Ulama dan tokoh-tokoh Asy’ari menurut Prof. Dr. Ali Sami al-Nasyar, adalah ulama yang berhak menyandang predikat Filosof Islam yang sebenarnya. Sebab mereka yang mampu menampilkan secara substansial kandungan Alqur’an dan Sunnahnya secara filosofis,30 begitu pula visi teologi
Aswaja telah menjelma dan mengkristal pada pemikiran mereka, sehingga mazhab Asy’ari mampu menjadi sampel aqidah Aswaja sampai saat ini31 dan telah terpelihara sampai Allah menerima bumi dan seisinya (hari kiamat).32 Asya’irah adalah pengikut Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abil Basyar al-Asy’ari yang lahir di Bashrah tahun 260 H. dan wafat 326 H. di Bagdad seperti yang dikatakan Ibnu ‘Asakir (w. 571 H.)33begitu pula Abu Bakar Ibnu Fourak (w. 371 H.)34 dan dikonfirmasikan oleh Prof. Dr. Musthafa Abdul Raziq (w. 1366 H.).35 Dengan dasar itu Abu al-Hasan al-Asy’ari dialah yang mempertahankan aqidah Aswaja dengan dalil-dalil aqli dan dalil-dalil logika.36 Seperti yang dikemukakan Dr. Hammudah Guraba bahwa, Asy’ari pada perkembangan awalnya menganut dan mendalami aliran Mu’tazilah lewat seorang tokohnya di Bashrah pada saat itu yang bernama Ali bin Ali al-Jubba’i, sampai dia mencapai dan menguasai mazhab Mu’tazilah yang kemudian gurunya memberi penghargaan kepadanya dan tidak jarang dia sering diberi mandat untuk mewakili gurunya di berbagai perdebatan yang digelar. Dan kondisi seperti itu berlangsung sampai dia mencapai umur 40 tahun.37
Meskipun Asy’ari telah lama menggeluti dan menyelami mazhab Mu’tazilah lewat gurunya yang terkenal itu (Al-Jubba’i), namun dia merasa belum mendapatkan sesuatu yang bisa menenangkan hatinya, yang mampu menentramkan jiwanya ketika menghadapi berbagai isu dan persoalan ilmu Kalam. Karena menurutnya, para ulama yang beraliran Mu’tazilah telah melampaui batas dan berlebih-lebihan sehingga agama nampak tidak lebih dari sekadar isu-isu filosofis dan argumentasi logika, nash tidak lagi menjadi acuan dan pedoman, tapi justru sebaliknya menjadi perbudakan akal. Dari segi lain, Asy’ari melihat kesimpulan-kesimpulan keagamaan sebahagian Hanabilah yang keluar dari batas yang sewajarnya, nash-nash hanya diinterpretasikan dalam batas-batas harfiah dan tekstual yang berimplikasi pada kenyataan bahwa agama hanya merupakan nash-nash baku. Al-Mutawwakil ketika menjabat sebagai Khalifah, secara resmi memberi dukungan kepada para pengikut Salaf disamping dukungan mayoritas kepada mereka.Tapi lama kelamaan mereka justru mengembangkan pemikiran baku yang hampir melebihi pemikiran Mu’tazilah yang melampaui batas. Komitmen mereka terhadap tekstualitas nash menjadikan munculnya otoritas naqli sebagai alternatif dari otoritas akal. Tercatat bahwa kelompok mayoritas ulama Hanabilah cukup memiliki pengaruh terbesar pada akhir abad ke-3 H., disamping kelompok lain yang berlabel kelompok al-Karamiyyah pengikut Muhammad bin Karam (w. 256 H.) terkenal dengan faham antropomortifismenya, merupakan kelompok yang representatif atas kelompok al-Gullat yang dimaksud.38
Para pengkaji berbeda persepsi memberi interpretasi tentang faktor apa yang melatarbelakangi Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah dan membangun mazhab baru. Mayoritas dari mereka, berasumsi bahwa Asy’ari bertujuan dengan pendekatan aliran barunya menghapus perbedaan antara kalangan Fuqaha dan Mutakallimin dan antara Mutakallimin itu sendiri.39 Dr. Jalal Musa misalnya dalam melihat peralihan itu mengatakan: “Asy’ari merupakan tokoh yang memiliki dua analisa yang kuat menyaksikan dua peristiwa yang berlainan. Di satu pihak, Asy’ari melihat Fuqaha dan Muhadditsin perhatiannya hanya tersalurkan pada pemahaman keagamaan dengan mendekati dalil-dalilnya dalam bentuk Ijma’, Qiyas dan sebagainya. Di pihak lain, Asy’ari melihat usaha dan upaya Mutakallimin hanya mempertahankan agama dari serangan luar (musuh Islam) dengan memakai pendekatan debat, mantiq juga otoritas akal dan keseringan membuang nash. Yang meresahkan Asy’ari karena permusuhan kedua kubu yang dimaksud nampak serius, sehingga dalam hatinya sering timbul sebuah pertanyaan: “Mengapa tidak mungkin orang sebagai Faqih pada saat yang sama dia adalah Mutakallimin dan menggabungkan antara Fiqh dan Kalam sementara itu bukan suatu hal yang mustahil.” Dalam bentuk lain, Asy’ari melihat Mu’tazilah menempatkan akal sebagi goal (tujuan) dan Hanabilah begitu juga Hasyaniyyah menjadikan nash sebagi acuan.40 Sebagai konsekwensi dari peristiwa itu, Dr. Hammudah Gurabah mengatakan: “Asy’ari memiliki alternatif moderat karena menurutnya metodologi Mu’tazilah akan berimplikasi pada kehancuran Islam. Sementara metodologi Muhadditsin dan Musyabbihat akan membawa terjadinya stagnasi dan kehancuran, disamping memecahkan persatuan umat Islam, juga akan semakin memperuncing titik-titik perbedaan antara keduanya. Adalah merupakan kepentingan umat Islam kalau sekiranya bisa dipertemukan antara kalangan rasionalis dan tekstualis dalam suatu orientasi moderat yang diharapkan mempersatukan persepsi dan mengembalikan keutuhan disamping memberi respek kepada akal dan nash secara selaras”.41 Menarik untuk disimak, karena Dr. Ahmad Muhammad Jily, mantan dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Omdurman, Sudan, justru tidak menerima interpretasi di atas bahkan diklaimnya sebagai penafsiran keliru. Dia mengatakan bahwa pengakuan di atas hanya berdasar pada asumsi tidak benar. Diantaranya, asumsi yang mengklaim bahwa metode Muhadditsin dan ulama-ulama Hambali adalah metodologi tekstual yang tidak mengggunakan akal dan analisa dan metodologi Asy’ari adalah manhaj moderat antara metodologi tekstual yang beku dan manhaj rasionalis yang tidak mengenal batas, ketiga adalah bahwa Asy’ari yang dimaksud mereka adalah Asy’ari yang diwakili ulama Asya’irah Mutaakhirin.42 Dr. Ahmad Jily setelah membantah kesimpulan di atas, menyebutkan faktor-faktor yang sebenarnya melatarbelakangi peralihan itu. Menurutnya, keberalihan Mazhab itu disebabkan: pertama, karena Asy’ari menolak aliran rasional Mu’tazilah yang mengakui kemampuan akal dalam menyelesaikan segala bentuk problematika teologi. Kedua, ketidakmampuan al-Jubbai merespon pertanyaan-pertanyaan Asy’ari meng-ilhami adanya perasaan dalam dirinya atas kelemahan akal manusia menghakimi dan menilai perbuatan-perbuatan Tuhan dan mengotak-atik wahyu. Ketiga, boleh jadi menurut dia, Asy’ari merasa dan mengetahui bahwa Mu’tazilah berubah menjadi golongan yang terisolasi jauh dari masalah-masalah yang menjadi perhatian ummat Islam saat itu khususnya ketika memunculkan isu “kemakhlukan Alqur’an” dan ketika gagal mengajak umat untuk menganut pahamnya.43
Pada saat itu Asy’ari mengalami hal seperti itu, dia mengisolasi diri dari komunitasnya dan menetap di rumahnya selama 15 hari, merivisi kembali aliran-aliran yang ada, memeriksa dalil- dalinya satu persatu, meneliti dan mengujinya secara mendalam dan serius serta mentarjih mazhab yang kuat. Setelah hal itu dilakukan, dia berkesimpulan bahwa dalil-dalil setiap mazhab semuanya sama, yang satu tidak lebih kuat dari yang lain. Karena dia belum menemukan harapannya, setelah itu dia tawakkal kepada kepada-Nya meminta pertolongan lalu ditunjuki jalan untuk berpegang pada jalan Salaf al-Ummah dari kalangan Fuqaha dan Muhadditsin dan meninggalkan perilaku bid’ah Mu’tazilah dan paham-pahamnya yang sesat.44 Setelah mengalami penderitaan ini akhirnya dia tampil di depan orang banyak dan mengajak mereka untuk mengikuti missinya di mesjid Bashrah lalu mengatakan: “Wahai manusia, siapa yang mengenal aku maka dia telah mengenal saya yang sebenarnya, dan siapa yang tidak mengenal saya, maka aku telah mengenalnya; aku adalah Fulan bin Fulan yang telah meyakini bahwa Alqur’an itu makhluk dan Tuhan tidak bisa terlihat oleh mata manusia dan perbuatan jahat itu adalah perbuatan saya, maka aku telah bertaubat dan membuang semua itu dan akan membabat golongan Mu’tazilah. Wahai manusia, sesungguhnya kealpaan saya selama ini adalah untuk meninjau kembali semua mazhab yang ada ternyata menurut saya semua itu tidak ada yang kuat dari yang lain, akhirnya saya meminta hidayah kepada-Nya lalu Dia menunjukkan saya hidayah-Nya untuk meyakini semua yang aku tulis ini dan saya telah melepaskan diri dari semua yang aku yakini sebelumnya seperti halnya aku membuka pakaian yang aku pakai ini.” Lalu dia membuka pakainnya dan memberikan buku yang dia tulis sesuai dengan jalan yang diikuti kalangan Muhadditsin dan Fuqaha kepada jama’ah saat itu.45 Ini salah satu riwayat yang dikemukakan ahli sejarah ketika menyinggung proses kejadian perpindahan Asy’ari dari Mu’tazilah yang kemudian dianggap sebagai awal munculnya mazhab Asy’ari. Dan inilah riwayat yang dianggap mendekati kebenaran dan logis dan sesuai dengan tabiat perkembangan pemikiran pada saat meninggalkan sebahagian keyakinan dan kepercayaan. Dimana diawali dengan munculnya keraguan kemudian keraguan itu berkembang dan semakin kuat yang berakhir dengan pencabutan diri dari aliran itu dan menganut mazhab baru yang dianggap memenuhi harapan dan mendekati kebenaran. Namun suatu hal yang unik ketika kita membaca karya Dr. Jalal Musa. Beliau menuduh Ibnu Asakir memalsukan riwayat di atas, bahkan dia mengklaim bahwa Ibnu Khalikkan dan al-Subki menukil riwayat itu dari dia. Salah satu alasan pemalsuan itu, karena Ibnu Asakir mengatakan bahwa buku-buku yang disuguhkan Asy’ari kepada orang di mesjid saat itu diantaranya: kitab al-Luma’, Kasyf al-Asrar wa Hatk al- Atsar.46 Sementara dua buku yang dimaksud --menurut Dr. Jalal-- tidak masuk akal kalau ditulis hanya dalam tempo 15 hari dan ditulis oleh Asy’ari sementara masih menganut mazhab Mu’tazilah. Karena itu berarti Asy’ari tidak komitmen terhadap aqidahnya dimana meyakini suatu mazhab dan mengarang buku tentang mazhab lain. Lebih lanjut dia mengukuhkan persepsinya itu bahwa kitab al-Luma’ bukan karangan Asy’ari dalam priode transisi tapi seperti yang diyakini orang, menurut Dr. Jalal buku itu ditulisnya pada masa kematangannya, bahkan yang masyhur bahwa buku al-Luma’ itu buku karangan Asy’ari yang paling terakhir bukan al- Ibanah seperti yang diasumsikan orang.47 Bukan hanya itu, Dr. Jalal Musa juga meragukan kebenaran peristiwa telanjangnya Asy’ari di depan orang pada hari Jum’at di atas mimbar sebagai bukti Asy’ari meninggalkan faham-faham Mu’tazilah. Dia juga tidak melihat adanya tendensi tertentu di balik isolasi diri Asy’ari selama masa yang tidak lama itu. Namun penulis melihat, apa yang dikemukakan Dr. Jalal itu tidak mudah untuk kita cerna. Karena tokoh yang memiliki status dan bobot keilmuan seperti Asy’ari tidak sulit baginya untuk mengarang dua buku yang tadi disinggung dalam kurun waktu 15 hari, dan penulis cenderung untuk melihat adanya sisi kebenaran yang ada pada kesimpulan jumhur ulama yang mengkonfirmasi buku al-Ibanah sebagai karangan terakhir Asy’ari. Mengenai keraguannya atas kebenaran pencabutan baju Asy’ari di atas mimbar sebagi bukti bahwa dia meninggalkan faham-faham Mu’tazilah, penulis tidak menemukan sumber Dr. Jalal yang memvonis bahwa Asy’ari saat itu hanya memakai satu baju dimana kalau mencabut baju yang satu itu Asy’ari akan telanjang bulat di depan umum. Padahal Dr. Jalal tidak menyadari kalau dia terjebak dengan redaksi riwayat itu. bunyi riwayat itu hanya menyebutkan: “kamâ ankhali’u min tsaubî hâdzâ wa ankhaliu min tsaubin kâna alihi“ yang sangat berbeda kalau redaksi riwayat itu menyebutkan: “ kamâ ankhali’u min tsaubî al wahîd hâdzâ“. Penulis juga tidak menerima asumsi Dr. Jalal yang tidak melihat adanya tendensi tertentu di balik persembunyiannya selama 15 hari.
Korelasinya dengan tema ini, sejarawan juga sering menyebutkan peristiwa mimpi Asy’ari melihat Rasulullah. Dalam mimpinya itu Nabi menyuruh untuk memperjuangkan mazhab yang benar yang bersumber dari Rasulullah dan mimpi itu berulang 3 kali dalam bulan Ramadhan tepatnya sekali di awal bulan, sekali di pertengahan dan sekali lagi di akhir bulan.48 Tapi menurut penulis, pemikir Muslim siapa saja akan merasa mustahil kalau sekiranya seorang tokoh ulama besar diberi hidayah kebenaran selama dia selalu mencarinya. Tapi anehnya, Dr. Jalal Musa hanya menukil dua riwayat dari berbagai riwayat yang bercerita tentang mimpi Asy’ari itu, lalu dianalisanya dengan analisa yang didominasi dengan negative thinking yang pada akhirnya menuduh Ibnu Asakir membuat-buat riwayat itu.49 Seperti halnya Dr. Jalal, Dr. Abdul Rahman Badawi pun tidak menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan itu dan memvonisnya sebagai riwayat palsu. Dia mengatakan: “Meskipun cerita mimpi Asy’ari itu masyhur di kalangan para Fuqaha dan sebagian ulama Kalam, tapi riwayat-riwayat itu nampak kontradiksi dengan kenyataan. Dimana perkembangan pemikiran manusia berawal dari keraguan dan terus semakin berkembang dan akhirnya meninggalkan mazhab itu kemudian membuat mazhab baru. Sementara mimpi yang dialaminya itu memberi indikasi perubahan insidentil yang tidak melalui proses-proses perubahan yang semestinya...”.50
Penulis dalam hal ini justru tidak melihat sisi benturan yang dinyatakan Dr. Abdul Rahman Badawi di atas. Karena kalau perkembangan pemikiran (at-Tathawwur az-Dzihny) mesti ada dalam diri Asy’ari, maka tidak mustahil mimpi itu dialaminya pada perkembangan pemikirannya yang terakhir, setelah keraguannya atas Mu’tazilah semakin kuat, argumentasi-argumentasi setiap mazhab tidak ada yang mampu meyakinkannya. Sebab itu, mimpi baginya merupakan sebab turunnya hidayah Allah yang diceritakannya itu. Cukuplah kelestarian mazhab Aswaja sampai saat ini merupakan bukti dan saksi bisu atas kebenaran mimpi itu. “Besar kemungkinan, kata Dr. Ahmad Muhammad Gurabah, bahwa mimpi itulah sebagai sebab utama terjadinya orientic transferring bagi Asy’ari. Tapi saya meyakini bahwa mimpi itu merupakan terapi dari problematika-problematika psikologi dan spritual yang diarasakan Asy’ari, karena aliran Mu’tazilah lebih khusus seperti yang digambarkan gurunya, al-Jubbai memuat dan mengandung berbagai persoalan-persoalan rumit yang dia tidak bisa temukan solusinya. Asy’ari tidak menceritakan kebingungan intelektualnya ini seperti yang dilakukan Imam al-Ghazali dalam karya momentalnya al-Munqidz min ad-Dhalal, juga dia tidak bercerita tentang berapa lama dia mengalami kebingungan itu. Meskipun secara jelas kebingungan itu betul-betul dia rasakan. Untuk membuktikan hal itu, adalah mimpinya dan pidatonya sendiri tentang peralihannya. Dalam mimpinya yang kedua, dia bertanya pada Nabi, apa yang seharusnya saya lakukan? Saya sudah keluar dari aliran kebenaran seperti yang Rasulullah gariskan. Saya pun sudah mengikuti dalil-dali yang tepat dan benar mengenai ketuhanan. Sementara pada mimpi ketiga kembali dia mengajukan pertanyaan kepada Nabi, bagaimana bisa saya meninggalkan aliran saya yang telah kudalami pokok-pokok persoalannya dan dalil-dalilnya selama 30 tahun?51
Sementara dalam pidatonya dia mengatakan: “Saya telah berpikir secara mendalam ternyata kesimpulan saya bahwa tak satupun dalil yang lebih dari yang lain tapi semuanya sama.” Kemudian ketika membangun mazhab barunya dia mengatakan: “Saya telah diberi hidayah untuk meyakini semua yang telah kutulis dalam kitab-kitabku ini dan telah kubuang semua keyakinan yang telah kuanut”.52 Disamping itu, perdebatan-perdebatan dan dialog yang sering terjadi antara Asy’ari dengan gurunya tidak bisa dilepas dalam rangka menginterpretasi sebab peralihannya itu. Perdebatan-perdebatan itu tercatat di berbagai sumber dan referensi menyebabkan sikap pro-kontra di kalangan para ilmuan. Salah satu perdebatan yang digelar dan sangat populer adalah perdebatannya menyoroti masalah kebaikan( ash shalâh wa ashlah). As- Subki mengatakan bahwa Al-Jubbai ditanya oleh Asy’ari, bagaimana pandangannya mengenai orang mu’min, orang kafir dan anak kecil. Al-Jubbai menjawab: “Orang mukmin termasuk dalam golongan yang memperoleh kebaikan (ahlu ad darajât) dan orang kafir termasuk dalam kelompok binasa (ahlu al muhlikât ) sementara anak kecil termasuk dalam golongan selamat (ahlu an najâh)”.
Setelah itu, Asy’ari memberi umpan balik dan mengatakan: “Apa mungkin andaikan anak kecil ingin mencapai tingkatan ahl ad-Darajat?” Dijawab oleh gurunya: “Hal itu tidak mungkin karena orang mukmin hanya bisa mencapai tingkatan itu dengan amalnya, sementara anak kecil belum pernah mencetak suatu amal baik.” “Tapi kan kesalahan itu bukan kesalahan anak kecil! Karena dia berhak mengajukan keberatan dan mengatakan: ‘Andaikan Tuhan menghidupkan saya sampai besar, saya mampu melakukan amal baik seperti halnya orang mukmin’,” Asy’ari menjawab. Gurunya kembali menjelaskan: “Kalau sekiranya anak kecil keberatan seperti itu, nanti akan dijawab Tuhan: ‘Saya sudah tahu, kalau kamu sampai besar kamu akan berbuat dosa yang menyebabkan kamu disiksa dan itu demi kepentingan dan kemaslahatanmu’.” Asy’ari kembali mengajukan pertanyaan dan mengatakan: “Kalau begitu orang kafir bisa keberatan dan mengatakan: ‘Engkau Tuhan juga tahu kondisiku tapi kamu tidak memperhatikan kemaslahatanku seperti halnya anak kecil’.” Dengan pertanyaan Asy’ari itu, gurunya, al-Jubbai menjadi bingung dan tidak mampu menjawabnya.53 Mengomentari hal itu, al-Subki mengatakan: “Masalah ini sebenarnya sudah tuntas, karena keyakinan Asy’ari bahwa tidak ada kewajiban yang dibebankan pada Tuhan, dan tidak berbuat sesuatu karena adanya sebab lain tapi Tuhan adalah memiliki segala sesuatu dan Tuhan semesta alam, tidak ada yang bisa menghalangi kalau sekiranya dia ingin merubah hamba-Nya dari hamba baik menjadi hamba yang tidak baik, tidak bisa diminta pertanggungjawabannya tidak seperti halnya manusia biasa.54 Perdebatan antara Asy’ari dengan gurunya di atas seperti yang dinyatakan Dr. Ahmad Gurabah cukup menjadi bukti terhadap penderitaan dan kebingungan intelektual yang diderita Asy’ari, sambil menegaskan bahwa McDonald, seorang orientalis melihat peristiwa debat itu sebagai salah satu sebab utama peralihan Asy’ari.55 Penulis dalam hal ini melihat bahwa tidak mustahil adanya keterikatan yang erat antara faktor-faktor yang disebutkan para penulis di atas dalam melatarbelakangi peralihan Asy’ari dari akidah Mu’tazilah ke Aswaja. Bahkan tidak melihat adanya kontradiksi, tapi faktor dan sebab itu cukup mendorong Asy’ari untuk memperjuangkan eksistensi akidah ahl as-Sunnah. Prestasi Asy’ari dalam memelihara dan mempertahankan akidah Aswaja bisa dijadikan sebagai argumentasi atas ketulusan dan kebenaran niatnya. Kalau Imam al-Asy’ari dan perubahan mazhabnya dari Mu’tazilah menjadi Ahlus -Sunnah wa al-Jama’ah sebagai cikal bakal munculnya mazhab Asy’ari, maka kiranya faktor dan sebab perubahan itu merupakan sebab utama munculnya pemikiran Asy’ari. Kita yakini seperti yang ditegaskan Dr. Ibrahim Bayyumi Madkur bahwa peristiwa “Khalq al-Qur’an” sesuai dengan yang masyhur dalam sejarah dianggap sebagai batas pemisah antara sikap ekstrim dan moderat dalam studi-studi ilmu Kalam, dan membuka pintu tegaknya missi Asy’ari. Asy’ari bahkan dianggap sebagai penyalur bagi kecenderungan-kecenderungan pada masanya. Salah satu bukti yang menonjol pada waktu munculnya missi dan dakwahnya di Bashrah pada saat yang sama muncul dua pemikir dan ulama yang mempropagadakan ajaran seperti ajaran Asy’ari. Pemikir itu adalah At-Tahtawi (w. 321 H.) di Mesir dan Al-Maturidi (w. 333 H.) di Samarkand dan keduanya bermazhab Hanafi dan mendakwahkan untuk berpegang teguh pada al-Kitab dan Sunnah-Nya dan mengikuti pendapat-pendapat sahabat dan Tabi’in. Meskipun mazhab Asy’ari sangat mendominasi dan berkuasa pada saat itu menyebabkan kedua ajaran yang dimaksud nampak kurang vokal. Sehingga mazhab Asy’ari menyebar di dunia Islam.56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar