Senin, 15 Januari 2018

Mengenali Agenda Kaum Islamis Indonesia

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kaum Islamis politis dan kultural akan menghindari menggunakan cara kekerasan sebagai alat perjuangan. Sebaliknya kelompok Islamis radikal, lebih mengedepankan cara kekerasan sebagai alat perjuangan.

Kelompok Islamis meski memiliki ideologi keagamaan dan tampilan fisik yang relatif mirip tetapi memiliki agenda yang berbeda-beda. Mereka pun sulit dianggap sebagai kelompok yang sama. Karenanya –untuk memudahkan pengamatan dan pemahaman- kelompok Islamis bisa dibagi setidaknya dalam tiga kategori, Islamis-politis, Islamis-kultural, dan Islamis-radikal. Perbedaan yang paling mencolok adalah gerakannya. Kaum Islamis politis dan kultural akan menghindari menggunakan cara kekerasan sebagai alat perjuangan. Sebaliknya kelompok Islamis radikal, lebih mengedepankan cara kekerasan sebagai alat perjuangan.
Shireen T. Hunter (dalam Syarkun dan Ghorara, 2004: 492- 493) mengemukakan enam ciri khas ideologi kaum Islamis, yaitu: 1) konsep din wa daulah. Integrasi agama dan negara. Ini merupakan ciri khas Islamis-politis di Indonesia; 2) kembali kepada Alquran dan Sunnah, dengan optik skriptualis dan totalistik. Ini kemudian yang membedakan kaum Islamis dan kelompok Islam nusantara, dimana kelompok kedua menerjemahkan ‘kembali ke teks primer’ dengan perspektif yang lentur; 3) puritanisme dan keadilan sosial; 4) berpegang teguh kepada kedaulatan syariat Islam. Islam harus menjadi basis konstitusi dalam bernegara; 5) menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Jihad yang dipahami dalam konteks pertarungan dan perang terbuka. Bom bunuh diri, melakukan tindakan kekerasan adalah ekspresi mereka tentang jihad; 6) perlawanan terhadap Barat. Pengertian Barat biasanya lebih dekat kepada Amerika dan kelompok sekutunya di daratan Eropa.
Upaya rekonstruksi ideologi yang disederhanakan oleh Shiren T Hunter dalam enam basis ideologis juga ternyata sulit untuk dijelaskan secara komprehensif, khususnya di Indonesia. Doktrin ‘kembali ke Alquran dan Sunnah’ yang selama ini diletakkan kepada kelompok tertentu saja sebenarnya sangat politis, mengingat seluruh aliran dalam Islam meletakkan Alquran dan Sunnah sebagai landasan utama atau sumber utama pengambilan keputusan. Memang, doktrin kembali ke Alquran dan Sunnah sangat populer di kalangan kaum puritanis Islam era Wahabian sebagai refleksi dari keinginan untuk memurnikan ajaran Islam dari bentuk-bentuk tradisional yang disebut khurafat. Jargon ini digunakan oleh Muhammad Abdul Wahab bekerja sama dengan Ibnu Saud untuk menghancurkan artefak sejarah yang dianggap sebagai sumber penyimpangan dalam ajaran Islam. Di Indonesia, Muhammadiyah dengan semangat modernisme menggunakan jargon ini untuk mengkritik beberapa model keberagamaan yang berkembang dalam masyarakat Islam yang sarat dengan nuansa tradisional.
Dalam kamus sosiologi Islam Indonesia, kita mengenal term TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat). Istilah ini dimunculkan oleh Muhammadiyah untuk mendefenisikan tradisi keislaman masyarakat nusantara yang bercampurbaur dengan kebudayaan lokal. Akan tetapi, kelompok Islam tradisional pun memiliki semangat yang sama dengan optik yang berbeda. Misalnya dalam kasus ru’yah hilal tadi. NU mengajak umat untuk sedekat mungkin dengan teks primer, dengan mendahulukan metode “melihat” ketimbang “menghitung”. Dalam konteks hilal menjelang Ramadhan dan Lebaran, “melihat” merupakan perintah teks primer, sedangkan “menghitung” adalah kreatifitas umat.
NU dalam konteks ini sedang mengajak untuk kembali ke Alquran dan hadits, sedekat mungkin. Muhammadiyah yang lebih dekat dengan jargon “kembali ke Alquran dan hadits” dalam pengertian puritan justeru mengabaikan teks “melihat” dan lebih memilih menggunakan cara “menghitung” yang didalamnya sudah mengandung teks “melihat” itu. Artinya, jika dilepaskan dari makna politisnya, jargon kembali ke Alquran dan Hadits adalah jargon seluruh kelompok Islam, tentu dengan cara kembali yang berbeda-beda.

Atau ideologi jihad. Jihad sebenarnya adalah bagian yang penting dalam ajaran Islam. Jihad adalah ruh gerakan yang membuat seorang muslim tidak takut apapun dalam melakukan perjuangan. Janji surga, kemuliaan sebagai manusia, dan pahala yang berlipat ganda menyebabkan jihad menjadi elemen penggerak yang sangat penting. Jihad dikenal di semua kelompok Islam dengan pengertian yang berbeda-beda. Kelompok Islam moderat seperti Nu- Muhammadiyah lebih memaknai jihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih tujuan yang mulia. Jadi, meletakkan jihad sebagai latar ideologi radikal sebenarnya adalah sebuah kekeliruan. Ini berarti para peneliti Barat menggiring pemahaman yang sempit tentang jihad, terutama yang bersumber dari kelompok Islamis-radikal semata. Dan itu sama sekali buruk! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...