HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Terorisme adalah isu
global yang bagaimanapun juga harus mendapatkan respon yang serius dari
berbagai kalangan. Kita harus mengembangkan sikap zero tolerance to
terorism. Sikap sebagian warga Kota Palu yang menanggapi dingin kehadiran
jaringan teroris di tengah mereka adalah sikap yang bisa menumbuh-suburkan
kecambah terorisme di sana. Toh, publik juga tidak peduli mereka ada atau
tidak, dan bahkan dianggap “biasa”.
Para
jaringan teroris bisa leluasa untuk tetap membangun sel-selnya dan
melanggengkan idiom kekerasan, yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ini terlihat
dari ‘lemahnya’ kesadaran para pemilik rumah kos untuk berpartisipasi dalam
pelaporan penghuni baru. Padahal, ini bukan kejadian pertama. Pelaku bom Pasar
Maesa tahun 2011 lalu pun pernah “nge-kos” di salah satu rumah di Jl. Anoa,
Kelurahan Tatura Utara, Palu Selatan.15 Seharusnya kejadian itu
memberi kesadaran kepada pemerintah lokal untuk membuat aturan dan kepada
setiap pemilik kos untuk berpartisipasi aktif.
Sejauh
ini respon berbagai pihak dalam hal kemunculan gerakan terorisme khususnya ISIS
di dunia dan lebih spesifik di beberapa wilayah Indonesia. Di Sulawesi Tengah,
IAIN
15
Diolah dari hasil
wawancara dengan Sudin, Lurah Tatura Utara Kec. Palu Selatan.
Palu menggelar
diskusi ilmiah tentang gerakan ISIS yang menghadirkan Prof. Azyumardi Azra di
gedung Auditarium pada tanggal 8 Agustus 2014. PKUB Kanwil Kementerian Agama
Sulawesi Tengah juga menggelar kegiatan tentang pemetaan kelompok aliran
sempalan dan radikal di Sulawesi Tengah pada akhir Agustus 2014. Di Kampus
Untad (Universitas Tadulako) Palu –meski tidak spesifik ditujukan sebagai
respon akademik terhadap fenomena ISIS-, forum pembekalan mahasiswa baru
dimanfaatkan oleh pihak TNI untuk menambah wawasan kebangsaan para mahasiswa
baru. Salah satu poin yang diungkapkan oleh pihak TNI adalah para mahasiswa
jangan cepat mudah terpengaruh oleh gerakan terorisme seperti ISIS (Radar
Sulteng 19/9).
Di
Makassar, reaksi kampus juga terlihat cukup aktif. Di kampus UIN Alauddin Makassar
pernah digelar seminar sehari yang bertema Selamatkan Indonesia dari ISIS dengan
menghadirkan pihak BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pada 27
Agustus 2014. Seminar ini kerja sama kampus dengan Kanwil Kementerian
Agama Provinsi Sulawesi Selatan. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Metro Makassar, salah satu organisasi mahasiswa Islam pun menggelar acara
serupa dengan kegiatan diskusi bertajuk, Ideologi transnasional dan ancaman
terhadap Identitas Kebangsaan, pada tanggal 17 september 2014. Reaksi yang
sama juga terlihat di Polman, Sulawesi Barat. Sebuah LSM Muqim Patappulo
bekerja sama dengan Kesbangpol Kab. Polman melaksanakan diskusi sehari dengan
tema deradikalisasi agama pada tanggal 04 September 2014.
Reaksi
akademis yang terjadi di berbagai tempat menunjukkan besarnya perhatian publik
terhadap ‘bahaya’ kelompok Islamis, terutama yang berorientasi radikal seperti
ISIS. Ini tentu tidak terlepas dari memori masa lalu, tentang tindakan kaum
Islamis yang tidak hanya membahayakan ideologi bangsa tetapi juga merenggut
nyawa anak bangsa. Meski cenderung artifisial, tetapi respon akademik tetap
dibutuhkan untuk memelihara ‘kewaspadaan’ terhadap fenomena radikalisme agama
yang terus menerus ada. Orang kampus diharapkan lebih proaktif untuk
menginisiasi kampanye perdamaian, untuk mendukung upaya zero tolerance terhadap
gerakan terorisme dan radikalisme agama.
