Senin, 15 Januari 2018

Analisis Berbagai Kasus Kekerasan dan Demonstrasi Atas Nama Agama

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kasus-kasus gerakan kekerasan atau demonstrasi diatas adalah potret dari gerakan sosial keagamaan yang direkam oleh media massa. Di luar itu, masih banyak kasus lain yang tidak mendapatkan porsi pemberitaan oleh media massa tetapi merefleksikan adanya problem keagamaan berbasis ideologi purifikasi dan radikal.

Berbagai kasus kekerasan berbasis agama diatas menunjukkan setidaknya tiga hal, pertama. Kasus konflik Poso merupakan satu-satunya konflik berbasis agama yang menyisakan kelanjutan kekerasan berbasis agama, setidaknya hingga kematian Santoso pada tanggal 18 juli 2016. Militan sipil eks konflik Poso terus menerus melakukan gerakan perlawanan terhadap pihak kepolisian. Konflik Ambon dan ATM (Aralle, Tabulahan, dan Mambi) di Sulawesi Barat sejauh ini tidak melahirkan militansi sipil seperti yang terjadi di Poso. Ekses yang tersisa di Ambon adalah segregasi pemukiman warga Muslim dan Kristen. Sedangkan di ATM, konflik yang terjadi tahun 2002-2004 tidak menyisakan ekses apa-apa. Situasi kehidupan masyarakat di Aralle, Tabulahan, dan Mambi berjalan normal. Kasus Poso mencerminkan adanya relasi gerakan radikalis internasional dengan gerakan Poso. Ini yang menyebabkan gerakan Poso seperti mendapatkan nyawa untuk terus melakukan perjuangan, meski hubungan sosial antar masyarakat pascakonflik sudah berjalan dengan normal. Pasca kematian Abu Warda atau Santoso, disinyalir ada perintah dari ISIS di Suriah untuk melakukan aksi balas dendam. Dalam sebuah wawancara dengan VOA (Voice of America) Indonesia, Ali Fauzi, mantan anggota Jamaah Islamiyah, menyatakan bahwa ada perintah ada perintah khusus dari pimpinan kelompok teroris dunia Negara Islam Irak Suriah (ISIS) di Suriah agar seluruh kelompok militan di Indonesia segera melakukan aksi balas dendam atas kematian Santoso (dikutip dari www. VOAindonesia.com, diakses tanggal 16 Januari 2017). Lebih jauh, Ali Fauzi mengatakan bahwa kematian Santoso bukan akhir dari gerakan terorisme di Indonesia. Berikut hasil petikan wawancaranya:
Kalau kita konstruksi tentang terorisme di Indonesia, mulai dari bom Bali 1, kemudian eksekusi dilakukan oleh Pemerintah. Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas dieksekusi. Lalu muncul dokter Azhari, lalu muncul lagi pemimpin baru Noordin M Top. Noordin M Top ini tewas tertembak di Solo muncul lagi penggantinya. Saya pikir pasca tewasnya Santoso ini juga akan ada pengganti dari Santoso. Entah itu dari Sulawesi atau dari Jawa saya belum bisa sebutkan. Tetapi yang jelas kebiasaannya jika leader pemimpin ini tewas akan muncul berikutnya.
Nalar Ali Fauwzi tentang kesinambungan generasi pemimpin gerakan radikalisme agama di Indonesia relatif benar. Kematian Santoso boleh jadi bukan menjadi penanda dari akhir gerakan radikalisme di Indonesia, khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Pola yang terjadi selama ini menunjukkan indikasi ke arah tersebut. Apalagi, jika asumsi tentang adanya keterkaitan gerakan radikalisme internasional memiliki keterkaitan dengan gerakan radikalis nasional, maka akan muncul kembali personal yang akan ditokohkan sebagai pimpinan gerakan baru.
Pendekatan militer menjadi solusi tepat dalam menghadapi gerakan radikal sistemati seperti gerakan MIT pimpinan Santoso. Ini karena gerakan radikal Santoso melakukan perlawanan bersenjata dan menjadikan pihak keamanan, khususnya densus 88 sebagai musuh bebuyutannya. Pendekatan militer yang komprehensif bisa memperlemah (kalau tidak bisa mematikan) akselerasi gerakan radikal tersebut. Meski tidak ada jaminan gerakan MIT akan hilang, tetapi dengan meninggalnya Santoso, kelompok MIT butuh waktu panjang untuk merehabilitasi atau melakukan rekrutan baru untuk memperkuat jaringan mereka. Pendekatan militer yang terus menerus dilakukan bisa memberi jaminan terhadap gejala perlawanan radikal.
Kedua, kekerasan (beragama) yang terkait dengan politik. Eskalasi sosial biasanya memang selalu menghangat setiap ada even politik. Kepentingan para aktor politik biasanya saling berbenturan satu sama lain yang membentuk sosial disorder. Agama biasanya menjadi “sumbu penghangat” yang mudah dimainkan. Sebagai contoh riil adalah konflik di Mamasa. Konflik ini basisnya adalah pengaturan wilayah pasca pemekaran kabupaten Polmas menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa. Konflik kepentingan tapal batas ini kemudian berubah menjadi konflik besar ketika isu agama mulai dimainkan. Dan, secara kebetulan dua kubu yang sedang bertikai tentang tapal batas memang berbeda secara keyakinan beragama. Karena agama berada pada domain yang paling penting dalam setiap individu beragama, konflik ini pun meluas dari konflik tapal batas menjadi konflik identitas keagamaan (Idham, 2009).
Politik adalah ruang dimana ketegangan sosial bisa berubah eskalasi hingga pada konflik. Kasus demonstrasi 411 dan 212 tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pemilukada Jakarta. Gerakan untuk menjegal Ahok sebagai next gubernur sudah mulai terjadi sejak lama. Gerakan ini menemukan momentum yang tepat ketika Ahok melakukan split tangue (kesalahan berbicara) ketika pidato di Kepulauan Seribu. Isu ini berkembang cepat menjadi isu nasional yang kemudian melahirkan gerakan demonstrasi berbasis agama terbesar dalam sejarah manusia. Ada jutaan manusia berkumpul di Jakarta untuk mendesak percepatan hukum kepada Ahok yang diduga melakuka penistaan ajaran agama Islam. Posisi Ahok sebagai gubernur dan calon gubernur menjadi instrument penting dalam peningkatan skala penolakan.
Ketiga, konflik berbasis rumah ibadah. Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan bahwa rumah ibadah adalah sumber konflik yang paling rentan di Indonesia. Di hampir semua wilayah pernah merasakan ketegangan yang bersumber dari rumah ibadah. Kasus Pembakaran Masjid Tolikara, Kasus Masjid Al-Khairiyah Manado, Kasus demonstrasi gereja Toraja yang disebutkan diatas adalah contoh kasus yang direkam oleh media massa lokal dan nasional. Kasus rumah ibadah tampaknya akan menjadi “sumber” konflik yang berkepanjangan. Polanya pun relatif seragam. Di wilayah mayoritas muslim, gereja akan kesulitan berdiri. Di wilayah yang mayoritas Kristen, masjid atau musala akan mendapatkan perlawanan.
Penolakan atau konflik berbasis rumah ibadah adalah salah satu potret ironi kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Rumah ibadah (khususnya kelompok minoritas) menjadi titik yang sangat sensitif dan bisa merubah wajah kerukunan seketika, dari rukun menjadi tidak rukun. Ini sekaligus menunjukkan bahwa endapan kesadaran spritual (sebagian) warga Indonesia masih dipenuhi kecurigaan dan ketidaksiapan hidup berdampingan. Masyarakat bisa menerima orang berbeda agama di lingkungannya tetapi tidak bisa menerima (gedung) rumah ibadahnya.
Pertama, Masyarakat mengalami sindrom mayoritas dimana mereka merasa memiliki “kuasa” untuk menentukan posisi kelompok minoritas sesuai dengan kehendak mereka. Mereka berhak menentukan tidak boleh ada gedung agama lain yang berhadapan langsung dengan masjid. Masjid dan gereja menjadi simbol pertentangan yang terus menerus direproduksi. Begitupula, di daerah mayoritas Kristen. Keberadaan masjid dianggap bisa “mengganggu” simbol daerahnya. Pengaturan ketat perlu dilakukan agar bangun rumah ibadah tidak bebas berdiri. Misalnya, surat pernyataan gereja-gereja di pegunungan Jayawijaya (Tim Peneliti Badan Litbang dan Diklat RI, 2016) sebagai berikut:
a. Seluruh denominasi gereja di Kabupaten Jayawijaya meminta pemerintah daerah Kabupaten Jayawijaya untuk mencabut/membatalkan ijin mendirikan Masjid Agung Baiturahman Wamena.
b. Panitia Pembangunan Masjid Baiturahman Harus Menghentikan Pekerjaan Pembangunan.
c. Menutup Mushola/Masjid yang tidak memiliki ijin atau menyalahgunakan ijin tempat usaha tetapi menjadikan Mushola/Masjid, sebagaimana yang diatur oleh SKB dua menteri.
d. Dilarang Membangun Mushola dan Masjid Baru di Kabupaten Jayawijaya.
e. Dilarang menggunakan Toa (pengeras suara) saat sholat karena mengganggu ketenangan dan kenyamanan masyarakat.
f. Demi keharmonisan, kenyamanan, dan keamanan agar dapat dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Surat pernyataan diatas menunjukkan adanya relasi mayoritas yang timpang. Kelompok gereja merasa memiliki Papua sehingga (juga) berhak untuk mengatur hidup orang lain, terutama umat Islam. Larangan merehabilitasi masjid, larangan menggunakan Toa adalah “hak internal” yang tidak boleh dilakukan karena dianggap “mengganggu” warga mayoritas.
Hal ini pun terjadi di masyarakat mayoritas Muslim. Misalnya kasus penolakan warga Temindung terhadap gereja Injili di Samarinda. Warga menolak karena letak gedung tersebut berhadapan langsung dengan masjid (hanya dipisahkan oleh jalan raya). Warga khawatir gedung serba guna itu nantinya akan berfungsi sebagai ‘tempat kegiatan ibadah’. Penolakan ini menjadi legitimated karena gedung tersebut mulai dibangun tanpa surat IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dari pemerintah.
Penolakan warga ini menjadi ‘panas’ karena pihak GKII tetap bersikukuh melanjutkan pembangunan. Mereka menganggap bahwa pembangunan gedung serba guna adalah hak bagi anak bangsa yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Hal tersebut bisa terlihat dari pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pengurus Gereja Kemah Injil Indonesia Kalimantan Timur yang menegaskan bahwa gedung serba guna yang akan dibangun tersebut akan digunakan “sebagaimana fungsi dari sebuah gedung serba guna yang telah diatur oleh peraturan pemerintah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Maksudnya, sebagaimana layaknya gedung serba guna yang lain.
Warga setempat bersedia menerima pembangunan gedung tersebut dengan beberapa persyaratan yang dibuat dalam bentuk surat pernyataan tertulis namun tidak disetujui oleh pihak GKII (Saprillah, 2014), sebagai berikut:
a. Gedung serbaguna yang akan atau telah didirikan merupakan bangunan dua lantai dengan peruntukan lantai pertama merupakan kantor gereja kemah Injil Indonesia Wilayah Kalimantan Timur dan lantai 2 merupakan aula serba guna.
b. Adapun aula serba guna pada lantai kedua diperuntukan kegiatan internal Gereja Kemah Injil wilayah Kalimantan Timur seperti rapat, seminar, resepsi pernikahan, dan tidak diperuntukkan untuk kegiatan ibadah maupun yang terkait dengan ibadah.
c. Aula serba guna pada lantai kedua juga bersifat terbuka sehingga dapat diakses oleh masyarakat sekitar baik untuk kegiatan olah raga maupun kegiatan umum dengan seijin dan sepengetahuan pengelola gedung serba guna ataupun seijin dan sepengetahuan ketua RT 19.
d. Pengelola gedung serba guna tidak diperkenankan memelihara anjing dikarenakan letaknya yang berhadapan persis di depan masjid.
e. Pengelola gedung serba guna maupun jamaah yang akan memanfaatkan gedung serba guna wajib mematuhi kebiasaan yang berlaku di masyarakat sekitar, terhadap kebiasaan masjid yang berhadapan dengannya, dan juga terhadap kegiatan masjid sebagai sentral ibadah.
f. Pengelola gedung serba guna maupun jamaah yang akan memanfaatkan gedung serbaguna wajib menjaga kedamaian, kenyamanan, dan ketentraman yang selama ini sudah terjalin di lingkungan sekitar.
g. Gedung serba guna secara keseluruhan pada lantai pertama maupun pada lantai kedua tidak akan pernah dikemudian hari mengalami alih fungsi menjadi tempat peribadatan.
h. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya alih fungsi menjadi tempat peribadatan melalui bukti yang kuat berupa kesaksian atas nama Tuhan, dokumentasi foto, maupun dokumentasi video dari warga, maka serta merta warga yang bersangkutan secara langsung tanpa kekerasan fisik dapat meminta kepada pengelola gedung serba guna untuk menghentikan kegiatan peribadatannya dengan sepengetahuan pengurus masjid dan ketua RT 19.
i. Pada poin 8, pihak pengelola wajib mengindahkan tegurannya dengan tidak akan mengulanginya di kemudian hari. Namun apabila tetap mengulanginya maka pengurus masjid At-Taubah yang akan langsung menegur keras berupa surat peringatan atas nama pengurus dan perwakilan kaum muslimin setempat agar tidak mengulanginya lagi dengan sepengetahuan ketua RT. 19.
j. Jika pada poin 9 juga tetap dilanggar, maka ketua RT 19 wajib mengeluarkan surat teguran terakhir dengan sepengatahuan pengurus masjid dan lurah Temindung permai.
k. Jika pada poin 10 masih tetap dilanggar, maka warga maupun yang mewakilinya akan menyegel dan membongkar bangunan gedung tersebut secara paksa.
l. Adapaun pelanggaran terhadap poin 3,4,5, dan 6 dapat ditempuh melalui teguran, musyawarah mufakat, dan penyegelan tanpa pembongkaran bangunan sebagai jalan terakhir apabila teguran dan musyawarah mufakat tidak didengar dan dilaksanakan.
Klausul ini (sangat wajar) ditolak oleh pihak GKII karena memang menyudutkan mereka. Klausul ini dibuat oleh kelompok lain dengan mengatasnamakan organisasi mereka. Kebebasan mereka sebagai unit sosial yang mandiri menjadi terpenjara oleh sistem yang dibuat atas nama kepentingan kelompok tertentu. Misalnya klausul tentang “tidak bolehnya gedung tersebut digunakan untuk kepentingan ibadah” tentu saja sangat sulit karena bagaimana pun juga, GKII adalah organisasi gereja yang berorientasi kegiatan keagamaan. Menyetujui klausul diatas sama saja bunuh diri bagi mereka. Klausul diatas dibuat untuk “menghalangi”
gedung tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan. Di lain pihak, keengganan pihak GKII menyetujui klausul tersebut semakin membenarkan dugaan pihak warga muslim kalau GKII memang berencana menjadikan gedung tersebut sebagai “pseudo” gereja.
Dalam konteks rumah ibadah, penolakan tidak hanya terjadi antara kelompok berbeda agama (misalnya Islam dan Kristen yang banyak terjadi di Indonesia), tetapi juga dalam internal agama. Beberapa denominasi di Bontang sempat melakukan protes kepada pihak FKUB setempat yang memberi izin pembangunan rumah ibadah kepada Saksi Yehova. Bagi Kristen, saksi Yehova tidak dianggap sebagai bagian dari Kristen karena menyimpang dari ajarang Kristen. Penyegelan masjid Ahmadiyah pun pernah terjadi di Bulukumba (Sulawesi Selatan tahun 2006 dan 2010), di Makassar (Sulawesi Selatan tahun 2011), dan Samarinda (Kalimantan Timur tahun 2013). Sebagaimana diketahui bahwa Ahmadiyah dianggap sebagai aliran menyimpang dalam Islam.
Penolakan terhadap masjid Salafi pun sudah terjadi di Samarinda. Alasan penolakan sebagaimana tertuang dalam surat tersebut adalah10:
10 Dikutip dari dokumen surat penolakan warga yang ditujukan kepada Yayasan Minhajussunnah, 2014
a. Masjid yang akan dibangun sangat dekat dengan masjid yang sudah ada yaitu Masjid Al-Musyawarah, yang jaraknya tidak sampai 90 meter.
b. Sangat berpotensi terjadinya persaingan yang tidak sehat diantara masjid yang jaraknya sangat berdekatan. Misalnya persaingan pengeras suara atau sound system yang akhirnya mengganggu warga sekitar.
c. Peruntukan masjid menurut hemat kami (warga, pen) bukan diutamakan untuk warga sekitar tetapi diperuntukkabn bagi kelompok jamaah salafi yang tempat tinggalnya jauh dari wilayah masjid. Mengapa kami berpendapat begini? Mengingat karena warga asli sekitar bahkan sesepuh warga tidak dilibatkan dalam kepanitiaan pembangunan masjid.
d. Jika dipandang agama lain selain Islam, seperti terjadi kotak-kotak atau kelompok-kelompok dalam agama Islam itu sendiri (tidak ada persatuan dan kesatuan dalam agama Islam).
e. Panitia seharusnya mengedepankan “etika” dalam membangun masjid yang mempunya jarak yang sangat berdekatan atau sebagai bakal masjid baru, seyogyanya panitia pembangunan permisi atau meminta izin kepada pengurus masjid yang terlebih dahulu sudah ada, apalagi jaraknya sangat berdekatan, serta pihak yayasan dan panitia pembangunan tidak pernah melakukan sosialisasi atau pemberitahuan terlebih dahulu dengan warga sekitar, tapi ternyata bangunan sudah menjadi pancangan yang siap dibangun. Dalam hal ini, dari awal pembangunannya saja sudah tidak benar dan melanggar aturan-aturan, tata krama, sopan santun serta etika. Dan kami berkeyakinan kedepannya pasti akan tidak benar dan mungkin malah lebih parah lagi. Sehingga kami takut akan terjadi gesekan-gesekan dengan warga sekitar yang pada akhirnya menimbulkan konflik.
Kelima tuntutan penolakan ini disertai dengan permintaan untuk tidak melanjutkan pembangunan disertai dengan ancaman, apabila pihak yayasan memaksakan kehendaknya untuk meneruskan rencana pembangunan masjid tersebut, maka kami sebagai ketua-ketua RT tidak bertanggungjawab, jika seluruh warga kami melakukan anarkisme (untuk menghentikan pembangunan dengan paksa atau kekerasan).
Penolakan terhadap masjid yang akan dibangun oleh kelompok Minhajussunnah (berdasarkan dokumen penolakan tersebut) bermuara pada dua hal; pertama, perbedaan ideologi keagamaan. Pascareformasi, perkembangan kelompok Islam Salafi memang sangat pesat. Baik sebagai kelompok pengajian yang bersifat non-organisasi maupun salafi yang berorientasi organisasi modern. Kehadiran kelompok salafi dengan membawa cara beragama dan tampilan fisik yang berbeda dengan masyarakat Islam nusantara memunculkan narasi pertentangan. Baik secara simbolik maupun dialogis.
Masyarakat Islam Kaltim sebagaimana yang dijelaskan pada bagian awal tulisan ini adalah salah satu genre Islam nusantara. Islam yang merupakan campuran harmonis antara teks Islam dan kebudayaan lokal (dalam hal ini kebudayaan Banjar dan Kutai). Bersamaan dengan itu, kelompok Islam Salafi yang berkembang belakangan datang dengan semangat puritanistik. Islam dimurnikan dari pengaruh-pengaruh tradisi. Sebisa mungkin ‘kembali’ ke teks primer, Alquran dan hadits. Dua titik ini pada gilirannya memicu munculnya pertentangan. Bukan hanya pertentangan simbolik tetapi juga identitas. Bagi warga setempat, minhajussunnah yang (dianggap) salafi berbeda dengan mereka. Ini sangat jelas terlihat pada tuntutan nomer 3, dimana kata salafi diassosiasikan sebagai sesuatu yang asing, karenanya dipertentangkan dengan kata “penduduk asli”.
Kedua, pertentangan identitas keagamaan ini diperparah dengan hilangnya sikap saling menghargai antar kelompok. Kelompok minhajussunnah tidak melibatkan tokoh masyarakat sekitar dalam musyawarah pembangunan masjid. Secara formal, hal itu tidak harus dilakukan. Mengingat masjid yang akan dibangun diatas tanah wakaf milik salah seorang anggota yayasan Minhajussunnah.
Penolakan (dari kelompok mayoritas) ini tentu saja bukan bagian dari implementasi ajaran agama tetapi bagian dari ciri khas kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Salah satu rujukan yang baik tentang ciri khas mayoritas adalah teori Walls, sebagai berikut:
1. Sekelompok orang yang bersikap bahwa mereka lebih superior terhadap kelompok etnik yang dianggap inferior.
2. Mereka percaya bahwa kelompok minoritas adalah kelompok “yang lain” karena itu harus dipisahkan bahkan harus disingkirkan.
3. Mereka merasa diri sebagai kelompok yang paling berkuasa, mempunyai status sosial yang tinggi, dan karena itu mereka harus dihormati.
4. Mereka selalu memiliki rasa takut dan selalu curiga bahwa kelompok minoritas selalu berencana menggerogoti faktor-faktor yang menguntungkan kelompok dominan.
Ciri kelompok mayoritas berdasarkan kategori Walls diatas sangat sesuai dengan apa yang dilakukan oleh kelompok warga yang menolak pembangunan rumah ibadah umat lain. Warga mengatasnamakan diri sebagai kelompok mayoritas yang berhak menentukan kehadiran orang lain dalam lingkungan sosial mereka. Tentu saja, sikap ini menjadi preseden buruk bagi umat beragama. Ajaran Islam tentang perdamaian, keadilan, dan kesetaraan menjadi terkoreksi. Simbol formal lebih dikedepankan ketimbang subtansi ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Bagaimana mungkin bisa menjadi rahmat bagi orang lain dengan sikap yang superior dan penuh curiga seperti itu? Begitu pula, ajaran kasih dalam tradisi Kristiani. Bagaimana implementasi kasih itu bisa berjalan dengan baik apabila warga lain dilarang untuk menjalankan ajaran agamanya.
Kedua, masyarakat (ternyata) belum siap untuk hidup berdampingan secara simbolik. Penolakan terhadap gereja di tengah pemukiman muslim menunjukkan adanya endapan kecurigaan dalam nalar masyarakat yang bersifat laten. Pengaturan sosial sedang bergerak kearah keterpisahan bukan penyatuan. Identitas berbangsa mengalami proses subordinasi. Kesatuan sosial tidak bisa dirayakan karena agama dijadikan sebagai simbol perbedaan. Simbol agama tertentu tidak bisa dianggap sebagai bagian dari properti sosial yang ‘dimiliki’ bersama-sama tetapi milik ‘individu’ yang harus dipisahkan dari ‘individu’ lainnya (Bryan S Turner, 2003:280). Kelompok mayoritas-lah yang berhak untuk menentukan dimana, kapan, dan bagaimana kelompok yang lain hidup. Dalam konteks ini, agama telah menjadi bagian dari pertentangan sosial.

Fenomena ini tentu saja bertentangan dengan tujuan dasar dan falsafah bangsa Indonesia. Bangsa ini dihadirkan dan diimajinasikan sebagai bangsa yang satu, dengan tujuan yang sama. Agama, etnisitas, dan budaya yang beragam menjadi elemen sosial yang diikat dalam kesatuan ide yang kita sebut Pancasila. Salah satu ide dasarnya adalah persatuan. Agama di Indonesia harus menjadi bagian dari ide integrasi itu, bukan sebaliknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...