HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kaum Islamis politis dan kultural akan menghindari menggunakan
cara kekerasan sebagai alat perjuangan. Sebaliknya kelompok Islamis radikal,
lebih mengedepankan cara kekerasan sebagai alat perjuangan.
Kelompok Islamis meski memiliki ideologi keagamaan dan tampilan
fisik yang relatif mirip tetapi memiliki agenda yang berbeda-beda. Mereka pun
sulit dianggap sebagai kelompok yang sama. Karenanya –untuk memudahkan
pengamatan dan pemahaman- kelompok Islamis bisa dibagi setidaknya dalam tiga
kategori, Islamis-politis, Islamis-kultural, dan Islamis-radikal. Perbedaan
yang paling mencolok adalah gerakannya. Kaum Islamis politis dan kultural akan
menghindari menggunakan cara kekerasan sebagai alat perjuangan. Sebaliknya
kelompok Islamis radikal, lebih mengedepankan cara kekerasan sebagai alat
perjuangan.
Shireen T. Hunter (dalam Syarkun dan Ghorara, 2004: 492- 493)
mengemukakan enam ciri khas ideologi kaum Islamis, yaitu: 1) konsep din wa
daulah. Integrasi agama dan negara. Ini merupakan ciri khas Islamis-politis
di Indonesia; 2) kembali kepada Alquran dan Sunnah, dengan optik skriptualis
dan totalistik. Ini kemudian yang membedakan kaum Islamis dan kelompok Islam
nusantara, dimana kelompok kedua menerjemahkan ‘kembali ke teks primer’ dengan
perspektif yang lentur; 3) puritanisme dan keadilan sosial; 4) berpegang teguh
kepada kedaulatan syariat Islam. Islam harus menjadi basis konstitusi dalam
bernegara; 5) menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Jihad yang dipahami
dalam konteks pertarungan dan perang terbuka. Bom bunuh diri, melakukan
tindakan kekerasan adalah ekspresi mereka tentang jihad; 6) perlawanan terhadap
Barat. Pengertian Barat biasanya lebih dekat kepada Amerika dan kelompok sekutunya
di daratan Eropa.
Upaya rekonstruksi ideologi yang disederhanakan oleh Shiren T
Hunter dalam enam basis ideologis juga ternyata sulit untuk dijelaskan secara
komprehensif, khususnya di Indonesia. Doktrin ‘kembali ke Alquran dan Sunnah’
yang selama ini diletakkan kepada kelompok tertentu saja sebenarnya sangat
politis, mengingat seluruh aliran dalam Islam meletakkan Alquran dan Sunnah
sebagai landasan utama atau sumber utama pengambilan keputusan. Memang, doktrin
kembali ke Alquran dan Sunnah sangat populer di kalangan kaum puritanis Islam
era Wahabian sebagai refleksi dari keinginan untuk memurnikan ajaran Islam dari
bentuk-bentuk tradisional yang disebut khurafat. Jargon ini digunakan oleh
Muhammad Abdul Wahab bekerja sama dengan Ibnu Saud untuk menghancurkan artefak
sejarah yang dianggap sebagai sumber penyimpangan dalam ajaran Islam. Di
Indonesia, Muhammadiyah dengan semangat modernisme menggunakan jargon ini untuk
mengkritik beberapa model keberagamaan yang berkembang dalam masyarakat Islam
yang sarat dengan nuansa tradisional.
Dalam kamus sosiologi Islam Indonesia, kita mengenal term TBC
(Tahayul, Bid’ah dan Churafat). Istilah ini dimunculkan oleh Muhammadiyah untuk
mendefenisikan tradisi keislaman masyarakat nusantara yang bercampurbaur dengan
kebudayaan lokal. Akan tetapi, kelompok Islam tradisional pun memiliki semangat
yang sama dengan optik yang berbeda. Misalnya dalam kasus ru’yah hilal tadi. NU
mengajak umat untuk sedekat mungkin dengan teks primer, dengan mendahulukan
metode “melihat” ketimbang “menghitung”. Dalam konteks hilal menjelang Ramadhan
dan Lebaran, “melihat” merupakan perintah teks primer, sedangkan “menghitung”
adalah kreatifitas umat.
NU dalam konteks ini sedang mengajak untuk kembali ke Alquran dan
hadits, sedekat mungkin. Muhammadiyah yang lebih dekat dengan jargon “kembali
ke Alquran dan hadits” dalam pengertian puritan justeru mengabaikan teks
“melihat” dan lebih memilih menggunakan cara “menghitung” yang didalamnya sudah
mengandung teks “melihat” itu. Artinya, jika dilepaskan dari makna politisnya,
jargon kembali ke Alquran dan Hadits adalah jargon seluruh kelompok Islam,
tentu dengan cara kembali yang berbeda-beda.
Atau
ideologi jihad. Jihad sebenarnya adalah bagian yang penting dalam ajaran Islam.
Jihad adalah ruh gerakan yang membuat seorang muslim tidak takut apapun dalam
melakukan perjuangan. Janji surga, kemuliaan sebagai manusia, dan pahala yang
berlipat ganda menyebabkan jihad menjadi elemen penggerak yang sangat penting.
Jihad dikenal di semua kelompok Islam dengan pengertian yang berbeda-beda.
Kelompok Islam moderat seperti Nu- Muhammadiyah lebih memaknai jihad sebagai
upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih tujuan yang mulia. Jadi, meletakkan
jihad sebagai latar ideologi radikal sebenarnya adalah sebuah kekeliruan. Ini
berarti para peneliti Barat menggiring pemahaman yang sempit tentang jihad,
terutama yang bersumber dari kelompok Islamis-radikal semata. Dan itu sama
sekali buruk!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar