Senin, 15 Januari 2018

Islamis Kultural

HAMZAH HARUN AL RAYID, M.A & SAPRILLAH
Agenda Islamis-kultural4 lebih berorientasi pada pembentukan komunitas Islam yang bercirikan Islam, tentu saja yang sesuai dengan imajinasi mereka tentang Islam yang benar.
4 Istilah Islamis-kultural digunakan untuk menyebutkan kelompok Islamis yang tidak berorientasi politik baik dalam tindakan maupun cita-cita. Atau kelompok yang melakukan sistem kerja yang berorientasi pada pengembangan masyarakat.

Karena berorientasi salaf, maka cita-cita masyarakat yang mereka inginkan adalah masyarakat Islam modern yang salaf. Meski WI sempat menjadi salah satu penyokong utama KPSI di Sulawesi Selatan tetapi mereka tidak menjadikan gerakan politik (formalism) sebagai tujuan utama.
Bagi kaum Islamis Kultural, meng-Islam-kan masyarakat Indonesia adalah agenda utama. Jika semua umat Islam Indonesia sudah sesuai dengan visi mereka, maka dengan sendirinya “Negara Islam” akan mudah diwujudkan. Atas dasar pemikiran, beberapa kelompok salafi tidak ikut memilih pada saat pemilu karena merasa sia-sia. Selain karena pemimpin yang akan dipilih tidak mewakili kepentingan mereka juga karena masyarakat Islam Indonesia secara umum belum seirama dengan pemikiran mereka. Mereka akan ikut memilih apabila diyakini ada calon pemimpin yang sesuai dengan yang mereka inginkan (diolah dari hasil wawancara dengan AR, aktivis Salafi di Kota Kendari).
Wahda Islamiyah (WI) menjadi ikon Islamis yang cukup menarik perhatian di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Orientasi WI jelas mengarah kepada pembentukan sistem sosial yang berbasis Islam. Perkembangan organisasi WI cukup pesat. Mereka memiliki cabang di hampir semua daerah di kawasan Timur Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah (meski perkembangannya tidak sebaik di Sulawesi Selatan). Wahda Islamiyah merepresentasi diri sebagai organisasi salafi modern. Gerakannya pun cenderung terorganisir dengan baik. WI menginisiasi munculnya sekolah Islam dari TK sampai Perguruan Tinggi (STIBA) yang menarik banyak minat masyarakat muslim kelas menengah. WI menginisiasi pengobatan penyakit jiwa melalui klinik rukyah serta mendirikan rumah sakit, klinik bersalin, dan apotek pendukung.
Wahda Islamiyah berdiri pada tanggal 19 Pebruari tahun 1998 dipelopori oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang tergabung dalam sebuah yayasan yang disebut Yayasan Fathul Muin. Ide utama dari Wahda Islamiyah adalah kampanye akidah Islam yang sahih atau yang benar. Melanjutkan ide furifikasi keagamaan ala Muhammadiyah di era tahun 1960an.
Kehadiran Wahda Islamiyah membawa semangat puritanisme baru di Makassar. Isu perbaikan tauhid dan “pemurnian dari aliran sempalan” menjadi salah satu yang sering didakwahkan di media TV lokal. Beberapa pentolan WI yang membentuk LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) secara konsisten menolak kehadiran Syiah dan Ahmadiyah di Makassar. Gerakan yang dilakukan salah satunya dengan mengumpulkan tanda-tangan dukungan dari tokoh-tokoh agama di Makassar untuk memberi persetujuan terhadap pemurnian akidah umat dari pengaruh syiah. Mereka pun seringkali ‘memblokade’ kegiatan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan seringkali melakukan kegiatan dakwah yang bertemakan ‘penyelamatan akidah dari aliran sesat’.
Kelompok Islamis kultural lainnya adalah kelompok Salafi Yaman yang bermarkas di Baji Rupa dan tergabung dalam sebuah yayasan Ma’had An-Nasyat Al-Islami. Kelompok ini mengklaim diri sebagai kelompok yang paling salafi. Mereka menuding WI bukanlah gerakan salafi dengan alasan tertentu. Sebagaimana WI, kaum salafi lebih sering mengampanyekan pemurnian akidah Islam dari pengaruh duniawi. Mereka hidup untuk melestarikan tradisi keagamaan kamum salafi. Karena itu mereka menolak seluruh hal yang dianggap bid’ah. Mereka mengklaim diri sebagai salafi murni. Menariknya, mereka anti formalisasi syariah. Syariah harus dijalankan dan didakwahkan secara kultural. Setelah akidah dan akhlak umat bagus baru gagasan tentang negara itu difikirkan.
Bentuk utama dari gerakan salafi ini adalah pendidikan. Mereka mendirikan pesantren salafi yang bermarkas di Jalan Baji Rupa Makassar sejak tahun 2001 dengan nama Ma’had Assunah di bawah naungan Yayasan Ma’had An-Nasyat Al-Islami. Mereka menerima santri dari berbagai daerah di kawasan Timur Indonesia. Ma’had Assunnah menerapkan dua sistem pengajaran; pengajian umum dan takhassus. Pengajian umum diikuti oleh semua santri sedang pengajian takhassus menyediakan kesempatan bagi para santri untuk mendalami satu materi pelajaran tertentu.
Di Sulawesi Tenggara, muncul gerakan salafisme melalui dunia pendidikan yang cukup mendapat sambutan dari masyarakat. Mereka dikenal dengan nama ICM (Islamic Centre Muadz bin Jabal). Gerakan ICM terlihat lebih menonjol karena infrastrukturnya lebih kuat. Lewat lembaga pendidikan (dari TK-SMA dan tingkat lanjutan), pengajian rutin di Masjid Muadz bin Jabal, dan radio Muadz bin Jabal, eksistensi ICM di Kendari semakin kuat. Animo warga terhadap lembaga pendidikan yang dikelola ICM setiap tahun semakin meningkat, antusiasme jamaah mengikuti pengajian rutin selama beberapa tahun belakangan juga cukup tinggi, dan radio Muadz bin Jabal menjadi satu-satunya radio yang secara konsisten berdakwah.
ICM adalah jenis kelompok salafi yang adaptif. Mereka menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah dalam hal penanggulangan terorisme, mereka menyediakan dai di Kepolisian dan beberapa lembaga swasta. Mereka juga menyebarkan metode dakwah yang relatif adaptif. Mereka tidak alergi untuk memasang simbol Negara (Bendera Merah Putih di kantor dan halaman kampus). Mereka menerima Pancasila. Mereka juga tidak memiliki agenda politik yang memudahkan masuk kotak perbedaan. Para dai ICM mengakui tidak segan ikut qunut di belakang imam yang qunut karena hanya bersifat khilafiah Dai dari ICM dikenali memiliki kemampuan menjelaskan narasi keagamaan dengan basis teks yang baik. Tradisi masyarakat yang dianggap bid’ah tidak dijatuhkan begitu saja tetapi diletakkan dalam fondasi “teks keagamaan “ primer.
ICM akan memiliki pengaruh yang cukup besar di Kendari dalam beberapa waktu ke depan. Ustad Zezen yang berusia relatif masih muda memiliki masih cukup banyak waktu untuk menjadi “kyai besar” di Kota Kendari. Ini juga karena pola kaderisasi tokoh agama di organisasi lain tidak terlihat. Tidaklah mengherankan kalau ICM mendapatkan kepercayaan yang cukup besar dalam konteks keagamaan. Misalnya membina Napi Teroris enam bulan sebelum pelepasan.
Selain ICM, ada pula kelompok salafi yang menamakan diri sebagai kelompok pengajian ahlusunnah wal jamaah. Kelompok salafi ini semula tergabung dalam kelompok minhajussunnah. Mereka memisahkan diri setelah terjadi perbedaan pendapat (tidak diceritakan perbedaan pendapat tersebut) lalu membentuk kelompok pengajian dan menamakan diri sebagai jamaah ahlussunnah wal jamaah.
Cikal bakal kelompok ini sebetulnya dimulai pada tahun 1994. Seorang tokoh salafi bernama Abu Izzi datang membuka pengajian di salah satu masjid dekat kampus lama UHO. Pengajian Abu Izzi sempat menimbulkan polemik karena menawarkan paradigma keagamaan yang berbeda. Jamaah perempuannya bercadar. Hal ini menginisiasi sekelompok pemuda masjid untuk mendatangi pengajian Abu Izzi dengan tujuan berdebat. Namun rupanya diskusi itu justeru menjadi ruang pembenaran. Sekelompok pemuda tadi malah menjadi jamaah pengajian Abu Izzi. Setelah Abu Izzi kembali, beberapa anggota jamaah memutuskan untuk ke Jawa untuk menempuh pendidikan di pesantren pimpinan Jafar Umar Thalib. AR (salah satu pentolan jamaah Ahlussunnah wal jamaah) mengakui pernah ikut ke Ambon ketika terjadi perang disana. Dia bertugas di bagian kesekretariatan. Setelah perang, memutuskan kembali ke Kendari, bersama dengan teman-temannya mendirikan yayasan minhajussunnah yang bergerak di bidang pendidikan.
Kelompok Ahlussunnah wal jamaah adalah sebuah komunitas atau perkumpulan pengajian, bukan organisasi yang terstruktur. Mereka tidak mengenal istilah pimpinan atau ketua kelompok. Yang ada hanya ustad yang secara rutin memberi pengajian. Oleh karena itu, jumlah anggota perkumpulan tidak dicatat. Jamaah yang ikut dalam pengajian biasanya berasal dari warga sekitar masjid tempat pengajian itu dilaksanakan. Kelompok ini merupakan afiliasi dari kelompok salafi dari Ma’had Nasyad Al-Islami (MANIS) di (jalan Baji Rupa) Makassar. Meski demikian, mereka sudah membentuk yayasan yang bernama Markas Da’wah Arrisalah yang bermarkas di Jalan Prof. Rauf Tarimana (Kambu).
Kelompok ini secara jelas menyebut diri mereka sebagai salafi. Salafi dalam perspektif mereka berarti mengikuti cara keagamaan Rasulullah, sahabat-sahabat, dan tabi’in. Salah seorang informan menolak istilah Wahabi. Istilah Wahabi adalah istilah eksternal yang sangat simplistis. Muhammad bin Abdul Wahhab memang rujukan utama salafi, tetapi bukan satu-satunya. Mereka lebih senang disebut sebagai salafi (wawancara AR). Bagi salafi, agama Islam telah sempurna. Segala sesuatu yang ada dalam Alquran dan Sunnah adalah prototipe yang paripurna. Umat Islam tinggal mengikutinya saja tanpa perlu mengurangi, menambah, dan mengotak-atik lagi. Apabila ada umat Islam yang menambah konsep Islam ini berarti Islam itu tidak sempurna. Jadi, tujuan kehadiran mereka adalah mengajak umat manusia untuk hidup berdasarkan cara hidup Nabi Muhammad dan sahabatnya. Apa yang diperintahkan oleh Aquran dan hadits itulah yang diikuti dan apa yang dilarang harus dijauhi. Sebagai contoh kecil, salah satu hadits menyebutkan larangan menggambar manusia. Mereka mengikuti itu dengan tidak mau difoto kecuali hal mendesak seperti untuk pengurusan kartu tanda penduduk (wawancara Y dan A).
Tradisi masyarakat yang berkaitan dengan keagamaan seperti maulid, barzanji, dan peringatan-peringatan keagamaan lainnya adalah bentuk penambahan agama yang harus dihindari. Meski diakui bahwa dalam kegiatan maulid banyak hal yang bermanfaat seperti pembacaan shalawat nabi tetapi perayaan yang disematkan pada hari kelahiran Nabi Muhammad tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, para sahabat, dan para tabiin. Jadi, kegiatan ini tidak memiliki akar dalam teks dan kebiasaan kaum salaf. Yang dibolehkan adalah hal-hal yang mendukung kenyamanan agama. Misalnya membuat lantai masjid dari tegel, memakai pengeras suara dalam shalat—meski tidak ada contohnya di zaman Rasulullah- tetapi hal ini dimaksud untuk mendukung agama, bukan menambah atau mengurangi dasar agama. Termasuk pakaian, asal sesuai dengan tata cara yang dianjurkan Islam maka jenis kain dan model pakaian tidaklah masalah (wawancara AR). Tampilan fisik kelompok ahlussunnah wal jamaah seperti kelompok salafi pada umumnya, bercelana kain cingkrang, berjanggut, dan berbaju gamis bagi laki-laki. Ketika imam, tidak mengeraskan basmalah.
Kajian keagamaan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah di Kota Kendari sangat intensif. Setiap hari mereka melakukan kajian, bahkan kadang-kadang bersamaan waktunya. 11 Masjid di Kendari tempat mereka melakukan kajian rutin, 1 masjid lainnya di Konawe Selatan (Konda). Tema kajian meliputi akidah, fiqih, hadits, dan pelajaran bahasa Arab sebagai imu alat. Kitab-kitab yang mereka kaji adalah kitab utama rujukan kaum salafi dari Syekh Abdul Wahab, Syekh Ibnu Taimiyah, Syekh Abdullah bin Baz, Syekh Ustaimin, dan Dr. Fauzan Shalihin.
Yang menarik adalah gerakan Islamis kultural mampu menarik perhatian kaum muda, khususnya di kalangan mahasiswa. Sebagian dari kelompok Islamis ini mampu menguasai LDK (Lembaga Dakwah Kampus) dan membuat program yang menarik perhatian mahasiswa muslim yang ingin mempelajari agama.
Sebagai contoh kasus yang terjadi di kampus Universitas Halu Oleo, Kota Kendari. Tahun 2000 adalah tahun monumental dari perkembangan organisasi mahasiswa Islam (baru) di UHO. Di tahun ini, organisasi mahasiswa Islam baru mulai membangun kekuatan. Isu Islam (formal) yang mereka tawarkan ke kampus mendapatkan perhatian yang baik. KAMMI dengan isu Islam akhlaki dan gerakan moral, LDK-BKLDM (HT) dengan isu khilafah dan gerakan politik Islam, dan LDK Ulul Al-Bab (WI) dengan isu Alquran. Ketiga kelompok organisasi ini mulai menguasai masjid dan musala kampus.
Tahun 2000-an memang merupakan tahun ekspansi organisasi baru di Kota Kendari. Organisasi Islam (baru) seperti HTI, dan WI mulai mengembangkan sayap mereka. Bersamaan dengan itu berkembang pula pesantren salafi. Kelompok pengajian Muadz bin Jabal yang dibina oleh lulusan dari haramain pun mulai berkembang di Kota Kendari beberapa tahun belakangan ini. Organisasi-organisasi kemudian melebarkan sayap mereka hingga ke kabupaten-kabupaten. Bahkan kelompok keagamaan lama seperti JT (Jamaah Tabligh) dan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan kelompok aliran seperti Ahmadiyah pun ikut berkembang di tahun 2000an (Saprillah, 2008). Ini berbanding terbalik dengan organisasi keagamaan yang lama seperti NU dan Muhammadiyah. Perkembangan keduanya relatif stagnan.
Kehadiran organisasi mahasiswa Islam baru (khususnya HT dan WI) menggeser peran organisasi mahasiswa Islam lama (HMI, PMII, dan IMM) di kampus dalam hal pengelolaan isu agama. Kajian-kajian keislaman saat ini lebih banyak dikelola oleh kelompok baru ini. Sedangkan aktivis mahasiswa dari HMI, PMII dan IMM lebih berorientasi politis dan reaktif terhadap isu-isu tertentu (yang tidak terkait dengan isu agama). Akibatnya, kehadiran aktivis organisasi lama di kampus tidak terlalu terasa.
Setiap hari, sangat mudah ditemukan mahasiswi atau mahasiswa yang melakukan kajian-kajian di sudut koridor masjd Laode Maalim, di dekat pintu masuk kampus UHO. Kelompok mahasiswi yang melakukan aktivitas di bawah tangga masjid hingga ke teras bagian Selatan adalah aktivis LDK-Ulul Al-Bab. Kelompok mahasiswi yang melakukan pengajian di koridor masjid berasal dari MHTI. Kelompok mahasiswa yang biasanya melakukan kegiatan di teras dan dalam masjid dengan kelompok terbatas berasal dari LDK-BKLDM dan GEMA Pembebasan. Sedangkan kelompok mahasiswa/mahasiswi yang melakukan kajian di musala adalah aktivis UKKI.
Ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok organisasi mahasiswa Islam baru sangat aktif dalam melakukan aktivitas pengajian keagamaan setiap hari. Masjid dan musala menjadi pusat kegiatan mereka. Diresmikannya masjid Ld Maalim pada tahun 2005 menjadi berkah bagi kelompok-kelompok ini. Areal masjid yang luas dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan aktivitas pengajian Alquran dan kitab. Posisi masjid Ld Maalim yang dekat dengan jalan akses keluar-masuk kampus menyebabkan aktivitas mereka mudah terlihat. Ini juga menjadi poin penting bagi mereka untuk memperlihatkan diri ke publik.
Aktivitas pengajian keagamaan di masjid Ld Maalim memang cukup intensif, terutama kelompok aktivis HT dan WI. Sedangkan, aktivis UKKI (KAMMI) lebih banyak melakukan aktivitas di musala fakultas. Mereka tidak terlihat melakukan aktivitas di sekitar masjid Ld Maalim meskipun sekretariatnya ada di lantai dasar masjid. Kelompok HT setiap hari melakukan kajian-kajian terbatas dengan jumlah maksimal 5 orang. Kelompok MHTI biasanya melakukan kajian di koridor masjid. Setiap hari (selama penelitian ini dilakukan) minimal ada dua atau tiga kelompok yang melakukan pengajian kitab (khususnya karya Taqiuddin An- Nabahani). Sedangkan kelompok aktivis muslim dari HT biasanya melakukan kajian di teras atau dalam masjid selepas salat asar.
Aktivis mahasiswi dari WI pun melakukan aktif melakukan kegiatan. Mereka setiap hari berkumpul di bawah tangga masjid untuk melakukan kegiatan pengajian Alquran. Berbeda dengan MHTI, kegiatan mahasiswi WI dilakukan secara massif. Sedangkan aktivis mahasiswanya dilakukan di dalam sekertariat di lantai 2 atau dalam ruangan masjid. Selain itu, ada kegiatan rutin pengajian dan tafsir Alquran setiap hari rabu dan sabtu di masjid Ld. Maalim setelah salat asar.
Perkembangan organisasi Islam (khususnya HT dan WI) baru ini cukup massif terutama sejak tiga tahun terakhir. Jumlah mahasiswa yang tergabung dalam HTI melalui chapter LDK-BKLDM, Gema Pembebasan, dan MHTI sudah mencapai ratusan orang. Sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswi. Ada dua kategori besar mahasiswa yang menjadi pengikut HTI. Kelompok pertama dikategorikan sebagai aktivis HTI. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kelompok kedua dikategorikan sebagai simpatisan HTI. Ini yang paling banyak jumlahnya. Sayangnya, pihak aktivis HTI di kampus tidak bisa menghitung secara pasti jumlah anggota dan simpatisannya. Namun, jika melihat jumlah kelompok kajian terbatas HTI (terutama muslimah) yang jumlah mencapai 30 kelompok dengan jumlah anggota pengajian antara 3-5 maka jumlah anggota dan simpatisan HTI di kampus UHO bisa mencapai ratusan orang. Ini karena kelompok kecil yang melakukan halaqah di sekitar masjid Ld Maalim adalah rekrutan baru. Kelompok yang lebih senior biasanya melakukan pengajian di masjid lain (selain di masjid kampus) di Kota Kendari (diolah dari hasil wawancara dengan Sf, sekretaris Gema Pembebasan UHO).
Di tingkat fakultas ada forum studi yang disebut dengan Fosil (Forum Studi Islam). Fosil tersebar di sembilan fakultas, yaitu Teknik, Hukum, Fisip, Pertanian, Peternakan, Ekonomi, Mipa, dan FKIP. Jumlah anggota Fosil bisa mencapai 10-20 orang. Dengan demikian, jumlah rekrutan HTI melalui jalur Fosil bisa mencapai minimal 90 orang dari sembilan fakultas tersebut (wawancara dengan Im, Sekretaris LDK-BKLDM).
Perkembangan WI (melalui LDK Ulul Al-Bab) tampak lebih massif. Jumlah anggota aktif mereka sebanyak 500 orang lebih. Jumlah mentor saja dari kalangan mahasiswa (ikhwan) sebanyak 45 orang dan mentor dari kalangan mahasiswi (akhwat) sebanyak 90 orang. Sedangkan jumlah simpatisan bisa mencapai ribuan mahasiswa. Setidaknya setiap tahun ajaran baru, mereka berhasil mengajak dosen untuk melibatkan mahasiswanya untuk ikut dalam program bimbingan baca Qur’an atau lebih populer dengan istilah BBQ (Wawancara dengan LD, Ketua LDK Ulul Al-Bab).
Bagaimana organisasi mahasiswa lama? Harus diakui perkembangan HMI, PMII, dan IMM tidak seagresif dengan organisasi mahasiswa Islam baru ini. Pola rekruitmen kader yang bersifat struktural-formal dan tidak diikuti dengan kajian-kajian yang intensif membuat perkembangan mereka menjadi lamban. Hingga saat ini, HMI Korkom UHO hanya aktif di tiga fakultas. Begitu pula, PMII Komisariat UHO pun hanya aktif di tiga fakultas. IMM lebih parah lagi karena posisi struktural organisasi ini hanya sebatas komisariat UHO di bawah koordinasi UMK.
Keberadaan aktivis organisasi mahasiswa Islam lama di kampus UHO tidak terasa. Mereka tidak punya tempat khusus untuk melakukan kajian dan diskusi keagamaan. Mereka tidak ada di masjid dan musala kampus. Para aktivis dari kelompok ini biasanya “eksis” menjelang pemilma (pemilihan mahasiswa) atau melakukan demonstrasi di kota. Para aktivis dari kelompok ini tampaknya terjebak pada isu yang sangat pragmatis (Barlian, 2014). Tahun 2000 an, setelah gelombang reformasi selesai, gerakan aktivis mahasiswa cenderung pragmatis dan merespon isu-isu yang tidak ideal. Misalnya, aliansi organisasi mahasiswa (PMII dan BEM UHO) yang melakukan demonstrasi di depan Bank Danamon (pada hari Rabu, 3 Juni 2015). Mereka menuntut Bank Danamon untuk segera menyelesaikan kasusnya dengan nasabah. Demonstrasi menunjukkan betapa para aktivis mahasiswa ini terjebak pada isu yang ecek. Hubungan nasabah-bank bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Begitu pula, beberapa kali aktivis PMII terlibat dalam demonstrasi di Kanwil Kementerian Agama memprotes pergantian pejabat di kalangan kemenag (wawancara P).
Perkembangan organisasi/lembaga mahasiswa Islam baru di kampus UHO dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, melemahnya perhatian organisasi mahasiswa Islam lama dalam mengelola isu agama di kampus. Hal ini menyisakan ruang kosong yang bisa diisi memiliki agenda penguatan spritualitas normatif. Kajian keagamaan mereka lebih banyak diorientasikan kepada gerakan Islam sosial dan Islam subtantif. Diskusi keagamaan juga sangat jarang dilakukan. Kegiatan mereka lebih banyak dilakukan dalam bentuk demonstrasi. Berbeda dengan organisasi mahasiswa Islam baru. Pendekatan mereka lebih bersifat Islamis normatif.
Kedua, dukungan struktural. Ada beberapa orang dosen yang memback-up kegiatan dan pengembangan organisasi. Misalnya pada tahun 2013-2014, program Bidik Misi (program beasiswa untuk mahasiswa baru) dipegang oleh salah seorang dosen dari HT. Dosen ini kemudian merekrut pembimbing dari HTI untuk mendampingi para mahasiswa baru yang lolos dalam program Bidik Misi. Melalui cara ini, mahasiswa baru yang lolos program Bidik Misi didoktrin untuk menjadi bagian dari HT. Dukungan struktural lainnya adalah pihak kampus memberi ruang karena kegiatan lembaga mahasiswa baru ini dinilai sangat positif dalam membentuk moralitas. Program BBQ dari LDK dan SAINS mendapat respon positif dari para dosen. Mereka menganjurkan mahasiswanya untuk ikut dalam program ini. Hal ini ditambah dengan sifat organisasi mahasiswa Islam baru (khususnya HT dan WI) tidak punya agenda kritik terhadap kebijakan kampus. Aktivis HTI meski sering melakukan demonstrasi tetapi tidak pernah melakukan demonstrasi atas kebijakan kampus. Apalagi aktivis WI. Mereka bahkan mengharamkan demonstrasi.

Ketiga, karakteristik mahasiswa UHO adalah mahasiswa umum dengan pengetahuan agama yang relatif minim. Hal ini menyebabkan para mahasiswa mudah untuk masuk menjadi bagian dari organisasi ini. Program organisasi mahasiswa Islam baru ini bisa memberi pengayaan akan pengetahuan agama bagi mereka. Program LDK Ulul Al-bab meningkatkan kemampuan mereka dalam hal membaca Alquran. Program dari LDK BKLDM memperkaya pengetahuan keagamaan mereka secara komprehensif. Mahasiswa yang berlatar belakang pengetahuan agama yang minim tidak memiliki modal untuk menegosiasikan “doktrin” dari organisasi ini. Mereka menganggap itulah sebenarnya Islam. Mereka menerima saja semua “doktrin” keagamaan yang ditawarkan oleh organisasi tersebut sebagai kebenaran sesungguhnya dari agama Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...