Senin, 15 Januari 2018

Islamis Politis

HAMZAH HARUN AL RASYID, M. A & SAPRILLAH
Agenda utama kelompok Islamis-politis di Indonesia adalah penegakan atau formalisasi Syariat Islam pada konstitusi daerah. Pada awal tahun 2000an, kita masih mengingat munculnya kelompok yang melakukan gerakan politik yang cukup massif di Sulawesi Selatan yang mendesak formalisasi Syariat Islam. Kelompok
ini dikenal dengan nama KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) yang kemudian berubah menjadi KPSI (Komite Penegakan Syariat Islam).
Momentum gerakan ini beriringan dengan model negara Indonesia yang berbentuk otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah membentuk karakter dan ciri khas yang berbeda-beda. Nangroe Aceh Darussalam menjadi patron “negara Islam” yang paling sering dijadikan contoh.
KPSI pada awalnya relatif sukses. Mereka berhasil menginisiasi dan menginspirasi beberapa kepala daerah untuk menerbitkan perda yang bernuansa syariat Islam seperti perda baca tulis Alquran, perda Miras, perda Zakat dan sebagainya. Isu ini bahkan oleh sebagian calon kepala daerah dimanfaatkan sebagai bagian dari kampanye. Bupati Bulukumba (Patabai Pabokori) dan Pangkep (Alm. Syafruddin) berhasil mengelola isu Syariat Islam menjadi kekuatan politik mereka. Bulukumba bahkan “berhasil”membangun desa-desa percontohan Syariat Islam. Bulukumba pun pernah menjadi tuan rumah Kongres Umat Islam pada tahun 2004. Ada delapan poin yang menjadi crash program dari perda Syariat Islam di Bulukumba. Pertama, pembinaan dan pengembangan Pemuda Remaja Masjid. Kedua, pembinaan dan pengembangan TKA/TPA. Ketiga, pembinaan dan pengembangan majelis taklim. Keempat, pembinaan dan pengembangan Hifdzil Qur’an. Kelima, pembinaan dan pengembangan perpustakaan masjid. Keenam, pembinaan dan pengembangan seni bernuansa Islami. Ketujuh, pemberdayaan zakat, infaq, dan sedekah. Kedelapan, pelestarian keluarga sakinah, bahagia, dan sejahtera (Abd. Kadir Ahmad, 2009: 65).
Kedelapan crash program ini kemudian diberi payung hukum melalui proses legilasi bersama dengan DPRD Kab. Bulukumba. Peraturan daerah ini kemudian dikenal sebagai perda Syariat Islam yang menyebabkan nama Bupati Patabai Pabokori menjadi populer sebagai bupati yang menginisiasi dan melegislasi perda syariat Islam.
Tidak hanya pada level kabupaten, Bupati Patabai juga memilih dan menetapakan dua belas desa dari sepuluh kecamatan sebagai proyek percontohan. Desa-desa tersebut adalah Desa Padang dan Desa Barombong (Kecamatan Gantarang), Kelurahan Bintarore dan Kelurahan Ela-Ela (Kecamatan Ujung Bulu), Desa Lembanna (Kecamatan Kajang), Desa Singa (Kecamatan Herlang), Desa Ballasaraja (Kecamatan Bulukumpa), Desa Balong (Kecamatan Ujung Loe), Desa Palampang (Kecamatan Rilau Ale), Desa Tritiro (Kecamatan Bonto Tiro), Desa Garuntungan (Kecamatan Kindang), Desa Darubiah (Kecamatan Bonto Bahari) (Abd. Kadir Ahmad, 2009:92-93).
Kedua belas desa ini menjadi wilayah percontohan dari delapan crash program diatas. Desa-desa ini kemudian dikenal sebagai “desa muslim” dengan indikator, sebagai berikut:
1. Bersih dari minuman beralkohol
2. Tersedianya perpustakaan masjid dan Alquran di rumah-rumah
3. Adanya majelis taklim di masjid-masjid
4. Berbusana muslim
5. Patuh zakat
6. Penyuluhan agama terprogram
7. Memakmurkan masjid
8. Tertib buku nikah
9. Santuni anak yatim
10. Jumat bersih
Pelaksanaan indikator yang dituangkan dalam peraturan desa pada awal pelaksanannya berjalan cukup ketat. Untuk memperlancar pelaksanaan perda dan perdes ini, dibentuk tim pengawas yang dikenal dengan sebutan BUSERDA, buru sergap daerah. Tim ini bertugas sebagai “polisi syariah” yang bertugas untuk mengawasi jalannya perda syariat Islam yang dicanangkan oleh Bupati.  
Proses ini pun terjadi dalam sistem pelayanan publik di tingkat desa. Di Desa Padang misalnya pihak pemerintah desa tidak akan memberikan pelayanan kepada warga (khususnya perempuan) yang tidak menggunakan busana muslimah. DI pintu masuk rumah kepala desa (sekaligus kantor desa), tertulis dengan jelas, Tidak menerima wanita yang tidak berbusana muslim, kecuali non-muslim.
Setiap desa diberikan keleluasan untuk membuat program untuk mendukung pelaksanaan perda atau perdes bernuansa syariat Islam. Di Desa Padang misalnya dibuat beberapa langkah strategis, yaitu:
1. Membentuk satgas desa muslim yang bertujuan untuk menjaga dan mengantisipasi lebih awal berbagai pelanggaran, baik menyangkut masalah hukum syariat maupun masalah hukum Negara.
2. Membentuk dewan syariah untuk memberikan dan memutuskan perkara dalam setiap pelanggaran hukum syariah dan hukum Negara untuk dilanjutkan ke tingkat atas yang berwenang
3. Membentuk tim dakwah yang bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi Islam dan pesantren yang ada di Bulukumba
4. Mebentuk majelis taklim di setiap masjid dan mushalla di tingkat desa, RT, RW, dan majelis taklim PKK
5. Memberikan kartu keaktifan salat berjamaah bagi santri TPA di setiap masjid/musala. Dan memberikan hadiah setiap mendapatkan tanda tangan salat berjamaah sebanyak 100 tanda tangan.
Namun, seiring dengan peralihan kekuasan, identitas Syariat Islam yang dilekatkan kepada Bulukumba misalnya pelan-pelan memudar.3 Perda-perda bernuansa Syariat Islam pun saat ini tidak lagi terdengar gaungnya. Watak politik Indonesia yang liberal dan tidak berideologi menyebabkan ide keagamaan tidak bisa menjadi latar yang permanen. Peralihan kekuasaan berkorelasi langsung dengan perubahan kebijakan. Setiap kepala daerah memiliki cara pandang yang berbeda. Konteks ini menyebabkan satu kebijakan tidak bisa berjalan secara konstan. Hal ini pula menyebabkan perda syariat kehilangan fungsi dan gaungnya ketika terjadi peralihan kepemimpinan.
Eksperimen politik kaum Islamis di Sulawesi Selatan pun gagal ketika Azis Kahar (ikon kelompok Islamis politis) dua kali gagal menjadi pemimpin pemerintahan provinsi. Tahun 2008, Azis Kahar berpasangan dengan pengusaha Mubyl Handaling sebagai calon gubernur, hanya mendapatkan sekitar 20% suara dan tahun 2013 berpasangan dengan politisi Demokrat Ilham Arif Sirajuddin sebagai wakil gubernur pun tidak mendapatkan suara yang cukup untuk mengalahkan pasangan petahana Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang. Kedua eksperimen politik ini gagal dan sekaligus memudarkan pesona dan gaung penegakan Syariat Islam di Sulawesi Selatan.

3 Selain alasan bersifat structural, tampaknya alasan kultural pun ikut memengaruhi “keberhasilan” program ini. Di tingkat desa, agama di jalankan secara kultural, secara alamiah. Kebijakan yang bersifat structural akan tergantung pada sejauhmana pihak pemerintah mampu mempertahankan program tersebut.
Di tingkat nasional, PKS yang merupakan partai yang dibentuk oleh aktivis-aktivis Islam yang dekat dengan Ikhawanul Muslimin (IM) di Mesir merupakan salah satu harapan besar bagi kaum Islamis untuk mewujudkan ide formalisasi Syariat Islam secara nasional. Di era awal, PKS menunjukkan konsistensi yang kuat dalam mewacanakan idiom Islam dan juga tampilan Islami sebagai politisi bersih. Namun, harapan terhadap PKS menjadi hilang ketika PKS terjebak dalam permainan politik praktis, bagi-bagi kursi menteri misalnya. Kita tidak pernah mendengar PKS benar-benar memperjuangkan simbol Islam di parlemen. PKS sepertinya mengalami proses nasionalisasi. Ia lebih menyerupai parpol nasionalis yang bekerja untuk kepentingan politik kelompok. Hal ini semakin diperparah ketika Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaq terkait dengan kasus korupsi sapi impor dan harus mendekam di penjara.
Kekhawatiran terhadap PKS diawal kemunculannya sebenarnya sangat berlebihan, mengingat watak politik kita tidak berbasis ideologi. Agama tidak pernah benar-benar menjadi ideologi, sebagaimana IM di Mesir. Karenanya, di Sulawesi Tengah, PKS cukup mendapat sambutan karena yang membawa atau menjadi ‘jualan’ PKS adalah tokoh-tokoh Al-Khaerat terutama yang kuliah di Timur Tengah. Publik Sulawesi Tengah tidak menandai PKS dalam konteks ideologi tetapi dalam konteks partai politik. Karenanya, kehadiran orang Al-Khaerat di PKS tidak akan diributkan sebagaimana kehadiran orang Al-Khaerat di PAN yang merupakan assosiasi Muhammadiyah. Artinya, di tingkat lokal, PKS diperlakukan sebagai parpol biasa yang bercorak agama, bukan parpol yang akan membawa perubahan struktur ideologi keagamaan yang nantinya akan merusak ideologi Al-Khaerat.
Agenda politik yang lebih besar digaungkan oleh HTI dengan wacana khilafah Islamiyah. Hingga hari ini mereka masih setia menggemakan wacana ini di seluruh Indonesia. Salah satu agenda besar HTI pada tahun 2014 adalah kongres Mahasiswa Islam Indonesia yang akan digelar di 73 Kota di Indonesia dari bulan Oktober-November 2014 dengan tema We Need Khilafah Not Democracy. Salah satu kekuatan utama HTI memang berasal dari kalangan mahasiswa.
HTI menawarkan gagasan perubahan sistem dengan berbasis Islam. Khilafah Islamiyah menjadi sendi gagasannya. Mereka berambisi untuk menggantikan sistem demokrasi dan sistem ekonomi kapital dengan sistem politik dan ekonomi ala Islam. Misalnya soal mata uang. HTI sangat aktif mengkampanyekan penggunakan mata uang emas dan perak (dinar dan dirham). Jenis mata uang ini disempurnakan dengan sistem ekonomi Islam akan membuat kekayaan masyarakat terjaga dan perekonomian akan memberikan kesejahteraan dan keadilan. Mata uang ini –menurut HTI-lebih kuat menahan fluktuasi moneter ketimbang mata uang kertas.
Namun eksistensi gagasan khilafah ini masih meragukan. Pasalnya, hingga saat ini gagasan khilafah terlihat hanya sekedar jargon. HTI sepertinya kesulitan untuk mengimplementasikan gagasannya secara riil. Selama puluhan tahun kehadiran HTI di Indonesia, kita tidak pernah menemukan gerakan politik yang mengarah pada implementasi gagasan khilafah. Gerakan HTI hanya mengumpul massa di kalangan mahasiswa dan membangun diskusi-diskusi ilmiah. Sesekali ikut menyuarakan gagasan ‘perbaikan’ di jalanan dengan tetap setia dengan jargon khilafah Islamiyah. HTI sebagai gerakan sosial dan moral memang banyak menarik perhatian kaum muda Islam tetapi sebagai bagian dari gerakan politik menuju sistem khilafah, tampaknya masih menempuh jalan yang sangat panjang.
Kesulitan lain kemungkinan adalah karena gagasan khilafah Islamiyah sendiri sebenarnya sangat utopis. Azyumardi Azra (2014) misalnya menyebutkan:
Konsep khilafah itu sendiri sangat problematis dan utopian. Terdapat banyak perbedaan konsep dan praksis khilafah di antara pemikir Muslim penggagasnya sejak dari Jamaluddin al-Afgani, Abdulrahman Al-Kawakibi, Abu al A’la al-Mawdudi sampai Taqiuddin a—Nabahani.
Utopianisme khilafah juga terletak pada kenyataan bahwa kaum Muslim di berbagai kawasan telah mengadopsi negara bangsa berdasarkan realitas bangsa dengan tradisi sosial, budaya, dan agama distingtif; wilayah geografis; dan pengalaman historis berbeda. Karena itu ‘unifikasi’ seluruh wilayah Dunia Muslim di bawah kekuasaan politik tunggal adalah angan-angan belaka.
Khilafah dalam perspektif Azyumardi Azra adalah gagasan yang tidak lagi relevan dengan situasi global yang cenderung sudah terikat secara permanen dengan sistem negara-bangsa. Tantangan HTI menjadi sangat besar apabila dia ingin memulainya dari Indonesia. HTI harus melakukan revolusi besar-besaran. Dan itu sama sekali tidak mudah kalau tidak ingin menyebutnya mustahil. Selain karena Indonesia sudah terbentuk dalam model negara bangsa, juga karena masyarakat Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang soal dialektika Islam dan negara.
Pilihan NKRI adalah pilihan yang juga dilandasi dengan semangat keagamaan. Perdebatan kaum nasionalis dan kelompok Islam berakhir dengan konsensus NKRI sebagai bentuk negara dan Pancasila sebagai landasan ideologinya. Artinya, jika HTI datang dengan konsep khilafah sebagai tawaran dari ajaran Islam, maka itu sudah terlambat karena Pancasila bagaimana pun juga dibangun dari spirit Islam, bukan dari spirit nasionalisme atau sekulerisme. KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar Muzakkir, dan KH. Masjkur adalah tokoh Islam dari NU-Muhammadiyah yang menjadi aktor dari lahirnya Pancasila bersama dengan tokoh nasionalis lainnya. Jadi, pendekatan Islam yang menjadi andalan HTI dalam menawarkan khilafah tidak relevan memengaruhi wacana politik Islamis di Indonesia.
Pilihan yang tersedia bagi HTI adalah mengubah konsep khilafahnya dari sistem politik menjadi sistem moral. Artinya, HTI tetap menerima sistem negara bangsa tetapi melandasinya dengan nilai ke-khalifa-an. Kalau tidak, teriakan khilafah Islamiyah hanya menjadi ‘angan-angan belaka’ yang tersimpan di ruang kosong di langit sana dan suatu saat akan kelelahan sendiri. Walau begitu, para aktivis HTI sangat meyakini kalau khilafah adalah gift dari Tuhan yang akan diberikan kepada hambanya yang berjuang secara ikhlas. QS. An-Nur; 55 dan bisyarah hadits Nabi Muhammad tentang kemunculan khilafah ala minhaj nubuwwah menjadi landasan mereka dalam memperjuangkan keyakinan. Soal ini, waktu akan menentukan benar atau tidaknya keyakinan kelompok HTI ini.
Berbeda dengan model gerakan KPPSI dan PKS, gerakan HTI lebih berisfat kultural. HTI tidak bermain di wilayah politik praktis. HTI menolak bermain politik konvensional karena menganggap demokrasi (rumah politik domestik) adalah produk non muslim yang tidak sesuai dengan spirit Islam. Bahkan secara tegas, HTI menyebutnya demokrasi adalah sistem kafir dan haram menjalankannya.
Fokus kajian mereka saat ini adalah politik Islam. Dimana-mana, aktivis HTI pasti bicara tentang Islam kaffah. Islam yang tidak hanya mengurusi soal ibadah tetapi juga ekonomi, sosial, politik, dan seluruh sendi kehidupan manusia. Penegakan Islam kaffah hanya bisa dilakukan ketika sistem pemerintahan yang berkuasa adalah sistem Islam atau sistem khilafah. Dimana umat Islam berada di bawah satu kekuasaan.
Doktrin Islam kaffah dengan penegakan khilafah sebagai solusi membuat para aktivis HTI “memandang sebelah mata” gerakan kelompok revivalis ekonomi Islam dalam bentuk “ekonomi syariah”. Dalam sebuah seminar bertajuk “Konfrensi Indonesia Milik Allah” yang dilakukan di Kampus IAIN Kendari (sabtu, 6 Juni 2015), seorang pembicara dari aktivis HTI menyindir gerakan ekonomi syariah, bank syariah, dan apapun yang berbau syariah sebagai upaya yang gagal.
Bentuk gerakan parsial seperti itu tidak akan mungkin berhasil karena pemerintah masih berbentuk negara demokrasi. Oleh karena itu, aktivis HTI pun cenderung tidak setuju dengan model penerapan Syariat Islam di Aceh. Bukan pada bentuk penegakannya tetapi pada modelnya yang parsial. Bagi aktivis HTI, penegakan syariat dalam bentuknya yang parsial tidak bisa membawa perubahan apa-apa. Islam tidak diturunkan secara parsial tetapi kepada seluruh umat. Penegakan khilafah adalah bentuk solusi yang tepat bagi umat Islam di seluruh dunia. Sistem khilafah akan mewujudkan masyarakat Islam yang kuat baik secara politik maupun secara ekonomi.
Kritik terbesar aktivis HTI terhadap Indonesia adalah ketika Indonesia—sebagai mayoritas Islam meninggalkan sistem politik Islam dan lebih memilih sistem demokrasi. Bagi mereka, demokrasi yang menekankan pada kedaulatan rakyat bertentangan (para aktivis HTI di Kendari menggunakan istilah bertabrakan langsung) dengan akidah Islam. Kedaulatan tidak boleh ditangan manusia tetapi ditangan Tuhan (melalui syariatnya). Manusia tidak memiliki hak untuk membuat hukum apalagi bertentangan dengan hukum Allah (wawancara dengan Sf dan Al).
Kegagalan pancasila di Indonesia—bagi para aktivis HTI-adalah karena sistem pelaksanaannya yang menggunakan demokrasi. Demokrasi bukan perahu yang tepat dalam menjalankan nilai Pancasila. Kebebasan dan kesamaan hak semua orang dalam demokrasi pada gilirannya tidak bisa merefleksi dengan baik nilai-nilai Pancasila. Nilai Pancasila bagi mereka sudah baik tetapi gagal dalam implementasi. Salah satu contoh misalnya sila pertama ketuhanan yang maha esa. Sila ini adalah refleksi dari nilai Islam tentang ketauhidan. Nilai dari sila ini tidak dapat dapat diwujudkan karena demokrasi memberi kebebasan kepada siapa saja untuk memilih agama dan beragama sesuai dengan “selera-nya”. Penerimaan negara terhadap Ahmadiyah (yang dalam perspektif HTI melanggar akidah Islam) adalah bentuk kegagalan Pancasila (wawancara Sf). Bagi HTI, tidak ada tempat bagi orang sesat seperti Ahmadiyah. Mereka sudah “merusak” akidah umat Islam. Dalam sistem khilafah, orang Ahmadiyah terlebih dahulu akan diberikan dakwah Islam yang benar. Apabila tidak mau berubah, mereka harus diperangi (wawancara Al).
Demokrasi adalah produk non-muslim. Sudah seharusnya ditinggalkan dan digantikan dengan sistem khilafah. Khilafah adalah mandat Islam, kewajiban bagi setiap muslim untuk menegakkannya. Sikap anti-demokrasi ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk “perlawanan wacana” tetapi juga dalam tindakan. Seluruh aktivis HTI yang ditemui mengaku tidak ikut memilih pada pemilu legislatif dan pilpres tahun 2014 lalu. Mereka juga sangat aktif membuat spanduk-spanduk provokatif yang secara tegas menolak demokrasi.
Sistem pengkaderan yang intensif membuat para aktivis mahasiswa HTI memiliki pengetahuan yang baik tentang gagasan khilafah (versi HTI). Mereka dibekali dengan pengetahuan tentang alasan dibalik runtuhnya dinasti Usmaniyah di Turki pada tahun 1924. Tudingan mereka terutama pada munculnya Kemal At-Turk yang dianggap sebagai penghianat Islam. Dia yang meruntuhkan sistem khilafah dan menggantinya dengan sistem liberal seperti saat ini. Mereka dibekali juga dengan sebab-sebab kegagalan khilafah Islamiyah. Untuk melawan arus perlawanan terhadap sistem khilafah, mereka mengajukan satu konsep yang disebut khilafah ala minhaj Nubuwwah. Sebuah konsep khilafah yang sudah diproyeksi oleh Nabi Muhammad. Konsep khilafah yang disepakati oleh semua ulama.
Meski para aktivis HTI yang ditemui tidak menjelaskan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan khilafah ala minhaj nubuwwah tetapi konsep ini cukup memberi keyakinan kepada mereka kalau sistem khilafah yang diperjuangkan oleh HTI adalah benar khilafah ala minhaj nubuwwah. Mereka dengan sangat percaya diri meyakini kalau khilafah dinasti yang runtuh di era Usmaniyah berbeda dengan khilafah yang ditawarkan oleh HTI. Khilafah ala minhaj nubuwwah adalah sistem pemerintahan Islam yang sesuai dengan Alquran sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad (melalui Hadist Riwayat Ahmad). Oleh karenanya, para aktivis HTI sangat menolak keras ketika mereka dianggap akan melanjutkan khilafah dinasti. Mereka membayangkan diri sebagai pelanjut cita-cita khilafah yang dasar-dasarnya diletakkan oleh empat khalifah pertama (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib).
Para aktivis HTI menyadari dengan baik bahwa teks tentang negara, daulah dan khilafah tidak terdapat dalam Alquran dan hadits (kecuali HR. Ahmad yang berbicara tentang khilafah ala minhaj nubuwwah). Ketiadaan teks yang eksplisit tentang daulah dan khilafah disadari oleh mereka akan menjadi dasar bagi kelompok luar yang tidak setuju dengan khilafah. Aktivis HTI menggunakan kaidah ushul fiqhi untuk menguatkan pendapat mereka, ma laa yatimmu wajibu illa bihi fahuwa waajibun (Sesuatu yang menyebabkan kewajiban menjadi tidak sempurna kecuali karena dia, dia ikut menjadi wajib). Kaidah ini digunakan untuk membaca teks-teks hukum dalam Alquran misalnya kewajiban menegakkan hukum Allah, hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina dan qishas. Bagi aktivis HTI, penegakan hukum Allah adalah kewajiban karena diperintahkan oleh Allah melalui Alquran. Kewajiban ini hanya bisa dilakukan melalui sistem kekuasaan yang disebut khilafah. Karena itulah khilafah menjadi wajib bersamaan dengan kewajiban menegakkan hukum Allah.
Untuk sampai pada cita-cita penegakan khilafah, HTI menyiapkan tiga langkah besar. Pertama tasqif (pembinaan atau pembasisan). Pada langkah ini, produk pemikiran politik Syekh Taqiuddin Nabahani tampaknya menjadi rujukan wajib bagi setiap kader HTI. 16 jilid buku politik Syekh Taqiuddin Nabahani harus dipahami oleh setiap anggota atau kader HTI. Proses indoktrinasi dalam tradisi HTI dimulai dengan mengajarkan buku nidzamul Islam (peraturan hidup dalam Islam). Buku ini adalah buku pertama yang wajib ditelaah oleh seorang calon kader HTI. Lalu dilanjutkan pada buku kedua (pembentukan partai politik), buku ketiga (daulah Islamiyah) dan seterusnya. Sistem halaqah terbatas yang dilakukan di kampus adalah bentuk pembasisan dan tempat HTI mendapatkan kader. Organisasi Gema (Gerakan Mahasiswa) Pembebasan tidak cukup kuat mendukung suplai kader ke organisasi HTI.
Kedua, tafaul maa ummah (bersosialisasi bersama umat). Salah seorang aktivis HTI mengakui kalau sekarang di Kendari sudah masuk pada tahap kedua ini. Mereka aktif mengkampanyekan gagasannya di kampus melalui buletin, pamflet, dan seminar-seminar. Tujuannya adalah agar semua umat Islam di Indonesia pada umumnya bisa menerima dengan baik gagasan HTI tentang perlunya penegakan khilafah.

Ketiga, penyerahan kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuatan. Tahapan ini adalah tahapan nasional (bahkan universal). Praktik ini tidak ditemukan dalam kasus Kendari. Tahapan ini mengandaikan, kekuatan publik terhadap dukungan ide khilafah telah besar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...