Senin, 15 Januari 2018

Bom Gereja Pasca Pilkada Sulsel Tahun 2013

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kasus peledakan bom molotov lima gereja di Kota Makassar pada tanggal 10 dan 14 Pebruari 2013 menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Ada banyak asumsi atau lebih tepatnya gosip yang berkembang, baik di media massa maupun obrolan di warung-warung kopi. Kasus peledakan ini dikaitkan
dengan situasi perpolitikan di Makassar pasca pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang memenangkan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang untuk kedua kalinya. Karena yang dibom adalah gereja, sebagian publik mengaitkan dengan kelompok terorisme yang dipercaya masih memiliki akar yang cukup kuat di tanah air termasuk di Sulawesi Selatan.
Asumsi Prof. Qasim Matthar (Guru Besar UIN Alauddin Makassar) di salah satu media lokal cukup menarik untuk dijadikan sebagai alas pijak (Tribun Timur, 15/2/2013). Ia mengasumsikan ada empat kemungkinan motif dibalik kasus bom gereja tersebut. Pertama, akibat dari pilkada. Kedua, bagian dari terorisme. Ketiga, kelompok ketiga yang ingin mengacaukan situasi. Keempat, kelompok yang tidak suka dengan agama.
Bagian ketiga dan keempat dari analisis tersebut sangat lemah. Jika ada kelompok yang ingin mengacaukan situasi, maka sasarannya salah. Gereja bukan pemicu konflik karena dimiliki oleh kelompok yang minoritas. Secara statistik jumlah umat Kristiani “hanya” 8,5% dari total penduduk kota Makassar. Dengan jumlah yang sedikit, dibutuhkan keberanian lebih untuk melakukan reaksi yang destruktif. Mungkin eskalasinya sedikit berbeda kalau kasus ini terjadi di Toraja, basis Umat Kristiani di Sulawesi Selatan.
Pdt. Untung SK Wijaya (Ketua PGI Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat) secara samar merefleksikan hal tersebut. Beliau berupaya sedemikian keras meredam “amarah” kelompok Kristiani. Misalnya, dengan tidak menghiraukan keinginan beberapa pendeta yang ingin melakukan konsolidasi. Alasannya jelas. Konsolidasi internal dapat dibaca oleh (terutama) media massa sebagai bagian dari perlawanan.
Posisi sebagai kelompok minoritas “mendorong” para pendeta untuk tidak melakukan “gesture” perlawanan yang berlebihan. Maka, upaya paling rasional yang dilakukan adalah meminta pihak kepolisian untuk secara tegas dan cepat mengusut pelaku.
Analisis yang mengaitkan gerakan ini sebagai bagian dari gerakan terorisme cukup menarik. Pada Bulan Januari 2013, pihak kepolisian berhasil menangkap beberapa orang yang diduga sebagai kelompok teroris di Enrekang, dan dua orang lagi ditembak mati di masjid Rumah Sakit Umum Daya, Kota Makassar. Ini menunjukkan bahwa kelompok teroris masih ada di wilayah Sulawesi Selatan. Bukan tidak mungkin, kelompok penyerang gereja ini adalah upaya untuk menyatakan kepada publik bahwa mereka “masih ada” atau setidaknya sebagai upaya “balasan” terhadap penembakan salah seorang rekan mereka.
Akan tetapi, seluruh informan yang kami temui meragukan keterkaitan peristiwa ini dengan gerakan terorisme, termasuk seorang intelejen kepolisian. Ada empat alasannya; Pertama. Bom yang digunakan hanya bom molotov, bukan bom rakitan sebagaimana yang selama ini sering digunakan oleh jaringan teroris. Kedua, waktu. Para teroris biasanya menyerang sasarannya pada saat ramai. Siang hari dan malam di bawah pukul 22.00. Sedangkan lima kali penyerangan bom ini dilakukan antara jam 02.00-04.00 dini hari waktu setempat. Ketiga, Densus 88 sebagai satuan anti teror tidak diturunkan Kekerasan atas Nama Agama
secara intensif. Keempat, reaksi penangan yang cenderung lambat. Sejak tanggal 10 Februari (peristiwa pertama) sampai saat ini pihak kepolisian belum menunjukkan hasil. Bahkan kasus ini cenderung menguap begitu saja. Berbeda dengan penanganan kasus bom Mall Ratu Indah tahun 2001. Hanya enam jam setelah peristiwa peledakan, seorang pelaku telah berhasil ditangkap.
Asumsi atau analisa yang paling banyak mendapatkan “pembenaran” adalah keterkaitan dengan hasil pilkada pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu. Sasaran gereja yang diserang menunjukkan pesan tertentu. Empat dari lima gereja berasal dari denominasi gereja Toraja. Satu gereja lainnya adalah gereja Kristen yang jemaatnya sebagian besar dari kalangan Tionghoa. Kekecewaan dari tim sukses dari salah satu kandidat tertentu karena “kesepakatan” politik dengan kedua etnik diatas dilanggar. Sebelum kasus ini, sudah pernah terjadi kasus penyerangan rumah seorang warga Tionghoa yang dilakukan oleh tim sukses dari kelompok tertentu pada akhir Januari 2013.
Pendeta Untung SK Wijaya memastikan kalau kasus bom ini tidak akan mempengaruhi pola relasi kerukunan antar umat beragama. Ini karena, Pemerintah dan FKUB memberi respon cepat dengan menggelar pertemuan-pertemuan untuk membicarakan hal tersebut. Pencegahan dari kepolisian juga dirasakan cukup baik (meski penanganan kasus dinilai lamban). Pihak pemerintah kota sudah memerintahkan kepada setiap kelurahan untuk mengaktifkan kembali Pam Swakarsa dengan sistem ronda. Selain itu, PGI juga secara internal terus menerus berupaya menjelaskan kepada warganya kalau peristiwa ini tidak terkait dengan hubungan antar agama yang memburuk.

Hanya saja, peristiwa ini bisa memberi imajinasi yang buruk bagi warga Kristiani apabila tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku dan apa motivasinya. Asumsi-asumsi yang berkembang bisa menjadi liar dan memperburuk cara pandang antar umat beragama. Kecurigaan antar kelompok agama bisa muncul. Apapun itu, yang diserang adalah rumah ibadah. Ruang untuk menafsirkan kasus ini sangat luas, termasuk dalam konteks relasi antar umat beragama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...