HAMZAH HARUN AL RAYID, M.A & SAPRILLAH
Agenda Islamis-kultural4 lebih berorientasi pada
pembentukan komunitas Islam yang bercirikan Islam, tentu saja yang sesuai
dengan imajinasi mereka tentang Islam yang benar.
4 Istilah
Islamis-kultural digunakan untuk menyebutkan kelompok Islamis yang tidak
berorientasi politik baik dalam tindakan maupun cita-cita. Atau kelompok yang
melakukan sistem kerja yang berorientasi pada pengembangan masyarakat.
Karena berorientasi salaf, maka cita-cita masyarakat yang mereka
inginkan adalah masyarakat Islam modern yang salaf. Meski WI sempat menjadi
salah satu penyokong utama KPSI di Sulawesi Selatan tetapi mereka tidak
menjadikan gerakan politik (formalism) sebagai tujuan utama.
Bagi kaum Islamis Kultural, meng-Islam-kan masyarakat Indonesia
adalah agenda utama. Jika semua umat Islam Indonesia sudah sesuai dengan visi
mereka, maka dengan sendirinya “Negara Islam” akan mudah diwujudkan. Atas dasar
pemikiran, beberapa kelompok salafi tidak ikut memilih pada saat pemilu karena
merasa sia-sia. Selain karena pemimpin yang akan dipilih tidak mewakili
kepentingan mereka juga karena masyarakat Islam Indonesia secara umum belum
seirama dengan pemikiran mereka. Mereka akan ikut memilih apabila diyakini ada
calon pemimpin yang sesuai dengan yang mereka inginkan (diolah dari hasil
wawancara dengan AR, aktivis Salafi di Kota Kendari).
Wahda Islamiyah (WI) menjadi ikon Islamis yang cukup menarik
perhatian di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Orientasi
WI jelas mengarah kepada pembentukan sistem sosial yang berbasis Islam.
Perkembangan organisasi WI cukup pesat. Mereka memiliki cabang di hampir semua
daerah di kawasan Timur Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah (meski
perkembangannya tidak sebaik di Sulawesi Selatan). Wahda Islamiyah
merepresentasi diri sebagai organisasi salafi modern. Gerakannya pun cenderung
terorganisir dengan baik. WI menginisiasi munculnya sekolah Islam dari TK
sampai Perguruan Tinggi (STIBA) yang menarik banyak minat masyarakat muslim
kelas menengah. WI menginisiasi pengobatan penyakit jiwa melalui klinik rukyah
serta mendirikan rumah sakit, klinik bersalin, dan apotek pendukung.
Wahda Islamiyah berdiri pada tanggal 19 Pebruari tahun 1998
dipelopori oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang tergabung dalam sebuah yayasan
yang disebut Yayasan Fathul Muin. Ide utama dari Wahda Islamiyah adalah
kampanye akidah Islam yang sahih atau yang benar. Melanjutkan ide furifikasi
keagamaan ala Muhammadiyah di era tahun 1960an.
Kehadiran Wahda Islamiyah membawa semangat puritanisme baru di
Makassar. Isu perbaikan tauhid dan “pemurnian dari aliran sempalan” menjadi
salah satu yang sering didakwahkan di media TV lokal. Beberapa pentolan WI yang
membentuk LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) secara konsisten
menolak kehadiran Syiah dan Ahmadiyah di Makassar. Gerakan yang dilakukan salah
satunya dengan mengumpulkan tanda-tangan dukungan dari tokoh-tokoh agama di
Makassar untuk memberi persetujuan terhadap pemurnian akidah umat dari pengaruh
syiah. Mereka pun seringkali ‘memblokade’ kegiatan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul
Bait Indonesia) dan seringkali melakukan kegiatan dakwah yang bertemakan
‘penyelamatan akidah dari aliran sesat’.
Kelompok Islamis kultural lainnya adalah kelompok Salafi Yaman
yang bermarkas di Baji Rupa dan tergabung dalam sebuah yayasan Ma’had An-Nasyat
Al-Islami. Kelompok ini mengklaim diri sebagai kelompok yang paling salafi.
Mereka menuding WI bukanlah gerakan salafi dengan alasan tertentu. Sebagaimana
WI, kaum salafi lebih sering mengampanyekan pemurnian akidah Islam dari
pengaruh duniawi. Mereka hidup untuk melestarikan tradisi keagamaan kamum
salafi. Karena itu mereka menolak seluruh hal yang dianggap bid’ah. Mereka
mengklaim diri sebagai salafi murni. Menariknya, mereka anti formalisasi
syariah. Syariah harus dijalankan dan didakwahkan secara kultural. Setelah
akidah dan akhlak umat bagus baru gagasan tentang negara itu difikirkan.
Bentuk utama dari gerakan salafi ini adalah pendidikan. Mereka
mendirikan pesantren salafi yang bermarkas di Jalan Baji Rupa Makassar sejak
tahun 2001 dengan nama Ma’had Assunah di bawah naungan Yayasan Ma’had An-Nasyat
Al-Islami. Mereka menerima santri dari berbagai daerah di kawasan Timur
Indonesia. Ma’had Assunnah menerapkan dua sistem pengajaran; pengajian umum dan
takhassus. Pengajian umum diikuti oleh semua santri sedang pengajian takhassus
menyediakan kesempatan bagi para santri untuk mendalami satu materi pelajaran
tertentu.
Di Sulawesi Tenggara, muncul gerakan salafisme melalui dunia
pendidikan yang cukup mendapat sambutan dari masyarakat. Mereka dikenal dengan
nama ICM (Islamic Centre Muadz bin Jabal). Gerakan ICM terlihat lebih menonjol
karena infrastrukturnya lebih kuat. Lewat lembaga pendidikan (dari TK-SMA dan
tingkat lanjutan), pengajian rutin di Masjid Muadz bin Jabal, dan radio Muadz
bin Jabal, eksistensi ICM di Kendari semakin kuat. Animo warga terhadap lembaga
pendidikan yang dikelola ICM setiap tahun semakin meningkat, antusiasme jamaah
mengikuti pengajian rutin selama beberapa tahun belakangan juga cukup tinggi,
dan radio Muadz bin Jabal menjadi satu-satunya radio yang secara konsisten
berdakwah.
ICM adalah jenis kelompok salafi yang adaptif. Mereka menjalin
kerjasama dengan pihak pemerintah dalam hal penanggulangan terorisme, mereka
menyediakan dai di Kepolisian dan beberapa lembaga swasta. Mereka juga
menyebarkan metode dakwah yang relatif adaptif. Mereka tidak alergi untuk
memasang simbol Negara (Bendera Merah Putih di kantor dan halaman kampus).
Mereka menerima Pancasila. Mereka juga tidak memiliki agenda politik yang
memudahkan masuk kotak perbedaan. Para dai ICM mengakui tidak segan ikut qunut
di belakang imam yang qunut karena hanya bersifat khilafiah Dai dari
ICM dikenali memiliki kemampuan menjelaskan narasi keagamaan dengan basis teks
yang baik. Tradisi masyarakat yang dianggap bid’ah tidak dijatuhkan begitu saja
tetapi diletakkan dalam fondasi “teks keagamaan “ primer.
ICM akan memiliki pengaruh yang cukup besar di Kendari dalam
beberapa waktu ke depan. Ustad Zezen yang berusia relatif masih muda memiliki
masih cukup banyak waktu untuk menjadi “kyai besar” di Kota Kendari. Ini juga
karena pola kaderisasi tokoh agama di organisasi lain tidak terlihat. Tidaklah
mengherankan kalau ICM mendapatkan kepercayaan yang cukup besar dalam konteks
keagamaan. Misalnya membina Napi Teroris enam bulan sebelum pelepasan.
Selain ICM, ada pula kelompok salafi yang menamakan diri sebagai
kelompok pengajian ahlusunnah wal jamaah. Kelompok salafi ini semula
tergabung dalam kelompok minhajussunnah. Mereka memisahkan diri setelah
terjadi perbedaan pendapat (tidak diceritakan perbedaan pendapat tersebut) lalu
membentuk kelompok pengajian dan menamakan diri sebagai jamaah ahlussunnah
wal jamaah.
Cikal bakal kelompok ini sebetulnya dimulai pada tahun 1994.
Seorang tokoh salafi bernama Abu Izzi datang membuka pengajian di salah satu
masjid dekat kampus lama UHO. Pengajian Abu Izzi sempat menimbulkan polemik
karena menawarkan paradigma keagamaan yang berbeda. Jamaah perempuannya
bercadar. Hal ini menginisiasi sekelompok pemuda masjid untuk mendatangi
pengajian Abu Izzi dengan tujuan berdebat. Namun rupanya diskusi itu justeru
menjadi ruang pembenaran. Sekelompok pemuda tadi malah menjadi jamaah pengajian
Abu Izzi. Setelah Abu Izzi kembali, beberapa anggota jamaah memutuskan untuk ke
Jawa untuk menempuh pendidikan di pesantren pimpinan Jafar Umar Thalib. AR
(salah satu pentolan jamaah Ahlussunnah wal jamaah) mengakui pernah ikut ke
Ambon ketika terjadi perang disana. Dia bertugas di bagian kesekretariatan.
Setelah perang, memutuskan kembali ke Kendari, bersama dengan teman-temannya
mendirikan yayasan minhajussunnah yang bergerak di bidang pendidikan.
Kelompok Ahlussunnah wal jamaah adalah sebuah komunitas atau
perkumpulan pengajian, bukan organisasi yang terstruktur. Mereka tidak mengenal
istilah pimpinan atau ketua kelompok. Yang ada hanya ustad yang secara rutin
memberi pengajian. Oleh karena itu, jumlah anggota perkumpulan tidak dicatat.
Jamaah yang ikut dalam pengajian biasanya berasal dari warga sekitar masjid
tempat pengajian itu dilaksanakan. Kelompok ini merupakan afiliasi dari
kelompok salafi dari Ma’had Nasyad Al-Islami (MANIS) di (jalan Baji Rupa)
Makassar. Meski demikian, mereka sudah membentuk yayasan yang bernama Markas
Da’wah Arrisalah yang bermarkas di Jalan Prof. Rauf Tarimana (Kambu).
Kelompok ini secara jelas menyebut diri mereka sebagai salafi.
Salafi dalam perspektif mereka berarti mengikuti cara keagamaan Rasulullah,
sahabat-sahabat, dan tabi’in. Salah seorang informan menolak istilah Wahabi.
Istilah Wahabi adalah istilah eksternal yang sangat simplistis. Muhammad bin
Abdul Wahhab memang rujukan utama salafi, tetapi bukan satu-satunya. Mereka
lebih senang disebut sebagai salafi (wawancara AR). Bagi salafi, agama Islam
telah sempurna. Segala sesuatu yang ada dalam Alquran dan Sunnah adalah
prototipe yang paripurna. Umat Islam tinggal mengikutinya saja tanpa perlu
mengurangi, menambah, dan mengotak-atik lagi. Apabila ada umat Islam yang
menambah konsep Islam ini berarti Islam itu tidak sempurna. Jadi, tujuan
kehadiran mereka adalah mengajak umat manusia untuk hidup berdasarkan cara
hidup Nabi Muhammad dan sahabatnya. Apa yang diperintahkan oleh Aquran dan
hadits itulah yang diikuti dan apa yang dilarang harus dijauhi. Sebagai contoh
kecil, salah satu hadits menyebutkan larangan menggambar manusia. Mereka
mengikuti itu dengan tidak mau difoto kecuali hal mendesak seperti untuk
pengurusan kartu tanda penduduk (wawancara Y dan A).
Tradisi masyarakat yang berkaitan dengan keagamaan seperti maulid,
barzanji, dan peringatan-peringatan keagamaan lainnya adalah bentuk penambahan
agama yang harus dihindari. Meski diakui bahwa dalam kegiatan maulid banyak hal
yang bermanfaat seperti pembacaan shalawat nabi tetapi perayaan yang disematkan
pada hari kelahiran Nabi Muhammad tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad,
para sahabat, dan para tabiin. Jadi, kegiatan ini tidak memiliki akar dalam
teks dan kebiasaan kaum salaf. Yang dibolehkan adalah hal-hal yang mendukung
kenyamanan agama. Misalnya membuat lantai masjid dari tegel, memakai pengeras suara
dalam shalat—meski tidak ada contohnya di zaman Rasulullah- tetapi hal ini
dimaksud untuk mendukung agama, bukan menambah atau mengurangi dasar agama.
Termasuk pakaian, asal sesuai dengan tata cara yang dianjurkan Islam maka jenis
kain dan model pakaian tidaklah masalah (wawancara AR). Tampilan fisik kelompok
ahlussunnah wal jamaah seperti kelompok salafi pada umumnya, bercelana kain
cingkrang, berjanggut, dan berbaju gamis bagi laki-laki. Ketika imam, tidak
mengeraskan basmalah.
Kajian keagamaan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah di Kota Kendari
sangat intensif. Setiap hari mereka melakukan kajian, bahkan kadang-kadang
bersamaan waktunya. 11 Masjid di Kendari tempat mereka melakukan kajian rutin,
1 masjid lainnya di Konawe Selatan (Konda). Tema kajian meliputi akidah, fiqih,
hadits, dan pelajaran bahasa Arab sebagai imu alat. Kitab-kitab yang mereka
kaji adalah kitab utama rujukan kaum salafi dari Syekh Abdul Wahab, Syekh Ibnu
Taimiyah, Syekh Abdullah bin Baz, Syekh Ustaimin, dan Dr. Fauzan Shalihin.
Yang menarik adalah gerakan Islamis kultural mampu menarik
perhatian kaum muda, khususnya di kalangan mahasiswa. Sebagian dari kelompok
Islamis ini mampu menguasai LDK (Lembaga Dakwah Kampus) dan membuat program
yang menarik perhatian mahasiswa muslim yang ingin mempelajari agama.
Sebagai contoh kasus yang terjadi di kampus Universitas Halu Oleo,
Kota Kendari. Tahun 2000 adalah tahun monumental dari perkembangan organisasi
mahasiswa Islam (baru) di UHO. Di tahun ini, organisasi mahasiswa Islam baru
mulai membangun kekuatan. Isu Islam (formal) yang mereka tawarkan ke kampus
mendapatkan perhatian yang baik. KAMMI dengan isu Islam akhlaki dan gerakan
moral, LDK-BKLDM (HT) dengan isu khilafah dan gerakan politik Islam, dan LDK
Ulul Al-Bab (WI) dengan isu Alquran. Ketiga kelompok organisasi ini mulai
menguasai masjid dan musala kampus.
Tahun 2000-an memang merupakan tahun ekspansi organisasi baru di
Kota Kendari. Organisasi Islam (baru) seperti HTI, dan WI mulai mengembangkan
sayap mereka. Bersamaan dengan itu berkembang pula pesantren salafi. Kelompok
pengajian Muadz bin Jabal yang dibina oleh lulusan dari haramain pun mulai
berkembang di Kota Kendari beberapa tahun belakangan ini. Organisasi-organisasi
kemudian melebarkan sayap mereka hingga ke kabupaten-kabupaten. Bahkan kelompok
keagamaan lama seperti JT (Jamaah Tabligh) dan LDII (Lembaga Dakwah Islam
Indonesia) dan kelompok aliran seperti Ahmadiyah pun ikut berkembang di tahun
2000an (Saprillah, 2008). Ini berbanding terbalik dengan organisasi keagamaan
yang lama seperti NU dan Muhammadiyah. Perkembangan keduanya relatif stagnan.
Kehadiran organisasi mahasiswa Islam baru (khususnya HT dan WI)
menggeser peran organisasi mahasiswa Islam lama (HMI, PMII, dan IMM) di kampus
dalam hal pengelolaan isu agama. Kajian-kajian keislaman saat ini lebih banyak
dikelola oleh kelompok baru ini. Sedangkan aktivis mahasiswa dari HMI, PMII dan
IMM lebih berorientasi politis dan reaktif terhadap isu-isu tertentu (yang
tidak terkait dengan isu agama). Akibatnya, kehadiran aktivis organisasi lama
di kampus tidak terlalu terasa.
Setiap hari, sangat mudah ditemukan mahasiswi atau mahasiswa yang
melakukan kajian-kajian di sudut koridor masjd Laode Maalim, di dekat pintu
masuk kampus UHO. Kelompok mahasiswi yang melakukan aktivitas di bawah tangga
masjid hingga ke teras bagian Selatan adalah aktivis LDK-Ulul Al-Bab. Kelompok
mahasiswi yang melakukan pengajian di koridor masjid berasal dari MHTI.
Kelompok mahasiswa yang biasanya melakukan kegiatan di teras dan dalam masjid
dengan kelompok terbatas berasal dari LDK-BKLDM dan GEMA Pembebasan. Sedangkan
kelompok mahasiswa/mahasiswi yang melakukan kajian di musala adalah aktivis
UKKI.
Ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok organisasi mahasiswa Islam
baru sangat aktif dalam melakukan aktivitas pengajian keagamaan setiap hari.
Masjid dan musala menjadi pusat kegiatan mereka. Diresmikannya masjid Ld Maalim
pada tahun 2005 menjadi berkah bagi kelompok-kelompok ini. Areal masjid yang
luas dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan aktivitas pengajian Alquran dan
kitab. Posisi masjid Ld Maalim yang dekat dengan jalan akses keluar-masuk
kampus menyebabkan aktivitas mereka mudah terlihat. Ini juga menjadi poin
penting bagi mereka untuk memperlihatkan diri ke publik.
Aktivitas pengajian keagamaan di masjid Ld Maalim memang cukup
intensif, terutama kelompok aktivis HT dan WI. Sedangkan, aktivis UKKI (KAMMI)
lebih banyak melakukan aktivitas di musala fakultas. Mereka tidak terlihat
melakukan aktivitas di sekitar masjid Ld Maalim meskipun sekretariatnya ada di
lantai dasar masjid. Kelompok HT setiap hari melakukan kajian-kajian terbatas dengan
jumlah maksimal 5 orang. Kelompok MHTI biasanya melakukan kajian di koridor
masjid. Setiap hari (selama penelitian ini dilakukan) minimal ada dua atau tiga
kelompok yang melakukan pengajian kitab (khususnya karya Taqiuddin An-
Nabahani). Sedangkan kelompok aktivis muslim dari HT biasanya melakukan kajian
di teras atau dalam masjid selepas salat asar.
Aktivis mahasiswi dari WI pun melakukan aktif melakukan kegiatan.
Mereka setiap hari berkumpul di bawah tangga masjid untuk melakukan kegiatan
pengajian Alquran. Berbeda dengan MHTI, kegiatan mahasiswi WI dilakukan secara
massif. Sedangkan aktivis mahasiswanya dilakukan di dalam sekertariat di lantai
2 atau dalam ruangan masjid. Selain itu, ada kegiatan rutin pengajian dan
tafsir Alquran setiap hari rabu dan sabtu di masjid Ld. Maalim setelah salat
asar.
Perkembangan organisasi Islam (khususnya HT dan WI) baru ini cukup
massif terutama sejak tiga tahun terakhir. Jumlah mahasiswa yang tergabung
dalam HTI melalui chapter LDK-BKLDM, Gema Pembebasan, dan MHTI sudah mencapai
ratusan orang. Sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswi. Ada dua kategori
besar mahasiswa yang menjadi pengikut HTI. Kelompok pertama dikategorikan
sebagai aktivis HTI. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kelompok kedua
dikategorikan sebagai simpatisan HTI. Ini yang paling banyak jumlahnya.
Sayangnya, pihak aktivis HTI di kampus tidak bisa menghitung secara pasti
jumlah anggota dan simpatisannya. Namun, jika melihat jumlah kelompok kajian
terbatas HTI (terutama muslimah) yang jumlah mencapai 30 kelompok dengan jumlah
anggota pengajian antara 3-5 maka jumlah anggota dan simpatisan HTI di kampus
UHO bisa mencapai ratusan orang. Ini karena kelompok kecil yang melakukan
halaqah di sekitar masjid Ld Maalim adalah rekrutan baru. Kelompok yang lebih
senior biasanya melakukan pengajian di masjid lain (selain di masjid kampus) di
Kota Kendari (diolah dari hasil wawancara dengan Sf, sekretaris Gema Pembebasan
UHO).
Di tingkat fakultas ada forum studi yang disebut dengan Fosil (Forum
Studi Islam). Fosil tersebar di sembilan fakultas, yaitu Teknik, Hukum, Fisip,
Pertanian, Peternakan, Ekonomi, Mipa, dan FKIP. Jumlah anggota Fosil bisa
mencapai 10-20 orang. Dengan demikian, jumlah rekrutan HTI melalui jalur Fosil
bisa mencapai minimal 90 orang dari sembilan fakultas tersebut (wawancara
dengan Im, Sekretaris LDK-BKLDM).
Perkembangan WI (melalui LDK Ulul Al-Bab) tampak lebih massif.
Jumlah anggota aktif mereka sebanyak 500 orang lebih. Jumlah mentor saja dari
kalangan mahasiswa (ikhwan) sebanyak 45 orang dan mentor dari kalangan
mahasiswi (akhwat) sebanyak 90 orang. Sedangkan jumlah simpatisan bisa mencapai
ribuan mahasiswa. Setidaknya setiap tahun ajaran baru, mereka berhasil mengajak
dosen untuk melibatkan mahasiswanya untuk ikut dalam program bimbingan baca
Qur’an atau lebih populer dengan istilah BBQ (Wawancara dengan LD, Ketua
LDK Ulul Al-Bab).
Bagaimana organisasi mahasiswa lama? Harus diakui perkembangan
HMI, PMII, dan IMM tidak seagresif dengan organisasi mahasiswa Islam baru ini.
Pola rekruitmen kader yang bersifat struktural-formal dan tidak diikuti dengan
kajian-kajian yang intensif membuat perkembangan mereka menjadi lamban. Hingga
saat ini, HMI Korkom UHO hanya aktif di tiga fakultas. Begitu pula, PMII
Komisariat UHO pun hanya aktif di tiga fakultas. IMM lebih parah lagi karena
posisi struktural organisasi ini hanya sebatas komisariat UHO di bawah
koordinasi UMK.
Keberadaan aktivis organisasi mahasiswa Islam lama di kampus UHO
tidak terasa. Mereka tidak punya tempat khusus untuk melakukan kajian dan
diskusi keagamaan. Mereka tidak ada di masjid dan musala kampus. Para aktivis
dari kelompok ini biasanya “eksis” menjelang pemilma (pemilihan mahasiswa) atau
melakukan demonstrasi di kota. Para aktivis dari kelompok ini tampaknya
terjebak pada isu yang sangat pragmatis (Barlian, 2014). Tahun 2000 an, setelah
gelombang reformasi selesai, gerakan aktivis mahasiswa cenderung pragmatis dan
merespon isu-isu yang tidak ideal. Misalnya, aliansi organisasi mahasiswa (PMII
dan BEM UHO) yang melakukan demonstrasi di depan Bank Danamon (pada hari Rabu,
3 Juni 2015). Mereka menuntut Bank Danamon untuk segera menyelesaikan kasusnya
dengan nasabah. Demonstrasi menunjukkan betapa para aktivis mahasiswa ini
terjebak pada isu yang ecek. Hubungan nasabah-bank bisa diselesaikan melalui
jalur hukum. Begitu pula, beberapa kali aktivis PMII terlibat dalam demonstrasi
di Kanwil Kementerian Agama memprotes pergantian pejabat di kalangan kemenag
(wawancara P).
Perkembangan organisasi/lembaga mahasiswa Islam baru di kampus UHO
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, melemahnya perhatian
organisasi mahasiswa Islam lama dalam mengelola isu agama di kampus. Hal ini
menyisakan ruang kosong yang bisa diisi memiliki agenda penguatan spritualitas
normatif. Kajian keagamaan mereka lebih banyak diorientasikan kepada gerakan
Islam sosial dan Islam subtantif. Diskusi keagamaan juga sangat jarang
dilakukan. Kegiatan mereka lebih banyak dilakukan dalam bentuk demonstrasi.
Berbeda dengan organisasi mahasiswa Islam baru. Pendekatan mereka lebih
bersifat Islamis normatif.
Kedua, dukungan struktural. Ada
beberapa orang dosen yang memback-up kegiatan dan pengembangan organisasi.
Misalnya pada tahun 2013-2014, program Bidik Misi (program beasiswa untuk
mahasiswa baru) dipegang oleh salah seorang dosen dari HT. Dosen ini kemudian
merekrut pembimbing dari HTI untuk mendampingi para mahasiswa baru yang lolos
dalam program Bidik Misi. Melalui cara ini, mahasiswa baru yang lolos program
Bidik Misi didoktrin untuk menjadi bagian dari HT. Dukungan struktural lainnya
adalah pihak kampus memberi ruang karena kegiatan lembaga mahasiswa baru ini
dinilai sangat positif dalam membentuk moralitas. Program BBQ dari LDK dan
SAINS mendapat respon positif dari para dosen. Mereka menganjurkan mahasiswanya
untuk ikut dalam program ini. Hal ini ditambah dengan sifat organisasi mahasiswa
Islam baru (khususnya HT dan WI) tidak punya agenda kritik terhadap kebijakan
kampus. Aktivis HTI meski sering melakukan demonstrasi tetapi tidak pernah
melakukan demonstrasi atas kebijakan kampus. Apalagi aktivis WI. Mereka bahkan
mengharamkan demonstrasi.
Ketiga,
karakteristik mahasiswa UHO adalah mahasiswa umum dengan
pengetahuan agama yang relatif minim. Hal ini menyebabkan para mahasiswa mudah
untuk masuk menjadi bagian dari organisasi ini. Program organisasi mahasiswa Islam
baru ini bisa memberi pengayaan akan pengetahuan agama bagi mereka. Program LDK
Ulul Al-bab meningkatkan kemampuan mereka dalam hal membaca Alquran. Program
dari LDK BKLDM memperkaya pengetahuan keagamaan mereka secara komprehensif.
Mahasiswa yang berlatar belakang pengetahuan agama yang minim tidak memiliki
modal untuk menegosiasikan “doktrin” dari organisasi ini. Mereka menganggap
itulah sebenarnya Islam. Mereka menerima saja semua “doktrin” keagamaan yang
ditawarkan oleh organisasi tersebut sebagai kebenaran sesungguhnya dari agama
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar