HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kasus-kasus gerakan kekerasan
atau demonstrasi diatas adalah potret dari gerakan sosial keagamaan yang
direkam oleh media massa. Di luar itu, masih banyak kasus lain yang tidak
mendapatkan porsi pemberitaan oleh media massa tetapi merefleksikan adanya
problem keagamaan berbasis ideologi purifikasi dan radikal.
Berbagai
kasus kekerasan berbasis agama diatas menunjukkan setidaknya tiga hal, pertama.
Kasus konflik Poso merupakan satu-satunya konflik berbasis agama yang
menyisakan kelanjutan kekerasan berbasis agama, setidaknya hingga kematian
Santoso pada tanggal 18 juli 2016. Militan sipil eks konflik Poso terus menerus
melakukan gerakan perlawanan terhadap pihak kepolisian. Konflik Ambon dan ATM
(Aralle, Tabulahan, dan Mambi) di Sulawesi Barat sejauh ini tidak melahirkan
militansi sipil seperti yang terjadi di Poso. Ekses yang tersisa di Ambon
adalah segregasi pemukiman warga Muslim dan Kristen. Sedangkan di ATM, konflik
yang terjadi tahun 2002-2004 tidak menyisakan ekses apa-apa. Situasi kehidupan
masyarakat di Aralle, Tabulahan, dan Mambi berjalan normal. Kasus Poso
mencerminkan adanya relasi gerakan radikalis internasional dengan gerakan Poso.
Ini yang menyebabkan gerakan Poso seperti mendapatkan nyawa untuk terus
melakukan perjuangan, meski hubungan sosial antar masyarakat pascakonflik sudah
berjalan dengan normal. Pasca kematian Abu Warda atau Santoso, disinyalir ada
perintah dari ISIS di Suriah untuk melakukan aksi balas dendam. Dalam sebuah
wawancara dengan VOA (Voice of America) Indonesia, Ali Fauzi, mantan anggota
Jamaah Islamiyah, menyatakan bahwa ada perintah ada perintah khusus dari
pimpinan kelompok teroris dunia Negara Islam Irak Suriah (ISIS) di Suriah agar
seluruh kelompok militan di Indonesia segera melakukan aksi balas dendam atas
kematian Santoso (dikutip dari www. VOAindonesia.com, diakses tanggal 16
Januari 2017). Lebih jauh, Ali Fauzi mengatakan bahwa kematian Santoso bukan
akhir dari gerakan terorisme di Indonesia. Berikut hasil petikan wawancaranya:
Kalau kita konstruksi
tentang terorisme di Indonesia, mulai dari bom Bali 1, kemudian eksekusi
dilakukan oleh Pemerintah. Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas dieksekusi. Lalu
muncul dokter Azhari, lalu muncul lagi pemimpin baru Noordin M Top. Noordin M
Top ini tewas tertembak di Solo muncul lagi penggantinya. Saya pikir pasca tewasnya
Santoso ini juga akan ada pengganti dari Santoso. Entah itu dari Sulawesi atau
dari Jawa saya belum bisa sebutkan. Tetapi yang jelas kebiasaannya jika leader
pemimpin ini tewas akan muncul berikutnya.
Nalar
Ali Fauwzi tentang kesinambungan generasi pemimpin gerakan radikalisme agama di
Indonesia relatif benar. Kematian Santoso boleh jadi bukan menjadi penanda dari
akhir gerakan radikalisme di Indonesia, khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
Pola yang terjadi selama ini menunjukkan indikasi ke arah tersebut. Apalagi,
jika asumsi tentang adanya keterkaitan gerakan radikalisme internasional
memiliki keterkaitan dengan gerakan radikalis nasional, maka akan muncul
kembali personal yang akan ditokohkan sebagai pimpinan gerakan baru.
Pendekatan
militer menjadi solusi tepat dalam menghadapi gerakan radikal sistemati seperti
gerakan MIT pimpinan Santoso. Ini karena gerakan radikal Santoso melakukan
perlawanan bersenjata dan menjadikan pihak keamanan, khususnya densus 88
sebagai musuh bebuyutannya. Pendekatan militer yang komprehensif bisa
memperlemah (kalau tidak bisa mematikan) akselerasi gerakan radikal tersebut.
Meski tidak ada jaminan gerakan MIT akan hilang, tetapi dengan meninggalnya
Santoso, kelompok MIT butuh waktu panjang untuk merehabilitasi atau melakukan
rekrutan baru untuk memperkuat jaringan mereka. Pendekatan militer yang terus
menerus dilakukan bisa memberi jaminan terhadap gejala perlawanan radikal.
Kedua,
kekerasan (beragama) yang terkait dengan politik. Eskalasi sosial
biasanya memang selalu menghangat setiap ada even politik. Kepentingan para
aktor politik biasanya saling berbenturan satu sama lain yang membentuk sosial disorder.
Agama biasanya menjadi “sumbu penghangat” yang mudah dimainkan. Sebagai
contoh riil adalah konflik di Mamasa. Konflik ini basisnya adalah pengaturan
wilayah pasca pemekaran kabupaten Polmas menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan
Kabupaten Mamasa. Konflik kepentingan tapal batas ini kemudian berubah menjadi
konflik besar ketika isu agama mulai dimainkan. Dan, secara kebetulan dua kubu
yang sedang bertikai tentang tapal batas memang berbeda secara keyakinan
beragama. Karena agama berada pada domain yang paling penting dalam setiap
individu beragama, konflik ini pun meluas dari konflik tapal batas menjadi
konflik identitas keagamaan (Idham, 2009).
Politik
adalah ruang dimana ketegangan sosial bisa berubah eskalasi hingga pada
konflik. Kasus demonstrasi 411 dan 212 tidak bisa dilepaskan dari konteks
politik pemilukada Jakarta. Gerakan untuk menjegal Ahok sebagai next
gubernur sudah mulai terjadi sejak lama. Gerakan ini menemukan momentum
yang tepat ketika Ahok melakukan split tangue (kesalahan berbicara)
ketika pidato di Kepulauan Seribu. Isu ini berkembang cepat menjadi isu
nasional yang kemudian melahirkan gerakan demonstrasi berbasis agama terbesar
dalam sejarah manusia. Ada jutaan manusia berkumpul di Jakarta untuk mendesak
percepatan hukum kepada Ahok yang diduga melakuka penistaan ajaran agama Islam.
Posisi Ahok sebagai gubernur dan calon gubernur menjadi instrument penting
dalam peningkatan skala penolakan.
Ketiga,
konflik berbasis rumah ibadah. Fenomena sosial di Indonesia
menunjukkan bahwa rumah ibadah adalah sumber konflik yang paling rentan di
Indonesia. Di hampir semua wilayah pernah merasakan ketegangan yang bersumber
dari rumah ibadah. Kasus Pembakaran Masjid Tolikara, Kasus Masjid Al-Khairiyah
Manado, Kasus demonstrasi gereja Toraja yang disebutkan diatas adalah contoh
kasus yang direkam oleh media massa lokal dan nasional. Kasus rumah ibadah
tampaknya akan menjadi “sumber” konflik yang berkepanjangan. Polanya pun
relatif seragam. Di wilayah mayoritas muslim, gereja akan kesulitan berdiri. Di
wilayah yang mayoritas Kristen, masjid atau musala akan mendapatkan perlawanan.
Penolakan
atau konflik berbasis rumah ibadah adalah salah satu potret ironi kerukunan
antar umat beragama di Indonesia. Rumah ibadah (khususnya kelompok minoritas)
menjadi titik yang sangat sensitif dan bisa merubah wajah kerukunan seketika,
dari rukun menjadi tidak rukun. Ini sekaligus menunjukkan bahwa endapan
kesadaran spritual (sebagian) warga Indonesia masih dipenuhi kecurigaan dan
ketidaksiapan hidup berdampingan. Masyarakat bisa menerima orang berbeda agama
di lingkungannya tetapi tidak bisa menerima (gedung) rumah ibadahnya.
Pertama,
Masyarakat mengalami sindrom mayoritas dimana mereka merasa
memiliki “kuasa” untuk menentukan posisi kelompok minoritas sesuai dengan
kehendak mereka. Mereka berhak menentukan tidak boleh ada gedung agama lain
yang berhadapan langsung dengan masjid. Masjid dan gereja menjadi simbol
pertentangan yang terus menerus direproduksi. Begitupula, di daerah mayoritas
Kristen. Keberadaan masjid dianggap bisa “mengganggu” simbol daerahnya.
Pengaturan ketat perlu dilakukan agar bangun rumah ibadah tidak bebas berdiri.
Misalnya, surat pernyataan gereja-gereja di pegunungan Jayawijaya (Tim Peneliti
Badan Litbang dan Diklat RI, 2016) sebagai berikut:
a.
Seluruh denominasi gereja di Kabupaten Jayawijaya meminta pemerintah daerah
Kabupaten Jayawijaya untuk mencabut/membatalkan ijin mendirikan Masjid Agung
Baiturahman Wamena.
b.
Panitia Pembangunan Masjid Baiturahman Harus Menghentikan Pekerjaan
Pembangunan.
c.
Menutup Mushola/Masjid yang tidak memiliki ijin atau menyalahgunakan ijin
tempat usaha tetapi menjadikan Mushola/Masjid, sebagaimana yang diatur oleh SKB
dua menteri.
d.
Dilarang Membangun Mushola dan Masjid Baru di Kabupaten Jayawijaya.
e.
Dilarang menggunakan Toa (pengeras suara) saat sholat karena mengganggu
ketenangan dan kenyamanan masyarakat.
f.
Demi keharmonisan, kenyamanan, dan keamanan agar dapat dilaksanakan dengan
penuh rasa tanggung jawab.
Surat pernyataan
diatas menunjukkan adanya relasi mayoritas yang timpang. Kelompok gereja merasa
memiliki Papua sehingga (juga) berhak untuk mengatur hidup orang lain, terutama
umat Islam. Larangan merehabilitasi masjid, larangan menggunakan Toa adalah
“hak internal” yang tidak boleh dilakukan karena dianggap “mengganggu” warga
mayoritas.
Hal
ini pun terjadi di masyarakat mayoritas Muslim. Misalnya kasus penolakan warga
Temindung terhadap gereja Injili di Samarinda. Warga menolak karena letak
gedung tersebut berhadapan langsung dengan masjid (hanya dipisahkan oleh jalan
raya). Warga khawatir gedung serba guna itu nantinya akan berfungsi sebagai
‘tempat kegiatan ibadah’. Penolakan ini menjadi legitimated karena
gedung tersebut mulai dibangun tanpa surat IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dari
pemerintah.
Penolakan
warga ini menjadi ‘panas’ karena pihak GKII tetap bersikukuh melanjutkan
pembangunan. Mereka menganggap bahwa pembangunan gedung serba guna adalah hak
bagi anak bangsa yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan
UUD 1945. Hal tersebut bisa terlihat dari pernyataan resmi yang dikeluarkan
oleh Badan Pengurus Gereja Kemah Injil Indonesia Kalimantan Timur yang
menegaskan bahwa gedung serba guna yang akan dibangun tersebut akan digunakan “sebagaimana
fungsi dari sebuah gedung serba guna yang telah diatur oleh peraturan
pemerintah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Maksudnya, sebagaimana layaknya
gedung serba guna yang lain.
Warga
setempat bersedia menerima pembangunan gedung tersebut dengan beberapa
persyaratan yang dibuat dalam bentuk surat pernyataan tertulis namun tidak
disetujui oleh pihak GKII (Saprillah, 2014), sebagai berikut:
a.
Gedung serbaguna yang akan atau telah didirikan merupakan bangunan dua lantai
dengan peruntukan lantai pertama merupakan kantor gereja kemah Injil Indonesia
Wilayah Kalimantan Timur dan lantai 2 merupakan aula serba guna.
b.
Adapun aula serba guna pada lantai kedua diperuntukan kegiatan internal Gereja
Kemah Injil wilayah Kalimantan Timur seperti rapat, seminar, resepsi
pernikahan, dan tidak diperuntukkan untuk kegiatan ibadah maupun yang terkait
dengan ibadah.
c.
Aula serba guna pada lantai kedua juga bersifat terbuka sehingga dapat diakses
oleh masyarakat sekitar baik untuk kegiatan olah raga maupun kegiatan umum
dengan seijin dan sepengetahuan pengelola gedung serba guna ataupun seijin dan
sepengetahuan ketua RT 19.
d.
Pengelola gedung serba guna tidak diperkenankan memelihara anjing dikarenakan
letaknya yang berhadapan persis di depan masjid.
e.
Pengelola gedung serba guna maupun jamaah yang akan memanfaatkan gedung serba
guna wajib mematuhi kebiasaan yang berlaku di masyarakat sekitar, terhadap
kebiasaan masjid yang berhadapan dengannya, dan juga terhadap kegiatan masjid
sebagai sentral ibadah.
f.
Pengelola gedung serba guna maupun jamaah yang akan memanfaatkan gedung
serbaguna wajib menjaga kedamaian, kenyamanan, dan ketentraman yang selama ini
sudah terjalin di lingkungan sekitar.
g.
Gedung serba guna secara keseluruhan pada lantai pertama maupun pada lantai
kedua tidak akan pernah dikemudian hari mengalami alih fungsi menjadi tempat
peribadatan.
h.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya alih fungsi menjadi tempat peribadatan
melalui bukti yang kuat berupa kesaksian atas nama Tuhan, dokumentasi foto,
maupun dokumentasi video dari warga, maka serta merta warga yang bersangkutan
secara langsung tanpa kekerasan fisik dapat meminta kepada pengelola gedung
serba guna untuk menghentikan kegiatan peribadatannya dengan sepengetahuan
pengurus masjid dan ketua RT 19.
i.
Pada poin 8, pihak pengelola wajib mengindahkan tegurannya dengan tidak akan
mengulanginya di kemudian hari. Namun apabila tetap mengulanginya maka pengurus
masjid At-Taubah yang akan langsung menegur keras berupa surat peringatan atas
nama pengurus dan perwakilan kaum muslimin setempat agar tidak mengulanginya
lagi dengan sepengetahuan ketua RT. 19.
j.
Jika pada poin 9 juga tetap dilanggar, maka ketua RT 19 wajib mengeluarkan
surat teguran terakhir dengan sepengatahuan pengurus masjid dan lurah Temindung
permai.
k.
Jika pada poin 10 masih tetap dilanggar, maka warga maupun yang mewakilinya
akan menyegel dan membongkar bangunan gedung tersebut secara paksa.
l.
Adapaun pelanggaran terhadap poin 3,4,5, dan 6 dapat ditempuh melalui teguran,
musyawarah mufakat, dan penyegelan tanpa pembongkaran bangunan sebagai jalan
terakhir apabila teguran dan musyawarah mufakat tidak didengar dan
dilaksanakan.
Klausul ini (sangat
wajar) ditolak oleh pihak GKII karena memang menyudutkan mereka. Klausul ini
dibuat oleh kelompok lain dengan mengatasnamakan organisasi mereka. Kebebasan
mereka sebagai unit sosial yang mandiri menjadi terpenjara oleh sistem yang
dibuat atas nama kepentingan kelompok tertentu. Misalnya klausul tentang “tidak
bolehnya gedung tersebut digunakan untuk kepentingan ibadah” tentu saja sangat
sulit karena bagaimana pun juga, GKII adalah organisasi gereja yang
berorientasi kegiatan keagamaan. Menyetujui klausul diatas sama saja bunuh diri
bagi mereka. Klausul diatas dibuat untuk “menghalangi”
gedung tersebut
digunakan untuk kegiatan keagamaan. Di lain pihak, keengganan pihak GKII
menyetujui klausul tersebut semakin membenarkan dugaan pihak warga muslim kalau
GKII memang berencana menjadikan gedung tersebut sebagai “pseudo” gereja.
Dalam
konteks rumah ibadah, penolakan tidak hanya terjadi antara kelompok berbeda
agama (misalnya Islam dan Kristen yang banyak terjadi di Indonesia), tetapi
juga dalam internal agama. Beberapa denominasi di Bontang sempat melakukan
protes kepada pihak FKUB setempat yang memberi izin pembangunan rumah ibadah
kepada Saksi Yehova. Bagi Kristen, saksi Yehova tidak dianggap sebagai bagian
dari Kristen karena menyimpang dari ajarang Kristen. Penyegelan masjid
Ahmadiyah pun pernah terjadi di Bulukumba (Sulawesi Selatan tahun 2006 dan
2010), di Makassar (Sulawesi Selatan tahun 2011), dan Samarinda (Kalimantan
Timur tahun 2013). Sebagaimana diketahui bahwa Ahmadiyah dianggap sebagai
aliran menyimpang dalam Islam.
Penolakan
terhadap masjid Salafi pun sudah terjadi di Samarinda. Alasan penolakan
sebagaimana tertuang dalam surat tersebut adalah10:
10
Dikutip dari dokumen surat penolakan warga yang ditujukan
kepada Yayasan Minhajussunnah, 2014
a.
Masjid yang akan dibangun sangat dekat dengan masjid yang sudah ada yaitu
Masjid Al-Musyawarah, yang jaraknya tidak sampai 90 meter.
b.
Sangat berpotensi terjadinya persaingan yang tidak sehat diantara masjid yang
jaraknya sangat berdekatan. Misalnya persaingan pengeras suara atau sound
system yang akhirnya mengganggu warga sekitar.
c.
Peruntukan masjid menurut hemat kami (warga, pen) bukan diutamakan untuk warga
sekitar tetapi diperuntukkabn bagi kelompok jamaah salafi yang tempat
tinggalnya jauh dari wilayah masjid. Mengapa kami berpendapat begini? Mengingat
karena warga asli sekitar bahkan sesepuh warga tidak dilibatkan dalam
kepanitiaan pembangunan masjid.
d.
Jika dipandang agama lain selain Islam, seperti terjadi kotak-kotak atau
kelompok-kelompok dalam agama Islam itu sendiri (tidak ada persatuan dan
kesatuan dalam agama Islam).
e.
Panitia seharusnya mengedepankan “etika” dalam membangun masjid yang mempunya
jarak yang sangat berdekatan atau sebagai bakal masjid baru, seyogyanya panitia
pembangunan permisi atau meminta izin kepada pengurus masjid yang terlebih
dahulu sudah ada, apalagi jaraknya sangat berdekatan, serta pihak yayasan dan
panitia pembangunan tidak pernah melakukan sosialisasi atau pemberitahuan
terlebih dahulu dengan warga sekitar, tapi ternyata bangunan sudah menjadi
pancangan yang siap dibangun. Dalam hal ini, dari awal pembangunannya saja sudah
tidak benar dan melanggar aturan-aturan, tata krama, sopan santun serta etika.
Dan kami berkeyakinan kedepannya pasti akan tidak benar dan mungkin malah lebih
parah lagi. Sehingga kami takut akan terjadi gesekan-gesekan dengan warga
sekitar yang pada akhirnya menimbulkan konflik.
Kelima tuntutan
penolakan ini disertai dengan permintaan untuk tidak melanjutkan pembangunan
disertai dengan ancaman, apabila pihak yayasan memaksakan kehendaknya untuk
meneruskan rencana pembangunan masjid tersebut, maka kami sebagai ketua-ketua
RT tidak bertanggungjawab, jika seluruh warga kami melakukan anarkisme (untuk
menghentikan pembangunan dengan paksa atau kekerasan).
Penolakan
terhadap masjid yang akan dibangun oleh kelompok Minhajussunnah (berdasarkan
dokumen penolakan tersebut) bermuara pada dua hal; pertama, perbedaan
ideologi keagamaan. Pascareformasi, perkembangan kelompok Islam Salafi memang
sangat pesat. Baik sebagai kelompok pengajian yang bersifat non-organisasi
maupun salafi yang berorientasi organisasi modern. Kehadiran kelompok salafi
dengan membawa cara beragama dan tampilan fisik yang berbeda dengan masyarakat
Islam nusantara memunculkan narasi pertentangan. Baik secara simbolik maupun
dialogis.
Masyarakat
Islam Kaltim sebagaimana yang dijelaskan pada bagian awal tulisan ini adalah
salah satu genre Islam nusantara. Islam yang merupakan campuran harmonis antara
teks Islam dan kebudayaan lokal (dalam hal ini kebudayaan Banjar dan Kutai).
Bersamaan dengan itu, kelompok Islam Salafi yang berkembang belakangan datang
dengan semangat puritanistik. Islam dimurnikan dari pengaruh-pengaruh tradisi.
Sebisa mungkin ‘kembali’ ke teks primer, Alquran dan hadits. Dua titik ini pada
gilirannya memicu munculnya pertentangan. Bukan hanya pertentangan simbolik
tetapi juga identitas. Bagi warga setempat, minhajussunnah yang (dianggap)
salafi berbeda dengan mereka. Ini sangat jelas terlihat pada tuntutan nomer 3,
dimana kata salafi diassosiasikan sebagai sesuatu yang asing, karenanya
dipertentangkan dengan kata “penduduk asli”.
Kedua,
pertentangan identitas keagamaan ini diperparah dengan hilangnya
sikap saling menghargai antar kelompok. Kelompok minhajussunnah tidak
melibatkan tokoh masyarakat sekitar dalam musyawarah pembangunan masjid. Secara
formal, hal itu tidak harus dilakukan. Mengingat masjid yang akan dibangun
diatas tanah wakaf milik salah seorang anggota yayasan Minhajussunnah.
Penolakan
(dari kelompok mayoritas) ini tentu saja bukan bagian dari implementasi ajaran
agama tetapi bagian dari ciri khas kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Salah satu rujukan yang baik tentang ciri khas mayoritas adalah teori Walls,
sebagai berikut:
1.
Sekelompok orang yang bersikap bahwa mereka lebih superior terhadap kelompok
etnik yang dianggap inferior.
2.
Mereka percaya bahwa kelompok minoritas adalah kelompok “yang lain” karena itu
harus dipisahkan bahkan harus disingkirkan.
3.
Mereka merasa diri sebagai kelompok yang paling berkuasa, mempunyai status
sosial yang tinggi, dan karena itu mereka harus dihormati.
4.
Mereka selalu memiliki rasa takut dan selalu curiga bahwa kelompok minoritas
selalu berencana menggerogoti faktor-faktor yang menguntungkan kelompok
dominan.
Ciri kelompok
mayoritas berdasarkan kategori Walls diatas sangat sesuai dengan apa yang
dilakukan oleh kelompok warga yang menolak pembangunan rumah ibadah umat lain.
Warga mengatasnamakan diri sebagai kelompok mayoritas yang berhak menentukan
kehadiran orang lain dalam lingkungan sosial mereka. Tentu saja, sikap ini
menjadi preseden buruk bagi umat beragama. Ajaran Islam tentang perdamaian,
keadilan, dan kesetaraan menjadi terkoreksi. Simbol formal lebih dikedepankan
ketimbang subtansi ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Bagaimana
mungkin bisa menjadi rahmat bagi orang lain dengan sikap yang superior dan
penuh curiga seperti itu? Begitu pula, ajaran kasih dalam tradisi Kristiani.
Bagaimana implementasi kasih itu bisa berjalan dengan baik apabila warga lain
dilarang untuk menjalankan ajaran agamanya.
Kedua,
masyarakat (ternyata) belum siap untuk hidup berdampingan secara
simbolik. Penolakan terhadap gereja di tengah pemukiman muslim menunjukkan
adanya endapan kecurigaan dalam nalar masyarakat yang bersifat laten.
Pengaturan sosial sedang bergerak kearah keterpisahan bukan penyatuan.
Identitas berbangsa mengalami proses subordinasi. Kesatuan sosial tidak bisa
dirayakan karena agama dijadikan sebagai simbol perbedaan. Simbol agama
tertentu tidak bisa dianggap sebagai bagian dari properti sosial yang
‘dimiliki’ bersama-sama tetapi milik ‘individu’ yang harus dipisahkan dari
‘individu’ lainnya (Bryan S Turner, 2003:280). Kelompok mayoritas-lah yang
berhak untuk menentukan dimana, kapan, dan bagaimana kelompok yang lain hidup.
Dalam konteks ini, agama telah menjadi bagian dari pertentangan sosial.
Fenomena ini tentu
saja bertentangan dengan tujuan dasar dan falsafah bangsa Indonesia. Bangsa ini
dihadirkan dan diimajinasikan sebagai bangsa yang satu, dengan tujuan yang
sama. Agama, etnisitas, dan budaya yang beragam menjadi elemen sosial yang
diikat dalam kesatuan ide yang kita sebut Pancasila. Salah satu ide dasarnya
adalah persatuan. Agama di Indonesia harus menjadi bagian dari ide integrasi
itu, bukan sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar