Ada temuan menarik
dari penelitian Tim Peneliti Bidang Kehidupan Keagamaan (2016), bahwa ada
segelintir siswa yang menyatakan diri bersedia untuk ikut dalam gerakan
radikalisme agama, bahkan secara vulgar ada sekitar 10% siswa yang menyatakan
bersedia melakukan bom bunuh diri. Riset yang mengambil sampel di lima kota di
Kawasan Timur Indonesia, yaitu Samarinda, Makassar, Ambon, Palu, dan Kendari.
Temuan riset
menunjukkan bahwa gejala siswa yang siap melakukan bom bunuh diri
terjadi di semua kota, dengan peta sebagai berikut:
Kota
|
Sangat
Bersedia
|
Bersedia
|
Jumlah
Responden
|
Palu
|
3
|
14
|
220
|
Ambon
|
10
|
29
|
220
|
Kendari
|
4
|
17
|
220
|
Makassar
|
5
|
17
|
220
|
Samarinda
|
1
|
14
|
220
|
Jumlah
|
1100
|
Data
pada tiga tabel diatas menunjukkan bahwa fenomena “persetujuan” terhadap ajakan
bom bunuh diri sebagai bagian dari jihad tersebar di semua kota, semua jurusan
(kecuali bahasa, dan kesmas/SMK), dan semua jenis sekolah. Yang menarik adalah
jumlah tertinggi dari responden yang siap ikut bom bunuh diri ada di Kota
Ambon.
Temuan
riset ini patut diberi perhatian yang cukup serius. Mengingat jumlah kelompok
radikal tidak terlalu membutuhka jumlah yang sangat besar. Bibit atau potensi
radikalisme yang berbasis agama senantiasa ditemukan dalam setiap komunitas termasuk
di sekolah. Temuan riset ini juga menunjukkan adanya similiaritas dengan temuan
riset Wahid Institute (2015) yang mensinyalir adanya potensi radikalisme di
kalangan siswa hingga mencapai angka 7%.
Persetujuan
ini tentu bersifat persepsional, belum bersifat faktual. Tetapi, gejala respon
positif terhadap radikalisme bisa dipahami bahwa potensi radikalisme agama akan
terus menerus terjadi di negeri ini apabila gerakan zero tolerance terhadap
radikalisme agama tidak menjadi agenda utama. Selalu ada orang yang menyatakan
bersedia untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, bahkan hingga
titik yang paling radikal yaitu bom bunuh diri. Doktrin agama yang penetratif
bisa saja mentransformasi data persepsional ini menjadi data faktual.
Gejala
“permissif” terhadap radikalisme di kalangan kaum pelajar memang bukanlah
temuan riset yang baru.
Riset
Wahid Institute (2015) yang mensinyalir adanya potensi radikalisme di kalangan
siswa hingga mencapai angka 7%. Penelitian dari LaKIP yang dilakukan dalam
kurun waktu oktober 2010-januari 2011 pada 59 sekolah swasta dan 41 sekolah
negeri di Jabodetabek menunjukkan; hampir 50 % pelajar setuju dengan kekerasan,
14,2 % setuju dengan aksi terorisme dan 84,8 % juga setuju dengan penegakan
Syariat Islam. Gejala yang sama juga ditunjukkan oleh Penelitian Maarif
Institute. Dalam penelitian yang berjudul Pemetaan Problem Radikalisme di
Kalangan SMU Negeri di 4 Daerah, menunjukkan kecenderungan menguatnya
Radikalisme di kalangan siswa (Fanani, 2013).
Gejala
ini bisa dipicu sejauh ini oleh bebasnya akses informasi melalui internet yang
memudahkan para siswa mendapatkan informasi yang terkait dengan isu keagamaan.
Sebagai parameter, seorang anak muda di Bombana (Sulawesi Tenggara) yang
membakar sebuah gereja karena terdorong dari hasil bacaan buku yang berisi
semangat jihad. Aksi pembakaran gereja ini tidak berlanjut karena warga
mengetahuinya dan menangkap sang pelaku. Refleksi personal terhadap buku bacaan
ini memunculkan spririt untuk melakukan tindakan-tindakan radikal seperti
membakar Gereja. Pun, perencana bom panci yang ditangkap oleh pihak Kepolisian
Bekasi mengakui terinspirasi dari bacaan internet.
Belum
ditemukan bukti signifikan yang mengindikasikan adanya kelompok radikal yang
secara sistematis memengaruhi sistem pembelajaran keagamaan di tingkat siswa
SMA. Artinya, gejala radikalisme yang muncul dalam persepsi “sedikit” siswa adalah
bentuk inisiasi personal atau keyakinan personal akibat dari pergulatan dengan
informasi keagamaan yang mudah terakses melalui jaringan internet. Seperti
pengakuan salah seorang siswa di salah satu sekolah di Makassar. “Kalau untuk
membela Islam, saya mau (melakukan) bom bunuh diri. Saya kira (bom bunuh diri)
itu tidak ada masalah dalam Islam. Biar bisa masuk surga toh” (Syamsurijal
dan Irfan Syuhudi, 2016).
Terlepas
dari apa faktor yang memengaruhi perspektif para siswa tentang radikalisme
agama, sikap permissif terhadap radikalisme agama adalah sikap dasar keagamaan
yang bisa menimbulkan persoalan. Memang tidak ada korelasi bahwa siswa yang
menjawab “bersedia atau sangat bersedia ikut bom bunuh diri” akan benar-benar
melakukan tindakan tersebut. Namun, gejala ini cukup memberi penjelasan kepada
kita bahwa “pasar” gerakan radikalisme agama selalu tersedia setiap saat.
Fenomena
ini terlihat jelas di Indonesia. Sejak tahun 2000-2016, selalu saja ada
peristiwa bom bunuh diri yang terjadi. Kasus terakhir adalah bom di depan salah
satu gereja di Samarinda yang dilakukan oleh seorang eks narapidana dengan
kasus yang serupa. Kewaspadaan dan tindakan pencegahan terhadap segala bentuk
radikalisme agama tetap harus menjadi prioritas dan perhatian penting dari
pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar