Jumat, 17 Februari 2012

Konsep Keadilan Tuhan (Al-'Adl)


Baik Mu’tazilah maupun Asy’ari masing-masing mengakui sifat keadilan Tuhan. Mu’tazilah meninjau keadilan Tuhan dengan kaca mata rasionalitasnya dengan menitikberatkan kepada “kepentingan manusia”. Sementara Asy’ari menitikberatkan pendekatan teologinya dalam meninjau keadilan Tuhan
kepada “kehendak otoritas Tuhan”.
Dengan demikian, kaum Mu’tazilah menganalogikan keadilan Tuhan kepada keadilan manusia, dalam arti bahwa keadilan erat kaitannya dengan “hak”. Seseorang dikatakan adil bilamana memberikan hak-hak --secara tepat-- kepada sesamanya dengan bahasa yang mudah difaham “menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya”.
Berangkat dari pemahaman di atas, kaum Mu’tazilah memformulasikan konsep keadilan Tuhan kedalam tujuh bentuk. Yaitu:
1.     Tuhan wajib melakukan yang baik dan mustahil melakukan yang buruk;
2.     Tuhan wajib menepati janji-Nya kepada manusia;
3.     Tuhan mustahil berlaku zalim kepada hamba-Nya;
4.     Tuhan mustahil memberikan beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia;
5.     Tuhan wajib memberi imbalan pahala terhadap orang yang taat dan ganjaran siksa bagi orang yang durhaka;
6.     Tuhan wajib memberikan yang terbaik bagi manusia. Seperti: pengiriman Rasul pemberi petunjuk dan memberikan kebebasan --bertindak dan berkehendak-- bagi manusia untuk menentukan perbuatannya;
7.     Perbuatan manusia diciptakan oleh dirinya sendiri, bukan ciptaan Tuhan.72
Itu sebabnya, seorang tokoh terkemuka dalam aliran Mu’tazilah, Qadhi Abdul Jabbar menegaskan bahwa; status kewajiban yang berlaku di alam gaib, tidaklah berbeda dengan status kewajiban yang berlaku di alam nyata. Dengan demikian, kalau seandainya Tuhan tidak membalas orang-orang mukmin karena amal kebaikannya, maka sama halnya dengan orang yang tidak membalikkan titipan orang lain padanya.73
Argumen Mu’tazilah nampaknya tidak memberikan kepuasan kepada Asy’ari, sebab seperti yang telah disebutkan, bahwa Asy’ari dalam teori dialektika teologisnya, selalu menomor satukan nash dengan tidak mengabaikan rasio. Dalam kaitan ini, Asy’ari mengutip sebuah ayat Qur’an “limâ yurîd“, Tuhan bebas melakukan apa-apa yang dikehendaki-Nya. Statemen ini melahirkan sebuah konklusi bahwa tidak ada suatu kewajiban apapun yang harus dibebankan kepada Tuhan. Karena kewajiban menggeser status ketuhanan kepada status ciptaan. Dengan kata lain, ke-Maha Sempurna-an Tuhan terdapat pada “kehendak mutlaknya”. Menyangkut perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri, bukan ciptaan Tuhan” sebagai salah satu konsep “keadilan” Mu’tazilah, Asy’ari mengatakan: Sekiranya manusia menciptakan perbuatannya, berarti --secara pasti-- ada pencipta selain Allah. Menetapkan adanya pencipta selain Allah adalah mustahil. Dengan demikian, mustahil ada ciptaan selain ciptaan Tuhan. Lagi pula, kalau sekiranya manusia yang mengadakan perbuatannya berarti manusia secara pasti mengetahui segala sesuatu yang berlaku padanya. Sebab, sebagaimana lazimnya, seorang yang membuat sesuatu ia pasti tahu dan sadar terhadap apa yang dibuatnya itu. Namun pada realitasnya, manusia tidak selamanya sadar apa yang diperbuatnya. Adalah suatu bukti kongkret manusia tidak menciptakan perbuatannya. Persoalan di atas kemudian melahirkan sebuah teori baru dalam faham Asy’ari dengan term alKasb. Teori ini akan mencoba menggabungkan dua faham yang saling kontradiktif, yakni faham Jabariyyah (yang mengatakan bahwa segala yang terjadi atas diri manusia adalah cipataan manusia tanpa ada ikhtiar bagi manusia) dengan faham Qadariyah (yang beranggapan bahwa segala perbuatan manusia adalah ditentukan manusia sendiri terlepas dari campur tangan Allah). Dalam teori al-Kasb ini, Asy’ari membagi perbuatan manusia dua bentuk: pertama: Al-Af’al al-Idhtirariyyah, dan yang kedua; Al-Af’al al-Ikhtiyariyyah. Yang termasuk dalam bagian pertama adalah segala perbuatan yang bersifat reflektif yang dilakukan secara terpaksa atau di luar alam kesadaran. Sedangkan yang masuk pada bagian kedua adalah segala perbuatan yang dilakukan secara terencana atau terprogram. Dalam bentuk terakhir ini, sebelum manusia bertindak terlebih dahulu Allah memberikan Qudrat dan Iradat padanya sehingga --dengan Qudrat dan Iradat itu-- manusia mampu mengusahakan perbuatannya (al-Muktasib). Selanjutnya perbuatan yang telah diusahakan (al-Kasb) tadi merupakan implikasi dari kekuatan baru yang ada padanya sehingga apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan lalu memutuskan dan berkonsentrasi untuk melakukan perbuatan itu, maka bersamaan dengan itu pula, Allah menciptakan padanya suatu kekuatan untuk berbuat. Postulat yang digunakan Asy’ari dalam pemahaman ini adalah “Sebuah perbuatan diusahakan (al-Kasb) oleh manusia dengan kekuatan yang diciptakan (al-Khalq) oleh Allah padanya”.74 Baik perbuatan idhtirary maupun ikhtiyary dalam konsep “Kasb” Asy’ari termasuk ciptaan Allah, namun bedanya adalah, yang pertama dilakukan oleh manusia secara terpaksa dan yang kedua dilakukan berdasarkan usaha dengan daya diciptakan Allah padanya.75 Selanjutnya dikatakan bahwa perbuatan yang mendapat tuntutan dan pertanggungjawaban hanyalah perbuatan yang kedua (ikhtiyary) tanpa yang pertama (idhtirary).76 Argumen yang dimajukan oleh Asy’ari menyangkut diciptakannya Kasb oleh Allah adalah ayat Alqur’an: “Allâhu khalaqakum wamâ ta’malûn“, artinya: “Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu”.77
Dasar pijakan Asy’ari terhadap teks ayat tersebut oleh berbagai pihak menjadikannya sebagai titik kelemahan terhadap konsep Kasb tersebut. Alasan mereka adalah konteks ayat tersebut tidak bisa dipisahkan dengan konteks sebelumnya itu merupakan satu kesatuan yang tak mungkin berdiri sendiri. Ayat sebelumnya menyangkut kemurkaan Nabi Ibrahim kepada kaumnya karena mereka menyembah berhala sehingga ayat tersebut berbunyi:
“Ibrahim berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat itu.”Maksud ayat ini adalah: Ibrahim menyerukan kepada para penyembah berhala; agar tidak menyembah patung-patung buatan mereka, tapi “sembahlah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan yang telah menciptakan apa-apa yang kamu pahat dari batu itu”.78
Kalaupun pijakan Asy’ari di atas dianggap tidak proposional dan merupakan titik kelemahan konsep al-Kasb Asy’ari, sebenarnya masih terdapat puluhan ayat Alqur’an79 yang bisa memperkuat pandangannya. Tak di-sangkal memang bahwa teori Kasb Asy’ari di atas termasuk persoalan yang sulit dipahami terutama kepada para peneliti yang berpandangan subjektif. Teori Kasb Asy’ari bisa dijadikan alasan bahwa Asy’ari telah menggiring penganutnya menjadi Jabariyyah murni seperti anggapan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiah.80 Sesungguhnya al-Asy’ari bukanlah seorang Jabari sehingga dapat disebut fatalis. Tetapi ia juga bukan seorang Qadari yang berfaham tentang kemampuan penuh manusia menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu’tazilah dan Syi’ah. Al-Asy’ari ingin menengahi antara kedua faham yang bertentangan itu, sebagaimana dalam bidang teologi ia telah menengahi antara kaum Hambali yang sangat naqli (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiah) dan kaum Mu’tazili yang sangat aqli (rasional).81
Jika kita teliti lebih mendalam dan berusaha memahami secara objektif konsep Kasb Asy’ari, tidaklah serumit yang difahami para penentangannya, sebab betul suatu perbuatan takkan bisa terwujud tanpa terpatri antara dua daya dan kehendak (yaitu daya dan kehendak Tuhan dan manusia) menurut konsep Asy’ari tetapi substansi persoalan sebenarnya adalah antara ikhtiar (memilih untuk berbuat) dengan qudrah (daya) dalam berbuat. Dalam konsep Asy’ari ikhtiar tersebut tetap tinggal di depan, dalam arti daya pemberian Tuhan datang bersamaan dengan terlaksananya suatu perbuatan (al-Fi’l). Dengan demikian ikhtiarlah yang menjadi syarat utama unmtuk menilai status sebuah perbuatan. Besar kecilnya sebuah amal kebajikan, demikian juga pelanggaran, selalu ditentukan oleh kualitas ikhtiar seseorang. Jadi ikhtiarlah yang melatarbelakangi terjadinya sebuah usaha (al- Kasb). Meski demikian tidaklah berarti ikhtiar manusia tersebut lepas dari ilmu, iradah dan qudrat Allah SWT. Sebab ikhtiar manusia itu sendiri merupakan kemuliaan dari Allah SWT. untuk hamba-Nya. Tapi ikhtiar dalam pandangan Asy’ari sama sekali tidak mengandung unsur paksaan. Itu sebabnya Asy’ari --seperti disebutkan sebelumnya-- membagi perbuatan manusia kepada dua bagian: perbuatan idhtirariyyah dan perbuatan ikhtiyariyyah.

1 komentar:

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...