HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Pada September 2016, salah
satu kelompok Islam “garis keras”, Front Pembela Islam, berdasarkan informasi
yang dilansir media lokal, menyerbu Gereja Toraja Bontomarannu di Jalan
Cenderawasih, Makassar. Ormas yang terbentuk di era reformasi ini menuding,
gereja di Jalan Cenderawasih tidak mengantongi izin
mendirikan bangunan (IMB),
serta memalsukan tanda tangan jamaah gereja dan tanda tangan persetujuan warga
di sekitar gereja (Wawancara, Panglima FPI Makassar, Abdur Rahman, 11 Oktober
2016, di Makassar).
8 Data tentang ini diambil dari penelitian
Syamsurijal dan Irfan Syuhudi (2016).
Sementara itu,
pada waktu yang berbeda, Gereja Toraja di Jalan Bawakaraeng dilempari batu
orang tak dikenal ketika jemaat tengah melaksanakan ibadah Minggu, pukul 21.30
Wita, 25 September 2016. Sebanyak 15 orang berpakaian hitam-hitam mendatangi
gereja pada saat jemaat tengah beribadah. Tidak ada korban jiwa dalam insiden
ini. Namun, aparat keamanan belum menemukan pelaku dari pelemparan batu yang
nyaris memecahkan kaca jendela gereja tersebut.
Kendati
aksi tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa, namun informasi penyerbuan
rumah ibadat ini menyebabkan ketegangan di kalangan umat Kristen. Karena itu,
sebelum terjadi peristiwa susulan yang dapat mengancam kerukunan antarumat
beragama di Makassar, pemerintah langsung terjun ke lapangan. Wali Kota
Makassar, Ramadani “Danny” Pomanto, langsung mempertemukan pengurus Gereja
Toraja dengan FPI, yang ikut dihadiri Tripika, Danramil, dan Kapolsek Mamajang.
Pertemuan ini menghasilkan, antara lain, kedua pihak sepakat untuk bersama-sama
menjaga keamanan tetap aman, dan tidak terpancing provokasi yang bisa
menyebabkan perpecahan antara sesama warga, dan pembangunan gereja akan dievalusi
kembali. Pemerintah berharap kejadian ini tidak terulang kembali, dan mengajak
semua warga untuk bersama-sama menjaga keamanan Makassar.
Selain
pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, organisasi
masyarakat (ormas) Islam, dan aktivis mahasiswa Kristen, langsung bersuara.
Semua sepakat mengecam aksi yang mengancam kerukunan antarumat beragama di kota
ini. Ketua MUI Sulsel, KH Sanusi Baco, misalkan, mengimbau masyarakat untuk
tidak terprovokasi. Seluruh umat manusia harus saling menjaga satu sama lain,
kendati terdapat perbedaan agama. “Muslim yang hakiki harus menjaga keamanan
antar umat beragama. Meski terdapat perbedaan agama, kita harus saling
menjaganya agar tidak ada konflik yang terjadi di masyarakat,” kata Sanusi
Baco, seperti dikutip di http://news.rakyatku.com/read/
21944/2016/09/25/-meski-beda-agama-kita-tetap-satu-, yang diakses 14 Oktober
2016. Dari kalangan ormas Islam, Ketua Muhammadiyah Sulsel, Ambo Asse, seperti
dilansir di http:// news.rakyatku.com/read/21952/2016/09/26/ini-tanggapan-muhammadiyah-terkait-kisruh-gereja-toraja,
pada 14 Oktober 2016, menyatakan, penyerangan terhadap rumah ibadat tak
dibenarkan dalam ajaran agama. Bahkan, ia menganggap hal tersebut melanggar
aturan.
Panglima
FPI Makassar, Abdur Rahman, menjelaskan, sebelum mendatangi gereja di Jalan
Cenderawasih, beberapa warga mendatangi markasnya di Jalan Sungai Limboto,
Makassar. Warga melapor, bahwa bunyi suara yang ditimbulkan dari pembangunan
gereja itu dianggap mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar gereja. Ketika
warga mendatangi pengurus gereja dan mengeluhkan bunyi suara-suara itu,
pengurus gereja malah dinilai bersikap arogan. Hal inilah yang membuat warga
kecewa dan kemudian mengadu ke FPI. Atas laporan warga, beberapa anggota FPI
kemudian mendatangi gereja tersebut.
Menurut
Abdur Rahman, meski yang terlibat dalam aksi secara formal adalah FPI, namun
tidak berarti bahwa tidak ada kelompok anak muda terdidik dalam aksi ini. FPI
menurutnya juga di dukung oleh mahasiswa-mhasiswa muslim dari beberapa peguruan
tinggi. Kelompok mahasiswa ini adalah mereka yang menjadi bagian dari sayap FPI
di kampus yang bernama Front Mahasiswa Pembela Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar