Senin, 15 Januari 2018

Islamis Radikal

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Agenda kelompok Islamis-radikal adalah “perlawanan” terbuka terhadap musuh Islam, dengan refferen utama Amerika dan Barat. Agenda Islamis radikal terkait dengan konstalasi pertarungan global. Sebagian besar kelompok Islamis radikal berjejaring dengan kelompok Islamis radikal dunia, khususnya Al-Qaeda.

Mereka melakukan berbagai bentuk kekerasan dengan sasaran utama kepentingan asing seperti Bom Bali, Bom Kuningan di Kedubes Australia, dan Bom di McDonald Makassar. Terakhir bom di plaza Sarinah Jakarta. Beberapa percobaan bom pun dilakukan di beberapa tempat meski berhasil diantisipasi dengan baik oleh pihak kepolisian.
Eksistensi kaum Islamis-radikal semakin menemui konteksnya ketika retakan sosial di beberapa tempat di Indonesia (khususnya di kawasan Timur Indonesia) meledak menjadi konflik sosial. Retakan sosial yang semula bersumber dari distribusi ekonomi dan politik yang timpang antara dua kelompok sosial yang berbeda identitas bertemu dengan situasi reformasi yang sangat liar akhirnya meledak menjadi konflik sosial. Kelompok Islamis khususnya dari lasykar Jihad datang mengambil peran dengan mengibarkan api konflik lebih lama dan lebih luas. Konflik ini kemudian kita kenal dengan istilah konflik Ambon, Poso, dan Mamasa. Konflik yang kemudian dikenal sebagai konflik agama karena para aktor dari dua pihak yang bertikai mengibarkan simbol-simbol agama sebagai penyemangat.
Kehadiran kelompok Islamis-radikal sangat tergantung dengan situasi global. Dalam banyak hal mereka tidak terkait dengan situasi lokal. Kehadiran mereka di Indonesia tidak untuk berperang dengan negara tetapi melawan Amerika (sebagai representasi musuh utama) dengan menghancurkan fasilitas-fasilitas yang dianggap mewakili Amerika dan sekutunya di Indonesia seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Para aktor Islamis-radikal sebagian besar merupakan alumni perang Afganistan dan Palestina. Sebagian juga terlibat dalam kaum militan di Moro, Filipina Selatan. Gerakan ini menemukan tempat bersemai ketika pasca reformasi muncul konflik Ambon, Poso, dan Mamasa. Mereka ikut masuk ke dalamnya, menjadi aktor, dan memunculkan bibit terorisme sampai sekarang.
Gerakan ini di Indonesia telah mengalami titik nadir. Intensitas Densus 88 dalam memburu orang yang diduga terkait dengan terorisme di Indonesia terus menerus ditingkatkan. Ini mengakibatkan ruang gerak kelompok ini terus menerus menyempit. Namun, kehadiran ISIS di Timur Tengah sepertinya mengobarkan kembali semangat juang para jaringan teroris di Indonesia. Ini terlihat dari aktivitas yang menggeliat dari beberapa kelompok Islamis di Indonesia yang memberi dukungan kepada ISIS, termasuk kehadiran WNA berpaspor Turki di Sulawesi Tengah dan penembakan enam orang terduga teroris di NTB (Nusa Tenggara Barat) yang diduga punya keterkaitan dengan ISIS. Bendera ISIS yang ditemukan di rumah salah seorang terduga teroris sebagai buktinya.
Hal lain yang patut diwaspadai adalah para WNI yang sekarang ini sedang bergabung bersama ISIS di Timur Tengah. Secara teori, keberadaan ISIS tidak akan bertahan lama. Selain karena bermusuhan dengan sesama umat Islam (khususnya Syiah dan Sunni moderat) juga karena tentara internasional dari berbagai negara ikut menyerang ISIS. Gerakan-gerakan radikal dunia hampir pasti tidak pernah dapat bertahan lama, kecuali mendapatkan sokongan yang kuat secara politik dan keuangan dari negara-negara besar. Nah, para anggota ISIS asal Indonesia kelak akan kembali pulang. Mereka dapat saja membangun semangat perlawanan baru. Apalagi, beberapa orang yang teridentifikasi bergabung dengan ISIS adalah jaringan teroris di Indonesia (lihat Ibnu Burdah, Kompas 10 September 2014). Imam Besar Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa ada sekitar 700 eks ISIS di Syuriah sudah kembali ke tanah air (disampaikan dalam pidato peresmian Wisma PMII, tanggal 25 Desember 2016) Apalagi, sejarah teroris di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar jihadis adalah eksodus dari perang di Afganistan, Palestina, dan Moro, Filipina Selatan. Semangat jihad yang mereka dapatkan di perang itu mereka replikasi di Indonesia.

Dalam konteks nasional, agenda utama Islamis radikal adalah penegakan amar makruf nahi munkar dengan cara kekerasan. Mereka menganggap bahwa sistem pemerintah saat ini tidak memberi keadilan karena itu harus dilawan dengan cara para-militer. Gerakan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) yang dipimpin oleh Santoso adalah bentuk nyata dari perlawanan kelompok Islamis radikal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...