Senin, 15 Januari 2018

Gejala Fudamentalisme dan Radikalisme sebagai Fenomena Semua (Pemeluk) Agama

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Di Indonesia, gerakan radikalisme terasa sangat identik dengan kaum muslim garis keras. Asumsi simplistis ini memang terjadi selain karena dalam beberapa kasus kekerasan atas nama agama seringkali melibatkan kelompok Islam sebagai aktornya, juga karena permainan idiom global yang secara semena-mena menempatkan Islam (termasuk pesantren) sebagai agama teroris atau agama yang menganut kekerasan.

Namun, fenomena radikalisasi agama (jika mengikuti kategori diatas) pun terjadi di agama Kristen dan Hindu. Kasus pembakaran rumah ibadah umat Islam di Tolikara (2015) dan demonstrasi dan protes terhadap renovasi rumah ibadah umat Islam di Manado (2016), serta geliat larangan menggunakan kata “Bali Bershalawat” karena Bali identik dengan Hindu adalah bagian dari potret radikalisme agama di Indonesia (2016).
Fenomena radikalisme di setiap agama ini tampaknya sangat terkait dengan identitas yang dilekatkan pada wilayah tertentu. Manado dan Papua adalah wilayah yang identik dengan agama Kristen, sedangkan Bali identik dengan Hindu. Afinitas agama dan geografis melahirkan watak dominasi. Para kelompok agama mayoritas ini merasa “memiliki” wilayah ini lebih dari kelompok agama lainnya. “Jumlah yang banyak” itu menjadi alat legitimasi untuk mengatur pola kehidupan beragama umat lain.
Relasi mayoritas minoritas menjadi faktor yang determinan terhadap munculnya sikap “ingin menguasai”. Kasus rumah ibadah menjadi kasus yang menarik dalam konteks ini. Siapa yang mayoritas dia yang menentukan orang lain. Kasus Gereja Yasmin di Bogor dan beberapa rumah ibadah umat Kristen yang sulit untuk berdiri karena mendapatkan perlawanan dari pihak muslim. Pun masjid di Papua Barat sulit untuk berdiri karena mendapatkan perlawanan dari pihak Kristen.
Bahkan Manado, wilayah yang selama ini dianggap sangat toleran dan rukun pun mengalami sindrom mayoritas. Masjid Al-Khairiyah yang akan direnovasi mendapatkan “penolakan” dari kelompok masyarakat Manado yang menamakan diri sebagai aliansi Makapetor. Antara tahun 2013 hingga tahun 2016 tercatat telah terjadi 4 kali demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Masyarakat Adat Kawanua Pencinta Toleransi (MAKAPETOR) terhadap pembangunan Mesjid Al-Khairiyah.
Gerakan formalisme agama juga sempat mengemuka di Manokwari. Kota ini diproklamirkan sebagai kota Injili. Ini berarti bahwa Manokwari diidentikkan dengan agama Kristen. Implikasi yang terasa adalah “penolakan” warga terhadap pembangunan masjid raya di Kota Manokwari. Kehadiran “masjid raya” dianggap tidak relevan dengan simbol Manokwari Kota Injil.
Kasus Tolikara merupakan kasus radikalisme agama yang dilakukan oleh umat Kristiani yang paling menyedot perhatian. Kasus yang terjadi pada Juli 2014 menjadi perbincangan semua kalangan muslim. Kasus ini dianggap mengejutkan dan sekaligus menjadi pembenaran bahwa tindakan radikal dan kekerasan sangat mungkin dilakukan oleh kelompok manapun.
Berbagai kasus diatas menunjukkan bahwa fenomena kekerasan berbasis agama bukanlah spesifik ke agama tertentu. Potensi radikalisme agama adala fenomena umum sebagai refleksi dari “fanatisme” keberagamaan yang diselimuti perasaaan sebagai “pemilik tanah”. Sinrom mayoritas menyebabkan agama dengan mudah mengalami transformasi dari kedamaian menjadi kekerasan beragama. Mengalamatkan radikalisme agama hanya kepada agama Islam saja tentu tidak adil, tetapi dalam konteks Indonesia, gerakan kekerasan atas nama agama lebih massif dilakukan oleh umat beragama Islam, apalagi dengan terbentuknya organisasi yang menggunakan nama Islam.
Fenomena gerakan fundamentalisme Kristen muncul pada abad 19 M di Amerika Serikat. Munculnya kaum fundamentalis (yang biasa juga diassosiasikan dengan evangelis radikal) tidak terlepas dari instabilitas politik yang tengah melanda Amerika. Pertentangan kelas dan kekacauan sosial (social rush) terjadi dimana-mana. Sementara perilaku sosial kalangan elit di Amerika cenderung semakin sekuler. Bagi sebagian orang Kristen fenomena seperti itu jelas sangat bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Di sekitar tahun 1830-an dan 1840-an, kaum fundamentalis Kristen Amerika menggelar Konferensi Niagara, mengusung beberapa pandangan konservatif.
Puncak perkembangan gerakan Fundamentalist Kristen terjadi pasca Perang Dunia I, terutama pada tahun 1920. Saat itu, media massa mengekspos gerakan ini. Para penganutnya begitu bersemangat membasmi pengaruh modernisme termasuk teori Darwin dan Teologi Liberal dari kehidupan gereja dan masyarakat karena mereka juga didorong oleh pemahaman eskatologis dan minelaris: Perang dunia I (1914- 1918) dilihat sebagai isyarat atau penanda bahwa akhir zaman dan Kerajaan Seribu Tahun segera akan tiba. Salah satu langkah strategis untuk memenangkan ’perang rohani’ ini adalah memperkuat posisi dan peranan di bidang politik (dan hukum), agar segala keputusan politis dan produk perundang-undangan mendukung tujuan gerakan ini. Dalam waktu singkat sejumlah gereja utama mendapat pengaruh dari gerakan fundamentalisme ini (Jan. S. Aritonang, 2000:237).
Namun pada tahun tahun 1930-an, gerakan ini mengalami kemerosotan yang cukup drastis. Setidaknya ada dua kasus yang menjadi penyebabnya, yaitu kasus Fosdick dan kasus Scopes. Kasus Fosdick diawali dari perang polemik antara Harry Emerson Fosdick dari Gereja Baptis dan J.G. Machen dari kelompok fundamentalis tentang toleransi, dan kebebasan berekspresi. Meski pada awalnya mendukung Machen, namun pada akhirnya lebih dari 1200 pengerja Gereja Presbyterian menandatangani pernyataan menentang fundamentalisme. Pada tahun 1925, Sidang Raya Gereja Presbyterian mengeluarkan pernyataan resmi menolak fundamentalisme. Menyusul penolakan tersebut, Machen dan rekan-rekannya mengundurkan diri dari seminari Princetone dan membentuk kelompok seminari sendiri.
Kasus Scope merupakan kasus dimana seorang guru sekolah John. T. Scopes diadukan ke pengadilan atas tuduhan mengajarkan Teori Darwin. Sebelumnya (tahun 1923) kaum Fundamentalisme berhasil memperjuangkan diterbitkannya undang-undang yang melarang pengajaran teori Evolusi Darwin di sekolah. Namun ketika pengacara Scopes mengajukan sejumlah pertanyaan yang tajam terhadap keabsahan tuduhan ataupun kebenaran pandangannya. Kaum fundamentalisme ternyata tidak mampu mempertahankan diri, argumentasinya dangkal, anti-intelektual dan terkesan kampungan. Keadaan semakin buruk ketika ternyata pers lebih memihak kepada Scopes dan menjadi pengadilan ekstra bagi kaum fundamentalisme. Sejak saat itu, pergerakan kaum fundamentalis Kristen meredup, dan lambat laun hilang.
Pada tahun 1950-an sampai 1960-an kecenderungan paham fundamentalisme berkembang kembali di kalangan Kristen Protestan, terutama di kalangan gereja Evangelis (Injili) yang dianggap sebagai pewaris semangat fundamentalisme, berbarengan dengan menguatnya komunisme. Isu bahaya komunisme dijadikan alat kampanye mencari dukungan publik Amerika. Evangelis Amerika yang termasyur, Billy Graham mendapat banyak simpati dari orang-orang yang benci komunis.
Pasca runtuhnya komunisme di Amerika, gerakan fundamentalisme Kristen mengarahkan sasarannya ke komunitas Islam di Amerika. Gerakan Islam yang mulai berkembang di Amerika, ditambah dengan semakin menguatnya perlawanan terhadap Amerika oleh negara-negara Timur Tengah seperti Iran dan Irak, sejak tahun 1970-an hingga mencapai puncaknya pasca peristiwa runtuhnya gedung WTC pada tanggal 9 September 2001. Semangat anti Islam merebak di mana-mana dalam berbagai bentuk.
Fundamentalisme Hindu lahir di Kashmir dan India. Kelompok fundamental seringkali melakukan tindakan-tindakan destruktif kepada agama lain atas nama kepentingan agama mereka. Pun, kasus pengusiran etnis Ronghiya di Myanmar menjadi refleksi dari tindakan radikal berbasis agama yang dilakukan oleh umat Buddha.
Dalam konteks gerakan, Syafiq Hasyim (2016) (Laman Bimas Islam, Penanggulangan Radikalisme dan Ekstrimisme Berbasis Agama) menyebutkan ada 20 indikator, yaitu:
1. Gerakan ini memiliki kecenderungan untuk menempatkan diri mereka di luar arus utama atau menolak tatanan dunia, politik, dan sosial.
2. Berusaha menggulingkan tatanan politik dalam rangka membangun kembali apa yang mereka pertimbangka sebagai tatanan alamiyah di dalam masyarakat-apakah ini berbasis pada ras, kelas, keyakinan, atau superioritas etnik.
3. Memiliki program ideologi dan perencanaan aksi yang ditujukan untuk meraih kekuasaan politik atau komunal.
4. Menolak atau mengacaukan konsepsi tatanan hukum masyarakat demokratis, menggunakan ruang politik yang disediakan oleh sistem demokratis untuk memajukan tujuan mereka dalam mengambil kekuasaan politik.
5. Menolak deklarasi internasional hak asasi manusia dan menunjukkan ketidakempatian mereka serta tidak mengakui hak orang lain.
6. Menolak prinsip-prinsip demokrasi yang didasarkan pada kedaulatan rakyat.
7. Menolak kesetaraan secara umum terutama untuk kaum perempuan dan minoritas.
8. Menolak diversitas dan pluralism bahkan mengajukan sistem budaya yang monolitik (mono cultur society).
9. Menggunakan filsafat segala cara dalam mencapai tujuan dan kepentingan mereka.
10. Secara aktif mendorong dan mengutamakan penggunaan kekerasan untuk memerangi apa yang mereka pandang sebagai kejahatan dan meraih tujuan politik mereka.
11. Menunjukkan kecenderungan untuk terlibat dalam kekerasan massa terhadap musuh-musuh mereka ketika dalam kekuasaan.
12. Mereka biasanya menggunakan satu sudut pandang, hitam atau putih, ingin memurnikan dunia, mengumbar kebencian kepada musuh-musuh mereka.
13. Mengenyampingkan kebebasan individu untuk kepentingan kolektif.
14. Menolak kompromi dan ingin mengeliminasi musuh mereka.
15. Menunjukkan intoleransi untuk seluruh pandangan di luar pandangan mereka dan menampakkan penolakan mereka dengan cara kemarahan, agresif, kebencian baik dalam perilaku maupun ucapan.
16. Menampilkan fanatisme dan memposisikan diri sebagai pihak yang terancam serta menggunakan teori konspirasi tanpa mengaku bahwa tindakan mereka irasional.
17. Menampilkan sikap dictator, otoriter dan totaliter
18. Tidak mau dikritik dan mengintimidasi dan mengancam mereka yang berbeda, mereka yang heretic dan mereka yang kritik dengan kematian
19. Mereka meminta agar tuntutan mereka dipatuhi
20. Mereka memiliki ide yang tidak bisa diubah dan tertutup atas kebenaran yang mereka yakini, bahkan mereka bersedia mati.
Ekstrimisme berbasis identitas adalah fenomena global yang sudah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan. Gejala eksitrimisme atau terorisme adalah gejala sosial yang sudah terjadi selama berabad-abad lamanya. Dalam komunitas Yahudi dikenal kelompok Zealot yang melakukan gerakan sicarii untuk meneror kaum Romawi. Di Katolik dikenal gerakan Opus Dei yang melakukan gerakan terror. Novel Dan Brown, davinci code dan inferno berhasil memberi gambaran tentang gerakan-gerakan radikal di tubuh gereja Katolik.
Tentu saja, gejala fundamentalisme dan radikalisme di semua agama adalah bagian yang tidak inheren dengan agama itu sendiri. Pola penindasan berbasis agama sangat dipengaruhi oleh relasi politik dan relasi ekonomi. Kasus Kashmir adalah pergolakan politik panjang antara umat Hindu dan Islam yang sudah terjadi puluhan tahun. Pun kasus Ronghiya tidaklah murni berbasis agama tetapi lebih tepatnya pengaturan internal Negara Myanmar terhadap kaum pendatang yang “kebetulan” beragama Islam.
Lester Kurtz (2007: 168) mengajukan empat tesis munculnya respon terhadap perubahan sosial. pertama, gerakan modernisme agama. Kedua, gerakan antimodernist (tradisionalis). Ketiga, teologi pembebasan. Keempat, munculnya agama-agama sipil (agama baru) dan spritual individualis terbatas (kelompok sufi). Sedangkan Petr L. Berger (1994) menyatakan modernitas melahirkan powerfull movements of counter-secularization. Counter sekularisasi dilakukan dengan dua jalur, pertama, revolusi agama. Seperti yang dilakukan oleh revolusi Iran. Kedua, menciptakan subkultur agama, seperi komunitas amish di Peninsylavina, Amerika Serikat.

Dalam perspektif Kurtz, gerakan kaum fundamentalist muncul sebagai respon terhadap gejala modernitas yang dianggap berseberangan dengan “spirit suci” keagamaan. Modernitas menggerus nilai-nilai adiluhung dalam agama karenanya mereka melakukan gerakan perlawanan untuk mengembalikan spirit agama kepada bentuk semula atau kedalam bentuk dasar sebisa mungkin. Modernitas juga dianggap sebagai biang dari munculnya segala macam problematika sosial ekonomi yang harus diselesaikan dengan cara perlawanan yang kuat terhadap hal itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...