Senin, 15 Januari 2018

Media Massa dan Isu Terorisme

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Adegan pembuka film Robocop 2014 yang berlatar suatu tempat di Kota Teheran menggambarkan satu kelompok jaringan teroris berwajah Timur Tengah yang secara sengaja melakukan bom bunuh diri dengan menyerang polisi robot yang sedang berpatroli agar dapat diliput oleh media massa. “Tujuan kita bukan untuk membunuh mereka. Tujuan kita mati di depan televisi”, “Jangan bergerak sebelum aku perintahkan. Aku harus pastikan mereka merekamnya!”. Kalimat itu diucapkan oleh Arash pimpinan teroris sebelum mereka melakukan aksi. Robot pertama yang diserang adalah robot yang sedang direkam oleh kamera.

Pesan dari adegan pembuka film ini adalah media massa—khususnya televisi- menjadi instrumen yang sangat penting tidak hanya bagi negara, publik tetapi juga pelaku terorisme. Bagi para teroris, media massa menjadi tempat untuk menjelaskan kepada dunia bahwa mereka masih ada, tidak habis. Para martir yang siap mati selalu ready stock. Media menjadi arena para teroris memainkan ‘politik penghadiran’ untuk dua kepentingan, memancing amarah publik internasional dan memancing solidaritas baru dari kelompok Islamis radikal yang tersebar di seluruh dunia. Ini terlihat dari meningkatnya dukungan pemuda Eropa terhadap gerakan ISIS. “Orang-orang menonton insiden di Suriah dari televisi. Mereka menyaksikan tangisan perempuan dan anak-anak untuk membantu. Kami baru saja mengalami hal ini di Gaza. Perasaan ketidakadilan di Timur Tengah mempengaruhi pemuda di Eropa secara negatif,” kata Dr Omer El-Hamdoon, presiden Asosiasi Muslim Inggris (dikutip dari World Bulletin). Media telah berhasil membangkitkan semangat solidaritas seagama yang kuat. Munculnya milisi sipil dari Indonesia yang bergabung dengan gerakan muslim Afganistan, Al-Qiyadah, Palestina, dan Moro di Filipina Selatan adalah bagian dari ekspresi solidaritas yang dipicu dari pemberitaan media massa. Reaksi demonstrasi pembakaran bendera Yahudi setiap kali terjadi perang di Palestina adalah efek instan dari pemberitaan media massa. Tentu saja ada efek yang baik, misalnya dengan munculnya sukarelawan seperti MER-C yang bekerja untuk kepentingan kemanusiaan. Kelompok ini selain bekerja untuk kesehatan, sesekali mereka menjadi pioner perdamaian. Menariknya, karena kelompok relawan ini tidak bekerja untuk kepentingan ideologi dan agama tertentu tetapi untuk misi kesehatan dan kemanusiaan. Karenanya, kelompok relawan seperti ini muncul tidak hanya dari umat Islam tetapi juga umat Kristen. Artinya, solidaritas Palestina tidak melulu dirasakan dan diaktualisasikan oleh umat Islam. Kita tentu tidak lupa aksi Cristiano Ronaldo yang menolak menukar kaos bajunya dengan pemain Israil sebagai bagian dari solidaritas simbolik terhadap Palestina, termasuk ketika dia mendonasikan sebagian gajinya untuk anak-anak Palestina.
Pola pemanfaatan media sudah menjadi trend gerakan Islamis radikal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Media yang menjadi favorit kelompok teroris saat ini adalah media You Tube. Misalnya video detik-detik eksekusi para sandera oleh algojo ISIS setiap mengeksekusi wartawan atau aktivis kemanusiaan dari Amerika dan Eropa. Setidaknya sudah ada empat orang sandera yang dieksekusi dan disebarkan melalui media you tube. Pesannya jelas; perlawanan terhadap Amerika dan sekutu Eropa-nya! ISIS juga sangat rajin mengunggah semangat perlawanan dan solidaritas sesama muslim dengan meredusir beberapa firman Tuhan. Mereka dengan sangat intens melakukan propaganda melalui media Youtube kepada pemuda Eropa. Kelompok teroris lokal seperti MIT pun sering menggunakan media serupa untuk memberi seruan kepada umat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap terorisme. Media ini menjadi sangat efektif karena bersifat personal. Dimanapun dan kapanpun bisa mengakses dan mengunggah.
Pun, popularitas ISIS di Indonesia dimulai dari media You Tube. Sebagian besar masyarakat Indonesia mulai aware dengan ISIS ketika media nasional memberitakan seorang lelaki bernama Abu Muhammad al-Indonesia dikelilingi beberapa orang berwajah Melayu bersenjata lengkap mengunggah video di You Tube pasca Idul Fitri tahun 2014 lalu yang isinya mengajak seluruh muslim untuk bergabung dengan gerakan jihad ISIS. Sejak itu, perbincangan tentang ISIS mulai menjadi perbincangan nasional dan dengan cepat menjadi idiom publik.
Kehadiran media massa baik nasional maupun lokal atau media sosial yang sedang trend sangat penting. Media memberi kesadaran kepada warga untuk selalu ‘terjaga’, bahwa gerakan terorisme masih ada dan aktif. Informasi yang disuguhkan kepada masyarakat menjadi hal yang penting. Pemberitaan media massa tentang ISIS menimbulkan efek resistensi yang besar di Indonesia. Publik di beberapa tempat melakukan perlawanan secara simbolik terhadap ISIS baik dengan cara menghapus grafiti ISIS di Solo, Jawa Tengah hingga deklarasi penolakan ISIS di beberapa wilayah. Artinya, media berhasil membangun kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap gejala terorisme.
Tentu harus dengan frekwensi yang lebih proporsional. Pemberitaan yang terlalu besar dan terlalu intensif justeru melahirkan anomali bagi masyarakat khususnya masyarakat luar. Para pengguna dan pembaca media di luar Sulawesi Tengah misalnya membangun perspektif berdasarkan informasi yang diterima dan lalu memberi kesan yang spesifik dan simplistik. Poso bagi masyarakat luar sangat menakutkan. Tentu saja ini berbeda dengan masyarakat yang setiap hari ada di Poso. Bagi mereka, Poso tetaplah kampung yang indah, meski pernah menyimpan luka kemanusiaan yang mendalam. Logika itu juga terjadi ketika media massa setiap hari memotret peristiwa demonstrasi mahasiswa Makassar yang selalu berakhir anarkis memberi kesan yang spesifik terhadap mahasiswa Makassar dan dikaitkan dengan budaya Makassar yang dikesankan sangat maskulin. Padahal, bagi warga Makassar, fenomena itu sangat kecil dan tidak mempengaruhi rasa keamanan atau kenyamanan menjadi warga Makassar.
Di Sulawesi Tengah, media lokal Radar Sulteng sangat aktif memberitakan peristiwa terorisme setiap hari sejak tanggal 11 September-19 September 2014. Bersamaan dengan tragedi 9/11 tahun 2001, Radar Sulteng memuat artikel berjudul Terorisme tidak punya tempat dalam Islam. Isinya mereproduksi keyakinan sebagian besar warga muslim Indonesia bahwa terorisme bukan bagian dari ajaran Islam. Merespon kedatangan Toni Blair ke Indonesia, Radar Sulteng menurunkan dua berita terkait yaitu, SBY Bahas ISIS dengan Tony Blair dan TNI Akan Turun Ke Pesantren dan Sekolah Cegah Merembetnya Paham ISIS.
Peristiwa penangkapan tujuh orang yang terduga teroris di Parimo pada menjadi berita utama di halaman depan Radar Sulteng selama lima hari berturut-turut. Berita yang dimaksud yaitu Densus Tangkap WNA Asal Turki (14/9), Dicurigai Terlibat Kelompok MIT, Tujuh Orang yang diamankan Densus di Desa Marantele (15/9), Densus Geledah Kos-Kosan di Jalan Tangkasi, Ditemukan GPS dan Peta dalam Tas Rombongan WNA yang ditangkap di Parimo, Bekuk Terduga Teroris Internasional, Polres Palu Tingkatkan Keamanan Pasca Penangkapan WNA di Parimo (16/9), Polri Masih terus mendalami WNA (17/9), Polisi Ungkap Penggalang Dana satu dari lima warga yang diamankan Densus (18/9).
Radar Sulteng dalam kurun waktu itu juga sering mereproduksi berita internasional yang memang disediakan di rubrik internasional seperti Jerman Melarang Pemajangan Simbol ISIS, 10 Negara Arab Siap Gabung Perangi IS (14/9), Jihadi Jhon Memenggal Lagi (16/9), 40 Negara Bersatu Menyerang ISIS (17/9), AS Bombardir Sarang ISIS (18/9), Video ke-4, ISIS mendadak lunak (21/9).
Berita-berita Radar Sulteng yang terkait dengan jaringan teroris yang tertangkap di Parimo dan di rumah kontrakan kota Palu diproduksi dengan menggunakan perspektif ‘kepolisian’. Radar Sulteng memosisikan diri sebagai penyambung lidah pihak kepolisian. Karenanya, judul berita ditampilkan dengan aktor utama pihak kepolisian. Kita tidak menemukan berita yang mengeksplorasi atau menganalisis siapa tiga orang WNI itu. Informasi yang didapatkan memang tidak banyak. Selain karena ketiga WNI itu masih berada dalam penahanan pihak kepolisian dan belum didampingi pengacara. Sehingga akses media ke subyek terduga masih tertutup. Pihak keluarga pun enggan memberi keterangan lebih banyak karena masih sangat trauma dan tidak percaya. Keterangan tentang S hanya bisa ditemukan dari koleganya di SLB Negeri Batia, Palu. Informasi ini diselipkan di dalam berita yang berjudul Polisi Ungkap Penggalang Dana satu dari lima warga yang diamankan Densus (18/9).
Yang menarik adalah penggunaan idiom penyebutan kelompok itu. Radar Sulteng tidak sekalipun menggunakan term ISIS di judul beritanya. Istilah yang digunakan hanya dua yaitu “teroris internasional” dan “jaringan MIT (Mujahidin Indonesia Timur)”. MIT adalah organisasi sayap radikal yang dipimpin Santoso. Berita pertama yang diturunkan pasca tertangkapnya tujuh orang terduga teroris hanya menyebutkan “WNA Turki” tanpa embel apa-apa. Bandingkan media elektronik nasional yang langsung menggunakan idiom ISIS ketika menyiarkan penangkapan tujuh orang tersebut di running text meski belakangan idiom ISIS semakin hilang digantikan dengan idiom “teroris”. TV One misalnya menggunakan secara jelas idiom ISIS dengan menulis berita “7 orang diduga anggota ISIS tertangkap oleh Densus 88 di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah” di running text di salah satu program berita pagi-nya, pada hari Sabtu 13/9.
Media lokal tampaknya cukup hati-hati karena pemeriksaan WNA itu memang tidak dilakukan di Polda Sulteng melainkan di Mako Brimob Kelapa Dua Jakarta. Ini juga dipengaruhi oleh sikap kepolisian lokal yang juga hati-hati mengaitkan ketujuh orang tersebut dengan jaringan ISIS. Perhatikan petikan berita berikut:
Disinggung keterlibatan mereka dengan ISIS, (Plh. Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP) Utoro (Saputro) kembali menegaskan bahwa pihak kepolisian masih terus melakukan pendalaman terhadap para terduga tersebut. Termasuk 4 orang WNA. Karena pada saat diamankan petugas tidak menemukan senpi (senjata api –pen) maupun lambang-lambang maupun adanya bendera bergambar ISIS dari mobil yang digunakan para terduga ini (Radar Sulteng, 15/9).
Media lokal sepertinya tidak terlalu meyakini keterkaitan antara ISIS dan tujuh orang yang tertangkap itu karena lemahnya indikasi ke arah sana. Tidak ada satupun barang bukti yang berkaitan dengan simbol ISIS ditemukan di mobil yang ditumpangi oleh para terduga. Media lokal di Sulteng hanya ‘menemukan’ keterkaitan yang erat dengan MIT-nya Santoso. Selain karena tujuh orang yang ditangkap itu memang sedang menuju Poso (tempat Santoso) juga karena S (salah seorang WNI yang tertangkap) adalah orang yang diduga pernah menyembunyikan Mokhtar (DPO Poso) dan A yang tertangkap di rumah kontrakannya adalah pencari logistik untuk Santoso.
Frame berbeda ditunjukkan oleh media berskala nasional. Meski belum mendapatkan penjelasan yang proporsional tentang keterkaitan para WNI dan empat WNA tersebut dengan ISIS, tetapi mereka sudah memasang istilah ISIS di judul beritanya, misalnya media online Tempo.co yang menurunkan berita: Terduga anggota ISIS pernah Nyantri di Tebuireng (17/9), Liputan6.com menurunkan berita: 4 orang terduga ISIS di Palu diduga kelompok Teroris Santoso (17/9). Berita Kompas.com juga menurunkan berita: Satu WNI Terduga ISIS di Poso Jebolan Pesantren Keluarga Gus Dur.
Harian media nasional yang terlalu cepat menuding keterlibatan jaringan teroris yang tertangkap itu memang patut dipertanyakan. Pasalnya, penjelasan tentang ini tidak memiliki argumentasi yang kuat, misalnya berita Liputan6. com sebagai berikut:
Tim Densus 88 Antiteror juga menggeledah kontrakan yang ditempati terduga anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), di1lawesi Tengah, Sabtu 13 September 2014 lalu. (Liputan6 News 16/9).
Konstruksi berita yang ditampilkan sama sekali tidak memuat argumen yang memadai tentang keterkaitan WNI yang tertangkap sebagai jaringan ISIS. Padahal, setiap penyebutan terduga selalu dikaitkan dengan ISIS baik dalam bentuk singkatan maupun dalam bentuk kepanjangannya, Islamic State of Iraq and Syiria. Pernyataan dari pihak kepolisian pun tidak ada yang dikutip. Lalu darimana media massa menyimpulkan ini? Tentu saja, ini tidak terlepas dari fenomena ISIS sebagai rising star gerakan radikal Islam yang menggantikan Al-Qiyadah Islamiyah. ISIS yang mengglobal dengan gejala simbolik di Indonesia serta penjelasan “yang masih kurang meyakinkan” dari pihak kepolisian menggiring media massa, khususnya nasional untuk terjebak dalam penyederhanaan gerakan terorisme Indonesia dengan ISIS. Hasilnya, meski pihak kepolisian belum memberikan pernyataan resmi, tetapi media massa dengan segera mengaitkan ini dengan ISIS.
Hal lain yang menarik dalam dinamika media lokal dalam merespon fenomena ISIS adalah frame dalam menampilkan berita internasional. Radar Sulteng cenderung memberitakan ISIS sebagai obyek yang diperangi karena perangai mereka yang sadis dalam membunuh sandera, termasuk menampilkan semangat dunia untuk bersama-sama memerangi ISIS. Perspektif yang digunakan tetap sama, perspektif keamanan. Sedangkan satu media kecil yang beroplah 2000 bernama MAL (Majalah Al-Khaerat) menampilkan berita tentang ISIS dalam perspektif sosiologis. Berita yang berjudul “Kala Pemuda Eropa Berjuang Bersama ISIS” (13/9) ini direproduksi dari laman World Buletin menceritakan tentang ketertindasan dan ketidakadilan yang dirasakan pemuda muslim Eropa sebagai alasan utama yang mendorong mereka menyambut baik tawaran berjuang bersama ISIS.
Sebagai media yang berbasis Islam, MAL membangun frame perspektif yang berbeda dalam melihat ISIS. Bahwa ISIS adalah idiom ‘pembebasan’ baru yang membangkitkan gairah perlawanan pemuda muslim Eropa. MAL ingin mengingatkan kepada kita bahwa semangat Islamisme tidak muncul dari keinginan untuk melakukan kejahatan tetapi untuk memperjuangkan nilai yang dianggap benar. Ketidakadilan negara yang melahirkan alienasi dan ketertindasan dapat dengan mudah memunculkan semangat perlawanan. Fenomena Islamisme di Indonesia muncul dengan memanfaatkan situasi ketidakadilan sosial yang dilakukan oleh negara (baca; orde baru) terhadap warganya, termasuk dengan menyebarnya paham sekuler dan liberal.

Tampilan berita ini tidak berarti MAL memberi dukungan kepada gerakan ISIS atau mencoba membangun sentimen keagamaan sebagai alat untuk ‘membenarkan’ kehadiran ISIS. Berita lain yang dilansir menampilkan sisi buruk ISIS seperti berita Jihadis Inggris Buka Tempat Pelacuran. Inti berita adalah bahwa pejuang jihadis Inggris yang bergabung bersama ISIS membuka tempat pelacuran yang disediakan kepada para jihadis (13/9).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...