Tak pelak lagi, bahwa letak keunggulan Asy’ari dari tokoh-tokoh lainnya adalah segi metodologisnya yang moderat antara dua ekstrimis: ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan ekstrim tekstualis yang literlijk.Yang pertama diekspresikan oleh Mu’tazilah dan yang kedua oleh Hanabilah.
Asy’ari menilai bahwa kedua kutub pemikiran tersebut masing-masing mempunyai titik kelemahan yang bisa berimplikasi kepada kehancuran Islam. Yang pertama akan menggiring aqidah kepada persoalan-persoalan filsafat yang merusak orisinilitas Islam dan yang kedua akan berimplikasi kepada stagnasi pemikiran. Untuk itu, kata Asy’ari, tak ada pilihan lain kecuali berupaya untuk memadukan kedua ekstrimis ini sehingga bisa menciptakan spirit dan integritas ummat. Jalan satu-satunya menurut Asy’ari adalah mendudukkan akal dan nash secara selaras.57 Berpijak dari kerangka metodologis ini, maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidak menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sikh (seperti terkesan hal itu ada pada para Filososof), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itupun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy’ari, sebagai seorang pendukung ahlul Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari kitab maupun yang dari sunnah, menurut makna harfiah atau literernya. Oleh karena itu, kalaupun ia melakukan takwil, ia lakukan secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hambali dan metode takwil kaum Mu’tazilah. Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan faham Asy’ari secara universal dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar