Senin, 15 Januari 2018

Zero Tolerance to Terorisme dan Radikalisme Agama; Membangun Aksi Merawat Harapan

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Terorisme adalah isu global yang bagaimanapun juga harus mendapatkan respon yang serius dari berbagai kalangan. Kita harus mengembangkan sikap zero tolerance to terorism. Sikap sebagian warga Kota Palu yang menanggapi dingin kehadiran jaringan teroris di tengah mereka adalah sikap yang bisa menumbuh-suburkan kecambah terorisme di sana. Toh, publik juga tidak peduli mereka ada atau tidak, dan bahkan dianggap “biasa”.

Para jaringan teroris bisa leluasa untuk tetap membangun sel-selnya dan melanggengkan idiom kekerasan, yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ini terlihat dari ‘lemahnya’ kesadaran para pemilik rumah kos untuk berpartisipasi dalam pelaporan penghuni baru. Padahal, ini bukan kejadian pertama. Pelaku bom Pasar Maesa tahun 2011 lalu pun pernah “nge-kos” di salah satu rumah di Jl. Anoa, Kelurahan Tatura Utara, Palu Selatan.15 Seharusnya kejadian itu memberi kesadaran kepada pemerintah lokal untuk membuat aturan dan kepada setiap pemilik kos untuk berpartisipasi aktif.
Sejauh ini respon berbagai pihak dalam hal kemunculan gerakan terorisme khususnya ISIS di dunia dan lebih spesifik di beberapa wilayah Indonesia. Di Sulawesi Tengah, IAIN
15 Diolah dari hasil wawancara dengan Sudin, Lurah Tatura Utara Kec. Palu Selatan.
Palu menggelar diskusi ilmiah tentang gerakan ISIS yang menghadirkan Prof. Azyumardi Azra di gedung Auditarium pada tanggal 8 Agustus 2014. PKUB Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah juga menggelar kegiatan tentang pemetaan kelompok aliran sempalan dan radikal di Sulawesi Tengah pada akhir Agustus 2014. Di Kampus Untad (Universitas Tadulako) Palu –meski tidak spesifik ditujukan sebagai respon akademik terhadap fenomena ISIS-, forum pembekalan mahasiswa baru dimanfaatkan oleh pihak TNI untuk menambah wawasan kebangsaan para mahasiswa baru. Salah satu poin yang diungkapkan oleh pihak TNI adalah para mahasiswa jangan cepat mudah terpengaruh oleh gerakan terorisme seperti ISIS (Radar Sulteng 19/9).
Di Makassar, reaksi kampus juga terlihat cukup aktif. Di kampus UIN Alauddin Makassar pernah digelar seminar sehari yang bertema Selamatkan Indonesia dari ISIS dengan menghadirkan pihak BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pada 27 Agustus 2014. Seminar ini kerja sama kampus dengan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Metro Makassar, salah satu organisasi mahasiswa Islam pun menggelar acara serupa dengan kegiatan diskusi bertajuk, Ideologi transnasional dan ancaman terhadap Identitas Kebangsaan, pada tanggal 17 september 2014. Reaksi yang sama juga terlihat di Polman, Sulawesi Barat. Sebuah LSM Muqim Patappulo bekerja sama dengan Kesbangpol Kab. Polman melaksanakan diskusi sehari dengan tema deradikalisasi agama pada tanggal 04 September 2014.
Reaksi akademis yang terjadi di berbagai tempat menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap ‘bahaya’ kelompok Islamis, terutama yang berorientasi radikal seperti ISIS. Ini tentu tidak terlepas dari memori masa lalu, tentang tindakan kaum Islamis yang tidak hanya membahayakan ideologi bangsa tetapi juga merenggut nyawa anak bangsa. Meski cenderung artifisial, tetapi respon akademik tetap dibutuhkan untuk memelihara ‘kewaspadaan’ terhadap fenomena radikalisme agama yang terus menerus ada. Orang kampus diharapkan lebih proaktif untuk menginisiasi kampanye perdamaian, untuk mendukung upaya zero tolerance terhadap gerakan terorisme dan radikalisme agama.
Program pemerintah lokal dalam merespon gerakan terorisme cukup baik. Pada medio tahun 2013, Pemkot Palu bekerjasama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melakukan bimtek (bimbingan teknik) penanggulangan terorisme kepada seluruh perangkat kelurahan se-kota Palu. Ini melengkapi operasi yustisi yang rutin dilakukan setiap enam bulan sekali di tingkat kelurahan. Operasi yustisi selain untuk kerapian administrasi kewargaan juga dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak jaringan teroris di Kota Palu.16 Peran strategis para dai lokal yang setiap saat menjadi juru bicara perdamaian dalam perspektif agama Islam pun menjadi elemen penting. Forum Imam yang diinisiasi oleh KUA Kecamatan Palu Selatan (Khaerollah) meski di satu sisi untuk ‘menadah’ program keagamaan pemerintah kota, tetapi di sisi lain forum ini menjadi instrumen yang sangat strategis dimanfaatkan sebagai kekuatan civil society untuk menangkal penyebaran paham radikalisme agama di tingkat lapisan masyarakat yang paling bawah. Yang tak boleh terlupakan, peran kultural Perguruan Al-Khaerat yang sangat kuat mewarnai pentas keagamaan di Sulawesi Tengah (ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian keempat).
Beberapa elemen keagamaan masyarakat Gowa melakukan deklarasi penolakan ISIS. Deklarasi ini disponsori oleh MUI. Pembaca deklarasi oleh pimpinan Pesantren Bahrul Ulum, Kab. Gowa. Meski di Gowa tidak ditemukan indikasi adanya jaringan ISIS, tetapi itu tidak menyurutkan sikap elemen organisasi agama yang ada di Gowa untuk bersikap memberi penolakan. Ancaman radikalisme agama di Gowa memang cukup kuat karena di tempat ini ada banyak kelompok aliran yang bermunculan seperti An-Nadzir, Bahai, dan Gafatar.
16 Diolah dari hasil wawancara dengan Dwi dan Hisham, Lurah dan Sekretaris Lurah Birobuli Selatan, Palu Selatan.
Respon massif dari berbagai elemen masyarakat yang mengindikasikan penolakan yang kuat terhadap potensi radikalisme adalah kekuatan sipil besar yang patut dipelihara. Sebagaimana yang disebutkan Azyumardi Azra, bahwa ‘militan ISIS memang bisa merekrut sebagian kecil masyarakat Indonesia namun di sisi lain penolakan terhadap gerakan ini juga sangat besar”. Perkiraan Azyumardi Azra tidaklah salah. Gerakan terorisme di Indonesia adalah gerakan yang sangat kecil. Pengikut dan jaringannya pun tidak banyak dalam hal kuantitas. Jaringan ISIS yang direkrut menjadi pejuang di Suriah hanya berjumlah 30 orang lebih. Jaringannya di Indonesia yang secara terang-terangan mendukung pun bersifat sporadis. Malah, penolakan terhadap gerakan ISIS di Indonesia misalnya sangat besar. Tidak hanya berasal dari kelompok Islam moderat tetapi juga dari kelompok Islamis. FPI misalnya secara tegas menyatakan penolakan terhadap gerakan terorisme ISIS. Beberapa anggota MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) pun menyatakan penolakan terhadap gerakan ISIS karena dianggap keluar dari garis perjuangan yang benar. Hal ini dipengaruhi oleh pernyataan Syaikh Abu Abdullah Asy-Syami (Mujahidin, mantan anggota ISIS) yang menyatakan bahwa ISIS adalah sempalan Al-Qaeda pimpinan Jabhal Nusro, yang perjuangannya tidak sejalan dengan Al- Qaeda.17 Artinya, membayangkan gerakan terorisme akan memperoleh dukungan yang luas tentu mustahil.
Akan tetapi, pendekatan kuantitas tidak bisa dipakai untuk melihat dan lalu mengembangkan sikap seolah-olah kegiatan terorisme tidak mengancam kehidupan kita baik dalam level mikro misalnya keamanan masyarakat maupun dalam level makro seperti ancaman terhadap ideologi kesatuan dan ketahanan nasional. Persoalan terorisme bukan persoalan jumlah tetapi soal kemampuan mereka merekrut dan mengindoktrinasi orang untuk melakukan bom bunuh diri. Satu bom yang dilakukan satu dua orang memiliki efek yang sangat besar. Rentetan kasus bom yang terjadi dalam satu dasawarsa hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, tetapi efeknya sangat besar dalam merubah wacana dunia terhadap Indonesia, khususnya Islam.
Apalagi, potensi radikalisme agama tidak akan pernah habis akibat dari pemahaman keagamaan dan situasi politik yang tidak terkendali dengan baik. Hasil penelitian tim peneliti Balitbang Agama Makassar (2016) yang menyatakan ada sejumlah kecil siswa SMA yang menyatakan dukungan terhadap kekerasan atas nama agama adalah early warning yang harus disikapi dengan kerja keras hingga berada pada titik zero tolerance to radicalism.
17 Dikutip dari makalah KABINDA Provinsi Sulawesi Barat 2014
Program zero tolerance to radicalism bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, gerakan sistematik dan bersifat directing program seperti yang dilakukan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tetap penting untuk dilakukan. Perang melawan radikalisme agama melalui program deradikalisasi agama menjadi sangat penting untuk dilakukan. Peristiwa kekerasan berbasis agama tidak pernah berhenti karena ada kelompok berbasis agama yang memang memiliki agenda kekerasan seperti ini. Penting untuk diingat bahwa kekerasan berbasis agama ini “dikuatkan” dengan legitimasi jihad. Para pelaku kekerasan atas nama agama tidak pernah menganggap perilaku mereka sebagai sebuah kesalahan, tetapi bagian dari membela dan menjernihkan ajaran Islam, bahkan dalam level tertentu, segala perilaku mereka dianggap sebagai bagian dari jihad. Kematian atas jihad adalah kehormatan.
Kedua, peta dakwah sangat penting untuk dirumuskan di setiap wilayah. Perumusan peta dakwah mendesak untuk dilakukan oleh kementerian agama dalam konteks mendeteksi setiap potensi gerakan radikalisme berbasis agama hingga di wilayah terkecil. Ini karena gerakan terorisme (khususnya) yang bekerja di bawah tanah biasanya memanfaatkan kelengahan warga terhadap kehadiran mereka. Peta dakwah dimulai dengan melakukan pemetaan
Ketiga, promosi Islam damai secara terus menerus. Meski semua agama berpotensi melahirkan radikalisme agama sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya tetapi gerakan radikalisme Islam di Indonesia patut mendapat perhatian karena gerakan ini selalu menghadirkan kejutan-kejutan termasuk keberlanjutan generasinya. Setiap tahun selalu saja ada ancaman bom terjadi (terakhir terjadi di Samarinda, pada penghujung tahun 2016). Promosi wacana keislaman yang damai menjadi sangat penting melalui pelatihan di tingkat kampus dan sekolah.

Balai Litbang Agama tahun 2016 menginisiasi program promosi Islam damai dengan membuat modul pelatihan Islam Nusantara yang ditujukan bagi mahasiswa. Modul ini secara sederhana bertujuan untuk merekonstruksi model keislaman yang dipromosikan oleh ulama terdahulu yang menyelaraskan budaya dan agama. Budaya Indonesia yang memiliki sisi unik tidak dihilangkan begitu saja tetapi diisi dengan semangat keislaman. Modul ini juga bertujuan untuk menguatkan semangat nasionalisme dengan bahasa agama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...