HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Hari raya idul
fitri pada bulan Juli 2015, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan berita
terbakarnya musala tempat umat Islam di Kabupaten Tolikara melakukan ibadah
salat idul fitri. Ada dua versi yang berkembang, versi pertama menyebutkan
bahwa kelompok radikal Kristen dari denominasi GIDI (Gereja Injili di
Indonesia)
memang sengaja membakar masjid. Versi kedua menyebutkan bahwa mereka
hanya membakar kios yang kemudian merembet ke musala. Persoalannya adalah
musala itu terbakar. Musala adalah simbol dari agama Islam.
Hasil
fact finding tim peneliti Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI (Sabara,
2015) menjelaskan kronologi kasus Tolikara, sebagai berikut:
a.
Pagi hari pada tanggal 17 Juli 2015 sekitar jam 07.00 WIT, ketika saat shalat
Id berlangsung, datang sekitar lima ratusan pemuda GIDI memaksa agar shalat Id
dibubarkan sambil menyampaikan kata-kata tidak senonoh : “tidak boleh shalat di
sini anjing” dan “babi” yang disertai dengan pelemparan batu kepada jamaah
shalat Id. (wawancara dengan Kapolres Tolikara dan Kyai Abu Mawakib, Ketua MUI
Tolikara, tanggal 22 Juli 2015). Menurut versi Lettu Inf TNI Wahyudi Hendra,
Komandan Pos Pengamanan Daerah Rawan (Pos Pam Rawan) mengaku, pada takbir kedua
sudah mendengar suara massa yang memprovokasi dengan melempar atap seng kios
dan teriakan-teriakan hentikan shalat. Mendengar itu, Lettu Wahyudi langsung
meninggalkan shalat sambil mengajak pasukan lainnya yang tengah shalat.Wahyudi
langsung memerintahkan memperkuat anggota TNI yang tengah berjaga bersama
Brimob dan anggota polisi Polres. Sementara itu, Kapolres meninggalkan shalat
saat takbir ke-7. Bahkan Kapolres meminta agar Imam menhentikan Shalat. “Pak
Ustadz, sudah hentikan nggak usah dilanjutkan.” Kapolres langsung balik kanan
dan langsung menugaskan anggota polisi untuk mengamankan ibu-ibu dan anak-anak
ke belakang kantor Koramil. Menurut Kapolres, massa yang pertama mendesak masuk
dari titik pertama berjumlah 150 orang. Massa dari titik ini melakukan
penyerangan pelemparan batu. Kapolres bersama 10 orang petugas gabungan dari
Polisi, Brimob, dan TNI mencoba menghalau massa sambil bernegosiasi dengan
massa. “Saya Kapolres, mohon jangan melempar.” Massa berhasil dihalau
(Wawancara dengan Kapolres, tanggal 22 Juli 2015)
b.
Sementara, massa dari titik kedua mulai merangsek masuk jalan samping Koramil.
Kapolres beranjak ke titik massa kedua, “Dikhawatirkan massa itu akan menerobos
masuk ke arah lapangan Koramil.” Kapolres kembali melakukan negosiasi dengan
memegang megaphone yang dibawa oleh massa yang ingin menghentikan shalat Id.
“Saya Kapolres, saya sudah koordinasi dengan Bupati dan Presiden GIDI.”
c.
Massa dari arah lain masih melakukan pelemparan. Menurut pengakuan Kapolres,
dia harus berlari ke setiap sudut dari mana arah massa datang, untuk mencoba
menghentikan pergerakan massa. Tapi massa tetap tidak bergeming, pelemparan
tetap terjadi kepada jama’ah shalat Id. Meski demikian, massa tidak dapat
mendekati area shalat karena ada pagar berduri (lokasi shalat bertempat di
halaman Koramil dan sedikit di bawah jalan sehingga mudah menjadi sasaran
pelemparan).
d.
Menurut pengakuan Kapolres lebih lanjut, ketika sedang mencoba menghalau massa,
tiba-tiba dari arah timur kompleks Koramil, terdengar suara tembakan (dari
aparat keamanan). Dari laporan Kapolres, tembakan pertama diarahkan ke udara
untuk memberikan peringatan kepada massa yang tidak menggubris. Akhirnya aparat
melepaskan tembakan ke tanah hingga mengakibatkan 12 orang luka. Salah satu
dari korban luka ini kemudian diketahui meninggal dunia. Kapolres yang masih
menghalau gelombang massa di titik pertama mengaku mendapatkan pukulan di dada
kiri. Bahkan, Kapolres menyaksikan, Bupati yang datang menghalau massa itu
diabaikan, bahkan sempat terdorong desakan massa.
e.
Setelah jatuhnya korban, sekelompok massa dari arah timur membakar kios hingga
merembet ke masjid. Versi korban pemilik kios menyebut bahwa kios penjual
bensin sengaja terlebih dahulu dibakar dengan tujuan agar api ikut membakar
masjid. Api semakin mudah menjalar ke bangunan dan kios lainnya karena di
lokasi tidak ada fasilitas pemadam kebakaran (Wawancara dengan salahsatu
pemilik kios yang terbakar).
f.
Ketika Tim melakukan konfirmasi ke Pendeta Dorman Wandikbo. Dia menyampaikan
kronologis yang berbeda terhadap insiden Tolikara. Menurut penjelasannya :
“Sejumlah peserta KKR melakukan protes lantaran pengeras suara atau TOA yang
digunakan dalam shalat Idul Fitri itu mengganggu acara yang juga tengah digelar
oleh pemuda GIDI. Kedatangan massa GIDI ke lokasi shalat Id adalah dengan
maksud baik untuk berdialog / bernegosiasi. Namun, mereka disambut oleh
tembakan aparat yang membuat situasi menjadi kacau, terlebih setelah diketahui
adanya satu orang meninggal dunia akibat rentetan tembakan tersebut. Akibatnya,
warga kemudian membakar kios di sekitar lokasi. Namun, api merembet ke mushalla
karena terbuat dari kayu dan berdekatan dengan kios”. Untuk itu Presiden GIDI
menyampaikan permintaan maaf kepada umat Islam (Wawancara dengan Dorman
Wandikbo, Presiden GIDI, tanggal 20 Juli 2013).
Kasus pembakaran
musala adalah puncak dari relasi umat Islam dan Kristen khususnya denominasi
GIDI. Orang Kristen GIDI mengklaim Tolikara sebagai wilayah suci mereka, dimana
kelompok lain harus hidup berdasarkan aturan yang mereka buat. Ini tercermin
dari menyebarnya surat edaran yang berisi poin-poin yang menyudutkan umat
Islam. Isi surat edaran tersebut: 1) umat Islam dilarang shalat ied dan
merayakan hari raya di kabupaten Tolikara. 2) umat muslimah dilarang memakai
jilbab di Tolikara. 3) Pelarangan pendirian Gereja selain gereja GIDI. Tiga
maklumat ini sejatinya adalah bentuk arogansi dari denominasi Kristen GIDI
terhadap umat lain, bukan hanya kepada umat Islam belaka tetapi juga kepada
denominasi diluar GIDI.
Hasil
fact finding tim peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
(Sabara, 2015) tentang kasus Tolikara menyimpulkan bahwa:
1.
Akar permasalahan adalah klaim GIDI atas tanah Tolikara sebagai tanah suci
mereka, sehingga mereka tidak membolehkan adanya kelompok agama lain maupun
denominasi Kristen lain yang eksis dan mendirikan tempat ibadah di Tolikara.
Klaim dan ekses dari klaim tersebut telah melanggar Pasal 29 ayat 2 UUD 1945
yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh rakyar Indonesia.
2.
Acara Kebaktian Kebangunan Ruhani (KKR) Pemuda GIDI yang dilangsungkan di
Tolikara pada tanggal 15- 19 2015 Juli dan bertepatan dengan hari raya Idul
Fitri dan beredarnya surat pelarangan dari GIDI wilayah Toli merupakan pemicu
langsung dari kerusuhan di hari Idul Fitri.
3.
Presiden GIDI dan Bupati Tolikara selaku ketua Panitia KKR Pemuda GIDI harus
bertanggungjawab atas kerusuhan yang terjadi.
4.
Bangunan tempat ibadah umat Islam yang dibakar atau ikut terbakar adalah
masjid. Pembakaran rumah ibadah tersebut dilakukan dengan adanya unsur
kesengajaan dari pihak GIDI.
5.
Penembakan yang dilakukan oleh pihak keamanan merupakan tembakan peringatan
dengan tujuan untuk melumpuhkan massa, karena situasi massa yang semakin
beringas dan tidak terkendali.
6.
Tidak benar jika dikatakan penyebab kerusuhan karena umat Islam menyelenggarakan
takbiran dan shalat Idul Fitri dengan menggunakan pengeras suara yang
mengganggu kenyamanan warga setempat.
7.
GIDI merupakan kelompok agama yang ekslusif yang melarang kelompok agama lain
untuk eksis dan menjalankan ibadah serta menampilkan simbol-simbolnya di
Tolikara yang mereka klaim sebagai tanah suci.
8.
GIDI memiliki hubungan dengan zionis Israel dan OPM.
9.
Perda yang dijadikan landasan oleh GIDI untuk melakukan pelarangan pendirian
rumah ibadat agama lain dan penggunaan simbol-simbol keagamaan lain tidak jelas
keberadaannya.
10.
Kerusuhan di Karubaga kabupaten Tolikara pada hari Idul Fitri tanggal 17 juli
2015 bukanlah kerusuhan berlatar belakang murni agama. Agama hanya menjadi
kamuflase dari akar masalah yang sebenarnya, yaitu kepentingan zionis dan OPM.
Oleh karena itu, konflik Karubaga harus dipandang bukan sebagai masalah agama,
melainkan masalah Kedaulatan dan Keutuhan NKRI.
11.
Radikalisme keagamaan yang ditunjukan oleh GIDI di Tolikara terkait dengan
konteks sosial politik yang mempengaruhinya. Sehingga sikap intoleransi
keagamaan yang ditunjukan oleh oknum GIDI Tolikara yang menjadi peserta KKR
bukanlah representasi GIDI secara keseluruhan. Buktinya anggota GIDI di
berbagai daerah di Indonesia hidup rukun dengan pemeluk agama lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar