HAMZAH HARUN AL RASYID, M. A & SAPRILLAH
Agenda utama kelompok
Islamis-politis di Indonesia adalah penegakan atau formalisasi Syariat Islam
pada konstitusi daerah. Pada awal tahun 2000an, kita masih mengingat munculnya
kelompok yang melakukan gerakan politik yang cukup massif di Sulawesi Selatan
yang mendesak formalisasi Syariat Islam. Kelompok
ini dikenal dengan nama KPPSI
(Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) yang kemudian berubah menjadi KPSI
(Komite Penegakan Syariat Islam).
Momentum
gerakan ini beriringan dengan model negara Indonesia yang berbentuk otonomi
daerah yang memungkinkan setiap daerah membentuk karakter dan ciri khas yang
berbeda-beda. Nangroe Aceh Darussalam menjadi patron “negara Islam” yang paling
sering dijadikan contoh.
KPSI
pada awalnya relatif sukses. Mereka berhasil menginisiasi dan menginspirasi
beberapa kepala daerah untuk menerbitkan perda yang bernuansa syariat Islam
seperti perda baca tulis Alquran, perda Miras, perda Zakat dan sebagainya. Isu
ini bahkan oleh sebagian calon kepala daerah dimanfaatkan sebagai bagian dari
kampanye. Bupati Bulukumba (Patabai Pabokori) dan Pangkep (Alm. Syafruddin)
berhasil mengelola isu Syariat Islam menjadi kekuatan politik mereka. Bulukumba
bahkan “berhasil”membangun desa-desa percontohan Syariat Islam. Bulukumba pun
pernah menjadi tuan rumah Kongres Umat Islam pada tahun 2004. Ada delapan poin
yang menjadi crash program dari perda Syariat Islam di Bulukumba. Pertama,
pembinaan dan pengembangan Pemuda Remaja Masjid. Kedua, pembinaan
dan pengembangan TKA/TPA. Ketiga, pembinaan dan pengembangan majelis
taklim. Keempat, pembinaan dan pengembangan Hifdzil Qur’an. Kelima, pembinaan
dan pengembangan perpustakaan masjid. Keenam, pembinaan dan pengembangan
seni bernuansa Islami. Ketujuh, pemberdayaan zakat, infaq, dan sedekah. Kedelapan,
pelestarian keluarga sakinah, bahagia, dan sejahtera (Abd. Kadir Ahmad,
2009: 65).
Kedelapan
crash program ini kemudian diberi payung hukum melalui proses legilasi
bersama dengan DPRD Kab. Bulukumba. Peraturan daerah ini kemudian dikenal
sebagai perda Syariat Islam yang menyebabkan nama Bupati Patabai Pabokori
menjadi populer sebagai bupati yang menginisiasi dan melegislasi perda syariat
Islam.
Tidak
hanya pada level kabupaten, Bupati Patabai juga memilih dan menetapakan dua
belas desa dari sepuluh kecamatan sebagai proyek percontohan. Desa-desa
tersebut adalah Desa Padang dan Desa Barombong (Kecamatan Gantarang), Kelurahan
Bintarore dan Kelurahan Ela-Ela (Kecamatan Ujung Bulu), Desa Lembanna
(Kecamatan Kajang), Desa Singa (Kecamatan Herlang), Desa Ballasaraja (Kecamatan
Bulukumpa), Desa Balong (Kecamatan Ujung Loe), Desa Palampang (Kecamatan Rilau
Ale), Desa Tritiro (Kecamatan Bonto Tiro), Desa Garuntungan (Kecamatan Kindang),
Desa Darubiah (Kecamatan Bonto Bahari) (Abd. Kadir Ahmad, 2009:92-93).
Kedua
belas desa ini menjadi wilayah percontohan dari delapan crash program diatas.
Desa-desa ini kemudian dikenal sebagai “desa muslim” dengan indikator, sebagai
berikut:
1.
Bersih dari minuman beralkohol
2.
Tersedianya perpustakaan masjid dan Alquran di rumah-rumah
3.
Adanya majelis taklim di masjid-masjid
4.
Berbusana muslim
5.
Patuh zakat
6.
Penyuluhan agama terprogram
7.
Memakmurkan masjid
8.
Tertib buku nikah
9.
Santuni anak yatim
10.
Jumat bersih
Pelaksanaan
indikator yang dituangkan dalam peraturan desa pada awal pelaksanannya berjalan
cukup ketat. Untuk memperlancar pelaksanaan perda dan perdes ini, dibentuk tim
pengawas yang dikenal dengan sebutan BUSERDA, buru sergap daerah. Tim
ini bertugas sebagai “polisi syariah” yang bertugas untuk mengawasi jalannya
perda syariat Islam yang dicanangkan oleh Bupati.
Proses
ini pun terjadi dalam sistem pelayanan publik di tingkat desa. Di Desa Padang
misalnya pihak pemerintah desa tidak akan memberikan pelayanan kepada warga
(khususnya perempuan) yang tidak menggunakan busana muslimah. DI pintu masuk
rumah kepala desa (sekaligus kantor desa), tertulis dengan jelas, Tidak
menerima wanita yang tidak berbusana muslim, kecuali non-muslim.
Setiap
desa diberikan keleluasan untuk membuat program untuk mendukung pelaksanaan
perda atau perdes bernuansa syariat Islam. Di Desa Padang misalnya dibuat
beberapa langkah strategis, yaitu:
1.
Membentuk satgas desa muslim yang bertujuan untuk menjaga dan mengantisipasi
lebih awal berbagai pelanggaran, baik menyangkut masalah hukum syariat maupun
masalah hukum Negara.
2.
Membentuk dewan syariah untuk memberikan dan memutuskan perkara dalam setiap
pelanggaran hukum syariah dan hukum Negara untuk dilanjutkan ke tingkat atas
yang berwenang
3.
Membentuk tim dakwah yang bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi Islam
dan pesantren yang ada di Bulukumba
4.
Mebentuk majelis taklim di setiap masjid dan mushalla di tingkat desa, RT, RW,
dan majelis taklim PKK
5.
Memberikan kartu keaktifan salat berjamaah bagi santri TPA di setiap
masjid/musala. Dan memberikan hadiah setiap mendapatkan tanda tangan salat
berjamaah sebanyak 100 tanda tangan.
Namun, seiring
dengan peralihan kekuasan, identitas Syariat Islam yang dilekatkan kepada
Bulukumba misalnya pelan-pelan memudar.3 Perda-perda bernuansa
Syariat Islam pun saat ini tidak lagi terdengar gaungnya. Watak politik
Indonesia yang liberal dan tidak berideologi menyebabkan ide keagamaan tidak
bisa menjadi latar yang permanen. Peralihan kekuasaan berkorelasi langsung
dengan perubahan kebijakan. Setiap kepala daerah memiliki cara pandang yang
berbeda. Konteks ini menyebabkan satu kebijakan tidak bisa berjalan secara
konstan. Hal ini pula menyebabkan perda syariat kehilangan fungsi dan gaungnya
ketika terjadi peralihan kepemimpinan.
Eksperimen politik
kaum Islamis di Sulawesi Selatan pun gagal ketika Azis Kahar (ikon kelompok
Islamis politis) dua kali gagal menjadi pemimpin pemerintahan provinsi. Tahun
2008, Azis Kahar berpasangan dengan pengusaha Mubyl Handaling sebagai calon
gubernur, hanya mendapatkan sekitar 20% suara dan tahun 2013
berpasangan dengan politisi Demokrat Ilham Arif Sirajuddin sebagai wakil
gubernur pun tidak mendapatkan suara yang cukup untuk mengalahkan pasangan
petahana Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang. Kedua eksperimen politik ini
gagal dan sekaligus memudarkan pesona dan gaung penegakan Syariat Islam di
Sulawesi Selatan.
3 Selain alasan bersifat structural, tampaknya
alasan kultural pun ikut memengaruhi “keberhasilan” program ini. Di tingkat
desa, agama di jalankan secara kultural, secara alamiah. Kebijakan yang
bersifat structural akan tergantung pada sejauhmana pihak pemerintah mampu
mempertahankan program tersebut.
Di
tingkat nasional, PKS yang merupakan partai yang dibentuk oleh aktivis-aktivis
Islam yang dekat dengan Ikhawanul Muslimin (IM) di Mesir merupakan salah satu
harapan besar bagi kaum Islamis untuk mewujudkan ide formalisasi Syariat Islam
secara nasional. Di era awal, PKS menunjukkan konsistensi yang kuat dalam
mewacanakan idiom Islam dan juga tampilan Islami sebagai politisi bersih.
Namun, harapan terhadap PKS menjadi hilang ketika PKS terjebak dalam permainan
politik praktis, bagi-bagi kursi menteri misalnya. Kita tidak pernah mendengar
PKS benar-benar memperjuangkan simbol Islam di parlemen. PKS sepertinya
mengalami proses nasionalisasi. Ia lebih menyerupai parpol nasionalis yang
bekerja untuk kepentingan politik kelompok. Hal ini semakin diperparah ketika
Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaq terkait dengan kasus korupsi sapi impor dan
harus mendekam di penjara.
Kekhawatiran
terhadap PKS diawal kemunculannya sebenarnya sangat berlebihan, mengingat watak
politik kita tidak berbasis ideologi. Agama tidak pernah benar-benar menjadi
ideologi, sebagaimana IM di Mesir. Karenanya, di Sulawesi Tengah, PKS cukup mendapat
sambutan karena yang membawa atau menjadi ‘jualan’ PKS adalah tokoh-tokoh
Al-Khaerat terutama yang kuliah di Timur Tengah. Publik Sulawesi Tengah tidak
menandai PKS dalam konteks ideologi tetapi dalam konteks partai politik.
Karenanya, kehadiran orang Al-Khaerat di PKS tidak akan diributkan sebagaimana
kehadiran orang Al-Khaerat di PAN yang merupakan assosiasi Muhammadiyah.
Artinya, di tingkat lokal, PKS diperlakukan sebagai parpol biasa yang bercorak
agama, bukan parpol yang akan membawa perubahan struktur ideologi keagamaan
yang nantinya akan merusak ideologi Al-Khaerat.
Agenda
politik yang lebih besar digaungkan oleh HTI dengan wacana khilafah Islamiyah.
Hingga hari ini mereka masih setia menggemakan wacana ini di seluruh Indonesia.
Salah satu agenda besar HTI pada tahun 2014 adalah kongres Mahasiswa Islam
Indonesia yang akan digelar di 73 Kota di Indonesia dari bulan Oktober-November
2014 dengan tema We Need Khilafah Not Democracy. Salah satu kekuatan
utama HTI memang berasal dari kalangan mahasiswa.
HTI
menawarkan gagasan perubahan sistem dengan berbasis Islam. Khilafah Islamiyah
menjadi sendi gagasannya. Mereka berambisi untuk menggantikan sistem demokrasi
dan sistem ekonomi kapital dengan sistem politik dan ekonomi ala Islam.
Misalnya soal mata uang. HTI sangat aktif mengkampanyekan penggunakan mata uang
emas dan perak (dinar dan dirham). Jenis mata uang ini disempurnakan dengan
sistem ekonomi Islam akan membuat kekayaan masyarakat terjaga dan perekonomian
akan memberikan kesejahteraan dan keadilan. Mata uang ini –menurut HTI-lebih
kuat menahan fluktuasi moneter ketimbang mata uang kertas.
Namun
eksistensi gagasan khilafah ini masih meragukan. Pasalnya, hingga saat ini
gagasan khilafah terlihat hanya sekedar jargon. HTI sepertinya kesulitan untuk
mengimplementasikan gagasannya secara riil. Selama puluhan tahun kehadiran HTI
di Indonesia, kita tidak pernah menemukan gerakan politik yang mengarah pada
implementasi gagasan khilafah. Gerakan HTI hanya mengumpul massa di kalangan
mahasiswa dan membangun diskusi-diskusi ilmiah. Sesekali ikut menyuarakan
gagasan ‘perbaikan’ di jalanan dengan tetap setia dengan jargon khilafah
Islamiyah. HTI sebagai gerakan sosial dan moral memang banyak menarik perhatian
kaum muda Islam tetapi sebagai bagian dari gerakan politik menuju sistem
khilafah, tampaknya masih menempuh jalan yang sangat panjang.
Kesulitan
lain kemungkinan adalah karena gagasan khilafah Islamiyah sendiri sebenarnya
sangat utopis. Azyumardi Azra (2014) misalnya menyebutkan:
Konsep khilafah itu
sendiri sangat problematis dan utopian. Terdapat banyak perbedaan konsep dan
praksis khilafah di antara pemikir Muslim penggagasnya sejak dari Jamaluddin
al-Afgani, Abdulrahman Al-Kawakibi, Abu al A’la al-Mawdudi sampai Taqiuddin
a—Nabahani.
Utopianisme khilafah juga
terletak pada kenyataan bahwa kaum Muslim di berbagai kawasan telah mengadopsi
negara bangsa berdasarkan realitas bangsa dengan tradisi sosial, budaya, dan
agama distingtif; wilayah geografis; dan pengalaman historis berbeda. Karena
itu ‘unifikasi’ seluruh wilayah Dunia Muslim di bawah kekuasaan politik tunggal
adalah angan-angan belaka.
Khilafah dalam
perspektif Azyumardi Azra adalah gagasan yang tidak lagi relevan dengan situasi
global yang cenderung sudah terikat secara permanen dengan sistem
negara-bangsa. Tantangan HTI menjadi sangat besar apabila dia ingin memulainya
dari Indonesia. HTI harus melakukan revolusi besar-besaran. Dan itu sama sekali
tidak mudah kalau tidak ingin menyebutnya mustahil. Selain karena Indonesia
sudah terbentuk dalam model negara bangsa, juga karena masyarakat Indonesia
sudah memiliki pengalaman panjang soal dialektika Islam dan negara.
Pilihan
NKRI adalah pilihan yang juga dilandasi dengan semangat keagamaan. Perdebatan
kaum nasionalis dan kelompok Islam berakhir dengan konsensus NKRI sebagai
bentuk negara dan Pancasila sebagai landasan ideologinya. Artinya, jika HTI
datang dengan konsep khilafah sebagai tawaran dari ajaran Islam, maka itu sudah
terlambat karena Pancasila bagaimana pun juga dibangun dari spirit Islam, bukan
dari spirit nasionalisme atau sekulerisme. KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar
Muzakkir, dan KH. Masjkur adalah tokoh Islam dari NU-Muhammadiyah yang menjadi
aktor dari lahirnya Pancasila bersama dengan tokoh nasionalis lainnya. Jadi,
pendekatan Islam yang menjadi andalan HTI dalam menawarkan khilafah tidak
relevan memengaruhi wacana politik Islamis di Indonesia.
Pilihan
yang tersedia bagi HTI adalah mengubah konsep khilafahnya dari sistem politik
menjadi sistem moral. Artinya, HTI tetap menerima sistem negara bangsa tetapi
melandasinya dengan nilai ke-khalifa-an. Kalau tidak, teriakan khilafah
Islamiyah hanya menjadi ‘angan-angan belaka’ yang tersimpan di ruang kosong di
langit sana dan suatu saat akan kelelahan sendiri. Walau begitu, para aktivis
HTI sangat meyakini kalau khilafah adalah gift dari Tuhan yang akan
diberikan kepada hambanya yang berjuang secara ikhlas. QS. An-Nur; 55 dan bisyarah
hadits Nabi Muhammad tentang kemunculan khilafah ala minhaj nubuwwah menjadi
landasan mereka dalam memperjuangkan keyakinan. Soal ini, waktu akan menentukan
benar atau tidaknya keyakinan kelompok HTI ini.
Berbeda
dengan model gerakan KPPSI dan PKS, gerakan HTI lebih berisfat kultural. HTI
tidak bermain di wilayah politik praktis. HTI menolak bermain politik
konvensional karena menganggap demokrasi (rumah politik domestik) adalah produk
non muslim yang tidak sesuai dengan spirit Islam. Bahkan secara tegas, HTI
menyebutnya demokrasi adalah sistem kafir dan haram menjalankannya.
Fokus
kajian mereka saat ini adalah politik Islam. Dimana-mana, aktivis HTI pasti
bicara tentang Islam kaffah. Islam yang tidak hanya mengurusi soal ibadah
tetapi juga ekonomi, sosial, politik, dan seluruh sendi kehidupan manusia.
Penegakan Islam kaffah hanya bisa dilakukan ketika sistem pemerintahan
yang berkuasa adalah sistem Islam atau sistem khilafah. Dimana umat Islam
berada di bawah satu kekuasaan.
Doktrin
Islam kaffah dengan penegakan khilafah sebagai solusi membuat para
aktivis HTI “memandang sebelah mata” gerakan kelompok revivalis ekonomi Islam
dalam bentuk “ekonomi syariah”. Dalam sebuah seminar bertajuk “Konfrensi
Indonesia Milik Allah” yang dilakukan di Kampus IAIN Kendari (sabtu, 6 Juni
2015), seorang pembicara dari aktivis HTI menyindir gerakan ekonomi syariah,
bank syariah, dan apapun yang berbau syariah sebagai upaya yang gagal.
Bentuk
gerakan parsial seperti itu tidak akan mungkin berhasil karena
pemerintah masih berbentuk negara demokrasi. Oleh karena itu, aktivis HTI pun
cenderung tidak setuju dengan model penerapan Syariat Islam di Aceh. Bukan pada
bentuk penegakannya tetapi pada modelnya yang parsial. Bagi aktivis HTI,
penegakan syariat dalam bentuknya yang parsial tidak bisa membawa perubahan
apa-apa. Islam tidak diturunkan secara parsial tetapi kepada seluruh
umat. Penegakan
khilafah adalah bentuk solusi yang tepat bagi umat Islam di seluruh dunia.
Sistem khilafah akan mewujudkan masyarakat Islam yang kuat baik secara politik
maupun secara ekonomi.
Kritik
terbesar aktivis HTI terhadap Indonesia adalah ketika Indonesia—sebagai
mayoritas Islam meninggalkan sistem politik Islam dan lebih memilih sistem
demokrasi. Bagi mereka, demokrasi yang menekankan pada kedaulatan rakyat
bertentangan (para aktivis HTI di Kendari menggunakan istilah bertabrakan
langsung) dengan akidah Islam. Kedaulatan tidak boleh ditangan manusia tetapi
ditangan Tuhan (melalui syariatnya). Manusia tidak memiliki hak untuk membuat
hukum apalagi bertentangan dengan hukum Allah (wawancara dengan Sf dan Al).
Kegagalan
pancasila di Indonesia—bagi para aktivis HTI-adalah karena sistem
pelaksanaannya yang menggunakan demokrasi. Demokrasi bukan perahu yang tepat
dalam menjalankan nilai Pancasila. Kebebasan dan kesamaan hak semua orang dalam
demokrasi pada gilirannya tidak bisa merefleksi dengan baik nilai-nilai
Pancasila. Nilai Pancasila bagi mereka sudah baik tetapi gagal dalam
implementasi. Salah satu contoh misalnya sila pertama ketuhanan yang maha
esa. Sila ini adalah refleksi dari nilai Islam tentang ketauhidan. Nilai
dari sila ini tidak dapat dapat diwujudkan karena demokrasi memberi kebebasan
kepada siapa saja untuk memilih agama dan beragama sesuai dengan “selera-nya”.
Penerimaan negara terhadap Ahmadiyah (yang dalam perspektif HTI melanggar
akidah Islam) adalah bentuk kegagalan Pancasila (wawancara Sf). Bagi HTI, tidak
ada tempat bagi orang sesat seperti Ahmadiyah. Mereka sudah “merusak” akidah
umat Islam. Dalam sistem khilafah, orang Ahmadiyah terlebih dahulu akan
diberikan dakwah Islam yang benar. Apabila tidak mau berubah, mereka harus
diperangi (wawancara Al).
Demokrasi
adalah produk non-muslim. Sudah seharusnya ditinggalkan dan digantikan dengan
sistem khilafah. Khilafah adalah mandat Islam, kewajiban bagi setiap muslim
untuk menegakkannya. Sikap anti-demokrasi ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk
“perlawanan wacana” tetapi juga dalam tindakan. Seluruh aktivis HTI yang
ditemui mengaku tidak ikut memilih pada pemilu legislatif dan pilpres tahun
2014 lalu. Mereka juga sangat aktif membuat spanduk-spanduk provokatif yang
secara tegas menolak demokrasi.
Sistem
pengkaderan yang intensif membuat para aktivis mahasiswa HTI memiliki
pengetahuan yang baik tentang gagasan khilafah (versi HTI). Mereka dibekali
dengan pengetahuan tentang alasan dibalik runtuhnya dinasti Usmaniyah di Turki
pada tahun 1924. Tudingan mereka terutama pada munculnya Kemal At-Turk yang
dianggap sebagai penghianat Islam. Dia yang meruntuhkan sistem khilafah dan
menggantinya dengan sistem liberal seperti saat ini. Mereka dibekali juga
dengan sebab-sebab kegagalan khilafah Islamiyah. Untuk melawan arus perlawanan
terhadap sistem khilafah, mereka mengajukan satu konsep yang disebut khilafah
ala minhaj Nubuwwah. Sebuah konsep khilafah yang sudah diproyeksi oleh Nabi
Muhammad. Konsep khilafah yang disepakati oleh semua ulama.
Meski
para aktivis HTI yang ditemui tidak menjelaskan secara eksplisit apa yang
dimaksud dengan khilafah ala minhaj nubuwwah tetapi konsep ini cukup
memberi keyakinan kepada mereka kalau sistem khilafah yang diperjuangkan oleh
HTI adalah benar khilafah ala minhaj nubuwwah. Mereka dengan sangat
percaya diri meyakini kalau khilafah dinasti yang runtuh di era
Usmaniyah berbeda dengan khilafah yang ditawarkan oleh HTI. Khilafah ala
minhaj nubuwwah adalah sistem pemerintahan Islam yang sesuai dengan Alquran
sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad (melalui Hadist Riwayat Ahmad).
Oleh karenanya, para aktivis HTI sangat menolak keras ketika mereka dianggap
akan melanjutkan khilafah dinasti. Mereka membayangkan diri sebagai
pelanjut cita-cita khilafah yang dasar-dasarnya diletakkan oleh empat
khalifah pertama (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu
Thalib).
Para
aktivis HTI menyadari dengan baik bahwa teks tentang negara, daulah dan
khilafah tidak terdapat dalam Alquran dan hadits (kecuali HR. Ahmad yang
berbicara tentang khilafah ala minhaj nubuwwah). Ketiadaan teks yang
eksplisit tentang daulah dan khilafah disadari oleh mereka akan menjadi dasar
bagi kelompok luar yang tidak setuju dengan khilafah. Aktivis HTI
menggunakan kaidah ushul fiqhi untuk menguatkan pendapat mereka, ma laa
yatimmu wajibu illa bihi fahuwa waajibun (Sesuatu yang menyebabkan
kewajiban menjadi tidak sempurna kecuali karena dia, dia ikut menjadi wajib).
Kaidah ini digunakan untuk membaca teks-teks hukum dalam Alquran misalnya
kewajiban menegakkan hukum Allah, hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi
pezina dan qishas. Bagi aktivis HTI, penegakan hukum Allah adalah kewajiban
karena diperintahkan oleh Allah melalui Alquran. Kewajiban ini hanya bisa
dilakukan melalui sistem kekuasaan yang disebut khilafah. Karena itulah khilafah
menjadi wajib bersamaan dengan kewajiban menegakkan hukum Allah.
Untuk
sampai pada cita-cita penegakan khilafah, HTI menyiapkan tiga langkah besar. Pertama
tasqif (pembinaan atau pembasisan). Pada langkah ini, produk pemikiran
politik Syekh Taqiuddin Nabahani tampaknya menjadi rujukan wajib bagi setiap
kader HTI. 16 jilid buku politik Syekh Taqiuddin Nabahani harus dipahami oleh
setiap anggota atau kader HTI. Proses indoktrinasi dalam tradisi HTI dimulai
dengan mengajarkan buku nidzamul Islam (peraturan hidup dalam Islam).
Buku ini adalah buku pertama yang wajib ditelaah oleh seorang calon kader HTI.
Lalu dilanjutkan pada buku kedua (pembentukan partai politik), buku ketiga
(daulah Islamiyah) dan seterusnya. Sistem halaqah terbatas yang
dilakukan di kampus adalah bentuk pembasisan dan tempat HTI mendapatkan kader.
Organisasi Gema (Gerakan Mahasiswa) Pembebasan tidak cukup kuat mendukung
suplai kader ke organisasi HTI.
Kedua,
tafaul maa ummah (bersosialisasi bersama umat). Salah seorang
aktivis HTI mengakui kalau sekarang di Kendari sudah masuk pada tahap kedua
ini. Mereka aktif mengkampanyekan gagasannya di kampus melalui buletin,
pamflet, dan seminar-seminar. Tujuannya adalah agar semua umat Islam di
Indonesia pada umumnya bisa menerima dengan baik gagasan HTI tentang perlunya
penegakan khilafah.
Ketiga,
penyerahan kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuatan. Tahapan ini
adalah tahapan nasional (bahkan universal). Praktik ini tidak ditemukan dalam
kasus Kendari. Tahapan ini mengandaikan, kekuatan publik terhadap dukungan ide
khilafah telah besar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar