HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & APRILLAH
Akan tetapi kemunculan ISIS di Indonesia memaksa kita untuk
berfikir ulang tentang itu. Bahwa ternyata benih-benih radikalisme masih hidup
dan punya dukungan di Indonesia
Perbincangan terhadap kekerasan agama di Indonesia memasuki babak
baru ketika bendera ISIS (Islamic State of Iraq and Shuria) “tiba-tiba”
berkibar di beberapa tempat di Indonesia seperti di Poso, Solo, Jambi,
Pekanbaru dan Aceh. Disebut babak baru, karena perbincangan tentang radikalisme
agama di Indonesia sebenarnya memasuki titik yang jenuh. Keberadaannya pun
tidak lagi mendapatkan perhatian dari masyarakat. Pendekatan militer yang
konsisten digunakan oleh negara (melalui Densus 88) tampaknya cukup efektif
mengeliminir perkembangan kelompok ini.
Akan tetapi, kemunculan ISIS di Indonesia memaksa kita untuk
berfikir ulang tentang itu. Bahwa ternyata benih-benih radikalisme masih hidup
dan punya dukungan di Indonesia. Bahwa semangat kelompok Islamis radikal
Indonesia tidak pernah mati meski sebagian tokohnya sudah dieksekusi dan
dipenjarakan. Kelompok-kelompok lama ini bahkan seperti mendapatkan nafas
kembali untuk membangun kekuatan baru. Meski sejauh ini dukungan terhadap ISIS
masih bersifat simbolik tetapi mengutip pernyataan Jenderal TNI Moeldoko,
“keberadaan ISIS semakin nyata” (Radar Sulteng, 12 september 2014). 1 Beberapa indikasi
dukungan terhadap ISIS, antara lain:
11 Juli 2014, Abu Bakar Ba’asyir (JAT)
dan sejumlah narapidana teroris LP Pasir Putih Nusakambangan, menyatakan
berbai’at (mendukung) perjuangan menegakkan “Khilafah dan Daulah Islamiyah”
(Kekhalifahan dan Negara Islam), meskipun tidak secara spresifik menyatakan
berbai’at kepada Daulah Islamiyah versi ISIS.
20 Juli 2014, Ansharul Khilafah Jawa
Timur deklarasikan dukungan terhadap ISIS di sebuah mesjid yang baru selesai
1 Dikutip dari makalah
KABINDA (Kepala BIN Daerah) Sulbar yang disampaikan pada seminar Deradikalisasi
Agama di Polewali Mandar tanggal 04 September 2014.
dibangung, dalam kesempatan tersebut Muhamad Romly (Koordinator)
menyatakan bahwa dukungan kekhalifahan Islam kepada Abu Bakar al-Baghdadi
karena pihaknya yakin dapat membangun peradaban Islam yang lebih baik, meskipun
hanya sebatas dukungan moral, bukan dana ataupun mengirimkan jihadis ke Irak
dan Suriah.
15 Juli 2014, sekitar 400 simpatisan
JAT, dipimpin Ustadz Afif Abdul Majid (simpatisan ISIS / veteran konflik
Suriah) menyelenggarakan acara “Deklarasi Forum Pendukung Daulah Islamiyah”, di
Mesjid Baitul Makmur, Desa Madegondo, Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo, Surakarta.
4 Agustus 2014, terinformasi pendukung
ISIS dan Daulah Islamiyah Surakarta, sepakat mengganti singkatan nama ISIS
menjadi “Suriah Indonesia Lan Iraq (SILIR)” dengan tujuan agar mudah mengingat
oleh masyarakat Solo Raya, khususnya anggota Laskar Igaras dan generasi muda
Islam, serta mengelabui penegak hukum.
Pada tanggal yang sama di Mesjid Muhajirin, Jl. Pulo Sirih, Kel.
Pekayon Jaya, Kec. Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jabar, berlangsung bai’at serta
deklarasi dukungan terhadap ISIS dan Daulah Islamiyah JAT Kota Bekasi, dihadiri
sekitar 50 orang, dipimpin Syamsudin Uba.
Penangkapan tujuh orang yang diduga anggota ISIS atau MIT
(Mujahidin Indonesia Timur) jaringan Santoso di Parigi Moutong menjadi penguat
“kehadiran yang nyata itu” (Radar Sulteng, 14 September 2014).
Kita harus waspada karena mereka meninggalkan memori yang buruk
dalam ingat kita. Rentetan Bom yang terjadi selama satu dasawarsa2, konflik Poso, Ambon,
dan Mamasa adalah karya cipta mereka. Bukan hanya memoar tentang luka
kemanusiaan yang ditinggalkan tetapi juga perspektif terhadap Islam. Mengapa?
Karena mereka melakukannya atas nama ajaran agama Islam.
Dari sini, gerakan yang dianggap sebagai gerakan terorisme ini
membuat preseden buruk bagi agama Islam di mata global. Islam dituding sebagai
agama yang mudah membangkitkan semangat kekerasan dengan konsep jihad.
Keterlibatan beberapa alumni Pesantren Ngruki (Imam Samudra, Mukhlas dan Ali
Gufran Cs) dalam peristiwa kekerasan (Bom Bali) membuat lembaga pesantren
dicitrakan sebagai “pabrik” terorisme. Dan Indonesia pun dianggap sebagai
negara sarang terorisme. Tidak mengherankan, munculnya gerakan ISIS di Irak dan
Suriah membuat mata dunia melirik Indonesia. Kedatangan Perdana Menteri
Inggris, Tony Blair ke Indonesia pada tanggal 11 September 2014 secara khusus
untuk membahas ISIS dengan presiden
2 Mulai dari Kasus Bom
Kedubes Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta 2000, Bom malam Natal 2000, Bom
Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002,
Bom Bali 2002, Bom McDonald’s Makassar 2002, Bom Kompleks Mabes Polri 2003, Bom
Bandara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Bom Palopo 2004, Bom Kedubes
Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom Tentena 2005, Bom Palu 2005, Bom
Jakarta 2009, dan Bom Cirebon 2011.
SBY menandakan bahwa Indonesia adalah negara yang harus
dibicarakan dalam konteks terorisme global.
Dalam posisi ini, Islam di Indonesia, khususnya pesantren,
harusnya dipandang sebagai korban. Korban dari pandangan universalitas yang
meletakkan perspektifnya hanya kepada ‘kelakuan’ segelintir orang. Padahal,
kita semua menyadari kalau Islam Indonesia adalah kekuatan utama bangsa
Indonesia dengan pesantren sebagai penyanggahnya yang paling kuat. Pesantren
tidak hanya membawa spirit perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang
tetapi juga menjadi elemen penting dalam pembentukan negara bentuk NKRI, bukan
negara agama (Islam).
Harus
diakui bahwa gerakan radikalisme Islam di Indonesia memang massif pasca
reformasi. Hal ini menyebabkan Islam di Indonesia mengalami simplifikasi
istilah terorisme. Walau disadari dengan baik bahwa istilah radikalisme dan
terorisme adalah fenomena global yang bisa terjadi di semua agama dan identitas
tertentu. Seperti gerakan IRA di Irlandia, Ku Xu klan, macan Tamil, dan
gerakan-gerakan radikal lainnya yang menggunakan tindakan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar