Senin, 15 Januari 2018

Pemuda dan Radikalisme Agama

Ada temuan menarik dari penelitian Tim Peneliti Bidang Kehidupan Keagamaan (2016), bahwa ada segelintir siswa yang menyatakan diri bersedia untuk ikut dalam gerakan radikalisme agama, bahkan secara vulgar ada sekitar 10% siswa yang menyatakan bersedia melakukan bom bunuh diri. Riset yang mengambil sampel di lima kota di Kawasan Timur Indonesia, yaitu Samarinda, Makassar, Ambon, Palu, dan Kendari. Temuan riset
menunjukkan bahwa gejala siswa yang siap melakukan bom bunuh diri terjadi di semua kota, dengan peta sebagai berikut:
Kota
Sangat Bersedia
Bersedia
Jumlah Responden
Palu
3
14
220
Ambon
10
29
220
Kendari
4
17
220
Makassar
5
17
220
Samarinda
1
14
220
Jumlah
1100

Data pada tiga tabel diatas menunjukkan bahwa fenomena “persetujuan” terhadap ajakan bom bunuh diri sebagai bagian dari jihad tersebar di semua kota, semua jurusan (kecuali bahasa, dan kesmas/SMK), dan semua jenis sekolah. Yang menarik adalah jumlah tertinggi dari responden yang siap ikut bom bunuh diri ada di Kota Ambon.
Temuan riset ini patut diberi perhatian yang cukup serius. Mengingat jumlah kelompok radikal tidak terlalu membutuhka jumlah yang sangat besar. Bibit atau potensi radikalisme yang berbasis agama senantiasa ditemukan dalam setiap komunitas termasuk di sekolah. Temuan riset ini juga menunjukkan adanya similiaritas dengan temuan riset Wahid Institute (2015) yang mensinyalir adanya potensi radikalisme di kalangan siswa hingga mencapai angka 7%.
Persetujuan ini tentu bersifat persepsional, belum bersifat faktual. Tetapi, gejala respon positif terhadap radikalisme bisa dipahami bahwa potensi radikalisme agama akan terus menerus terjadi di negeri ini apabila gerakan zero tolerance terhadap radikalisme agama tidak menjadi agenda utama. Selalu ada orang yang menyatakan bersedia untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, bahkan hingga titik yang paling radikal yaitu bom bunuh diri. Doktrin agama yang penetratif bisa saja mentransformasi data persepsional ini menjadi data faktual.
Gejala “permissif” terhadap radikalisme di kalangan kaum pelajar memang bukanlah temuan riset yang baru.
Riset Wahid Institute (2015) yang mensinyalir adanya potensi radikalisme di kalangan siswa hingga mencapai angka 7%. Penelitian dari LaKIP yang dilakukan dalam kurun waktu oktober 2010-januari 2011 pada 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di Jabodetabek menunjukkan; hampir 50 % pelajar setuju dengan kekerasan, 14,2 % setuju dengan aksi terorisme dan 84,8 % juga setuju dengan penegakan Syariat Islam. Gejala yang sama juga ditunjukkan oleh Penelitian Maarif Institute. Dalam penelitian yang berjudul Pemetaan Problem Radikalisme di Kalangan SMU Negeri di 4 Daerah, menunjukkan kecenderungan menguatnya Radikalisme di kalangan siswa (Fanani, 2013).
Gejala ini bisa dipicu sejauh ini oleh bebasnya akses informasi melalui internet yang memudahkan para siswa mendapatkan informasi yang terkait dengan isu keagamaan. Sebagai parameter, seorang anak muda di Bombana (Sulawesi Tenggara) yang membakar sebuah gereja karena terdorong dari hasil bacaan buku yang berisi semangat jihad. Aksi pembakaran gereja ini tidak berlanjut karena warga mengetahuinya dan menangkap sang pelaku. Refleksi personal terhadap buku bacaan ini memunculkan spririt untuk melakukan tindakan-tindakan radikal seperti membakar Gereja. Pun, perencana bom panci yang ditangkap oleh pihak Kepolisian Bekasi mengakui terinspirasi dari bacaan internet.
Belum ditemukan bukti signifikan yang mengindikasikan adanya kelompok radikal yang secara sistematis memengaruhi sistem pembelajaran keagamaan di tingkat siswa SMA. Artinya, gejala radikalisme yang muncul dalam persepsi “sedikit” siswa adalah bentuk inisiasi personal atau keyakinan personal akibat dari pergulatan dengan informasi keagamaan yang mudah terakses melalui jaringan internet. Seperti pengakuan salah seorang siswa di salah satu sekolah di Makassar. “Kalau untuk membela Islam, saya mau (melakukan) bom bunuh diri. Saya kira (bom bunuh diri) itu tidak ada masalah dalam Islam. Biar bisa masuk surga toh” (Syamsurijal dan Irfan Syuhudi, 2016).
Terlepas dari apa faktor yang memengaruhi perspektif para siswa tentang radikalisme agama, sikap permissif terhadap radikalisme agama adalah sikap dasar keagamaan yang bisa menimbulkan persoalan. Memang tidak ada korelasi bahwa siswa yang menjawab “bersedia atau sangat bersedia ikut bom bunuh diri” akan benar-benar melakukan tindakan tersebut. Namun, gejala ini cukup memberi penjelasan kepada kita bahwa “pasar” gerakan radikalisme agama selalu tersedia setiap saat.

Fenomena ini terlihat jelas di Indonesia. Sejak tahun 2000-2016, selalu saja ada peristiwa bom bunuh diri yang terjadi. Kasus terakhir adalah bom di depan salah satu gereja di Samarinda yang dilakukan oleh seorang eks narapidana dengan kasus yang serupa. Kewaspadaan dan tindakan pencegahan terhadap segala bentuk radikalisme agama tetap harus menjadi prioritas dan perhatian penting dari pemerintah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...