Program
pemerintah lokal dalam merespon gerakan terorisme cukup baik. Pada medio tahun
2013, Pemkot Palu bekerjasama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme) melakukan bimtek (bimbingan teknik) penanggulangan terorisme kepada
seluruh perangkat kelurahan se-kota Palu. Ini melengkapi operasi yustisi yang
rutin dilakukan setiap enam bulan sekali di tingkat kelurahan. Operasi yustisi
selain untuk kerapian administrasi kewargaan juga dimaksudkan untuk mempersempit
ruang gerak jaringan teroris di Kota Palu.16 Peran strategis para dai
lokal yang setiap saat menjadi juru bicara perdamaian dalam perspektif agama
Islam pun menjadi elemen penting. Forum Imam yang diinisiasi oleh KUA Kecamatan
Palu Selatan (Khaerollah) meski di satu sisi untuk ‘menadah’ program keagamaan
pemerintah kota, tetapi di sisi lain forum ini menjadi instrumen yang sangat
strategis dimanfaatkan sebagai kekuatan civil society untuk menangkal
penyebaran paham radikalisme agama di tingkat lapisan masyarakat yang paling
bawah. Yang tak boleh terlupakan, peran kultural Perguruan Al-Khaerat yang
sangat kuat mewarnai pentas keagamaan di Sulawesi Tengah (ini akan dibahas
lebih lanjut pada bagian keempat).
Beberapa
elemen keagamaan masyarakat Gowa melakukan deklarasi penolakan ISIS. Deklarasi
ini disponsori oleh MUI. Pembaca deklarasi oleh pimpinan Pesantren Bahrul Ulum,
Kab. Gowa. Meski di Gowa tidak ditemukan indikasi adanya jaringan ISIS, tetapi
itu tidak menyurutkan sikap elemen organisasi agama yang ada di Gowa untuk
bersikap memberi penolakan. Ancaman radikalisme agama di Gowa memang cukup kuat
karena di tempat ini ada banyak kelompok aliran yang bermunculan seperti
An-Nadzir, Bahai, dan Gafatar.
16
Diolah dari hasil
wawancara dengan Dwi dan Hisham, Lurah dan Sekretaris Lurah Birobuli Selatan,
Palu Selatan.
Respon
massif dari berbagai elemen masyarakat yang mengindikasikan penolakan yang kuat
terhadap potensi radikalisme adalah kekuatan sipil besar yang patut dipelihara.
Sebagaimana yang disebutkan Azyumardi Azra, bahwa ‘militan ISIS memang bisa
merekrut sebagian kecil masyarakat Indonesia namun di sisi lain penolakan
terhadap gerakan ini juga sangat besar”. Perkiraan Azyumardi Azra tidaklah
salah. Gerakan terorisme di Indonesia adalah gerakan yang sangat kecil.
Pengikut dan jaringannya pun tidak banyak dalam hal kuantitas. Jaringan ISIS
yang direkrut menjadi pejuang di Suriah hanya berjumlah 30 orang lebih.
Jaringannya di Indonesia yang secara terang-terangan mendukung pun bersifat
sporadis. Malah, penolakan terhadap gerakan ISIS di Indonesia misalnya sangat
besar. Tidak hanya berasal dari kelompok Islam moderat tetapi juga dari
kelompok Islamis. FPI misalnya secara tegas menyatakan penolakan terhadap
gerakan terorisme ISIS. Beberapa anggota MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) pun
menyatakan penolakan terhadap gerakan ISIS karena dianggap keluar dari garis
perjuangan yang benar. Hal ini dipengaruhi oleh pernyataan Syaikh Abu Abdullah
Asy-Syami (Mujahidin, mantan anggota ISIS) yang menyatakan bahwa ISIS adalah
sempalan Al-Qaeda pimpinan Jabhal Nusro, yang perjuangannya tidak sejalan
dengan Al- Qaeda.17 Artinya,
membayangkan gerakan terorisme akan memperoleh dukungan yang luas tentu
mustahil.
