HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Adegan pembuka film
Robocop 2014 yang berlatar suatu tempat di Kota Teheran menggambarkan satu
kelompok jaringan teroris berwajah Timur Tengah yang secara sengaja melakukan
bom bunuh diri dengan menyerang polisi robot yang sedang berpatroli agar dapat
diliput oleh media massa. “Tujuan kita bukan untuk membunuh mereka. Tujuan kita
mati di depan televisi”, “Jangan bergerak sebelum aku perintahkan. Aku harus
pastikan mereka merekamnya!”. Kalimat itu diucapkan oleh Arash pimpinan teroris
sebelum mereka melakukan aksi. Robot pertama yang diserang adalah robot yang
sedang direkam oleh kamera.
Pesan
dari adegan pembuka film ini adalah media massa—khususnya televisi- menjadi
instrumen yang sangat penting tidak hanya bagi negara, publik tetapi juga
pelaku terorisme. Bagi para teroris, media massa menjadi tempat untuk
menjelaskan kepada dunia bahwa mereka masih ada, tidak habis. Para martir yang
siap mati selalu ready stock. Media menjadi arena para teroris memainkan
‘politik penghadiran’ untuk dua kepentingan, memancing amarah publik internasional
dan memancing solidaritas baru dari kelompok Islamis radikal yang tersebar di
seluruh dunia. Ini terlihat dari meningkatnya dukungan pemuda Eropa terhadap
gerakan ISIS. “Orang-orang menonton insiden di Suriah dari televisi. Mereka
menyaksikan tangisan perempuan dan anak-anak untuk membantu. Kami baru saja
mengalami hal ini di Gaza. Perasaan ketidakadilan di Timur Tengah mempengaruhi
pemuda di Eropa secara negatif,” kata Dr Omer El-Hamdoon, presiden Asosiasi
Muslim Inggris (dikutip dari World Bulletin). Media telah berhasil
membangkitkan semangat solidaritas seagama yang kuat. Munculnya milisi sipil
dari Indonesia yang bergabung dengan gerakan muslim Afganistan, Al-Qiyadah,
Palestina, dan Moro di Filipina Selatan adalah bagian dari ekspresi solidaritas
yang dipicu dari pemberitaan media massa. Reaksi demonstrasi pembakaran bendera
Yahudi setiap kali terjadi perang di Palestina adalah efek instan dari
pemberitaan media massa. Tentu saja ada efek yang baik, misalnya dengan munculnya
sukarelawan seperti MER-C yang bekerja untuk kepentingan kemanusiaan. Kelompok
ini selain bekerja untuk kesehatan, sesekali mereka menjadi pioner perdamaian.
Menariknya, karena kelompok relawan ini tidak bekerja untuk kepentingan
ideologi dan agama tertentu tetapi untuk misi kesehatan dan kemanusiaan.
Karenanya, kelompok relawan seperti ini muncul tidak hanya dari umat Islam
tetapi juga umat Kristen. Artinya, solidaritas Palestina tidak melulu dirasakan
dan diaktualisasikan oleh umat Islam. Kita tentu tidak lupa aksi Cristiano
Ronaldo yang menolak menukar kaos bajunya dengan pemain Israil sebagai bagian
dari solidaritas simbolik terhadap Palestina, termasuk ketika dia mendonasikan
sebagian gajinya untuk anak-anak Palestina.
Pola
pemanfaatan media sudah menjadi trend gerakan Islamis radikal di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Media yang menjadi favorit kelompok teroris saat ini
adalah media You Tube. Misalnya video detik-detik eksekusi para sandera
oleh algojo ISIS setiap mengeksekusi wartawan atau aktivis kemanusiaan dari
Amerika dan Eropa. Setidaknya sudah ada empat orang sandera yang dieksekusi dan
disebarkan melalui media you tube. Pesannya jelas; perlawanan terhadap Amerika
dan sekutu Eropa-nya! ISIS juga sangat rajin mengunggah semangat perlawanan dan
solidaritas sesama muslim dengan meredusir beberapa firman Tuhan. Mereka dengan
sangat intens melakukan propaganda melalui media Youtube kepada pemuda Eropa.
Kelompok teroris lokal seperti MIT pun sering menggunakan media serupa untuk
memberi seruan kepada umat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap terorisme.
Media ini menjadi sangat efektif karena bersifat personal. Dimanapun dan
kapanpun bisa mengakses dan mengunggah.
Pun,
popularitas ISIS di Indonesia dimulai dari media You Tube. Sebagian besar
masyarakat Indonesia mulai aware dengan ISIS ketika media nasional
memberitakan seorang lelaki bernama Abu Muhammad al-Indonesia dikelilingi
beberapa orang berwajah Melayu bersenjata lengkap mengunggah video di You
Tube pasca Idul Fitri tahun 2014 lalu yang isinya mengajak seluruh muslim
untuk bergabung dengan gerakan jihad ISIS. Sejak itu, perbincangan tentang ISIS
mulai menjadi perbincangan nasional dan dengan cepat menjadi idiom publik.
Kehadiran
media massa baik nasional maupun lokal atau media sosial yang sedang trend sangat
penting. Media memberi kesadaran kepada warga untuk selalu ‘terjaga’, bahwa
gerakan terorisme masih ada dan aktif. Informasi yang disuguhkan kepada
masyarakat menjadi hal yang penting. Pemberitaan media massa tentang ISIS
menimbulkan efek resistensi yang besar di Indonesia. Publik di beberapa tempat
melakukan perlawanan secara simbolik terhadap ISIS baik dengan cara menghapus
grafiti ISIS di Solo, Jawa Tengah hingga deklarasi penolakan ISIS di beberapa
wilayah. Artinya, media berhasil membangun kesadaran untuk melakukan perlawanan
terhadap gejala terorisme.
Tentu
harus dengan frekwensi yang lebih proporsional. Pemberitaan yang terlalu besar
dan terlalu intensif justeru melahirkan anomali bagi masyarakat khususnya
masyarakat luar. Para pengguna dan pembaca media di luar Sulawesi Tengah
misalnya membangun perspektif berdasarkan informasi yang diterima dan lalu
memberi kesan yang spesifik dan simplistik. Poso bagi masyarakat luar sangat
menakutkan. Tentu saja ini berbeda dengan masyarakat yang setiap hari ada di
Poso. Bagi mereka, Poso tetaplah kampung yang indah, meski pernah menyimpan
luka kemanusiaan yang mendalam. Logika itu juga terjadi ketika media massa
setiap hari memotret peristiwa demonstrasi mahasiswa Makassar yang selalu
berakhir anarkis memberi kesan yang spesifik terhadap mahasiswa Makassar dan
dikaitkan dengan budaya Makassar yang dikesankan sangat maskulin. Padahal, bagi
warga Makassar, fenomena itu sangat kecil dan tidak mempengaruhi rasa keamanan
atau kenyamanan menjadi warga Makassar.
Di
Sulawesi Tengah, media lokal Radar Sulteng sangat aktif memberitakan peristiwa
terorisme setiap hari sejak tanggal 11 September-19 September 2014. Bersamaan
dengan tragedi 9/11 tahun 2001, Radar Sulteng memuat artikel berjudul Terorisme
tidak punya tempat dalam Islam. Isinya mereproduksi keyakinan sebagian
besar warga muslim Indonesia bahwa terorisme bukan bagian dari ajaran Islam.
Merespon kedatangan Toni Blair ke Indonesia, Radar Sulteng menurunkan dua
berita terkait yaitu, SBY Bahas ISIS dengan Tony Blair dan TNI Akan
Turun Ke Pesantren dan Sekolah Cegah Merembetnya Paham ISIS.
Peristiwa
penangkapan tujuh orang yang terduga teroris di Parimo pada menjadi berita
utama di halaman depan Radar Sulteng selama lima hari berturut-turut. Berita
yang dimaksud yaitu Densus Tangkap WNA Asal Turki (14/9), Dicurigai Terlibat
Kelompok MIT, Tujuh Orang yang diamankan Densus di Desa Marantele (15/9),
Densus Geledah Kos-Kosan di Jalan Tangkasi, Ditemukan GPS dan Peta dalam Tas
Rombongan WNA yang ditangkap di Parimo, Bekuk Terduga Teroris Internasional,
Polres Palu Tingkatkan Keamanan Pasca Penangkapan WNA di Parimo (16/9), Polri
Masih terus mendalami WNA (17/9), Polisi Ungkap Penggalang Dana satu dari lima
warga yang diamankan Densus (18/9).
Radar
Sulteng dalam kurun waktu itu juga sering mereproduksi berita internasional
yang memang disediakan di rubrik internasional seperti Jerman Melarang
Pemajangan Simbol ISIS, 10 Negara Arab Siap Gabung Perangi IS (14/9), Jihadi
Jhon Memenggal Lagi (16/9), 40 Negara Bersatu Menyerang ISIS (17/9), AS
Bombardir Sarang ISIS (18/9), Video ke-4, ISIS mendadak lunak (21/9).
Berita-berita
Radar Sulteng yang terkait dengan jaringan teroris yang tertangkap di Parimo
dan di rumah kontrakan kota Palu diproduksi dengan menggunakan perspektif ‘kepolisian’.
Radar Sulteng memosisikan diri sebagai penyambung lidah pihak kepolisian.
Karenanya, judul berita ditampilkan dengan aktor utama pihak kepolisian. Kita
tidak menemukan berita yang mengeksplorasi atau menganalisis siapa tiga orang
WNI itu. Informasi yang didapatkan memang tidak banyak. Selain karena ketiga
WNI itu masih berada dalam penahanan pihak kepolisian dan belum didampingi
pengacara. Sehingga akses media ke subyek terduga masih tertutup. Pihak
keluarga pun enggan memberi keterangan lebih banyak karena masih sangat trauma
dan tidak percaya. Keterangan tentang S hanya bisa ditemukan dari koleganya di
SLB Negeri Batia, Palu. Informasi ini diselipkan di dalam berita yang berjudul Polisi
Ungkap Penggalang Dana satu dari lima warga yang diamankan Densus (18/9).
Yang
menarik adalah penggunaan idiom penyebutan kelompok itu. Radar Sulteng tidak
sekalipun menggunakan term ISIS di judul beritanya. Istilah yang digunakan
hanya dua yaitu “teroris internasional” dan “jaringan MIT (Mujahidin Indonesia
Timur)”. MIT adalah organisasi sayap radikal yang dipimpin Santoso. Berita
pertama yang diturunkan pasca tertangkapnya tujuh orang terduga teroris hanya
menyebutkan “WNA Turki” tanpa embel apa-apa. Bandingkan media elektronik
nasional yang langsung menggunakan idiom ISIS ketika menyiarkan penangkapan
tujuh orang tersebut di running text meski belakangan idiom ISIS semakin hilang
digantikan dengan idiom “teroris”. TV One misalnya menggunakan secara jelas
idiom ISIS dengan menulis berita “7 orang diduga anggota ISIS tertangkap oleh
Densus 88 di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah” di running text di salah
satu program berita pagi-nya, pada hari Sabtu 13/9.
Media
lokal tampaknya cukup hati-hati karena pemeriksaan WNA itu memang tidak
dilakukan di Polda Sulteng melainkan di Mako Brimob Kelapa Dua Jakarta. Ini
juga dipengaruhi oleh sikap kepolisian lokal yang juga hati-hati mengaitkan
ketujuh orang tersebut dengan jaringan ISIS. Perhatikan petikan berita berikut:
Disinggung keterlibatan
mereka dengan ISIS, (Plh. Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP) Utoro (Saputro)
kembali menegaskan bahwa pihak kepolisian masih terus melakukan pendalaman
terhadap para terduga tersebut. Termasuk 4 orang WNA. Karena pada saat
diamankan petugas tidak menemukan senpi (senjata api –pen) maupun
lambang-lambang maupun adanya bendera bergambar ISIS dari mobil yang digunakan
para terduga ini (Radar Sulteng, 15/9).
Media
lokal sepertinya tidak terlalu meyakini keterkaitan antara ISIS dan tujuh orang
yang tertangkap itu karena lemahnya indikasi ke arah sana. Tidak ada satupun
barang bukti yang berkaitan dengan simbol ISIS ditemukan di mobil yang
ditumpangi oleh para terduga. Media lokal di Sulteng hanya ‘menemukan’
keterkaitan yang erat dengan MIT-nya Santoso. Selain karena tujuh orang yang
ditangkap itu memang sedang menuju Poso (tempat Santoso) juga karena S (salah
seorang WNI yang tertangkap) adalah orang yang diduga pernah menyembunyikan
Mokhtar (DPO Poso) dan A yang tertangkap di rumah kontrakannya adalah pencari
logistik untuk Santoso.
Frame
berbeda ditunjukkan oleh media berskala nasional. Meski belum mendapatkan
penjelasan yang proporsional tentang keterkaitan para WNI dan empat WNA
tersebut dengan ISIS, tetapi mereka sudah memasang istilah ISIS di judul
beritanya, misalnya media online Tempo.co yang menurunkan berita: Terduga
anggota ISIS pernah Nyantri di Tebuireng (17/9), Liputan6.com menurunkan
berita: 4 orang terduga ISIS di Palu diduga kelompok Teroris Santoso (17/9).
Berita Kompas.com juga menurunkan berita: Satu WNI Terduga ISIS di Poso
Jebolan Pesantren Keluarga Gus Dur.
Harian
media nasional yang terlalu cepat menuding keterlibatan jaringan teroris yang
tertangkap itu memang patut dipertanyakan. Pasalnya, penjelasan tentang ini
tidak memiliki argumentasi yang kuat, misalnya berita Liputan6. com sebagai
berikut:
Tim Densus 88 Antiteror
juga menggeledah kontrakan yang ditempati terduga anggota Islamic State of Iraq
and Syria (ISIS), di1lawesi Tengah, Sabtu 13 September 2014 lalu. (Liputan6
News 16/9).
Konstruksi berita
yang ditampilkan sama sekali tidak memuat argumen yang memadai tentang
keterkaitan WNI yang tertangkap sebagai jaringan ISIS. Padahal, setiap
penyebutan terduga selalu dikaitkan dengan ISIS baik dalam bentuk singkatan
maupun dalam bentuk kepanjangannya, Islamic State of Iraq and Syiria.
Pernyataan dari pihak kepolisian pun tidak ada yang dikutip. Lalu darimana
media massa menyimpulkan ini? Tentu saja, ini tidak terlepas dari fenomena ISIS
sebagai rising star gerakan radikal Islam yang menggantikan Al-Qiyadah
Islamiyah. ISIS yang mengglobal dengan gejala simbolik di Indonesia serta
penjelasan “yang masih kurang meyakinkan” dari pihak kepolisian menggiring
media massa, khususnya nasional untuk terjebak dalam penyederhanaan gerakan
terorisme Indonesia dengan ISIS. Hasilnya, meski pihak kepolisian belum
memberikan pernyataan resmi, tetapi media massa dengan segera mengaitkan ini
dengan ISIS.
Hal
lain yang menarik dalam dinamika media lokal dalam merespon fenomena ISIS
adalah frame dalam menampilkan berita internasional. Radar Sulteng cenderung
memberitakan ISIS sebagai obyek yang diperangi karena perangai mereka yang
sadis dalam membunuh sandera, termasuk menampilkan semangat dunia untuk
bersama-sama memerangi ISIS. Perspektif yang digunakan tetap sama, perspektif
keamanan. Sedangkan satu media kecil yang beroplah 2000 bernama MAL (Majalah
Al-Khaerat) menampilkan berita tentang ISIS dalam perspektif sosiologis. Berita
yang berjudul “Kala Pemuda Eropa Berjuang Bersama ISIS” (13/9) ini direproduksi
dari laman World Buletin menceritakan tentang ketertindasan dan ketidakadilan
yang dirasakan pemuda muslim Eropa sebagai alasan utama yang mendorong mereka
menyambut baik tawaran berjuang bersama ISIS.
Sebagai
media yang berbasis Islam, MAL membangun frame perspektif yang berbeda dalam
melihat ISIS. Bahwa ISIS adalah idiom ‘pembebasan’ baru yang membangkitkan
gairah perlawanan pemuda muslim Eropa. MAL ingin mengingatkan kepada kita bahwa
semangat Islamisme tidak muncul dari keinginan untuk melakukan kejahatan tetapi
untuk memperjuangkan nilai yang dianggap benar. Ketidakadilan negara yang
melahirkan alienasi dan ketertindasan dapat dengan mudah memunculkan semangat
perlawanan. Fenomena Islamisme di Indonesia muncul dengan memanfaatkan situasi
ketidakadilan sosial yang dilakukan oleh negara (baca; orde baru) terhadap
warganya, termasuk dengan menyebarnya paham sekuler dan liberal.
Tampilan berita ini tidak berarti MAL memberi dukungan kepada
gerakan ISIS atau mencoba membangun sentimen keagamaan sebagai alat untuk
‘membenarkan’ kehadiran ISIS. Berita lain yang dilansir menampilkan sisi buruk
ISIS seperti berita Jihadis Inggris Buka Tempat Pelacuran. Inti berita
adalah bahwa pejuang jihadis Inggris yang bergabung bersama ISIS membuka tempat
pelacuran yang disediakan kepada para jihadis (13/9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar