HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kekerasan atasnama agama
di Sulawesi Tengah sangat identik dengan konflik Poso. Semua pembacaan
radikalisme agama mengarah ke Poso sebagai titik sentralnya dan rangkaian
kekerasan yang terjadi berkaitan dengan Poso. Masih bertahannya Santoso dan MIT
(Mujahidin Indonesia Timur)- nya membuat seluruh
kekerasan dari milisi sipil
dikaitkan dengan gerakan Santoso. Di luar itu, kita tidak menemukan kekerasan
atas nama agama. FPI memang ada tetapi mereka tidak segarang dengan FPI di kota
lain. FPI di Palu merekrut pemuda-pemuda Al-Khaerat dan karenanya diyakini
tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang brutal.
Konflik
Poso merupakan peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di Sulawesi Tengah.
Tidak pernah ada yang membayangkan peristiwa seperti itu akan terjadi. Sulawesi
Tengah sendiri tidak punya sejarah kekerasan komunal. Ikatan nilai sintuwu
maroso benar-benar menjadi jembatan nilai yang menghubungkan seluruh elemen
sosial dalam bingkai yang harmonis. Sebelum konflik, Poso dianggap sebagai
wilayah yang menyenangkan, damai, dengan panorama alam yang sangat menawan.
Citra itu tiba-tiba berubah ketika terjadi konflik komunal di tahun 1998.
Konflik yang bermula dari pertikaian dua orang berbeda identitas keagamaan
tiba-tiba meledak menjadi rusuh sosial. Eskalasinya berubah menjadi konflik
agama, Islam dan Kristen.
Puncak
konflik Poso terjadi pada tahun 2000. Ada ribuan orang meninggal dunia dari kedua
belah pihak. Konflik ini menjadi semakin massif karena melibatkan milisi dari
dua kelompok agama. Milisi Islam seperti kelompok lasykar jihad dan milisi
Kristen yang dipimpin oleh Tibo cs menjadi aktor yang mengobarkan semangat
perjuangan antar kelompok. Kehadiran ‘orang luar’ dari dua entitas agama inilah
yang menyebabkan konflik Poso menjadi berlarut-larut. Kedatangan lasykar Jihad
ke Poso dilandasi oleh semangat solidaritas sesama muslim. Mereka memandang
bahwa konflik Poso adalah konflik agama, sebagaimana petikan tulisan di bawah
ini:
Dari berbagai bukti dan
kesaksian sudah saatnya untuk tidak lagi menutupi kasus di Poso sebagai kasus
yang kental beraroma agama. Sejujurnya nurani kita akan mengatakan, bahwa
prahara di Poso telah menyeret masyarakat ke dalam dua kutub: Islam vs Kristen.
Tak hanya masyarakat sipil, kalangan aparat pun terseret pula dalam konflik
ini. Kecurigaan terhadap keterlibatan oknum aparat Kodim Poso dalam pembantaian
di Kilo Sembilan dan rumor delapan anggota Kostrad beragama Kristen yang
desersi dengan membawa senjata organiknya, mengindikasikan betapa kasus ini
merupakan pertentangan dua kelompok umat beragama.
Menutupi kasus ini
sebagai bukan konflik agama, berarti berupaya membodohi masyarakat dan coba
mengelabui masyarakat yang secara langsung tertimpa konflik tersebut. Selain
itu, tidak terbukanya beberapa kalangan untuk mengatakan bahwa konflik di Poso
adalah konflik agama, menunjukkan betapa paradigma lama masih kental menggayuti
benak pihak-pihak tertentu. Ini tentu akan lebih menyulitkan untuk mencari akar
masalah sebenarnya dan mencari solusi yang tepat bagi penyelesaian konflik itu
sendiri.
Tepat apa yang dikatakan
Wakil Ketua DPRD Tk. I Sulteng dari Fraksi TNI/Polri, Kolonel (inf) Muchlis
Agung, Msi., bahwa konflik Poso adalah konflik agama. Pernyataan yang
disampaikan pada saat dengar pendapat antara pihak pemerintah daerah dengan
anggota dewan, Senin (16/7/2001), merupakan pernyataan jujur yang selaras
tarikan nafas masyarakat. Bisa saja sebagian orang berpendapat bahwa peristiwa
Poso lantaran dipicu oleh berbagai sebab. Entah diawali oleh pertentangan dua
anak muda. Gara-gara obeng kemudian terjadi peristiwa yang tak diinginkan.
Boleh juga dikatakan awal konflik ini disebabkan kecemburuan pihak tertentu
karena tak mendapat jatah kursi jabatan di tingkat pemerintah daerah.Sekali
lagi, itu hanya percikan atau pemicu awal. Adapun sebab laten yang selama ini
mengintai masyarakat Kabupaten Poso, bahkan masyarakat di kabupaten lainnya di
Indonesia ini, tak pernah dicermati. Penyebab laten itu adalah sikap ambisi
dari kalangan misionaris untuk melakukan pemurtadan terhadap umat Islam. Di
beberapa wilayah proses kristenisasi itu masih dalam taraf pendekatan sosio-kultural,
tanpa kekerasan fisik (termasuk dalam proses in adalah menguasai
potensi-potensi birokrasi di daerah). Tapi dalam batas tertentu di daerah yang
telah dianggap kuat, proses kristenisasi itu berlangsung secara fisik. (Ayip
Syafruddin, 2001; Mengapa Lasykar Jihad datang ke Poso?).
Lasykar Jihad
melalui petikan tulisan Ayip Syafruddin (Wakil Panglima Lasykar Jihad) diatas-
dengan jelas membangun konstruksi perang agama dan kristenisasi sebagai
pembenaran kehadiran mereka di Poso. Fakta yang terjadi memang menunjukkan
adanya pola yang sangat jelas, bahwa yang sedang bermusuhan adalah dua entitas
kelompok agama yang berbeda, Islam dan Kristen. Pola ini digunakan oleh Lasykar
Jihad untuk “membenarkan” kehadiran mereka di Poso. Lasykar Jihad mengabaikan
analisis non-religius dalam melihat konflik Poso.5 Bahkan mereka mengkritik
5 Lasykar Jihad
bukan satu-satunya milisi sipil muslim yang bergerak di Poso. Ada beberapa
group milisi sipil muslim lain seperti Lasykar Mujahidin, yang juga terlibat
dalam konflik Ambon. Mereka membentuk beberapa faksi seperti Lasykar Jundullah,
Lasykar Hizbullah, dan Front Perjuangan Umat Islam Poso. Mereka berhasil
merekrut anak muda Poso sebagai jihadis. Sisa-sisa
wacana yang
menghindarkan konflik Poso dari pembacaan konflik agama. Mengapa? Tentu saja
karena Lasykar Jihad memiliki agenda keislaman yang lebih ketat dibandingkan
agenda nasional. Mereka membutuhkan legitimasi wacana untuk membenarkan
kehadiran mereka.
Padahal,
membaca kasus Poso tidak sesederhana yang dibayangkan oleh lasykar Jihad.
Konflik Poso muncul dari percampuran antara pengaturan ekonomi, politik, dan
agama yang gagal. Disparitas ekonomi dan politik menjadi latar utama dan
identitas agama adalah panggungnya. Tentu saja konflik agama tidak bisa
diabaikan begitu saja. Bagaimana pun juga, setting konflik ini
terdesaian dalam pola agama dan juga demografis, lokal dan pendatang. Tetapi
kehadiran para milisi sipil baik dari Islam maupun Kristen membuat konflik Poso
terlihat sebagai perang agama belaka.
Bisa
dikatakan, kehadiran para milisi sipil ini yang membuat eskalasi konflik
semakin meluas. Tentu bukan hanya dari sisi umat Islam, milisi sipil yang
muncul dari Kristen seperti Barigade Manguni jelas berangkat dari perspektif yang
sama. Mereka orang luar yang memahami dan mereduksi konflik komunal ke dalam
satu perspektif saja, agama! Mereka datang untuk membela sesamanya dan membunuh
orang
kelompok ini sekarang menjadi bagian
dari MIT-nya Santoso. Sedangkan dari pihak Kristen, selain Barigade Manguni ada
pula milisi sipil yang dikenal dengan nama Lasykar Kristus yang terbagi dalam
pasukan macan dn pasukan kelelawar. Ada juga Ansimar (Anak Muda Sintuwu
Maroso).
pendeta menjadi sasaran
simbolik untuk ‘memelihara’ dan membenarkan perspektif mereka tentang perang
agama ini. yang dianggap berbeda. Pesantren, masjid, kyai, gereja,
Efek
buruk dari konflik Poso hingga saat ini adalah tetap lestarinya milisi sipil
khususnya dari kalangan Islam dengan munculnya MIT (Mujahidin Indonesia Timur)
pimpinan Santoso. Siapa Santoso? Ada dua versi yang ditemukan. Salah satu
sumber menyebutkan kalau Santoso adalah orang Poso. Dulu bekerja sebagai
penjual buku-buku agama di Poso. Ia adalah salah seorang rekrutan milisi sipil
yang ada di Poso yang dikenal dengan istilah ‘anak bebek’. Ketika Poso masih
membara ada ratusan remaja muslim Poso yang menjadi ‘anak bebek’. Mereka
bergabung dengan milisi sipil dengan berbagai motif. Motif yang terbesar adalah
balas dendam karena kerabat mereka terbunuh dalam tragedi Poso. Ada juga karena
terdesak oleh keadaan dan tidak bisa menghindar dari konflik.6 Santoso menghilang
beberapa tahun kemudian muncul dan menjadikan penembakan polisi di depan Kantor
BCA tahun 2011 di Palu sebagai percobaan pertama. Sejak
6
Salah seorang mantan pelaku konflik Poso, Rafiq Syamsuddin mengakui kalau dia
menjadi milisi sipil karena terdesak oleh kondisi. Dia tidak punya pilihan lain
selain ikut berjuang bersama lasykar yang ada. Saat itu, dia menjadi perakit
bom. Setelah keluar dari penjara tahun 2006, dia menginisiasi pembentukan Radio
perdamaian yang dikenal dengan nama Radio Matahari (dikutip dari jppn.com).
itulah, Santoso
menjadi buron pihak kepolisian (wawancara dengan RS, seorang wartawan media
nasional).
Sumber
lain menyebutkan kalau Santoso adalah orang Jawa yang merupakan generasi
pertama dari jaringan kelompok lama dari sel Abu Umar dan Noordin M. Top.
Peranannya dalam jaring kelompok teroris adalah sebagai pemimpin dan instruktur
dalam pelatihan paramiliter di beberapa daerah, termasuk pelatihan kelompok
Farhan di jalur pendakian Gunung Merbabu Jawa Tengah. Saat ini MIT merupakan
sentral dari gerakan jaringan kelompok teroris di Indonesia. Hampir semua
gerakan teroris merupakan jaringan pendukung MIT. Selain di Poso jaringan MIT
tersebar di Jawa, Sumatera dan NTB, sehingga menjadikan MIT sebagai pengganti
pemegang kendali perjuangan yang sebelumnya didominasi jaringan Solo (Fajar
Purwadidada, 2014).
MIT
adalah anak kandung dari konflik Poso. Spirit konflik Poso menyebabkan wilayah
ini dijadikan sebagai sentral perjuangan kaum jihadis pasca konflik komunal.
Santoso yang sebelumnya bukan siapa-siapa berhasil mengkonsolidasi perjuangan
kaum jihadis untuk tetap melakukan perlawanan khususnya kepada Densus 88.
Setelah beberapa gembong konflik dari dua pihak sudah ditangkap dan diadili,
konflik Poso mulai mereda. Konflik komunal pelan-pelan menurun. Tetapi, hal itu
tidak menyurutkan semangat jihadis dari MIT untuk tetap eksis. Hutan Poso yang
lebat menjadi tempat yang sangat tepat untuk melakukan taktik gerilya. Sesekali
keluar melakukan teror lalu berlari ke hutan untuk berlindung. Seperti yang
ditulis oleh Fajar Purwadidada (2014):
Sejarah konflik komunal
menjadikan Poso sebagai tempat strategis bagi para teroris untuk mengembangkan
jaringannya. Perkembangan teroris di kota Poso sangat besar karena didukung
oleh berbagai macam komponen sehingga jaringan teroris di Poso ini semakin lama
semakin kuat. Poso di jadikan pusat gerakan karena memiliki medan yang sangat
mendukung untuk dijadikan tempat pelatihan. Banyak wilayah pegunungan, lembah
dan hutan yang strategis untuk latihan dan persembunyian. Poso dijadikan
sebagai “tanah suci” atau “tanah jihad” bagi kelompok teroris. Anggota teroris
belum dikatakan berjihad kalau belum menginjakkan kakinya di tanah Poso.
Keberadaan mereka di Poso dapat bertahan lama sejak dari konflik hingga kini.
Pada masa konflik umat Muslim banyak dibantu oleh pejuang Muslim (Mujahidin)
yang berasal dari luar untuk memerangi musuh mereka (Nasrani). Kemudian pejuang
Muslim yang berasal dari wilayah luar Poso tersebut dianggap sebagai pahlawan
oleh para kelompok Muslim di Poso. Hal itu yang dimanfaatkan oleh para teroris
untuk menjadikan Poso sebagai “tanah suci” atau tanah idaman mereka dalam
melakukan doktrin jihad. Selain itu di Poso masih banyak senior-senior jihadis
yang dianggap memiliki pengalaman-pengalaman, seperti merakit bom dan membuat
senjata.
MIT menjadikan
pihak kepolisian –khususnya Densus 88- sebagai musuh utama. Biasanya teror yang
mereka lakukan berkaitan dengan penangkapan atau pembunuhan anggota kelompok
mereka oleh Densus 88. Pembunuhan Fadli misalnya sebagai bentuk balas dendam
terhadap kematian dua orang rekan mereka sebelumnya. Fadli dianggap sebagai
orang yang mensuplai informasi kepada Densus 88 sehingga dua orang anggota MIT
itu tertembak.
Genderang
perang terhadap Densus 88 sudah mulai dikumandangkan oleh Santoso sejak tahun
2013. Diawali dari kematian seorang anggota MIT yang bernama Nrudin di Poso
pada bulan Juli 2013. Melalui video yang diunggah di You Tube, Santoso dengan
terang benderang menantang Densus 88 dan mengobarkan semangat perlawanan
terhadap Densus. Pesan itu berbunyi:
Antum (kalian) tidak
perlu ragu ketika menghadapi Densus 88. Antum harus semangat... Antum telah
merasakan bagaimana jahatnya Densus 88 kepada umatnya. Antum tahu Densus 88
membantai saudara-saudara kita di Sulawesi”.
Memang, ada sisi
baik dari konflik antara MIT-Densus 88. Masyarakat umum tidak lagi mudah
terjebak dalam konflik komunal. Seluruh gerakan teror yang dilakukan oleh MIT
tidak berhasil memancing reaksi publik karena publik sadar kalau MIT sedang
membidik Densus 88. Artinya, sudah terjadi pergeseran wacana konflik.
Masyarakat umum Poso baik Islam maupun Kristen tidak mudah lagi terjebak dalam
upaya ‘memancing konflik’ yang dilakukan oleh kelompok MIT.
Akan
tetapi kehadiran Santoso dan MIT-nya akan membuat suasana terus menerus dalam
situasi yang tidak kondusif, dan pada titik tertentu mudah memancing konflik baru.
Gerakan bawah tanah terorisme pimpinan Santoso atau MIT (Mujahidin Indonesia
Timur) yang sewaktu-waktu muncul dan ‘menggoda’ ketahanan kultural masyarakat
Sulawesi Tengah. Kampanye Santoso yang memberi efek kejut dengan menyerang pos
polisi secara gradual terjadi sejak tahun 2011 sampai Oktober 2014. Para pelaku
kekerasan bersenjata di Poso masih muncul. Misalnya pembunuhan seorang petani
bernama Fadli di Poso di halaman rumahnya dilakukan oleh sekelompok orang
bersenjata api laras panjang dan berbaju loreng dengan cara yang sadis, dengan
kepala yang hampir putus karena digorok. Kelompok MIT mengakui aksi pembunuhan
terhadap Fadli adalah bagian dari “kerja” mereka. Fadli dibunuh sebagai aksi
balasan atas terbunuhnya rekan mereka Akhi Fani dan Akhi Handzollah Abu Ayman
oleh Densus 88. Fadli menjadi sasaran mereka karena Fadli adalah informan
Densus 88.7 Dalam
rilis sebuah situs internet, pihak MIT menyatakan:
7
Sekelumit fakta penting publik perlu tahu; Fadli, Handzalah(Hendro) dan Fani
plus Evan (Ipar dari Fadli) adalah satu grup. Pada awalnya mereka dalam
lingkaran MIT, dan Fani seorang tukang kayu yang tinggalnya di lorong jati
tewas bersama Hendro (Handzalah) saat kontak penggrebekan yang dilakukan oleh
Densus 88 di Taunca Poso beberapa bulan lalu. Peran Fani adalah kurir, berbeda
dengan Handzalah yang berperan ganda sebagai kurir dan menangangi urusan
propaganda (IT). Berbeda nasibnya dengan Fadli, Evan sampai kini lenyap tanpa
jejak disinyalir ada yang mengamankan. Tapi tidak untuk Fadli, ia sempat
ditangkap oleh Densus-88 kemudian dilepas dan disinyalir dijadikan sebagai
“panah” pihak Densus-88 dengan sejumlah kompensasi (uang). Dari hasil
penggalangan terhadap Fadli inilah pihak Bersama pernyataan ini,
kami menyampaikan bahwa kami telah menyembelih seorang warga desa Padang
Lembara, yaitu Fadli dengan izin Allah. Dikarenakan perbuatan kafirnya yaitu
memberikan informasi yang mengarahkan Densus 88 laknatullah ‘alaihim pada
penyerangan terhadap Ikhwah kami. Yang menyebabkan terbunuhnya dua Ikhwah
diantara Mujahid terbaik yang dimiliki ummat ini, Akhi Fani dan Akhi Handzolah
Abu Ayman, taqabbalahumaallah.
Agar menjadi peringatan
pada setiap penduduk dan masyarakat yang mengaku sipil. Agar menjadi peringatan
pada setiap agen-agen penjahat yang mengaku muslim. Agar menjadi peringatan
pada setiap orang yang memilih bergabung bersama barisan Densus 88 laknatullah
‘alaihim. Bahwa darah saudara kami tidak akan mengalir sia-sia.
Kepada masyarakat yang
selama ini telah terlibat aktif membantu Densus 88 laknatullah’alaihim dalam
memerangi kami, baik dengan memberikan informasi, menjadi penunjuk jalan
mereka, menyebarkan issu, dan segala bentuk kerjasama lainnya, kami himbau dan
peringatkan dengan tegas agar bertaubat dan berhenti dari kemurtadan tersebut.
Sesungguhnya mereka
(Densus 88) pasti menawarkan kepada kalian imbalan harta dunia, sekeping harta
dunia, maka fikirkanlah baik baik sebelum menerimanya. Fikirkanlah anak
Densus-88 bisa menjejak posisi Hendro dan Fani saat di Taucan Poso.
Inilah alasan utama kenapa Fadli jadi target kelompok MIT dibawah komandan
Santoso dan supervisernya Daeng Koro (disertir Kostrad). Fadli dicap sebagai
pengkhianat dan bekerja untuk aparat Densus-88. – dikutip dari makalah Harits
Abu Ulya, IS-ISIS dan Terorisme menyandera Poso (Arrahmah. Com, diakses tanggal
06 Oktober 2014).istrikalian
yang akan menjanda, fikirkanlah kebun kalian yang akan terbengkalai dan yang
terpenting fikirkanlah ancaman Allah di NerakaJahannam selamanya. Karena kami
akan datang untuk menyembelih kalian, menyembelih kalian!!!!!
anak
kalian yang akan terlantar menjadi yatim, fikirkanlah istri Peperangan
ini masih antara kami dengan ujung tombak Pemerintah Murtad Densus 88
laknatullah ‘alaihim. Maka menjauhlah dan hendaknya setiap orang yang tidak
terlibat tidak perlu melibatkan diri.
Semoga peringatan ini
dapat dimengerti oleh setiap orang dan sesungguhnya peringatan itu bermanfaat
bagi orang orang yang mau berfikir.
Wassalamu’alaikum Wa
Rahmatullah Wa Barakatuh
Camp Handzalah AsSyahid
Padang Lembara, 19
sepetember 2014
(Dikutip dari
Arrahmah.com, Jumat 19 September 2014).
Kehadiran MIT yang
secara terang benderang melakukan ‘perang’ terbuka dengan Densus 88 menjadikan
Poso dan Sulawesi Tengah secara umum selalu berpotensi konflik. Masa depan
perdamaian yang diimpikan sebagian besar masyarakat Poso akan selalu terganggu
dengan konflik ‘permanen’ antara MIT dan Densus 88. Artinya, dengan masih
adanya kelompok MIT, Poso akan selalu masuk dalam ancaman konflik.
Ketidakmampuan pihak kepolisian dalam hal ini Densus 88 membekuk Santoso dan
melumpuhkan gerakan MIT menjadi faktor penting bagi masa depan gerakan
terorisme di sana.
Kematian
Santoso menjadi titik baru gerakan radikalisme agama di Sulawesi Tengah.
Keberhasilan Pasukan gabungan TNI-POLRI dalam melumpuhkan gerakan gerilya
Santoso dengan pasukan MIT (Majelis Indonesia Timur) menjadi harapan atas
mengikisnya gerakan terorisme di Sulawesi Tengah. Memang, harus diakui bahwa
tidak semua anggota pasukan Santoso tertangkap atau menyerah. Artinya, bibit
gerakan MIT belum sepenuhnya bisa dikatakan habis. Namun, melihat lemahnya
kekuatan pasukan MIT pasca kematian Santoso bisa dikatakan kekuatan gerakan ini
sudah tidak lagi mengkhawatirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar