HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Di Indonesia, gerakan
radikalisme terasa sangat identik dengan kaum muslim garis keras. Asumsi
simplistis ini memang terjadi selain karena dalam beberapa kasus kekerasan atas
nama agama seringkali melibatkan kelompok Islam sebagai aktornya, juga karena
permainan idiom global yang secara semena-mena menempatkan Islam (termasuk
pesantren) sebagai agama teroris atau agama yang menganut kekerasan.
Namun,
fenomena radikalisasi agama (jika mengikuti kategori diatas) pun terjadi di
agama Kristen dan Hindu. Kasus pembakaran rumah ibadah umat Islam di Tolikara
(2015) dan demonstrasi dan protes terhadap renovasi rumah ibadah umat Islam di
Manado (2016), serta geliat larangan menggunakan kata “Bali Bershalawat” karena
Bali identik dengan Hindu adalah bagian dari potret radikalisme agama di
Indonesia (2016).
Fenomena
radikalisme di setiap agama ini tampaknya sangat terkait dengan identitas yang
dilekatkan pada wilayah tertentu. Manado dan Papua adalah wilayah yang identik
dengan agama Kristen, sedangkan Bali identik dengan Hindu. Afinitas agama dan
geografis melahirkan watak dominasi. Para kelompok agama mayoritas ini merasa
“memiliki” wilayah ini lebih dari kelompok agama lainnya. “Jumlah yang banyak”
itu menjadi alat legitimasi untuk mengatur pola kehidupan beragama umat lain.
Relasi
mayoritas minoritas menjadi faktor yang determinan terhadap munculnya sikap
“ingin menguasai”. Kasus rumah ibadah menjadi kasus yang menarik dalam konteks
ini. Siapa yang mayoritas dia yang menentukan orang lain. Kasus Gereja Yasmin
di Bogor dan beberapa rumah ibadah umat Kristen yang sulit untuk berdiri karena
mendapatkan perlawanan dari pihak muslim. Pun masjid di Papua Barat sulit untuk
berdiri karena mendapatkan perlawanan dari pihak Kristen.
Bahkan
Manado, wilayah yang selama ini dianggap sangat toleran dan rukun pun mengalami
sindrom mayoritas. Masjid Al-Khairiyah yang akan direnovasi mendapatkan
“penolakan” dari kelompok masyarakat Manado yang menamakan diri sebagai aliansi
Makapetor. Antara tahun 2013 hingga tahun 2016 tercatat telah terjadi 4 kali
demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya
Masyarakat Adat Kawanua Pencinta Toleransi (MAKAPETOR) terhadap pembangunan
Mesjid Al-Khairiyah.
Gerakan
formalisme agama juga sempat mengemuka di Manokwari. Kota ini diproklamirkan
sebagai kota Injili. Ini berarti bahwa Manokwari diidentikkan dengan agama
Kristen. Implikasi yang terasa adalah “penolakan” warga terhadap pembangunan
masjid raya di Kota Manokwari. Kehadiran “masjid raya” dianggap tidak relevan
dengan simbol Manokwari Kota Injil.
Kasus
Tolikara merupakan kasus radikalisme agama yang dilakukan oleh umat Kristiani
yang paling menyedot perhatian. Kasus yang terjadi pada Juli 2014 menjadi
perbincangan semua kalangan muslim. Kasus ini dianggap mengejutkan dan
sekaligus menjadi pembenaran bahwa tindakan radikal dan kekerasan sangat
mungkin dilakukan oleh kelompok manapun.
Berbagai
kasus diatas menunjukkan bahwa fenomena kekerasan berbasis agama bukanlah
spesifik ke agama tertentu. Potensi radikalisme agama adala fenomena umum
sebagai refleksi dari “fanatisme” keberagamaan yang diselimuti perasaaan
sebagai “pemilik tanah”. Sinrom mayoritas menyebabkan agama dengan mudah
mengalami transformasi dari kedamaian menjadi kekerasan beragama. Mengalamatkan
radikalisme agama hanya kepada agama Islam saja tentu tidak adil, tetapi dalam
konteks Indonesia, gerakan kekerasan atas nama agama lebih massif dilakukan
oleh umat beragama Islam, apalagi dengan terbentuknya organisasi yang
menggunakan nama Islam.
Fenomena
gerakan fundamentalisme Kristen muncul pada abad 19 M di Amerika Serikat.
Munculnya kaum fundamentalis (yang biasa juga diassosiasikan dengan evangelis
radikal) tidak terlepas dari instabilitas politik yang tengah melanda Amerika.
Pertentangan kelas dan kekacauan sosial (social rush) terjadi
dimana-mana. Sementara perilaku sosial kalangan elit di Amerika cenderung
semakin sekuler. Bagi sebagian orang Kristen fenomena seperti itu jelas sangat
bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Di sekitar tahun 1830-an dan 1840-an,
kaum fundamentalis Kristen Amerika menggelar Konferensi Niagara, mengusung
beberapa pandangan konservatif.
Puncak
perkembangan gerakan Fundamentalist Kristen terjadi pasca Perang Dunia I,
terutama pada tahun 1920. Saat itu, media massa mengekspos gerakan ini. Para
penganutnya begitu bersemangat membasmi pengaruh modernisme termasuk teori
Darwin dan Teologi Liberal dari kehidupan gereja dan masyarakat karena mereka
juga didorong oleh pemahaman eskatologis dan minelaris: Perang dunia I (1914-
1918) dilihat sebagai isyarat atau penanda bahwa akhir zaman dan Kerajaan
Seribu Tahun segera akan tiba. Salah satu langkah strategis untuk memenangkan
’perang rohani’ ini adalah memperkuat posisi dan peranan di bidang politik (dan
hukum), agar segala keputusan politis dan produk perundang-undangan mendukung
tujuan gerakan ini. Dalam waktu singkat sejumlah gereja utama mendapat pengaruh
dari gerakan fundamentalisme ini (Jan. S. Aritonang, 2000:237).
Namun
pada tahun tahun 1930-an, gerakan ini mengalami kemerosotan yang cukup drastis.
Setidaknya ada dua kasus yang menjadi penyebabnya, yaitu kasus Fosdick dan
kasus Scopes. Kasus Fosdick diawali dari perang polemik antara Harry Emerson
Fosdick dari Gereja Baptis dan J.G. Machen dari kelompok fundamentalis tentang
toleransi, dan kebebasan berekspresi. Meski pada awalnya mendukung Machen,
namun pada akhirnya lebih dari 1200 pengerja Gereja Presbyterian menandatangani
pernyataan menentang fundamentalisme. Pada tahun 1925, Sidang Raya Gereja
Presbyterian mengeluarkan pernyataan resmi menolak fundamentalisme. Menyusul
penolakan tersebut, Machen dan rekan-rekannya mengundurkan diri dari seminari
Princetone dan membentuk kelompok seminari sendiri.
Kasus
Scope merupakan kasus dimana seorang guru sekolah John. T. Scopes diadukan ke
pengadilan atas tuduhan mengajarkan Teori Darwin. Sebelumnya (tahun 1923) kaum Fundamentalisme
berhasil memperjuangkan diterbitkannya undang-undang yang melarang pengajaran
teori Evolusi Darwin di sekolah. Namun ketika pengacara Scopes mengajukan
sejumlah pertanyaan yang tajam terhadap keabsahan tuduhan ataupun kebenaran
pandangannya. Kaum fundamentalisme ternyata tidak mampu mempertahankan diri,
argumentasinya dangkal, anti-intelektual dan terkesan kampungan. Keadaan
semakin buruk ketika ternyata pers lebih memihak kepada Scopes dan menjadi
pengadilan ekstra bagi kaum fundamentalisme. Sejak saat itu, pergerakan kaum
fundamentalis Kristen meredup, dan lambat laun hilang.
Pada
tahun 1950-an sampai 1960-an kecenderungan paham fundamentalisme berkembang
kembali di kalangan Kristen Protestan, terutama di kalangan gereja Evangelis
(Injili) yang dianggap sebagai pewaris semangat fundamentalisme, berbarengan
dengan menguatnya komunisme. Isu bahaya komunisme dijadikan alat kampanye
mencari dukungan publik Amerika. Evangelis Amerika yang termasyur, Billy Graham
mendapat banyak simpati dari orang-orang yang benci komunis.
Pasca
runtuhnya komunisme di Amerika, gerakan fundamentalisme Kristen mengarahkan
sasarannya ke komunitas Islam di Amerika. Gerakan Islam yang mulai berkembang
di Amerika, ditambah dengan semakin menguatnya perlawanan terhadap Amerika oleh
negara-negara Timur Tengah seperti Iran dan Irak, sejak tahun 1970-an hingga
mencapai puncaknya pasca peristiwa runtuhnya gedung WTC pada tanggal 9
September 2001. Semangat anti Islam merebak di mana-mana dalam berbagai bentuk.
Fundamentalisme
Hindu lahir di Kashmir dan India. Kelompok fundamental seringkali melakukan
tindakan-tindakan destruktif kepada agama lain atas nama kepentingan agama
mereka. Pun, kasus pengusiran etnis Ronghiya di Myanmar menjadi refleksi dari tindakan
radikal berbasis agama yang dilakukan oleh umat Buddha.
Dalam
konteks gerakan, Syafiq Hasyim (2016) (Laman Bimas Islam, Penanggulangan
Radikalisme dan Ekstrimisme Berbasis Agama) menyebutkan ada 20 indikator,
yaitu:
1.
Gerakan ini memiliki kecenderungan untuk menempatkan diri mereka di luar arus
utama atau menolak tatanan dunia, politik, dan sosial.
2.
Berusaha menggulingkan tatanan politik dalam rangka membangun kembali apa yang
mereka pertimbangka sebagai tatanan alamiyah di dalam masyarakat-apakah ini
berbasis pada ras, kelas, keyakinan, atau superioritas etnik.
3.
Memiliki program ideologi dan perencanaan aksi yang ditujukan untuk meraih
kekuasaan politik atau komunal.
4.
Menolak atau mengacaukan konsepsi tatanan hukum masyarakat demokratis,
menggunakan ruang politik yang disediakan oleh sistem demokratis untuk
memajukan tujuan mereka dalam mengambil kekuasaan politik.
5.
Menolak deklarasi internasional hak asasi manusia dan menunjukkan ketidakempatian
mereka serta tidak mengakui hak orang lain.
6.
Menolak prinsip-prinsip demokrasi yang didasarkan pada kedaulatan rakyat.
7.
Menolak kesetaraan secara umum terutama untuk kaum perempuan dan minoritas.
8.
Menolak diversitas dan pluralism bahkan mengajukan sistem budaya yang monolitik
(mono cultur society).
9.
Menggunakan filsafat segala cara dalam mencapai tujuan dan kepentingan mereka.
10.
Secara aktif mendorong dan mengutamakan penggunaan kekerasan untuk memerangi
apa yang mereka pandang sebagai kejahatan dan meraih tujuan politik mereka.
11.
Menunjukkan kecenderungan untuk terlibat dalam kekerasan massa terhadap
musuh-musuh mereka ketika dalam kekuasaan.
12.
Mereka biasanya menggunakan satu sudut pandang, hitam atau putih, ingin
memurnikan dunia, mengumbar kebencian kepada musuh-musuh mereka.
13.
Mengenyampingkan kebebasan individu untuk kepentingan kolektif.
14.
Menolak kompromi dan ingin mengeliminasi musuh mereka.
15.
Menunjukkan intoleransi untuk seluruh pandangan di luar pandangan mereka dan
menampakkan penolakan mereka dengan cara kemarahan, agresif, kebencian baik
dalam perilaku maupun ucapan.
16.
Menampilkan fanatisme dan memposisikan diri sebagai pihak yang terancam serta
menggunakan teori konspirasi tanpa mengaku bahwa tindakan mereka irasional.
17.
Menampilkan sikap dictator, otoriter dan totaliter
18.
Tidak mau dikritik dan mengintimidasi dan mengancam mereka yang berbeda, mereka
yang heretic dan mereka yang kritik dengan kematian
19.
Mereka meminta agar tuntutan mereka dipatuhi
20.
Mereka memiliki ide yang tidak bisa diubah dan tertutup atas kebenaran yang
mereka yakini, bahkan mereka bersedia mati.
Ekstrimisme
berbasis identitas adalah fenomena global yang sudah terjadi sepanjang sejarah
kemanusiaan. Gejala eksitrimisme atau terorisme adalah gejala sosial yang sudah
terjadi selama berabad-abad lamanya. Dalam komunitas Yahudi dikenal kelompok
Zealot yang melakukan gerakan sicarii untuk meneror kaum Romawi. Di
Katolik dikenal gerakan Opus Dei yang melakukan gerakan terror. Novel Dan
Brown, davinci code dan inferno berhasil memberi gambaran tentang
gerakan-gerakan radikal di tubuh gereja Katolik.
Tentu
saja, gejala fundamentalisme dan radikalisme di semua agama adalah bagian yang
tidak inheren dengan agama itu sendiri. Pola penindasan berbasis agama
sangat dipengaruhi oleh relasi politik dan relasi ekonomi. Kasus Kashmir adalah
pergolakan politik panjang antara umat Hindu dan Islam yang sudah terjadi
puluhan tahun. Pun kasus Ronghiya tidaklah murni berbasis agama tetapi lebih
tepatnya pengaturan internal Negara Myanmar terhadap kaum pendatang yang
“kebetulan” beragama Islam.
Lester
Kurtz (2007: 168) mengajukan empat tesis munculnya respon terhadap perubahan
sosial. pertama, gerakan modernisme agama. Kedua, gerakan
antimodernist (tradisionalis). Ketiga, teologi pembebasan. Keempat, munculnya
agama-agama sipil (agama baru) dan spritual individualis terbatas (kelompok
sufi). Sedangkan Petr L. Berger (1994) menyatakan modernitas melahirkan powerfull
movements of counter-secularization. Counter sekularisasi dilakukan dengan dua
jalur, pertama, revolusi agama. Seperti yang dilakukan oleh revolusi
Iran. Kedua, menciptakan subkultur agama, seperi komunitas amish di
Peninsylavina, Amerika Serikat.
Dalam
perspektif Kurtz, gerakan kaum fundamentalist muncul sebagai respon terhadap
gejala modernitas yang dianggap berseberangan dengan “spirit suci” keagamaan.
Modernitas menggerus nilai-nilai adiluhung dalam agama karenanya mereka
melakukan gerakan perlawanan untuk mengembalikan spirit agama kepada bentuk
semula atau kedalam bentuk dasar sebisa mungkin. Modernitas juga dianggap
sebagai biang dari munculnya segala macam problematika sosial ekonomi yang
harus diselesaikan dengan cara perlawanan yang kuat terhadap hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar