HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kasus peledakan bom
molotov lima gereja di Kota Makassar pada tanggal 10 dan 14 Pebruari 2013
menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Ada banyak asumsi atau lebih
tepatnya gosip yang berkembang, baik di media massa maupun obrolan di
warung-warung kopi. Kasus peledakan ini dikaitkan
dengan situasi perpolitikan
di Makassar pasca pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang memenangkan
pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang untuk kedua kalinya. Karena
yang dibom adalah gereja, sebagian publik mengaitkan dengan kelompok terorisme
yang dipercaya masih memiliki akar yang cukup kuat di tanah air termasuk di
Sulawesi Selatan.
Asumsi
Prof. Qasim Matthar (Guru Besar UIN Alauddin Makassar) di salah satu media
lokal cukup menarik untuk dijadikan sebagai alas pijak (Tribun Timur,
15/2/2013). Ia mengasumsikan ada empat kemungkinan motif dibalik kasus bom
gereja tersebut. Pertama, akibat dari pilkada. Kedua, bagian dari terorisme.
Ketiga, kelompok ketiga yang ingin mengacaukan situasi. Keempat, kelompok yang
tidak suka dengan agama.
Bagian
ketiga dan keempat dari analisis tersebut sangat lemah. Jika ada kelompok yang
ingin mengacaukan situasi, maka sasarannya salah. Gereja bukan pemicu konflik
karena dimiliki oleh kelompok yang minoritas. Secara statistik jumlah umat
Kristiani “hanya” 8,5% dari total penduduk kota Makassar. Dengan jumlah yang
sedikit, dibutuhkan keberanian lebih untuk melakukan reaksi yang destruktif.
Mungkin eskalasinya sedikit berbeda kalau kasus ini terjadi di Toraja, basis
Umat Kristiani di Sulawesi Selatan.
Pdt.
Untung SK Wijaya (Ketua PGI Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat) secara samar
merefleksikan hal tersebut. Beliau berupaya sedemikian keras meredam “amarah”
kelompok Kristiani. Misalnya, dengan tidak menghiraukan keinginan beberapa
pendeta yang ingin melakukan konsolidasi. Alasannya jelas. Konsolidasi internal
dapat dibaca oleh (terutama) media massa sebagai bagian dari perlawanan.
Posisi
sebagai kelompok minoritas “mendorong” para pendeta untuk tidak melakukan “gesture”
perlawanan yang berlebihan. Maka, upaya paling rasional yang dilakukan
adalah meminta pihak kepolisian untuk secara tegas dan cepat mengusut pelaku.
Analisis
yang mengaitkan gerakan ini sebagai bagian dari gerakan terorisme cukup
menarik. Pada Bulan Januari 2013, pihak kepolisian berhasil menangkap beberapa
orang yang diduga sebagai kelompok teroris di Enrekang, dan dua orang lagi
ditembak mati di masjid Rumah Sakit Umum Daya, Kota Makassar. Ini menunjukkan
bahwa kelompok teroris masih ada di wilayah Sulawesi Selatan. Bukan tidak
mungkin, kelompok penyerang gereja ini adalah upaya untuk menyatakan kepada
publik bahwa mereka “masih ada” atau setidaknya sebagai upaya “balasan”
terhadap penembakan salah seorang rekan mereka.
Akan
tetapi, seluruh informan yang kami temui meragukan keterkaitan peristiwa ini
dengan gerakan terorisme, termasuk seorang intelejen kepolisian. Ada empat
alasannya; Pertama. Bom yang digunakan hanya bom molotov, bukan bom rakitan
sebagaimana yang selama ini sering digunakan oleh jaringan teroris. Kedua,
waktu. Para teroris biasanya menyerang sasarannya pada saat ramai. Siang hari
dan malam di bawah pukul 22.00. Sedangkan lima kali penyerangan bom ini
dilakukan antara jam 02.00-04.00 dini hari waktu setempat. Ketiga, Densus 88
sebagai satuan anti teror tidak diturunkan Kekerasan atas Nama Agama
secara
intensif. Keempat, reaksi penangan yang cenderung lambat. Sejak tanggal 10
Februari (peristiwa pertama) sampai saat ini pihak kepolisian belum menunjukkan
hasil. Bahkan kasus ini cenderung menguap begitu saja. Berbeda dengan
penanganan kasus bom Mall Ratu Indah tahun 2001. Hanya enam jam setelah peristiwa
peledakan, seorang pelaku telah berhasil ditangkap.
Asumsi
atau analisa yang paling banyak mendapatkan “pembenaran” adalah keterkaitan
dengan hasil pilkada pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu. Sasaran gereja
yang diserang menunjukkan pesan tertentu. Empat dari lima gereja berasal dari
denominasi gereja Toraja. Satu gereja lainnya adalah gereja Kristen yang
jemaatnya sebagian besar dari kalangan Tionghoa. Kekecewaan dari tim sukses
dari salah satu kandidat tertentu karena “kesepakatan” politik dengan kedua
etnik diatas dilanggar. Sebelum kasus ini, sudah pernah terjadi kasus
penyerangan rumah seorang warga Tionghoa yang dilakukan oleh tim sukses dari
kelompok tertentu pada akhir Januari 2013.
Pendeta
Untung SK Wijaya memastikan kalau kasus bom ini tidak akan mempengaruhi pola
relasi kerukunan antar umat beragama. Ini karena, Pemerintah dan FKUB memberi
respon cepat dengan menggelar pertemuan-pertemuan untuk membicarakan hal
tersebut. Pencegahan dari kepolisian juga dirasakan cukup baik (meski penanganan
kasus dinilai lamban). Pihak pemerintah kota sudah memerintahkan kepada setiap
kelurahan untuk mengaktifkan kembali Pam Swakarsa dengan sistem ronda. Selain
itu, PGI juga secara internal terus menerus berupaya menjelaskan kepada
warganya kalau peristiwa ini tidak terkait dengan hubungan antar agama yang
memburuk.
Hanya
saja, peristiwa ini bisa memberi imajinasi yang buruk bagi warga Kristiani
apabila tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku dan apa motivasinya.
Asumsi-asumsi yang berkembang bisa menjadi liar dan memperburuk cara pandang
antar umat beragama. Kecurigaan antar kelompok agama bisa muncul. Apapun itu,
yang diserang adalah rumah ibadah. Ruang untuk menafsirkan kasus ini sangat
luas, termasuk dalam konteks relasi antar umat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar