Membaca konsepsi al-mashlahah al-Thufi dengan merujuk kepada buku aslinya Risalah fi Ri’ayah al-mashlahah, maka konklusi pertama kita tarik adalah kemashlahatan sebagai faktor determinan pengembangan hukum dalam pandangan-pandangannya, berpijak dari pemahaman mendasar hadis Nabi
“Ia dharar wala dhirar” yang dikaitkan dengan tujuan Allah mensyariatkan hukum lewat wahyu dan hadis Nabi. (Imam al-Thufi: 1993) Dataran pemikiran Thufi yang berfokus pada kemashlahatan itu seperti dipaparkan Dr.Wahbah Zuhaily (Zuhaily:1986), serta Dr.Husain Hamid (Hasan: 1981) sebagai berikut:
1. Akal bebas menentukan kemashlahatan dan kemafsadatan. Akal merupakan alat mengetahui kemashlahatan ini harus dimanfaatkan secara optimal.
2. Mashlahat merupakan dalil syara’ yang berdiri sendiri, tidak memerlukan sandaran syahid nash, baik dalam bentuk nau’ maupun jenis.
3. Objek atau cakupan penerapan mashlahat ini adalah bidang muamalat, bukan ibadat. Ibadat merupakan otoritas Tuhan karena akal tidak mampu mengetahui dimensi cara, waktu dan tempat. Ibadat merupakan hak Tuhan, sedangkan Muamalat kemashlahatan manusia.(al-Thufi: 1993)
4. Mashlahah merupakan dalil syara’ yang sangat kuat. Kuatnya dalil ini karena tujuan segalanya dalam hukum Islam adalah kemashlahatan (al-Thufi: 1993)
Pandangan yang masih teoritis diatas, oleh Thufi dilandasi dengan dalil-dalil penguat baik yang umum (ijmaliy) maupun yang rinci (tafshily)(al-Thufi: 1993). Dalil umum ialah firman Allah (QS. Yunus: 57-58).
يَاَيُّهَاالنَّاسُ قّدْ جَاءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ . قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَخَيْرٌ مِّمَّايَجْمَعُوْنَ
Terjemahnya:
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.“Katakanlah dengan kurnia Allah dan Rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira. Kurnia dan rahmat Allah itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Menurut Thufi, ayat Qur’an tersebut mengandung tujuh aspek yaitu:
1. Pelajaran sebagai kandungan al-Qur’an.
2. Kehadiran al-Qur’an sebagai obat
3. Al-Qur’an sebagai petunjuk
4. Al-Qur’an sebagai rahmat
5. Hubungan perbuatan Allah dengan rahmat-Nya.
6. Perintah bergembira.
7. Nilai lebih dari kemashlahatan yang ditunjuk al-Qur’an. (al-Thufi: 1993)
Dalil yang merinci tentang kemashlahatan itu, kata Thufi dapat kita temukan dalam al-qur’an, sunnah, ijma’, dan nalar. (al-Thufi: 1993), baik Alquran maupun Alsunnah penuh dengan ayat-ayat dan sabda yang meletakkan penekanan pada kemashlahatan jiwa, harta dan kehormatan.
Di samping itu, kedua sumber tersebut mengandung perinsip dinamis dalam masalah sosial kemasyarakatan (muamalat). Akan halnya ijma’ adalah jelas bahwa dasar dan tujuannya adalah kemashlahatan (al-Thufi: 1993). Berkaitan dengan nalar menurut Thufi, keberadaannya sebagai dalil rinci terpaut dengan Tuhan sebagai Syari’, yang pada prinsipnya selalu memperhatikan kemashlahatan, mengharuskan manusia mencari dimensi dan corak ke arah itu sebagai konsekwensi logisnya. (al-Thufi: 1993).
Selanjutnya Thufi menjelaskan, bahwa alasan yang mendasar atas dikedepankannya mashlahah atas nash dan ijma’ lewat mekanisme takhsish dan bayan –bukan lewat mekanisme iftiat dan ta’thil adalah sebagai berikut:
1. Bahwa sanya, pengingkar ijma’ itu sendiripun sepakat akan status mashlahat (baca: mashlahat mu’tabarah), jika demikian halnya, berarti eksistensinya merupakan hal yang disepakati, sementara ijma’ adalah medan ikhtilaf, maka mempertahankan sesuatu yang telah disepakati, lebih kuat dan utama dari pada mempertahankan hal-hal yang masih dipertentangkan.
2. Bahwa, nash-nash itu juga bermacam-macam dan kadang saling kontradiktif, sehingga menimbulkan benih-benih pertentangan yang tidak sehat dalam hukum Islam, memelihara dan memper-tahankan mashlahat, dengan sendirinya menciptakan kesepakatan yang tidak menimbulkan ikhtilaf ..., maka mengikutinya merupakan hal yang lebih utama.
3. Telah jelas bahwa terdapat beberapa konteks hadis secara tekstual kontradiktif dengan mashlahat salah satu diantara contoh-contoh yang dikemukakan Thufi adalah, ketika Abu Bakar diperintahkan untuk menyerukan “barang siapa yang mengucapkan la ilaha illa Allah, niscaya ia akan masuk Syorga” ketika Umar menemukan Abu Bakar melakukan hal itu, Umarpun keberatan dan melarang-nya. Dalam peristiwa yang sama, Abu Hurairah pun pernah ditegur oleh Umar karena dianggapnya konteks seperti itu kontradiktif dengan mashlahat ummat.(Hasan: 1981)
Maka apabila mashlahat dan mafsadat saling berbenturan, maka alternatif yang ditawarkan Thufi adalah, perlunya suatu kaedah khusus yang bisa menghilangkan perbuatan itu, misalnya: bila suatu perbuatan hanya memiliki satu unsur mashlahat, maka yang satu itulah yang dikerjakan, namun apabila mengandung beberapa unsur mashlahat, menurut Thufi kita menempuh dua alternatif; jika memungkinkan kita kerjakan semuanya, kita kerjakan. Dan apabila tidak memungkinkan, maka kita memilih sebagian atau salah satu unsur mashlahat yang bisa kita kerjakan sebatas kemampuan. (Hasan: 1981).
Selanjutnya kata Thufi, bila tidak bisa dikerjakan lebih dari satu mashlahat, maka cukup hanya mengerjakan satu dari mashlahat tersebut, tapi apabila memungkinkan untuk kita kerjakan lebih dari satu, dan mashlahatnya itu sendiri bertingkat-tingkat, maka kita memasang skala prioritas dalam arti mendahulukan yang terpenting dari yang penting-penting lainnya. Tapi bila mashlahah-mashlahah itu mempunyai status derajat yang sama dan tidak dikhawatirkan akan terjadinya suatu image negatif dari pihak lain, maka kita kerjakan berdasarkan ikhtiar. Tapi bila dikhawatirkan adanya image negatif tersebut, maka kita menentukan melalui prosedur qur’ah (undian). (Hasan: 1981)
Begitu juga dalam masalah mafadat, Thufi menjelaskan ; bila dalam suatu perbuatan hanya memiliki satu kemungkinan mafsadah, maka mafsadah yang satu itu kita tinggalkan, tapi bila mengandung lebih dari satu mafsadat, jika memungkinkan untuk ditinggalkan semuanya, kita tinggalkan semuanya, tapi bila hal itu tidak memungkinkan, maka kita tinggalkan mafsadah yang bisa untuk kita tinggalkan. (Hasan: 1981)
Selanjutnya Thufi menjelaskan, bila kita tidak mampu untuk meninggalkan lebih dari satu dari mafsadah-mafsadah tersebut, maka cukup kita tinggalkan satu diantara mafsadat yang ada, namun jika kita tidak berhalangan untuk meninggalkan lebih dari satu, sementara mafsadah-mafsadah yang ada berada dalam status yang tidak sama, maka kita kembali memasang skala prioritas dengan meninggalkan mafsadah yang lebih parah dari sederet parah-parah lainnya, namun jika mafsadah mempunyai tingkatan atau derajat yang sama, dan tidak ada kemungkinan akan timbulnya suatu image negatif, maka menurut Thufi, kita tinggalkan lewat jalur ikhtiari, sedang bila ada kemungkinan terjadinya image negatif, maka kita kembali menggunakan methode undian atau qur’an seperti yang telah disebutkan sebelumnya. (Hasan: 1981).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar