HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPILLAH
Apakah Jaringan ISIS
Benar Ada di Sulsel dan Sulteng?
Isu ISIS yang tiba-tiba mengalir deras dalam dunia informasi kita,
memaksa kita untuk
berfikir ulang, apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
Benarkah ISIS ada secara organisasi di Indonesia (khususnya di Sulsel dan Sulteng),
bukan imajiner? Atau ini permainan isu untuk ‘memelihara’ wacana terorisme agar
tetap ada di Indonesia? Lalu siapa yang diuntungkan dari permainan diskursif
ini?
Yang pasti hingga kini (atau setidaknya hingga tulisan ini dibuat)
kehadiran ISIS (sebagai jaringan organisasi secara resmi) khususnya di Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan masih sumir. Semua masih dalam bentuk dugaan yang
didasarkan pada analisis terutama dari pihak kepolisian. Kata yang digunakan
pihak kepolisian dan media massa untuk menyebut ISIS didahului dengan kata
“terduga”. Kata yang lazim digunakan sebagai implikasi dari sistem hukum yang
menganut praduga tak bersalah. Namun, kata ini—dalam konteks sosial-
berarti masih meragukan, bisa benar bisa juga tidak. Semuanya bersifat dugaan
karena deklarasi dukungan terhadap ISIS tidak pernah secara tegas ditemukan
dilakukan di dua wilayah ini dan laporan resmi yang menyebutkan keterlibatan
jaringan sipil bersenjata di Poso dengan ISIS belum ada.
Lalu apa yang membuat wacana ISIS sangat dekat dengan Sulawesi
Tengah? Tentu saja, sepak terjang kelompok teroris yang ada di sana. Keberadaan
MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Santoso di Poso memang menjadi
diskursus yang memudahkan pihak kepolisian untuk menyederhanakan analisis
tentang keberadaan ISIS di Sulawesi Tengah. Ini terlihat dari analisis Kapolda
Sulawasi Tengah Brigjen Ari Dono Sukamto yang menyamakan model gerakan ISIS
dengan gerakan Santoso. “Dengan membunuh, melakukan bom bunuh diri, menembak,
merampok senjata, dan kegiatan fa’i, itu menjadi kesamaan kelompok
tersebut,” Kata Kapolda Sulteng (Tempo.co 07/8/2014). Bendera ISIS menurut
Kapolda pernah dikibarkan oleh kelompok Santoso ketika pawai idul fitri pada
bulan Agustus 2014 lalu. Ini mengindikasikan bahwa Santoso telah menjadi bagian
dari ISIS di Indonesia. Pendekatan yang sama disampaikan oleh Utoro Saputro,
bahwa ada simbol yang menggambarkan ISIS di Kota Palu yang digunakan beberapa
orang, namun ini harus diteliti lebih lanjut, apakah mereka hanya iseng atau
sekadar memanfaatkan maraknya pemberitaan soal ISIS (Antaranews.com 09/8/14).
Analisis pihak kepolisian ini tampaknya yang menjadi landasan pikir media
nasional untuk secepat mungkin mengaitkan para WNI yang tertangkap sebagai
jaringan ISIS di Indonesia, terutama fakta-fakta yang menunjukkan keterkaitan
mereka dengan Santoso. Artinya, karena para jaringan teroris terkait dengan
Santoso berarti mereka adalah ISIS.
Faktor lain yang cukup kuat untuk mengindikasikan keterkaitan MIT
dan ISIS adalah munculnya seorang Indonesia melalui video You Tube yang
mengajak seluruh warga muslim untuk mendukung gerakan jihad ala ISIS. Orang
Indonesia yang bernama Abu Muhammad Al-Indonesi itu –berdasarkan pernyataan
Kapori Jend. Sutarman- adalah anggota kelompok MIT. Begitu pula, empat orang
terduga anggota ISIS yang tertembak di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah
juga mantan anggota MIT bahkan salah satu diantaranya yang berinisial SHL
adalah seorang DPO (Daftar Pencarian Orang) yang ikut melakukan penembakan di
pos Polisi di Poso.
Analisis yang mengaitkan MIT dan ISIS memang cukup rasional dengan
beberapa indikasi yang cukup kuat. Bukan hanya pola kerja yang relatif
sama—seperti yang menjadi basis analisis kepolisian- tetapi kelompok radikal
Indonesia membutuhkan semangat baru untuk membangkitkan perlawanan setelah
sekian tahun kehilangan taji. ISIS menjadi idiom baru untuk mengonsolidasi
semangat jihad yang baru. Artinya, analisa kepolisian yang mengaitkan MIT dan
ISIS bisa dibenarkan. Tetapi, analisis sederhana ini bisa beresiko pada
‘ketakutan’ yang berlebihan terhadap gerakan teroris Indonesia. Bagaimana pun
juga, ISIS adalah gerakan yang sifatnya lokal (Irak dan Suriah). Medan
pertempuran mereka adalah Irak dan Suriah. Sangat sulit membayangkan ide ini
bisa diterima secara utuh oleh kelompok radikalis Indonesia kecuali untuk
sekedar membangkitkan semangat juang baru. Artinya, kehadiran ISIS menjadi
pemantik untuk membangkitkan gerakan untuk melakukan hal yang sama. Jaringannya
bisa saja sangat imajiner, bukan bagian ISIS sebagai organisasi ansich tetapi
kesamaan visi dan model gerakan belaka.
Lalu bagaimana dengan Sulawesi Selatan? Isu ISIS merebak di
Makassar ketika seorang ustad diklaim mendeklarasikan dukungan terhadap ISIS.
Ustad Basri yang memang dikenal sebagai mantan pejuang Afganistan tahun 1980an.
Pada medio Agustus 2014, Ustad Basri mendeklarasikan dukungan untuk khilafah
Islamiyah, tetapi bukan bagian dari gerakan ISIS di Syuriah. Media lokal maupun
nasional ramai-ramai ‘menuding’ sang ustad sebagai bagian dari ISIS bahkan
dengan julukan “deklarator ISIS”. Saat ini, sang ustad telah mendekam di
penjara Makassar.
Ada dua hal yang patut menjadi perhatian tentang kemunculan wacana
ISIS di tengah publik Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Selatan, pertama simplifikasi gerakan. Kesamaan model gerakan antara
kelompok Islam radikal Indonesia dan ISIS menjadi indikator utama yang
digunakan untuk menganalisis keterkaitan gerakan ini dengan kelompok teroris
yang sudah lama di Indonesia. Simplifikasi gerakan ini diperkuat dengan “bukti”
keberadaan orang Indonesia yang memproklamirkan diri mereka sebagai bagian dari
gerakan ISIS dan orang itu ternyata punya keterkaitan dengan MIT. Ada pula
deklarasi dukungan dari berbagai tempat yang dilakukan oleh kelompok Islam
radikal. Alternatif analisis lain adalah ISIS telah menjadi fenomena global.
Gerakan ini mendapat sambutan hangat dari kelompok muda Islam di Eropa. Situasi
ketertindasan dan fenomena anomali situasi sosial di Timur Tengah dengan
kehadiran Amerika dan sekutunya membangkitkan semangat perlawanan, baik secara
simbolik dengan menjadi bagian dari ISIS maupun dengan hadir sebagai
sukarelawan jihadis di Timur Tengah. Keberhasilan ISIS membuat diri mereka
menjadi wacana global digunakan oleh kelompok jihadis Indonesia untuk
mengkampanyekan diri mereka, meski secara simbolis. Deklarasi, dukungan, maupun
pemasangan bendera di tempat publik adalah bentuk penghadiran diri secara
simbolis di hadapan dunia. Kelompok teroris di Indonesia menggunakan cara ini
untuk membangun sindrom lama dengan idiom baru. Itu berhasil, gerakan terorisme
yang terjadi belakangan (setelah ISIS menjadi wacana global) segera dengan
cepat dikaitkan dengan gerakan ISIS, meski dengan menggunakan kata “terduga”.
Kedua, simplifikasi wacana. ISIS
hadir tidak hanya dengan semangat perlawanan berbasis ideologi Sunni atau sekedar
melawan kepentingan Amerika di Timur Tengah tetapi juga membangun cita-cita
purba masyarakat Islam yaitu Islamic State, khilafah Islamiyah. Khilafah
merupakan model negara yang dimajukan oleh banyak kelompok Islamis di dunia,
baik sebagai gerakan global maupun nasional. Wacana negara Islam hampir menjadi
pergulatan politik di semua negara berbasis Islam. Pergulatan itu menghasilkan
tiga bentuk, integrasi, akomodasi, dan vis a vis. Arab Saudi, Iran
Malaysia, dan Brunei Darussalam adalah contoh negara yang mengambil bentuk
integrasi dengan mengambil Islam sebagai dasar konstitusi mereka. Indonesia
adalah bentuk negara yang mengakomodasi nilai Islam tetapi tidak menjadikannya
sebagai landasan konstitusi secara khas. Turki adalah contoh negara yang
menjadi nilai Islam dijauhkan dari kehidupan bernegara. Negara Islam atau
khilafah Islamiyah pasca runtuhnya ke-khalifaan daulah Utsmaniyah di Turki
telah menjadi idiom politik yang ditawarkan oleh kelompok Islam yang merasa
jenuh dengan sistem demokrasi atau sekuler yang membawa manusia ke jurang
perang kemanusiaan. Tidaklah mengherankan kalau ide khilafah Islam tidak lahir
dari negara Islam yang mapan tetapi dari negara yang sedang berkecamuk. Syekh
Taqiuddin Nabahani, inisiator khilafah Islamiyah melalui organisasi ‘politik’
yang disebutnya sebagai partai pembebas atau Hizbuttahrir, adalah orang
Palestina. Dia tumbuh dan melihat konflik Palestina-Israel. Dia menyaksikan
bagaimana negara Islam tidak bersatu membela Palestina karena melindungi
kepentingan masing-masing negara. Dia lalu mengajukan ide khilafah Islamiyah
sebagai solusi.
Begitu pula, Abu Bakr Al-Baghdady yang mengkampanyekan negara
Islam atau khilafah dari carut marut politik di Suriah. Sayangnya, gagasan
pendirian negara Islam oleh ISIS dilakukan dengan cara-cara anarkis. Alih-alih
mengambil banyak kawan, ISIS justeru semakin banyak mendapatkan musuh. Tidak
hanya dari negara non muslim tetapi juga negara Islam integratif seperti
Malaysia ataupun negara Islam akomodatif seperti Indonesia. Para ulama di dua
negara ini misalnya mengatakan bahwa ISIS itu haram dan tidak merefleksikan
Islam sama sekali.
Gagasan negara Islam yang menjadi cita-cita ISIS menjadi alat ukur
untuk melihat “jaringan”-nya di Indonesia. HTI pun sempat mendapatkan perhatian
penting di Indonesia karena kesamaan gagasan Khilafah Islamiyah. Isu ini
kemudian dibantah oleh para petinggi HTI di Indonesia termasuk di Sulawesi
Selatan. Tentu saja, pengaitan HTI dengan ISIS adalah absurd jika semata
melihat kesamaan gagasan khilafah yang diusungnya. Ide khilafah Islamiyah yang
ditawarkan oleh HTI di Indonesia khususnya sangat sistemik dengan pendekatan
keilmuan yang relatif baik. Mereka tidak pernah menggunakan kekerasan. Bahkan
mereka dikenal sebagai demonstran yang rapi dan baik. Mereka tidak pernah
terlibat bentrok dengan aparat keamanan. Tentu semua ini berbeda dengan pola
gerakan ISIS yang sangat destruktif dan sangat kejam.
Ini pula yang menjadi alat ukur yang menyebabkan ustad Basri diberitakan
menjadi deklarator ISIS di Sulawesi Selatan. Padahal, yang dilakukan oleh Ustad
Basri hanyalah deklarasi khilafah Islamiyah. Hal yang sama yang menyebabkan HTI
pun sempat dikaitkan dengan ISIS karena kesamaan cita-cita perjuangan untuk
menegakkan khilafah Islamiyah. Belakangan, Ustad Basri tertangkap polisi atas
dugaan itu.
Dalam konteks Islam, dukungan terhadap pembentukan khilafah
Islamiyah, negara Islam, atau pun formalisasi Islam adalah bagian dari
diskursus yang menyejarah. Sebaiknya hal ini tidak dianggap sebagai kekeliruan
semata atau simplifikasi terhadap ISIS. Perdebatan tentang ini akan selalu ada
karena memang ada sebagian kelompok dalam Islam menginginkan integrasi Islam ke
dalam negara, bukan sekedar akomodasi. Aceh bisa menjadi contoh menarik.
Otonomi istimewa yang dimiliki Aceh, memungkinkan mereka mengatur bentuk
daerahnya. Dan mereka memilih Islam! Islamic State ala Aceh tentu saja
tidak bisa dibaca pejoratif sebagaimana memandang Islamic State ala ISIS.
Islamic State di Aceh adalah bentuk permainan politik identitas yang
berbasis pada keagamaan. Basisnya ketidakadilan ekonomi dan politik yang
dirasakan Aceh setelah sekian lama. Pun, diskursus ini muncul dalam konteks
sejarah yang panjang. Yang lebih penting lagi, bentuk ‘negara Islam” tidak
lantas mengubah wajah Aceh menjadi radikal seperti yang ditampilkan oleh ISIS
di Timur Tengah.
Munculnya wacana ISIS ke publik Indonesia bisa dibaca dalam
beberapa perspektif. Pertama, ada kepanikan massif yang mulai merasuki
nalar kita –khususnya pemerintah, terhadap gerakan terorisme. Kampanye ISIS
oleh Abu Muhammad Al-Indonesi ditambah dengan munculnya dukungan publik di
beberapa tempat menyebabkan kepanikan. Seolah-olah Indonesia sedang berada
dalam titik nadir dalam soal terorisme. Jargon selamatkan Indonesia dari
ISIS misalnya yang didengungkan oleh BNPT adalah refleksi dari kepanikan
itu. Kepanikan yang terlalu berlebihan mengingat Densus 88 telah bekerja
sedemikian aktif dalam hal memerangi jaringan terorisme. Program selamatkan
Indonesia dari Terorisme sudah dengan sangat gencar dilakukan sejak
munculnya Bom Bali, terutama dengan munculnya Detasemen khusus 88 yang memang
bertugas untuk ‘menghabisi’ para terorisme. Jaringan ISIS di Indonesia
–kalaupun ada- adalah jaringan lama. Tidak jauh dari kelompok lama yang memang
sudah menjadi incaran pihak keamanan sejak lama. Kedua, bisa bermakna
positif karena kesadaran publik dan negara terhadap gerakan ISIS menjadi lebih
cepat. Ini penting mengingat bibit terorisme sangat mudah berkecambah di negeri
yang labil secara politik. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang
politiknya masih sangat labil. Deklarasi penolakan yang terjadi dimana-mana
menunjukkan berhasilnya upaya negara menghadirkan wacana ISIS sebagai sesuatu
yang berbahaya di tengah masyarakat. Publik berhasil diajak untuk waspada dan
sekaligus menolak segala bentuk terorisme baru seperti ISIS. Ketiga, ada
akibat negatif dari maraknya kabar tentang ISIS, khususnya bagi Poso. Poso kembali
menjadi perbincangan hangat ketika wacana ISIS mengemuka ke publik. Jaringan
Santoso dan Daeng Koro yang masih bergerilya di hutan Poso menyebabkan
perhatian publik ke Poso semakin meningkat ke Poso. Menariknya, perhatian ini
sepertinya “dimanfaatkan” oleh jaringan Santoso untuk membuat gerakan.
Penangkapan WNA yang diduga sebagai jaringan ISIS tidak bisa dipahami sebagai
‘keteledoran’. Boleh jadi itu adalah bagian dari strategi Santoso untuk menguji
kesigapan keamanan. Membawa orang Asing menuju Poso adalah tindakan bunuh diri,
dan yang mengherankan mengapa harus melalui Palu padahal mereka ini datang dari
Makassar via jalur darat, dimana ada jalur yang memungkin masuk ke Poso tanpa
melalui Palu. Beberapa hari setelah penangkapan terduga teroris itu, jaringan
Santoso melakukan aksi dengan memenggal kepala seorang petani di Poso (22
September 2014) dan melakukan penembakan kepada Polisi yang sedang berpatroli
(04 Oktober 2014).
Dengan
begitu, diskursus tentang ISIS masih sangat buram. Deklarasi dukungan terhadap
ISIS yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, bisa jadi sekedar dukungan
terhadap gagasan negara Islam atau bisa jadi sebagai bagian dari ‘merk’ baru
bagi gerakan Islamis radikal untuk menyatukan faksi-faksi kelompok radikal di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar