Senin, 15 Januari 2018

Memahami Konteks Kemunculan Kelompok Islamis di Indonesia

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Pendekatan ekonomi Nazih Ayyub ini tidak cukup untuk menjelaskan fenomena Islamisme. Islamis yang lahir karena ketidakpuasan ekonomi barangkali berlaku untuk para aktivis Islamis yang berlatarbelakang ekonomi lemah.

Kekerasan berbasis keagamaan adalah persoalan sosial yang tidak dapat diuraikan secara sederhana. Ada banyak faktor yang menyebabkan gerakan ini muncul ke permukaan. Faktor ekonomi, politik, globalisasi, modernisme, merupakan beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya gerakan Islamis-radikal.
Oleh karena itu, untuk mendekati fenomena ini tidak cukup dengan hanya menggunakan satu pendekatan saja. Nazih Ayyub misalnya mencoba mendekati fenomena munculnya kelompok fundamentalis Islam dengan perspektif ekonomi. Menurutnya: ”Kaum Islamis itu tidaklah marah karena pesawat udara telah menggantikan unta; mereka justeru marah karena tidak bisa naik pesawat tersebut. (Syarkun dan Ghorara, 2003:495). Pendekatan ekonomi Nazih Ayyub ini tidak cukup untuk menjelaskan fenomena Islamisme. Islamis yang lahir karena ketidakpuasan ekonomi barangkali berlaku untuk para aktivis Islamis yang berlatarbelakang ekonomi lemah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak di antara aktivis Islamis ini berasal dari kelas menengah dan memiliki pendidikan yang tinggi misalnya Dr. Azahari yang merupakan dosen ilmu Kimia di salah satu universitas di Malaysia.
Pendekatan lain yang biasa digunakan untuk memotret fenomena ini adalah teori krisis psikologi atau alienasi psikososial yang diakibatkan oleh modernisasi. Penelitian Hoffman (Syarkun dan Ghorara, 2003:460) menunjukkan bahwa kebanyakan aktivis Islamis berasal dari desa dan keluarga yang taat beragama. Kehidupan kota yang individualistis dan kompotetif serta identitas kewargaan yang heterogen menyebabkan orang-orang ini kemudian mengalami krisis psikologi berupa keterasingan dengan lingkungan sekitarnya. Gerakan Islamisme sebagai sebuah gerakan membangun kebersamaan menawarkan obat untuk krisis psikologi dan yang tak kalah pentingnya adalah menawarkan identitas yang kuat sebagai muslim sejati. Teori ini relevan dengan fenomena munculnya organisasi Islamis dari kampus-kampus umum seperti Unhas (Universitas Hasanuddin) Makassar dan UNM (Universitas Negeri Makassar), sedangkan kelompok Islam moderat justeru berasal dari IAIN (Institute Agama Islam Negeri) yang kini berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri).
Pendekatan politik juga merupakan pendekatan yang tepat untuk digunakan untuk melihat fenomena fundamentalisme. Bassam Tibi (1998:X) menganggap bahwa gerakan fundamentalisme mempunyai agenda politisasi agama yang agresif dan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Lahirnya ISIS misalnya adalah respon dari Abu Bakar Al-Baghdady (pimpinan ISIS) terhadap situasi politik di Timur Tengah (khususnya di Irak) yang berkecamuk dan semakin buruk. Tujuan ISIS pun sangat politis; mendirikan negara Khilafah Islam. Azyumardi Azra (2014) menyebutkan bahwa ISIS lahir dari instabilitas politik dunia Arab atau Timur Tengah. Dunia Arab merupakan salah satu wilayah paling tidak stabil sejak usai perang dunia II. Faktor utamanya adalah konflik Palestina-Israel dan kontestasi politik antara negara Arab sendiri. Puncaknya adalah ketika Amerika dan sekutunya menyerbu Iraq untuk menjatuhkan Saddam Husein pada Maret 2003. Sejak saat itu, Iraq berubah dari salah satu negara terkuat di Timur Tengah menjadi wilayah yang paling tidak stabil yang membara dengan munculnya konflik sektarianisme religio-politik.
Fenomena gerakan Islamisme di Indonesia juga tidak terlepas dari situasi politik domestik. Pertautan antara politik dan kelompok Islamis begitu kental sejak lama. Perbedaan tafsir tentang Pancasila terutama tujuh kalimat yang dihapus dalam piagam Jakarta sampai hari ini masih terus diperdebatkan. Perdebatan tentang perlunya negara Islam berbarengan dengan situasi politik yang tidak stabil pada tahun 1949 pasca kedatangan kembali Belanda dan sekutunya membuat S.M Kartoswiryo membentuk gerakan perlawanan yang dikenal dengan sebutan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini kemudian disambut oleh Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan ini merupakan gerakan politik kaum Islamis yang sangat melegenda dalam sejarah umat Islam di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Kehadiran kelompok Islamis kontemporer di Indonesia bersamaan dengan situasi transisi politik yang tidak berjalan dengan baik pasca reformasi, tentu saja cikal bakalnya sudah terbentuk di awal 90an ketika kekuasaan Orde Baru masih kuat. Reformasi tidak hanya membawa perubahan sistem politik nasional tetapi juga membawa ‘ruang’ kebebasan penuh terhadap kepentingan apa-pun. Dalam konteks agama, situasi reformasi membuka pintu bagi masuknya ideologi “baru” seperti ideologi Islamisme (baik yang soft Islamisme maupun yang radikal) dan juga liberalisme.
Ketidakadilan ekonomi dan moralitas publik yang mengalami degradasi menjadi alasan kehadiran mereka. Kelompok Islamis ini mengkhawatirkan situasi Indonesia yang semakin runyam dan akan membawa masyarakat Islam menjadi sangat terpuruk. Model politik dan ekonomi orde baru yang melahirkan budaya korupsi serta membiarkan negara asing (khususnya Amerika) menguasai sumber daya alam dianggap sebagai biang keladi dari terpuruknya umat Islam di Indonesia. Mereka pun kemudian mempromosikan Islam sebagai solusi. Promosi Islam sekaligus menjadi kritik terhadap model pengelolaan agama di Indonesia yang berada di belakang negara. Model ini tidak tepat dalam pikiran mereka. Islam harus tampil utuh baik sebagai nilai maupun sebagai label.
Kehadiran kelompok Islam liberal dengan wacana kemerdekaan individu semakin menguatkan kehadiran kaum Islamis di Indonesia. Kelompok liberal yang mengkampanyekan isu-isu kebebasan oleh kelompok Islamis dianggap sebagai bentuk penyerangan terhadap moralitas Islam yang luhur. Misalnya, gugatan empat orang mahasiswa Fakultas Hukum UI tentang UU Pernikahan ke MK. Gugatan ini mendapatkan sambutan positif dari kelompok yang selama ini dikenal sebagai pengusung liberalisme dalam Islam dan para penggiat HAM. Isu ini disambut negatif oleh HTI. Di salah satu buletin dakwah “Al-Islam” yang diedarkan secara rutin setiap Hari Jumat di Masjid Raya Darussalam Kota Palu, HTI menerbitkan tulisan yang berjudul Nikah Beda Agama; Menyerang Islam, Membuka Pintu Pemurtadan yang bertujuan untuk melawan wacana nikah beda agama tersebut. Berikut petikan tulisan itu:
Semua itu (dukungan nikah beda agama, pen) menjadi isyarat yang jelas bahwa orang-orang sekuler dan liberal terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat kasus counter legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satunya adalah tuntutan pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi ini makin menegaskan bahwa sekulerisme dan HAM adalah alat untuk menyerang Islam.
Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinahan lain akan minta dilegalkan.
Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya: pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya pemurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi nanti jika dilegalkan, upaya pemurtadan itu justeru akan semakin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara. Tentu semua ini amat berbahaya bagi umat. (Al-Islam edisi 721, 12 September 2014)
Sekulerisasi baik dalam bentuk kemunduran beragama maupun dalam bentuk privatisasi (Jose Cassanova, 2004) memang melahirkan gerakan deprivatisasi agama sejak awal tahun 1990 an di banyak negara termasuk negara muslim (Benyamin Flaming Intan, 2006: 14). Dalam konteks Indonesia, melahirkan kaum Islamis. Liberalisme dan sekulerisme dalam pandangan kaum Islamis adalah biang keladi merosotnya moralitas umat Islam di Indonesia sekaligus menggerogoti fondasi ajaran Islam. Kaum liberal dianggap mengacaukan differensiasi halal-haram misalnya soal kebolehan nikah beda agama yang sedang berlangsung kasusnya di MK (Mahkamah Konstitusi). Kaum liberalis juga dianggap menjadi aktor kuat dari gerakan yang memisahkan agama dan negara dalam tarikan garis demarkasi yang tegas. Tak mengherankan apabila Ulil Absar Abdallah yang menjadi ikon Islam liberal di Indonesia pernah mendapatkan ancaman mati dan sempat mendapatkan kiriman bom buku dari kelompok Islamis. Artikel Ulil Absar Abdallah yang berjudul “Menyegarkan Kembali Ajaran Islam”, counter legal drafting Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Lintas Agama yang membolehkan nikah agama serta sikap pembelaan terhadap Ahmadiyah membuat geram kelompok Islamis. Puncaknya adalah ketika kelompok Islamis menyerang sekelompok aktivis (sebagian berasal dari kelompok Islam liberal) yang sedang berdemonstrasi di lapangan Pancasila. Reaksi HTI dengan menurunkan artikel yang mengkritik sikap mahasiswa UI yang mendapatkan sokongan dari kelompok Islam liberal dan penggiat HAM di Indonesia (pada bagian awal tulisan itu mengutip pembelaan Andreas Harsono dan Zuhairi Misrawi yang dianggap sebagai aktivis HAM dan Islam liberal nan sekuler) adalah bagian rivalitas yang tampaknya akan terus menerus terjadi.
Persoalannya kemudian adalah kedua rival ini mempertarungkan teks Alquran dengan memilih dan memilah ayat yang sesuai dengan cara berfikirnya. Teks Alquran lalu kemudian dipegangi secara berbeda oleh dua kutub. Kelompok berhaluan Islamis sering kali mereduksi ayat-ayat Alquran yang bernuansa jihad untuk melegitimasi perilaku mereka tetapi abai terhadap teks Alquran yang menghendaki perdamaian di sisi lain kelompok liberalis memilah-milih ayat Alquran yang mendukung misalnya soal pluralisme dan mengabaikan ayat-ayat yang (secara teks) bertolak dengan semangat pluralisme. Perang teks ini –pada gilirannya-meletakkan ayat Alquran sebagai alat legitimasi ketimbang sebagai instrumen solusi. Alquran mengalami proses derivasi makna yang mengarah kepada pengukuhan kelompok.
Selain kelompok liberalis, kaum Islamis semakin kuat eksistensinya dengan kehadiran kelompok Islam yang “dianggap” sempalan dan sesat. Pendekatan kaum Islamis terhadap kelompok ini sangat tegas. Tidak ada tempat bagi ‘orang sesat’ di Indonesia. Dalam kasus ini, kelompok Islamis mendapatkan sokongan dari MUI. Munculnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan haram terhadap pluralisme tahun 2006 menjadi ‘jalan’ bagi kaum Islamis untuk melakukan intimidasi terhadap Ahmadiyah, termasuk di Makassar dan Bulukumba (Sulawesi Selatan). Dengan mereproduksi semangat “pemurnian akidah”, mereka melakukan perlawanan terbuka kepada kelompok Syiah dimanapun orang Syiah melakukan kegiatan.

Kelompok sesat dalam paradigma kelompok Islamis adalah kelompok inhiraf, kelompok yang melakukan penyimpangan teologis. Mereka tidak boleh dibiarkan berkembang kecuali mereka menyadari penyimpangannya dan kembali ke jalan yang benar. Oleh karena itu, kehadiran kelompok sesat ini menjadi “pembenaran” atas tindakan kekerasan yang dilakukan, baik secara simbolik maupun fisik karena dianggap sebagai “pembelaan” terhadap akidah yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...