kepesantrenan.
Dalam sejarah Indonesia, pesantren adalah salah satu sendi utama bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan menginisiasi integrasi agama (Islam) dan nalar kebangsaan. Peran Kyai Hasyim Asy’arie dalam mendorong perlawanan terhadap tentara Sekutu dalam perang Surabaya tangga1 10 November 1948 adalah bentuk nyata peran pesantren dalam konteks nasionalisme. Seruan jihad Kyai Hasyim Asyarie membangkitkan perlawanan para santri yang ikut bergabung dengan pasukan Bung Tomo.
Di kawasan Timur Indonesia, ada tiga pesantren “tua” yang memiliki pengaruh penting dan menjadi elemen penting dalam konteks pembangunan bangsa. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren Al-Khairat yang berbasis di Palu (Sulawesi Tengah), Pesantren As’adiyah yang berbasis di Sengkang (Sulawesi Selatan), dan Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad) yang berbasis di Barru, Pinrang, dan Pare-Pare (Sulawesi Selatan). Tiga pesantren ini memiliki jaringan yang cukup kuat di kawasan Timur Indonesia.
Pesantren Al-Khairat menjadi simbol dari penerimaan ulama terhadap nasionalisme. SIS Al-Jufri yang populer dalam masyarakat Sulawesi Tengah dengan sebutan “Guru Tua” adalah ulama yang secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada kemerdekaan Republik Indonesia, ketika diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta.
Pesantren Al-Khairat menjadi simbol Islam nasionalis dengan watak moderat. Pesantren Al-Khairat mendapatkan kepercayaan publik yang sangat tinggi untuk menjadi tempat persemaian keislaman dengan model yang moderat dan damai. Perhatikan petikan wawancara berikut:
Disini, tidak bisa berkembang yang begitu-begitu. Orang Bodoh itu kalau ada yang mau bergabung seperti ISIS itu. Kuat Al- Khaerat disini pak! Kalau sudah ada yang aneh-aneh pasti orang sudah tolak. Saya pernah juga pak diajak oleh (Jamaah) tabligh. Saya bilang bagus, tetapi kalau sudah berlebih-lebihan sudah susah. Kalau Al-Khaerat itu sederhana pak. Sehari-hari yang lurus saja (An, warga palu)
Ini ungkapan seorang warga Palu yang sehari-hari berprofesi sebagai supir angkutan umum yang melayani jasa pengangkutan dari Bandara ke segala jurusan dalam kota. Ada dua idiom menarik dari kalimatnya. “kuat Al- Khaerat disini” dan “yang aneh-aneh”. Al-Khaerat menjadi penting dalam struktur sosial masyarakat Palu. Lembaga pesantren yang dididirikan oleh Al-Mukarram Sis (Sayyid Idrus bin Salim) Al-Djufrie menjadi titik tolak bagi warga untuk mengartikulasikan identitas keislamannya. Al-Khaerat berhasil menciptakan ‘imajinasi’ tentang apa yang disebut dengan Islam yang baik bagi warga Palu. Sehingga dalam pikiran sopir tadi, JT (Jamaah Tabligh) adalah sesuatu yang aneh, asing, bukan bagian dari dirinya. Karena cara beragamanya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Al- Khaerat yang “sederhana dan sehari-hari lurus”. Tentu saja yang dimaksud sopir tadi adalah sistem “khuruj” yang menjadi ciri khas JT.
Dengan cara itu pula, si sopir merasa kalau orang yang mau ikut gerakan radikal itu adalah orang bodoh. Gerakan itu bukan hanya tidak sesuai dengan ‘angan-angan’ tentang Islam yang sebenarnya tetapi juga tentang ‘pengorbanan’ yang tidak masuk dengan melakukan tindakan-tindakan radikal seperti bom bunuh diri. Warga ini percaya betul model keagamaan yang dikembangkan Al-Khaerat adalah mekanisme pertahanan yang sangat efektif dalam mencegah segala bentuk pengaruh Islam yang muncul belakangan.
Suara rakyat ini tentu saja bukan suara hampa yang lahir dari kekaguman yang berlebihan terhadap Al-Khaerat. Kelompok elit Palu pun merasakan hal yang sama. Salah contoh adalah petikan wawancara berikut ini:
Di Palu tidak ada (radikalisme)... karena ada lembaga pendidikan yang sudah mengakar. Al-Khaerat yang paling besar di Sulawesi Tengah. Al-khaerat ini kan punya paradigma keagamaan yang moderat. Di lain tempat ada juga DDI, NU, dan juga Muhammadiyah. Jadi yang radikal hampir pasti tidak bisa masuk ke Palu. Bahkan menurut saya di Poso pun, masyarakat tidak terlalu respon. (Wawancara Khaerullah, KUA Palu Selatan).
Al-Khaerat menjadi isu penting dibicarakan dalam konteks Sulawesi Tengah tanpa bermaksud mengabaikan organisasi massa Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiyah. Al-khaerat telah demikian berhasil mengembangkan satu sistem norma Islam yang berangkat dari cara berfikir Islam yang moderat. Lembaga pendidikan Al-Khaerat yang berjumlah ribuan di kawasan Timur Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah, Manado, Maluku dan Maluku Utara menjadi pilar penting pembentukan generasi muslim Indonesia yang moderat.
Peran pesantren kembali menjadi signifikan dalam konteks nasionalisme ketika terjadi pergolakan politik yang berbasis agama dengan munculnya DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Pergolakan politik yang semula terjadi karena distribusi militer yang kurang adil berubah menjadi gerakan politik Islam.
Kahar Muzakkar mendirikan Darul Islam (Negara Islam) dan mencoba mempromosikan ke umat Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu cara yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar adalah merekrut ulama Sulawesi Selatan sebagai bagian dari pemerintahannya. Beberapa ulama dibawa (paksa) masuk ke hutan untuk dijadikan sebagai menteri. Ulama yang sempat dibawa adalah KH. Abdurrahman Mattammeng, KH. Abdurrahman Ambo Dalle, KH. Junaid Sulaiman, KH. Rafi Sulaiman dan beberapa ulama lainnya. Ulama-ulama As’adiyah secara tegas menolak keberadaan DI/TII. Mereka tidak bersedia diajak untuk menjadi bagian dari DI/TII.
Pesantren harus diletakkan sebagai bagian penting dalam proses ‘perlawanan’ terhadap terorisme dan radikalisme agama bukan sebaliknya. Dalam konteks Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, pesantren telah memainkan peran yang sangat penting dalam proses membangun nasionalisme dan sekaligus menolak bentuk radikalisasi agama.
Para ulama berperan penting dalam ‘gagal’-nya gerakan DI/TII di Sul-sel dengan menolak bergabung. Kalaupun ada beberapa ulama yang bergabung, itu melalui proses “penculikan”. Hanya KH. Ahmad Marzuki (pendiri Pesantren Darul Istiqamah) yang secara nyata memberi dukungan. Ulama-ulama seperti AG.H. Abdurrahman Ambo Dalle, AG.H. Abdurrahman Mattammeng, AG.H. Junaid Sulaiman, AG.H. Rafii Sulaiman yang sempat ikut ke hutan tidak membangun keberpihakan ideologis. Ketika mereka keluar dari hutan tak satu pun yang melanjutkan model perjuangan Islam ala DI/ TII. Gurutta Ambo Dalle misalnya kembali sebagai “tulang punggu” pesantren DDI dengan mengembangkan wacana keislaman sunni yang moderat dan toleran. Sedangkan ulama lain seperti AGH. Yunus Martan, AG.H. Muhammad Ramli, dan AG.H. Abdul Malik Muhammad secara tegas menolak. Bahkan penolakan AGH. Yunus Martan dan AGH. Abdul Malik Muhammad disertai dengan cerita-cerita karamah.
Jargon “Negara Islam” yang dikampanyekan oleh Kahar Muzakkar tidak cukup kuat menarik perhatian para ulama Sulawesi Selatan. Dengan demikian, gagalnya gerakan DI/TII tidak semata-mata karena keberhasilan negara “menghabisi” pasukan Kahar melalui operasi militer, tetapi juga karena para ulama tidak memberi dukungan penuh.
Mengapa para ulama Sulsel menolak DI/TII? Para ulama ini sudah khatam dengan “fiqhu siyasah”. Politik dalam pengertian semua madzhab Sunni adalah perilaku yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad (Ahmad Baso, 2013). Politik yang dipahami oleh para ulama nusantara yang berhaluan Syafi’ian adalah politik berbasis kemaslahatan umat. Pembentukan Negara Islam adalah ijtihadi, bukan dharuri. Pilihan, bukan kewajiban syar’i. Kalaupun dilakukan harus dengan tujuan utama (maqasid syar’i) kemaslahatan umat bukan bentuk negara. Oleh karena itu, ulama Indonesia tidak memiliki pemahaman untuk memformalkan agama sebagai bentuk negara.

Pesantren Al-Khaerat, Pesantren As’adiyah, Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad, dan pesantren lainnya telah membuktikan diri sebagai bagian penting dalam perjalanan memelihara ideologi dan wacana keislaman yang berkesesuaian dengan visi kebangsaan Indonesia. Alumni pesantren ini menjadi bagian dari penyebar model keislaman moderat yang menyebabkan wacana keislaman di Indonesia berjalan pada alur moderatisme dan lentur terhadap perubahan sosial yang terjadi dari masa ke masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...