Senin, 15 Januari 2018

Mukaddimah

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & APRILLAH
Akan tetapi kemunculan ISIS di Indonesia memaksa kita untuk berfikir ulang tentang itu. Bahwa ternyata benih-benih radikalisme masih hidup dan punya dukungan di Indonesia

Perbincangan terhadap kekerasan agama di Indonesia memasuki babak baru ketika bendera ISIS (Islamic State of Iraq and Shuria) “tiba-tiba” berkibar di beberapa tempat di Indonesia seperti di Poso, Solo, Jambi, Pekanbaru dan Aceh. Disebut babak baru, karena perbincangan tentang radikalisme agama di Indonesia sebenarnya memasuki titik yang jenuh. Keberadaannya pun tidak lagi mendapatkan perhatian dari masyarakat. Pendekatan militer yang konsisten digunakan oleh negara (melalui Densus 88) tampaknya cukup efektif mengeliminir perkembangan kelompok ini.
Akan tetapi, kemunculan ISIS di Indonesia memaksa kita untuk berfikir ulang tentang itu. Bahwa ternyata benih-benih radikalisme masih hidup dan punya dukungan di Indonesia. Bahwa semangat kelompok Islamis radikal Indonesia tidak pernah mati meski sebagian tokohnya sudah dieksekusi dan dipenjarakan. Kelompok-kelompok lama ini bahkan seperti mendapatkan nafas kembali untuk membangun kekuatan baru. Meski sejauh ini dukungan terhadap ISIS masih bersifat simbolik tetapi mengutip pernyataan Jenderal TNI Moeldoko, “keberadaan ISIS semakin nyata” (Radar Sulteng, 12 september 2014). 1 Beberapa indikasi dukungan terhadap ISIS, antara lain:
11 Juli 2014, Abu Bakar Ba’asyir (JAT) dan sejumlah narapidana teroris LP Pasir Putih Nusakambangan, menyatakan berbai’at (mendukung) perjuangan menegakkan “Khilafah dan Daulah Islamiyah” (Kekhalifahan dan Negara Islam), meskipun tidak secara spresifik menyatakan berbai’at kepada Daulah Islamiyah versi ISIS.
20 Juli 2014, Ansharul Khilafah Jawa Timur deklarasikan dukungan terhadap ISIS di sebuah mesjid yang baru selesai
1 Dikutip dari makalah KABINDA (Kepala BIN Daerah) Sulbar yang disampaikan pada seminar Deradikalisasi Agama di Polewali Mandar tanggal 04 September 2014.
dibangung, dalam kesempatan tersebut Muhamad Romly (Koordinator) menyatakan bahwa dukungan kekhalifahan Islam kepada Abu Bakar al-Baghdadi karena pihaknya yakin dapat membangun peradaban Islam yang lebih baik, meskipun hanya sebatas dukungan moral, bukan dana ataupun mengirimkan jihadis ke Irak dan Suriah.
15 Juli 2014, sekitar 400 simpatisan JAT, dipimpin Ustadz Afif Abdul Majid (simpatisan ISIS / veteran konflik Suriah) menyelenggarakan acara “Deklarasi Forum Pendukung Daulah Islamiyah”, di Mesjid Baitul Makmur, Desa Madegondo, Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo, Surakarta.
4 Agustus 2014, terinformasi pendukung ISIS dan Daulah Islamiyah Surakarta, sepakat mengganti singkatan nama ISIS menjadi “Suriah Indonesia Lan Iraq (SILIR)” dengan tujuan agar mudah mengingat oleh masyarakat Solo Raya, khususnya anggota Laskar Igaras dan generasi muda Islam, serta mengelabui penegak hukum.
Pada tanggal yang sama di Mesjid Muhajirin, Jl. Pulo Sirih, Kel. Pekayon Jaya, Kec. Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jabar, berlangsung bai’at serta deklarasi dukungan terhadap ISIS dan Daulah Islamiyah JAT Kota Bekasi, dihadiri sekitar 50 orang, dipimpin Syamsudin Uba.
Penangkapan tujuh orang yang diduga anggota ISIS atau MIT (Mujahidin Indonesia Timur) jaringan Santoso di Parigi Moutong menjadi penguat “kehadiran yang nyata itu” (Radar Sulteng, 14 September 2014).
Kita harus waspada karena mereka meninggalkan memori yang buruk dalam ingat kita. Rentetan Bom yang terjadi selama satu dasawarsa2, konflik Poso, Ambon, dan Mamasa adalah karya cipta mereka. Bukan hanya memoar tentang luka kemanusiaan yang ditinggalkan tetapi juga perspektif terhadap Islam. Mengapa? Karena mereka melakukannya atas nama ajaran agama Islam.
Dari sini, gerakan yang dianggap sebagai gerakan terorisme ini membuat preseden buruk bagi agama Islam di mata global. Islam dituding sebagai agama yang mudah membangkitkan semangat kekerasan dengan konsep jihad. Keterlibatan beberapa alumni Pesantren Ngruki (Imam Samudra, Mukhlas dan Ali Gufran Cs) dalam peristiwa kekerasan (Bom Bali) membuat lembaga pesantren dicitrakan sebagai “pabrik” terorisme. Dan Indonesia pun dianggap sebagai negara sarang terorisme. Tidak mengherankan, munculnya gerakan ISIS di Irak dan Suriah membuat mata dunia melirik Indonesia. Kedatangan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair ke Indonesia pada tanggal 11 September 2014 secara khusus untuk membahas ISIS dengan presiden
2 Mulai dari Kasus Bom Kedubes Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta 2000, Bom malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002, Bom Bali 2002, Bom McDonald’s Makassar 2002, Bom Kompleks Mabes Polri 2003, Bom Bandara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Bom Palopo 2004, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom Tentena 2005, Bom Palu 2005, Bom Jakarta 2009, dan Bom Cirebon 2011.
SBY menandakan bahwa Indonesia adalah negara yang harus dibicarakan dalam konteks terorisme global.
Dalam posisi ini, Islam di Indonesia, khususnya pesantren, harusnya dipandang sebagai korban. Korban dari pandangan universalitas yang meletakkan perspektifnya hanya kepada ‘kelakuan’ segelintir orang. Padahal, kita semua menyadari kalau Islam Indonesia adalah kekuatan utama bangsa Indonesia dengan pesantren sebagai penyanggahnya yang paling kuat. Pesantren tidak hanya membawa spirit perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang tetapi juga menjadi elemen penting dalam pembentukan negara bentuk NKRI, bukan negara agama (Islam).

Harus diakui bahwa gerakan radikalisme Islam di Indonesia memang massif pasca reformasi. Hal ini menyebabkan Islam di Indonesia mengalami simplifikasi istilah terorisme. Walau disadari dengan baik bahwa istilah radikalisme dan terorisme adalah fenomena global yang bisa terjadi di semua agama dan identitas tertentu. Seperti gerakan IRA di Irlandia, Ku Xu klan, macan Tamil, dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang menggunakan tindakan kekerasan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...