Akan
tetapi, pendekatan kuantitas tidak bisa dipakai untuk melihat dan lalu
mengembangkan sikap seolah-olah kegiatan terorisme tidak mengancam kehidupan
kita baik dalam level mikro misalnya keamanan masyarakat maupun dalam level
makro seperti ancaman terhadap ideologi kesatuan dan ketahanan nasional.
Persoalan terorisme bukan persoalan jumlah tetapi soal kemampuan mereka
merekrut dan mengindoktrinasi orang untuk melakukan bom bunuh diri. Satu bom
yang dilakukan satu dua orang memiliki efek yang sangat besar. Rentetan kasus
bom yang terjadi dalam satu dasawarsa hanya dilakukan oleh beberapa orang saja,
tetapi efeknya sangat besar dalam merubah wacana dunia terhadap Indonesia,
khususnya Islam.
Apalagi,
potensi radikalisme agama tidak akan pernah habis akibat dari pemahaman
keagamaan dan situasi politik yang tidak terkendali dengan baik. Hasil
penelitian tim peneliti Balitbang Agama Makassar (2016) yang menyatakan ada
sejumlah kecil siswa SMA yang menyatakan dukungan terhadap kekerasan atas nama
agama adalah early warning yang harus disikapi dengan kerja keras hingga
berada pada titik zero tolerance to radicalism.
17
Dikutip dari makalah KABINDA Provinsi Sulawesi Barat 2014
Program
zero tolerance to radicalism bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama,
gerakan sistematik dan bersifat directing program seperti yang
dilakukan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tetap penting
untuk dilakukan. Perang melawan radikalisme agama melalui program
deradikalisasi agama menjadi sangat penting untuk dilakukan. Peristiwa
kekerasan berbasis agama tidak pernah berhenti karena ada kelompok berbasis
agama yang memang memiliki agenda kekerasan seperti ini. Penting untuk diingat
bahwa kekerasan berbasis agama ini “dikuatkan” dengan legitimasi jihad. Para
pelaku kekerasan atas nama agama tidak pernah menganggap perilaku mereka sebagai
sebuah kesalahan, tetapi bagian dari membela dan menjernihkan ajaran Islam,
bahkan dalam level tertentu, segala perilaku mereka dianggap sebagai bagian
dari jihad. Kematian atas jihad adalah kehormatan.
Kedua,
peta dakwah sangat penting untuk dirumuskan di setiap wilayah.
Perumusan peta dakwah mendesak untuk dilakukan oleh kementerian agama dalam
konteks mendeteksi setiap potensi gerakan radikalisme berbasis agama hingga di
wilayah terkecil. Ini karena gerakan terorisme (khususnya) yang bekerja di bawah
tanah biasanya memanfaatkan kelengahan warga terhadap kehadiran mereka. Peta
dakwah dimulai dengan melakukan pemetaan
Ketiga,
promosi Islam damai secara terus menerus. Meski semua agama
berpotensi melahirkan radikalisme agama sebagaimana yang dijelaskan pada bab
sebelumnya tetapi gerakan radikalisme Islam di Indonesia patut mendapat
perhatian karena gerakan ini selalu menghadirkan kejutan-kejutan termasuk
keberlanjutan generasinya. Setiap tahun selalu saja ada ancaman bom terjadi
(terakhir terjadi di Samarinda, pada penghujung tahun 2016). Promosi wacana
keislaman yang damai menjadi sangat penting melalui pelatihan di tingkat kampus
dan sekolah.
Balai Litbang Agama tahun 2016 menginisiasi program promosi Islam
damai dengan membuat modul pelatihan Islam Nusantara yang ditujukan bagi
mahasiswa. Modul ini secara sederhana bertujuan untuk merekonstruksi model
keislaman yang dipromosikan oleh ulama terdahulu yang menyelaraskan budaya dan
agama. Budaya Indonesia yang memiliki sisi unik tidak dihilangkan begitu saja
tetapi diisi dengan semangat keislaman. Modul ini juga bertujuan untuk
menguatkan semangat nasionalisme dengan bahasa agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar