HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Pendekatan ekonomi Nazih Ayyub ini tidak cukup untuk menjelaskan
fenomena Islamisme. Islamis yang lahir karena ketidakpuasan ekonomi barangkali
berlaku untuk para aktivis Islamis yang berlatarbelakang ekonomi lemah.
Kekerasan berbasis keagamaan adalah persoalan sosial yang tidak
dapat diuraikan secara sederhana. Ada banyak faktor yang menyebabkan gerakan
ini muncul ke permukaan. Faktor ekonomi, politik, globalisasi, modernisme,
merupakan beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya gerakan
Islamis-radikal.
Oleh karena itu, untuk mendekati fenomena ini tidak cukup dengan
hanya menggunakan satu pendekatan saja. Nazih Ayyub misalnya mencoba mendekati
fenomena munculnya kelompok fundamentalis Islam dengan perspektif ekonomi.
Menurutnya: ”Kaum Islamis itu tidaklah marah karena pesawat udara telah
menggantikan unta; mereka justeru marah karena tidak bisa naik pesawat
tersebut. (Syarkun dan Ghorara, 2003:495). Pendekatan ekonomi Nazih Ayyub ini
tidak cukup untuk menjelaskan fenomena Islamisme. Islamis yang lahir karena
ketidakpuasan ekonomi barangkali berlaku untuk para aktivis Islamis yang
berlatarbelakang ekonomi lemah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak di
antara aktivis Islamis ini berasal dari kelas menengah dan memiliki pendidikan
yang tinggi misalnya Dr. Azahari yang merupakan dosen ilmu Kimia di salah satu
universitas di Malaysia.
Pendekatan lain yang biasa digunakan untuk memotret fenomena ini
adalah teori krisis psikologi atau alienasi psikososial yang diakibatkan oleh
modernisasi. Penelitian Hoffman (Syarkun dan Ghorara, 2003:460) menunjukkan
bahwa kebanyakan aktivis Islamis berasal dari desa dan keluarga yang taat
beragama. Kehidupan kota yang individualistis dan kompotetif serta identitas
kewargaan yang heterogen menyebabkan orang-orang ini kemudian mengalami krisis
psikologi berupa keterasingan dengan lingkungan sekitarnya. Gerakan Islamisme
sebagai sebuah gerakan membangun kebersamaan menawarkan obat untuk krisis psikologi
dan yang tak kalah pentingnya adalah menawarkan identitas yang kuat sebagai
muslim sejati. Teori ini relevan dengan fenomena munculnya organisasi Islamis
dari kampus-kampus umum seperti Unhas (Universitas Hasanuddin) Makassar dan UNM
(Universitas Negeri Makassar), sedangkan kelompok Islam moderat justeru berasal
dari IAIN (Institute Agama Islam Negeri) yang kini berubah menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri).
Pendekatan politik juga merupakan pendekatan yang tepat untuk
digunakan untuk melihat fenomena fundamentalisme. Bassam Tibi (1998:X)
menganggap bahwa gerakan fundamentalisme mempunyai agenda politisasi agama yang
agresif dan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Lahirnya ISIS misalnya
adalah respon dari Abu Bakar Al-Baghdady (pimpinan ISIS) terhadap situasi
politik di Timur Tengah (khususnya di Irak) yang berkecamuk dan semakin buruk.
Tujuan ISIS pun sangat politis; mendirikan negara Khilafah Islam. Azyumardi
Azra (2014) menyebutkan bahwa ISIS lahir dari instabilitas politik dunia Arab
atau Timur Tengah. Dunia Arab merupakan salah satu wilayah paling tidak stabil
sejak usai perang dunia II. Faktor utamanya adalah konflik Palestina-Israel dan
kontestasi politik antara negara Arab sendiri. Puncaknya adalah ketika Amerika
dan sekutunya menyerbu Iraq untuk menjatuhkan Saddam Husein pada Maret 2003.
Sejak saat itu, Iraq berubah dari salah satu negara terkuat di Timur Tengah
menjadi wilayah yang paling tidak stabil yang membara dengan munculnya konflik
sektarianisme religio-politik.
Fenomena gerakan Islamisme di Indonesia juga tidak terlepas dari
situasi politik domestik. Pertautan antara politik dan kelompok Islamis begitu
kental sejak lama. Perbedaan tafsir tentang Pancasila terutama tujuh kalimat
yang dihapus dalam piagam Jakarta sampai hari ini masih terus diperdebatkan.
Perdebatan tentang perlunya negara Islam berbarengan dengan situasi politik
yang tidak stabil pada tahun 1949 pasca kedatangan kembali Belanda dan
sekutunya membuat S.M Kartoswiryo membentuk gerakan perlawanan yang dikenal
dengan sebutan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini
kemudian disambut oleh Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi
Selatan. Gerakan ini merupakan gerakan politik kaum Islamis yang sangat
melegenda dalam sejarah umat Islam di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Kehadiran kelompok Islamis kontemporer di Indonesia bersamaan
dengan situasi transisi politik yang tidak berjalan dengan baik pasca
reformasi, tentu saja cikal bakalnya sudah terbentuk di awal 90an ketika
kekuasaan Orde Baru masih kuat. Reformasi tidak hanya membawa perubahan sistem
politik nasional tetapi juga membawa ‘ruang’ kebebasan penuh terhadap
kepentingan apa-pun. Dalam konteks agama, situasi reformasi membuka pintu bagi
masuknya ideologi “baru” seperti ideologi Islamisme (baik yang soft Islamisme
maupun yang radikal) dan juga liberalisme.
Ketidakadilan ekonomi dan moralitas publik yang mengalami
degradasi menjadi alasan kehadiran mereka. Kelompok Islamis ini mengkhawatirkan
situasi Indonesia yang semakin runyam dan akan membawa masyarakat Islam menjadi
sangat terpuruk. Model politik dan ekonomi orde baru yang melahirkan budaya
korupsi serta membiarkan negara asing (khususnya Amerika) menguasai sumber daya
alam dianggap sebagai biang keladi dari terpuruknya umat Islam di Indonesia.
Mereka pun kemudian mempromosikan Islam sebagai solusi. Promosi Islam sekaligus
menjadi kritik terhadap model pengelolaan agama di Indonesia yang berada di belakang
negara. Model ini tidak tepat dalam pikiran mereka. Islam harus tampil utuh
baik sebagai nilai maupun sebagai label.
Kehadiran kelompok Islam liberal dengan wacana kemerdekaan
individu semakin menguatkan kehadiran kaum Islamis di Indonesia. Kelompok
liberal yang mengkampanyekan isu-isu kebebasan oleh kelompok Islamis dianggap
sebagai bentuk penyerangan terhadap moralitas Islam yang luhur. Misalnya,
gugatan empat orang mahasiswa Fakultas Hukum UI tentang UU Pernikahan ke MK.
Gugatan ini mendapatkan sambutan positif dari kelompok yang selama ini dikenal
sebagai pengusung liberalisme dalam Islam dan para penggiat HAM. Isu ini
disambut negatif oleh HTI. Di salah satu buletin dakwah “Al-Islam” yang
diedarkan secara rutin setiap Hari Jumat di Masjid Raya Darussalam Kota Palu,
HTI menerbitkan tulisan yang berjudul Nikah Beda Agama; Menyerang Islam,
Membuka Pintu Pemurtadan yang bertujuan untuk melawan wacana nikah beda
agama tersebut. Berikut petikan tulisan itu:
Semua itu (dukungan
nikah beda agama, pen) menjadi isyarat yang jelas bahwa orang-orang sekuler
dan liberal terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat kasus counter
legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satunya adalah tuntutan
pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi ini makin menegaskan bahwa
sekulerisme dan HAM adalah alat untuk menyerang Islam.
Jika pernikahan beda
agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi
pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan.
Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinahan lain akan minta
dilegalkan.
