Secara etimologi, “As-Sunnah” berarti “cara” atau “jalan”, baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela.9 Hadits Rasulullah dalam pengerti-an ini, adalah: “Barangsiapa yang me-rintis sebuah jalan kebaikan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudah nya, maka ia akan mendapat
pahala seperti pahala orang-orang pengikut nya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala para pengikut tersebut. Begitu pula sebaliknya, orang yang merintis jalan kesesatan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa para pengikutnya tanpa dikurangi sedikit pun beban dosa para pengikut tersebut”. 10 Adapun pengertian hadits secara terminologi mempunyai beberapa pe-ngertian antara lain: pertama, Menurut terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarah nya, baik sebelum kenabian11 maupun sesudahnya.12 Kedua, Para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”.13 Ketiga, menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa14, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat, Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan atau pengkodifikasian Hadits15, temasuk di dalamnya Ijtihad sahabat sebagai Sunnah berdasar pada hadits Rasulullah SAW. berbunyi: “ ’Alaikum bi assunnatî wa sunnati al khulafâi ar râsyidîna al mahdiyyîn“.16 Kelima, Sunnah juga diidentikkan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan Bid’ah.Demikianlah beberapa defenisi tentang “Sunnah” dari berbagai pakar. Maka ketika kita membicarakan aqidah Ahlus sunnah, maka tak pelak lagi, bahwa yang dimaksudkan adalah aqidah yang telah dicontohkan (diajarkan) oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Dan selanjutnya, orang yang berpegang teguh dan konsisten terhadap aqidah tersebut dinamakan “Ahlussunnah”. Dan hanya aqidah seperti inilah yang disepakati keabsahannya oleh mayoritas ummat Islam,17 sehingga kata “Ahlussunnah” dilengkapi dengan kata “wal jama’ah” sesudahnya, menjadilah “Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah”. Dan hanya aliran inilah satu-satunya yang dijamin oleh Rasulullah selamat dari api neraka. Ketika hadits tentang “perpecahan ummat” dibaca oleh semua aliran dan sekte-sektenya dalam Islam, ketika itu, tampillah masing-masing dari mereka mengklaim dirinya sebagi “golongan selamat”. Ibnu al-Muthahhar dalam mengutip statemen gurunya, Nashir al-din Al-Thsusy, tokoh aliran Syi’ah Imamiyah, ketika ditanya tentang “golongan yang selamat” seperti yang tertuang dalam hadits Nabi: ” Sataftariqu ummatî ‘alâ tsalâtsi wasab’îna firqatan wâhidatun minhâ nâjiyah wal bâqi fi annâr“ ketika itu al-Thusy menjawab dengan mengutip salah satu hadits yang menurutnya shahih, berbunyi: “mitslu ahli baitî kamitsli safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhallafa gharaqa“ Hadits tersebut, menurut Thusy, memberi indikasi bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah aliran Syi’ah Imamiah.18
Ibnu Taimiah, salah seorang tokoh Salaf abad VII H. dengan tegas meng-counter sinyalemen Thusy di atas dalam buku- nya Minhaj al- Sunnah.19 Ibnu Taimiah --dalam mematahkan argumen Thusy --meninjaunya dari delapan aspek, dan pada point kelima, Ibnu Taimiah menjelaskan bahwasanya hadits Rasulullah SAW. menyangkut “aliran yang selamat” hanya berbunyi: “ man kâna ‘ala mitslî ma anâ ‘alaihi al yauma wa ashhâbî “ dan dalam riwayat lain berbunyi: “ Hum al jamâ’ah“. Menurut Ibnu Taimiah, justru hadits ini sendiri yang menolak eksistensi Syi’ah Imamiah sebagai aliran yang selamat. Sebab mereka dengan terang keluar dari jalur yang menjadi kesepakatan kaum Muslimin, seperti: menganggap kafir atau fasik Abu Bakar dan Umar, demikian halnya kepada tokoh ulama dan ahli ‘Ubbad mayoritas ummat lainnya. Adapun hadits yang disebutkan Thusy sebagai hadits shahih di atas masih perlu ditinjau keabsahannya sebab Imam Az-Dzahaby20 dan al-Albany21 sendiri menganggapnya sebagai hadits dhaif. Tapi yang masyhur adalah kalimat itu dari Imam Malik dengan konteks: “ As sunnatu mitslu safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhalafa ‘anhâ halaka“.
Ibnu Taimiah dalam menjelaskan maksud perkataan ini beliau mengatakan: “Konteks ini benar, sebab orang-orang yang menumpang pada perahu Nabi Nuh a.s. hanyalah yang membenarkan kerasulan dan mengikutinya, sedangkan orang yang enggan menaiki perahu tersebut adalah orang-orang yang mendustakan kerasulan, maka mengikuti Sunnah berarti mengikuti kerasulan dengan segala konsekwensinya seperti halnya para penumpang perahu Nuh tersebut demikian pula sebaliknya”.22
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah tak ketinggalan mengklaim dirinya sebagai “Ahlul Haq” dan selanjutnya sebagai “Al-Firqah an-Najiah” (golongan selamat). Salah seorang tokoh terkemuka Mu’tazilah ‘Amr bin ‘Ubaid berkata kepada Khalifah al- Manshur: “ Adzharu al haq yattabi’uka ahluh” yang dia maksudkan “ahlu al haq” di sini adalah aliran Mu’tazilah dengan mengambil landasan dari sebuah riwayat Sufyan al-Tsaury dari Ibnu Zubair dari Jabir bin Abdullah dari Nabi SAW. berkata: “Sataftariqu ummatî ‘ala bidh’i wa sab’îna firqatan abirruhâ wa atqâha al fiah al mu’tazilah“ 23
Demikianlah upaya kaum Mu’tazilah untuk membenarkan pendapatnya, sadar atau tidak, mereka melakukan dua hal yang kontradiksi dalam diri mereka sendiri, yaitu: mereka dengan tegas menetapkan tidak bolehnya berhujjah dengan hadits Ahad terhadap masalah-masalah i’tiqad, sementara hadits yang disebutkan di atas sama sekali tidak ditemukan di tempat yang lain. Setidaknya hadits tersebut --kalau memang benar-- diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, atau paling tidak disebutkan dalam kitab-kitab Sunan yang lain. Itu sebabnya, Dr. Muhammad Bakray mengatakan bahwa; “Kaum Mu’tazilah dalam ambisiusnya untuk membenarkan pendapat-pendapatnya, akhirnya hadits-hadits nabi diobral sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, walaupun hadits tersebut disepakati oleh Bukhari-Muslim.24 Demikianlah kondisi objektif aliran-aliran dalam Islam, tidak satupun dari mereka ingin ketinggalan, kecuali tampil mengibarkan panji fanatismenya sebagai pemilik otoritas kebenaran. Sebagai konsekwensi logis dari fanatisme tersebut, nash-nash religius --Alqur’an dan Hadits-- diselewengkan demi mempertahankan pendapatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar