Kamis, 16 Februari 2012

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN AL-THUFI


Pemikiran ushul fiqhi al-Thufi yang banyak mendapat kritikan dari ulama lainnya adalah pemikirannya yang berkaitan dengan dasar keempat teori mashlahatnya, yaitu mashlahat merupakan dalil syara’ yang sangat kuat (Zuhaily: 1986). Dasar ini seakan secara serta merta Thufi mendahulukan mashlahat atas nash
dan ijma’ “Taqdim al-mashlahat ‘ala al-nash wa al-ijma” seperti yang dibesar-besarkan oleh para pengeritiknya antara lain al-Buthi (al-Buthy: t.th) dan Zuhaily (Zuhaily: 1986) serta Husein Hamid Hassan (Hasan: 1981). Mereka memahami, bahwa al-Thufi terlalu mengandalkan akal dalam menentukan mashlahah meskipun mashlahat itu berbenturan dengan nash syar’i. (Zuhaily: 1986)
Dr. Yusuf Qardhawi  menilai, bahwa kemungkinan terjadinya kontradiksi antara nash qath’i dengan maslahah haqiqi adalah suatu hal yang mustahil. Bahkan menurnya, anggapan ini bukan hanya tidak mendapat dalil penguat oleh akal, naqal dan realita, tetapi akal, naqal dan realita itu sendiri yang menolaknya.(Qardhawi: t.th). Sejalan dengan Qardhawi, Sayyid Qutub mengatakan, Islam adalah suatu aturan dari Maha Perencana yang menciptakan hukum bagi semesta alam, yang Maha mengetahui segala apa yang berkembang di dalamnya sekaligus memperhitungkan semua perkembangan sejarah yang bakal terjadi, berikut apa yang tercakup dalam perkembangan sosial, ekonomi dan konsepsi pada umumnya.(Munawwir: 1986)
Dengan demikian–kata Qardhawi-, tidak satu pun mashlahah hakiki yang mampu membendung atau mengcounter hukum Allah yang diwajibkannya lewat nash-nash qath’i, semisal membolehkan khamar, riba, khala’ah, membatalkan zakat, melarang polygami, mem-bolehkan tindak kejahatan, menyamakan antara anak pria dan wanita dalam status warisan dan lain-lain, sebagaimana yang selalu didengun-kan orientalis barat dewasa ini.(Qardhawi: t.th)
Memang anggapan diatas bisa dibenarkan, sebab, seperti ditegaskan sendiri oleh Sayyid Qutub, bahwa lewat perinsip seperti itulah Tuhan menyusun cetak biruNya, meliputi segala perinsip dan kaedah, di mana perkembangan manusia tidak bakal mampu menembus batas-batasnya; bahkan perinsip itu, membiarkan kondisi ummatnya berkembang menurut perjalanan waktu dan tuntunan kebutuhan dalam batas-batas perinsip umum, kaedah-kaedah menyeluruh yang tidak dikemukakan perinciannya kecuali pada persoalan-persoalan yang kebijaksanannya tidak akan berobah dan pelaksanaan tujuannya telah sempurna bagi berbagai kondisi dan situasi (Munawwir: 1986). Dus Syari’at Islam dengan segala sifat unifersal dan komperehensipnya ini, menjamin kondisi hukumnya terhadap pembaruan dan pertumbuhan sampai kapan pun juga.
Akan tetapi, kalau secara sermat dan analitis kita mengkaji konsep mashlahah al-Thufi, analisa Qardhawi dan Qutub di atas sebenarnya tidak jauh beda dengan kerangka pemikiran Thufi, sebab Thufi sendiri tidak meninggalkan nilai-nilai nash syar’i seperti anggapan Zuhaili, dan Husain Hamid, bahkan Thufi dalam Risalahnya mempertegas, bahwa mashlahah yang dimaksud adalah mashlahah yang berpijak dari hadis Rasulullah “Ia dharar wa la dhirar” (al-Thufi: 1993)
Lagi pula, Thufi hanya meletakkan mashlahah lebih kuat dari pada Ijma’, sedangkan nash tetap menduduki yang lebih atas, tidak seperti yang difahami oleh para pengeritiknya (al-Thufi: 1993). Sebab pada hakikatnya, mashlahah yang dimaksud oleh Thufi adalah Nash itu sendiri, sementara mendahulukan suatu nash dari nash lainnya, adalah hal yang disepakati dikalangan ulama ushul (al-Thufi: 1993).
Dan pada akhirnya kita akan sampai kepada titik konklusi, bahwa ungkapan Thujfi tersebut hanya berada dalam kawasan patokan-patokan umum dimana acuannya bertolak bahwa; Ijma’ sering diperselisihkan sedangkan kemashlahatan sebagai suatu yang disepakati (al-Thufi: 1993). Demikian juga nash secara lahir kerap tampak saling berbenturan, berbeda dengan mashlahat yang amat jarang berbenturan (al-Thufi: 1993).
Terlepas dari unsur subjektifitas, Yusuf Qardhawi agak netral menilai al-Thufi, meski juga terkadang sinis memandangnya (Qardhawi: t.th), sebab seperti diungkapkan oleh Qardhawi sendiri, bahwa sikap kontrafersial kalangan ulama pengeritik Thufi merupakan implikasi dari ungkapannya sendiri yang tidak memberikan difrensiasi antara nash (al-qur’an dan hadis) qath’i dan Zhanni baik dari segi tsubutnya maupun dialahnya yang bisa ditakhsis oleh mashlahah.
Dalam konteks seperti ini, menurut Qardhawi, jika yang dimaksudkan Thufi adalah nash-nash Zhanni, berarti itu masih tetap berjalan diatas kewajaran, sementara jika kita putuskan, bahwa yang dimaksud adalah nash-nash qath’i, juga tidak ditemukan dalam ungkapan-ungkapannya, bahkan kata Qardhawi dalam ungkapan-ungkapannya sendiri menunjukkan hal yang sebaliknya, sebagai contoh ia telah mengeksepsi (mengecualikan) persoalan-persolan muqaddarat dan ibadat dalam konsep mashlahahnya (Qardhawi: t.th).
Obsesi Qardhawi diatas, nampaknya telah dijawab secara rinci oleh Dr. Mustafa Zaid dalam bukunya khusus tentang pemikiran Thufi “al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami”, bahwa sebenarnya, secara substansial, tidak terdapat perbenturan dalam nash-nash itu sendiri.perbenturan itu muncul hanya dalam realitas aplikasi hukum yang pada dasarnya terkait erat dengan mujtahid, berujung pada lahirnya hasil ijtihad-ijtihad hukum yang berbeda (Said: t.th). Bagi Thufi menurut Mushtafa Zaid dalil hukum yang terkuat tetaplah nash (aqwaaha al-nash). Ini artinya, apabila nash demikian pula ijma’ telah mengacu kepada suatu kemaslahatan, maka tingkat aplikasi (tatbiq) tidak perlu diperselisihkan untuk ditetapkan. Sedangkan apabila terjadi perbenturan-perbenturan nash dan ijma’ dengan maslahat maka penyelesaiannya yang ditawarkan oleh Thufi harus melalui suatu mekanisme pembatasan atau pengkhususan muatan nash atau takhsis serta bayan. Mekanisme ini hanya tertuju kepada nash-nash yang bersifat umum dengan muatan kandungan yang zhanni, bukan qath’i. (Said: t.th).
Sikap Mustafa Zaid diatas memang logis, namun, kita masih butuh kejelasan lebih jauh dari itu, sebab pembatasan antara dalil Qth’i dan Zanni yang bisa ditakhsis oleh mashlahah, juga tidak ditemukan suatu isyarat yang pasti dari ungkapan al-Thufi, peng-eksepsian (pengecualian) masalah-masalah muqaddarat dan ibadat dalam konsepsinya, kurang tepat bila dijadikan suatu alasan akan hal itu (al-Thufi: 1993). Sebab kedua masalah tersebut hanya sebagai “medan “hukum, dalil merupakan “sarana”dan mashlahah adalah tujuan atau “objek”. Maka mendahulukan tujuan dari pada sarana menurut Thufi adalah wajib (al-Thufi: 1993).  
Dari statement ini dapat difahami bahwa, Thufi seakan-akan mengatakan bahwa, nilai-nilai normatif yang menjadi maqashid (tujuan) syari’ah, jauh lebih utama  ketimbang formulasi zahir dari dalil tersebut, sebab jika secara formulatif sebuah dalil berbenturan dengan dalil lainnya, sama sekali tidak bisa menjadi alasan akan kekurangan kredibilitas syar’ah, sebab bisa saja dalil-dalil yang berbenturan tadi dikompromikan dengan melihat nilai-nilai normatif-nya, apa lewat takhsis atau bayan. Singkatnya, bentuk formulatif (zahir) suatu dalil bukanlah tujuan, tetapi nilai normatif itulah yang menjadi tujuan (maqashid) syari’ah.
Mekanisme alternatif yang dikedepankan oleh Thufi ini menunjukkan bahwa Thufi tidak mendahulukan kemashlahatan dari nash dalam arti iftiat atau pembatalan ta’thil  terhadap nash tersebut (al-Thufi: 1993).
Tuduhan yang dilancarkan oleh ulama-ulama seangkatan dan sesudahnya, agaknya lebih dilatari oleh keengganan melihat secara utuh pemikiran Thufi, dan mungkin pula oleh persaingan interest kelompok yang dapat membawa ketidak-jujuran ilmiah. Yang terakhir ini tampak pada analisa Ibnu Rajab yang agak sinis  menuduh Thufi adalah seorang Syi’i, bahkan kelompok Rafidhah (syiah ekstrim), lantaran Thufi pernah pula menulis sebuah buku yang berjudul al-Azab al-Washib ala Arwah al-Nawasib, suatu buku yang mengeritik orang-orang yang merendahkan Ali K.A.W.
Dataran metodologis yang terfokus pada mashlahat yang di kemukakan oleh Thufi ini secara inplisit, ingin mengajak kita secara mendalam melihat adanya hubungan organik yang jelas antara fiqhi dengan paradigma-paradigma teologis yang selama ini cenderung dilihat secara terpisah. Isyarat ini tampak pada pernyataan bahwa semua tindakan Tuhan (Af’al Allah) mengandung tujuan kemaslahatan dan kemanfaatan buat manusia, dan menjaganya merupakan kewajiban yang harus diperioritaskan (al-Thufi: 1993).
Keterkaitan organik fiqh dan teologi itu tampak pula dalam isyarat-isyaratnya yang agak detail dalam tulisannya yang berjudul Risalah fi ri’ayah al-mashlahah. Upaya mewujudkan fiqh dinamis lewat metode ushul fiqh haruslah dalam rentangan benang merah yang menghubungkannya dengan pemahaman-pemahaman teologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...