Jika nikah beda agama itu
disahkan maka akibatnya: pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu
untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat
dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di
dalam pernikahan dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka
pintu lebar dan legal bagi upaya pemurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama
tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk
pemurtadan. Apalagi nanti jika dilegalkan, upaya pemurtadan itu justeru akan
semakin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara. Tentu semua ini
amat berbahaya bagi umat. (Al-Islam edisi 721, 12 September 2014)
Sekulerisasi baik dalam
bentuk kemunduran beragama maupun dalam bentuk privatisasi (Jose Cassanova,
2004) memang melahirkan gerakan deprivatisasi agama sejak awal tahun 1990 an di
banyak negara termasuk negara muslim (Benyamin Flaming Intan, 2006: 14). Dalam
konteks Indonesia, melahirkan kaum Islamis. Liberalisme dan sekulerisme dalam
pandangan kaum Islamis adalah biang keladi merosotnya moralitas umat Islam di
Indonesia sekaligus menggerogoti fondasi ajaran Islam. Kaum liberal dianggap
mengacaukan differensiasi halal-haram misalnya soal kebolehan nikah beda agama
yang sedang berlangsung kasusnya di MK (Mahkamah Konstitusi). Kaum liberalis
juga dianggap menjadi aktor kuat dari gerakan yang memisahkan agama dan negara
dalam tarikan garis demarkasi yang tegas. Tak mengherankan apabila Ulil Absar
Abdallah yang menjadi ikon Islam liberal di Indonesia pernah mendapatkan
ancaman mati dan sempat mendapatkan kiriman bom buku dari kelompok Islamis.
Artikel Ulil Absar Abdallah yang berjudul “Menyegarkan Kembali Ajaran Islam”, counter
legal drafting Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Lintas Agama yang
membolehkan nikah agama serta sikap pembelaan terhadap Ahmadiyah membuat geram
kelompok Islamis. Puncaknya adalah ketika kelompok Islamis menyerang sekelompok
aktivis (sebagian berasal dari kelompok Islam liberal) yang sedang
berdemonstrasi di lapangan Pancasila. Reaksi HTI dengan menurunkan artikel yang
mengkritik sikap mahasiswa UI yang mendapatkan sokongan dari kelompok Islam
liberal dan penggiat HAM di Indonesia (pada bagian awal tulisan itu mengutip
pembelaan Andreas Harsono dan Zuhairi Misrawi yang dianggap sebagai aktivis HAM
dan Islam liberal nan sekuler) adalah bagian rivalitas yang tampaknya akan
terus menerus terjadi.
Persoalannya kemudian adalah kedua rival ini mempertarungkan teks
Alquran dengan memilih dan memilah ayat yang sesuai dengan cara berfikirnya.
Teks Alquran lalu kemudian dipegangi secara berbeda oleh dua kutub. Kelompok
berhaluan Islamis sering kali mereduksi ayat-ayat Alquran yang bernuansa jihad
untuk melegitimasi perilaku mereka tetapi abai terhadap teks Alquran yang
menghendaki perdamaian di sisi lain kelompok liberalis memilah-milih ayat
Alquran yang mendukung misalnya soal pluralisme dan mengabaikan ayat-ayat yang
(secara teks) bertolak dengan semangat pluralisme. Perang teks ini –pada
gilirannya-meletakkan ayat Alquran sebagai alat legitimasi ketimbang sebagai
instrumen solusi. Alquran mengalami proses derivasi makna yang mengarah kepada
pengukuhan kelompok.
Selain kelompok liberalis, kaum Islamis semakin kuat eksistensinya
dengan kehadiran kelompok Islam yang “dianggap” sempalan dan sesat. Pendekatan
kaum Islamis terhadap kelompok ini sangat tegas. Tidak ada tempat bagi ‘orang
sesat’ di Indonesia. Dalam kasus ini, kelompok Islamis mendapatkan sokongan
dari MUI. Munculnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan haram terhadap pluralisme
tahun 2006 menjadi ‘jalan’ bagi kaum Islamis untuk melakukan intimidasi
terhadap Ahmadiyah, termasuk di Makassar dan Bulukumba (Sulawesi Selatan).
Dengan mereproduksi semangat “pemurnian akidah”, mereka melakukan perlawanan
terbuka kepada kelompok Syiah dimanapun orang Syiah melakukan kegiatan.
Kelompok
sesat dalam paradigma kelompok Islamis adalah kelompok inhiraf, kelompok
yang melakukan penyimpangan teologis. Mereka tidak boleh dibiarkan berkembang
kecuali mereka menyadari penyimpangannya dan kembali ke jalan yang benar. Oleh
karena itu, kehadiran kelompok sesat ini menjadi “pembenaran” atas tindakan
kekerasan yang dilakukan, baik secara simbolik maupun fisik karena dianggap
sebagai “pembelaan” terhadap akidah yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar