Senin, 15 Januari 2018

Kasus Tolikara di Papua

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Hari raya idul fitri pada bulan Juli 2015, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan berita terbakarnya musala tempat umat Islam di Kabupaten Tolikara melakukan ibadah salat idul fitri. Ada dua versi yang berkembang, versi pertama menyebutkan bahwa kelompok radikal Kristen dari denominasi GIDI (Gereja Injili di Indonesia)
memang sengaja membakar masjid. Versi kedua menyebutkan bahwa mereka hanya membakar kios yang kemudian merembet ke musala. Persoalannya adalah musala itu terbakar. Musala adalah simbol dari agama Islam.
Hasil fact finding tim peneliti Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI (Sabara, 2015) menjelaskan kronologi kasus Tolikara, sebagai berikut:
a. Pagi hari pada tanggal 17 Juli 2015 sekitar jam 07.00 WIT, ketika saat shalat Id berlangsung, datang sekitar lima ratusan pemuda GIDI memaksa agar shalat Id dibubarkan sambil menyampaikan kata-kata tidak senonoh : “tidak boleh shalat di sini anjing” dan “babi” yang disertai dengan pelemparan batu kepada jamaah shalat Id. (wawancara dengan Kapolres Tolikara dan Kyai Abu Mawakib, Ketua MUI Tolikara, tanggal 22 Juli 2015). Menurut versi Lettu Inf TNI Wahyudi Hendra, Komandan Pos Pengamanan Daerah Rawan (Pos Pam Rawan) mengaku, pada takbir kedua sudah mendengar suara massa yang memprovokasi dengan melempar atap seng kios dan teriakan-teriakan hentikan shalat. Mendengar itu, Lettu Wahyudi langsung meninggalkan shalat sambil mengajak pasukan lainnya yang tengah shalat.Wahyudi langsung memerintahkan memperkuat anggota TNI yang tengah berjaga bersama Brimob dan anggota polisi Polres. Sementara itu, Kapolres meninggalkan shalat saat takbir ke-7. Bahkan Kapolres meminta agar Imam menhentikan Shalat. “Pak Ustadz, sudah hentikan nggak usah dilanjutkan.” Kapolres langsung balik kanan dan langsung menugaskan anggota polisi untuk mengamankan ibu-ibu dan anak-anak ke belakang kantor Koramil. Menurut Kapolres, massa yang pertama mendesak masuk dari titik pertama berjumlah 150 orang. Massa dari titik ini melakukan penyerangan pelemparan batu. Kapolres bersama 10 orang petugas gabungan dari Polisi, Brimob, dan TNI mencoba menghalau massa sambil bernegosiasi dengan massa. “Saya Kapolres, mohon jangan melempar.” Massa berhasil dihalau (Wawancara dengan Kapolres, tanggal 22 Juli 2015)
b. Sementara, massa dari titik kedua mulai merangsek masuk jalan samping Koramil. Kapolres beranjak ke titik massa kedua, “Dikhawatirkan massa itu akan menerobos masuk ke arah lapangan Koramil.” Kapolres kembali melakukan negosiasi dengan memegang megaphone yang dibawa oleh massa yang ingin menghentikan shalat Id. “Saya Kapolres, saya sudah koordinasi dengan Bupati dan Presiden GIDI.”
c. Massa dari arah lain masih melakukan pelemparan. Menurut pengakuan Kapolres, dia harus berlari ke setiap sudut dari mana arah massa datang, untuk mencoba menghentikan pergerakan massa. Tapi massa tetap tidak bergeming, pelemparan tetap terjadi kepada jama’ah shalat Id. Meski demikian, massa tidak dapat mendekati area shalat karena ada pagar berduri (lokasi shalat bertempat di halaman Koramil dan sedikit di bawah jalan sehingga mudah menjadi sasaran pelemparan).
d. Menurut pengakuan Kapolres lebih lanjut, ketika sedang mencoba menghalau massa, tiba-tiba dari arah timur kompleks Koramil, terdengar suara tembakan (dari aparat keamanan). Dari laporan Kapolres, tembakan pertama diarahkan ke udara untuk memberikan peringatan kepada massa yang tidak menggubris. Akhirnya aparat melepaskan tembakan ke tanah hingga mengakibatkan 12 orang luka. Salah satu dari korban luka ini kemudian diketahui meninggal dunia. Kapolres yang masih menghalau gelombang massa di titik pertama mengaku mendapatkan pukulan di dada kiri. Bahkan, Kapolres menyaksikan, Bupati yang datang menghalau massa itu diabaikan, bahkan sempat terdorong desakan massa.
e. Setelah jatuhnya korban, sekelompok massa dari arah timur membakar kios hingga merembet ke masjid. Versi korban pemilik kios menyebut bahwa kios penjual bensin sengaja terlebih dahulu dibakar dengan tujuan agar api ikut membakar masjid. Api semakin mudah menjalar ke bangunan dan kios lainnya karena di lokasi tidak ada fasilitas pemadam kebakaran (Wawancara dengan salahsatu pemilik kios yang terbakar).
f. Ketika Tim melakukan konfirmasi ke Pendeta Dorman Wandikbo. Dia menyampaikan kronologis yang berbeda terhadap insiden Tolikara. Menurut penjelasannya : “Sejumlah peserta KKR melakukan protes lantaran pengeras suara atau TOA yang digunakan dalam shalat Idul Fitri itu mengganggu acara yang juga tengah digelar oleh pemuda GIDI. Kedatangan massa GIDI ke lokasi shalat Id adalah dengan maksud baik untuk berdialog / bernegosiasi. Namun, mereka disambut oleh tembakan aparat yang membuat situasi menjadi kacau, terlebih setelah diketahui adanya satu orang meninggal dunia akibat rentetan tembakan tersebut. Akibatnya, warga kemudian membakar kios di sekitar lokasi. Namun, api merembet ke mushalla karena terbuat dari kayu dan berdekatan dengan kios”. Untuk itu Presiden GIDI menyampaikan permintaan maaf kepada umat Islam (Wawancara dengan Dorman Wandikbo, Presiden GIDI, tanggal 20 Juli 2013).
Kasus pembakaran musala adalah puncak dari relasi umat Islam dan Kristen khususnya denominasi GIDI. Orang Kristen GIDI mengklaim Tolikara sebagai wilayah suci mereka, dimana kelompok lain harus hidup berdasarkan aturan yang mereka buat. Ini tercermin dari menyebarnya surat edaran yang berisi poin-poin yang menyudutkan umat Islam. Isi surat edaran tersebut: 1) umat Islam dilarang shalat ied dan merayakan hari raya di kabupaten Tolikara. 2) umat muslimah dilarang memakai jilbab di Tolikara. 3) Pelarangan pendirian Gereja selain gereja GIDI. Tiga maklumat ini sejatinya adalah bentuk arogansi dari denominasi Kristen GIDI terhadap umat lain, bukan hanya kepada umat Islam belaka tetapi juga kepada denominasi diluar GIDI.
Hasil fact finding tim peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Sabara, 2015) tentang kasus Tolikara menyimpulkan bahwa:
1. Akar permasalahan adalah klaim GIDI atas tanah Tolikara sebagai tanah suci mereka, sehingga mereka tidak membolehkan adanya kelompok agama lain maupun denominasi Kristen lain yang eksis dan mendirikan tempat ibadah di Tolikara. Klaim dan ekses dari klaim tersebut telah melanggar Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh rakyar Indonesia.
2. Acara Kebaktian Kebangunan Ruhani (KKR) Pemuda GIDI yang dilangsungkan di Tolikara pada tanggal 15- 19 2015 Juli dan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri dan beredarnya surat pelarangan dari GIDI wilayah Toli merupakan pemicu langsung dari kerusuhan di hari Idul Fitri.
3. Presiden GIDI dan Bupati Tolikara selaku ketua Panitia KKR Pemuda GIDI harus bertanggungjawab atas kerusuhan yang terjadi.
4. Bangunan tempat ibadah umat Islam yang dibakar atau ikut terbakar adalah masjid. Pembakaran rumah ibadah tersebut dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan dari pihak GIDI.
5. Penembakan yang dilakukan oleh pihak keamanan merupakan tembakan peringatan dengan tujuan untuk melumpuhkan massa, karena situasi massa yang semakin beringas dan tidak terkendali.
6. Tidak benar jika dikatakan penyebab kerusuhan karena umat Islam menyelenggarakan takbiran dan shalat Idul Fitri dengan menggunakan pengeras suara yang mengganggu kenyamanan warga setempat.
7. GIDI merupakan kelompok agama yang ekslusif yang melarang kelompok agama lain untuk eksis dan menjalankan ibadah serta menampilkan simbol-simbolnya di Tolikara yang mereka klaim sebagai tanah suci.
8. GIDI memiliki hubungan dengan zionis Israel dan OPM.
9. Perda yang dijadikan landasan oleh GIDI untuk melakukan pelarangan pendirian rumah ibadat agama lain dan penggunaan simbol-simbol keagamaan lain tidak jelas keberadaannya.
10. Kerusuhan di Karubaga kabupaten Tolikara pada hari Idul Fitri tanggal 17 juli 2015 bukanlah kerusuhan berlatar belakang murni agama. Agama hanya menjadi kamuflase dari akar masalah yang sebenarnya, yaitu kepentingan zionis dan OPM. Oleh karena itu, konflik Karubaga harus dipandang bukan sebagai masalah agama, melainkan masalah Kedaulatan dan Keutuhan NKRI.

11. Radikalisme keagamaan yang ditunjukan oleh GIDI di Tolikara terkait dengan konteks sosial politik yang mempengaruhinya. Sehingga sikap intoleransi keagamaan yang ditunjukan oleh oknum GIDI Tolikara yang menjadi peserta KKR bukanlah representasi GIDI secara keseluruhan. Buktinya anggota GIDI di berbagai daerah di Indonesia hidup rukun dengan pemeluk agama lainnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...