Dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan, manusia adalah makhluk paling utama dan pilihan. Utama karena missi yang harus diemban (Baqarah, 30). Pilihan karena ia diistimewakan oleh Tuhan dengan kemampuan dan kecemerlangan akal pikirannya (Ali Imran, 190-191). Manusia -dengan segala kelebihan yang dimiliki-dituntut untuk memahami tujuan dan hakekat penciptaannya. Tanpa demikian, ia pasti akan kehilangan orientasi, dari mana harus berpijak, kemana harus melangkah, kapan sampai dan harus berhenti.
Sasaran hukum Islam seperti kita maklumi disamping untuk mempertahankan dan menjaga eksistensi manusia, juga kepada terciptanya kemaslahatan makhluk secara umum, sebagai bukti bahwa islam adalah “Rahmat” untuk sekalian alam (al-Anbiya: 107). Untuk itu, syariat Islam sangat intens terhadap pemeliharaan aqidah, jiwa, akal dan kehormatan serta harta manusia (Abu Zahrah: 1958).
Diantara pijakan dasar yang di letakkan oleh ulama ushul untuk menjadi pedoman pengaplikasian adalah kaedah “Jalb al-Mashalaih wa Dar’u al-Mafasid” seiring dengan hadis Rasulullah “La Dharar wa la Dhirar”. Adalah najamuddin al-Thufi salah seorang ulama yang cukup populer dalam deretan ulama yang dimaksud, sehingga oleh sebagian ulama menyebutnya sebagai” Pembangun hukum pasca imam empat”. Beliau telah berhasil membentengkan konsepsinya dengan teori “al-Mashlahan” dengan mengambil hadits Rasulullah di atas sebagai pijakan dasar.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba membentengkan sekilas kekhususan konsepsi “al–mashlahah” al Thufi sebagai salah satu persoalan klasik dalam literatur hukum Islam, dalam dasa warsa terkhir ini kembali mencuat dalam forum-forum diskusi dan menimbulkan banyak sikap kontraversial dikalangan ulama Islam. Selain itu, pandangan-pandangan Thufi sering dijadikan alasan oleh pihak-pihak tertentu untuk meninjau kembali ketentuan-ketentuan agama (baca: muqaddarat dan ibadat) pada hal masalah tersebut sama sekali tidak disentuh oleh Thufi dalam konsepnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar