HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Agenda kelompok Islamis-radikal
adalah “perlawanan” terbuka terhadap musuh Islam, dengan refferen utama Amerika
dan Barat. Agenda Islamis radikal terkait dengan konstalasi pertarungan global.
Sebagian besar kelompok Islamis radikal berjejaring dengan kelompok Islamis
radikal dunia, khususnya Al-Qaeda.
Mereka
melakukan berbagai bentuk kekerasan dengan sasaran utama kepentingan asing
seperti Bom Bali, Bom Kuningan di Kedubes Australia, dan Bom di McDonald Makassar.
Terakhir bom di plaza Sarinah Jakarta. Beberapa percobaan bom pun dilakukan di
beberapa tempat meski berhasil diantisipasi dengan baik oleh pihak kepolisian.
Eksistensi
kaum Islamis-radikal semakin menemui konteksnya ketika retakan sosial di
beberapa tempat di Indonesia (khususnya di kawasan Timur Indonesia) meledak
menjadi konflik sosial. Retakan sosial yang semula bersumber dari distribusi
ekonomi dan politik yang timpang antara dua kelompok sosial yang berbeda
identitas bertemu dengan situasi reformasi yang sangat liar akhirnya meledak
menjadi konflik sosial. Kelompok Islamis khususnya dari lasykar Jihad datang
mengambil peran dengan mengibarkan api konflik lebih lama dan lebih luas.
Konflik ini kemudian kita kenal dengan istilah konflik Ambon, Poso, dan Mamasa.
Konflik yang kemudian dikenal sebagai konflik agama karena para aktor dari dua
pihak yang bertikai mengibarkan simbol-simbol agama sebagai penyemangat.
Kehadiran
kelompok Islamis-radikal sangat tergantung dengan situasi global. Dalam banyak
hal mereka tidak terkait dengan situasi lokal. Kehadiran mereka di Indonesia
tidak untuk berperang dengan negara tetapi melawan Amerika (sebagai
representasi musuh utama) dengan menghancurkan fasilitas-fasilitas yang
dianggap mewakili Amerika dan sekutunya di Indonesia seperti yang dijelaskan
pada bagian sebelumnya. Para aktor Islamis-radikal sebagian besar merupakan
alumni perang Afganistan dan Palestina. Sebagian juga terlibat dalam kaum
militan di Moro, Filipina Selatan. Gerakan ini menemukan tempat bersemai ketika
pasca reformasi muncul konflik Ambon, Poso, dan Mamasa. Mereka ikut masuk ke
dalamnya, menjadi aktor, dan memunculkan bibit terorisme sampai sekarang.
Gerakan
ini di Indonesia telah mengalami titik nadir. Intensitas Densus 88 dalam
memburu orang yang diduga terkait dengan terorisme di Indonesia terus menerus
ditingkatkan. Ini mengakibatkan ruang gerak kelompok ini terus menerus menyempit.
Namun, kehadiran ISIS di Timur Tengah sepertinya mengobarkan kembali semangat
juang para jaringan teroris di Indonesia. Ini terlihat dari aktivitas yang
menggeliat dari beberapa kelompok Islamis di Indonesia yang memberi dukungan
kepada ISIS, termasuk kehadiran WNA berpaspor Turki di Sulawesi Tengah dan
penembakan enam orang terduga teroris di NTB (Nusa Tenggara Barat) yang diduga
punya keterkaitan dengan ISIS. Bendera ISIS yang ditemukan di rumah salah
seorang terduga teroris sebagai buktinya.
Hal
lain yang patut diwaspadai adalah para WNI yang sekarang ini sedang bergabung
bersama ISIS di Timur Tengah. Secara teori, keberadaan ISIS tidak akan bertahan
lama. Selain karena bermusuhan dengan sesama umat Islam (khususnya Syiah dan
Sunni moderat) juga karena tentara internasional dari berbagai negara ikut
menyerang ISIS. Gerakan-gerakan radikal dunia hampir pasti tidak pernah dapat
bertahan lama, kecuali mendapatkan sokongan yang kuat secara politik dan
keuangan dari negara-negara besar. Nah, para anggota ISIS asal Indonesia kelak
akan kembali pulang. Mereka dapat saja membangun semangat perlawanan baru.
Apalagi, beberapa orang yang teridentifikasi bergabung dengan ISIS adalah
jaringan teroris di Indonesia (lihat Ibnu Burdah, Kompas 10 September 2014).
Imam Besar Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa ada sekitar 700
eks ISIS di Syuriah sudah kembali ke tanah air (disampaikan dalam pidato
peresmian Wisma PMII, tanggal 25 Desember 2016) Apalagi, sejarah teroris di
Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar jihadis adalah eksodus dari perang
di Afganistan, Palestina, dan Moro, Filipina Selatan. Semangat jihad yang
mereka dapatkan di perang itu mereka replikasi di Indonesia.
Dalam
konteks nasional, agenda utama Islamis radikal adalah penegakan amar makruf
nahi munkar dengan cara kekerasan. Mereka menganggap bahwa sistem
pemerintah saat ini tidak memberi keadilan karena itu harus dilawan dengan cara
para-militer. Gerakan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) yang dipimpin oleh
Santoso adalah bentuk nyata dari perlawanan kelompok Islamis radikal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar