HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & APRILLAH
Sejauh ini, istilah yang paling sering digunakan untuk mengkategorikan
kelompok Islam seperti ISIS, MI, JI, dan Jihadis adalah Islam radikal atau
teroris. Tindakan-tindakan destruktif yang mereka lakukan membuat mereka dicap
seperti itu. Istilah ini sempat
menjadi perdebatan hangat di awal tahun 2000an.
Sebagian umat Islam tidak terima dengan istilah ini karena dianggap terlalu
pejoratif terhadap Islam.
Pembacaan simplistis yang menyebabkan Islam tersangka secara
normatif. Meski pada akhirnya, istilah ini menjadi istilah ‘resmi’ kepolisian,
milter, dan media massa. Penangkapan tujuh orang di Kab. Parimo (Parigi
Moutong) Sulawesi Tengah pada bulan September 2014 misalnya pun langsung
diberitakan media massa (baik cetak maupun elektronik) sebagai “kelompok
teroris” meski diakui masih sedang diselidiki dan didalami oleh pihak
kepolisian. Sedangkan bagi para ‘tertuduh’ teroris sebenarnya lebih senang
menyebut diri mereka sebagai pejuang Islam, jihadis, atau penegak kebenaran
Tuhan di bumi.
Istilah lain yang cukup populer adalah Islam fundamentalis.
Istilah ini pada awalnya muncul dari sosiolog untuk menyebut kelompok
fundamentalist Kristen. Jhon L Esposito (1994; 17-18) menyebutkan istilah ini
digunakan setidaknya dalam tiga hal. Pertama, semua usaha untuk kembali
pada kepercayaan dasar. Dalam konteks masyarakat Islam adalah usaha kembali
kepada Alquran dan Hadis sebagai model hidup normatif. Kedua, pengertian
yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme
adalah gerakan Protestanisme abad 20 yang menekankan penafsiran Injil secara
literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Bagi
kebanyakan orang Kristen, cap ini bernada penghinaan yang berarti dekat dengan
sesuatu yang statis, kemunduran dan kejumudan. Ketiga, istilah untuk
untuk menyebut sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme,
fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.
Dalam konteks pemahaman ini, fundamentalisme dan radikalisme
dianggap memiliki cara pandang yang sama tetapi dengan tipikal gerakan yang
berbeda. Karenanya muncul istilah fundamentalisme puritan dan fundamentalisme
radikal. Yang pertama bergerak di level akademik, kultural, dan politis
sedangkan yang kedua bergerak di level bawah tanah dengan aksi kekerasan
sebagai ciri khasnya. Kelompok Wahda Islamiyah, HTI (Hidzbuttahrir Indonesia)
dan kelompok salafi lainnya dikategorikan sebagai kelompok pertama sedangkan
kelompok yang selama disebut kelompok teroris dikategorikan sebagai kelompok
kedua. FPI berada di posisi unik dalam konteks ini. Meski kerap melakukan
tindakan kekerasan atau radikal tetapi FPI tidak pernah dikategorikan sebagai
kelompok teroris.
Sejak semula, penggunaan istilah fundamentalisme sudah menimbulkan
perdebatan, seperti Bernard Lewis (1993) berikut ini:
Sekarang sudah merupakan
hal umum untuk menggunakan istilah “fundamentalisme” kepada sejumlah
kelompok-kelompok militan dan radikal Islam. Pemakaian istilah ini sudah mapan
dan pasti diterima, tapi hal itu masih disayangkan karena dapat menyesatkan.
Fundamentalis adalah istilah orang Nasrani. Tampaknya itu dimulai dipakai pada
awal abad ini yang menunjuk pada gereja-gereja dan organisasi Protestan
tertentu, lebih khusus lagi terutama menerjemahkan keilahian dan kebenaran
Injil secara harfiah.
Dalam hal ini mereka (kaum muslim) menentang pendekatan kaum
liberal dan modernis terhadap Qur’an, sikap semua kaum muslim terhadap
teks-teks Al-Qur’an terhadap teks-teks Al-Qur’an, paling tidak, pada prinsipnya
fundamentalis.”
Atau pendapat Fedrick M. Danny (1987:117) berikut:
Istilah fundamentalis
muncul pada awal abad ini sebagai kerangka kerja kaum Protestan Konservatif du
Amerika. Istilah ini digunakan untuk menunjuk ciri suatu doktrin yang
berdasarkan Kitab Injil, yang meliputi lima poin (kelahiran Yesus dari Sang
Perawan, kebangkitan fisiknya, Kitab Injil yang tanpa salah, penebusan dosa
subtitusional, dan kedatangan Kristus yang kedua). Poin yang sejalan dengan
kaum muslimin hanyalah ketidaksalahan kitab Injil (dalam konteks Islam,
Al-Qur’an). Pada tahun-tahun terakhir penggunaan istilah fundamentalisme
tersebut menjadi populer, ditujukan kepada militan konservatif muslim. Sebutan
itu pasti tidak akan benar-benar dipergunakan, jika kita mengacu pada
pengertian orisinil.
Istilah fundamentalis dengan begitu adalah istilah yang
bermasalah. Selain bersumber dari tradisi gerakan Kristen, ciri skriptualisme
sebagai ciri utama dari kelompok (yang disebut fundamental) ternyata tidak
cukup kuat untuk menggambarkan kenyataan seperti ini dalam Islam. Perdebatan
dalam Islam di Indonesia tidaklah terkait dengan isu fundamental (mendasar)
dalam ajaran Islam seperti tauhid, kenabian Muhammad, rukun iman dan Islam.
Seluruh aliran dalam Islam (Sunni) sama sekali tidak memperdebatkan persoalan
empat persoalan pokok itu. Seluruh aliran dalam Islam-Sunni sepakat untuk tidak
memperdebatkan hal-hal yang dianggap pokok-pokok ajaran Islam sebagai wilayah ushuly
dan membolehkan perdebatan pada persoalan yang dianggap cabang atau furuiyah.
NU, Muhammadiyah, Wahda Islamiyah, HTI dan Kaum Salafi tidak
pernah berbeda pendapat soal ketauhidan Tuhan, Muhammad sebagai Nabi Terakhir,
rukun Iman dan Islam. Ketika Ahmadiyah datang dengan promosi Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi, tidak ada satu pun kelompok Islam yang memberi pembelaan teologis
(kecuali kelompok liberalis Islam). Perbedaannya hanyalah pada soal sikap. NU
dan Muhammadiyah bersifat akomodatif dengan mempertimbangkan hak
kewarganegaraan pengikut Ahmadiyah. Sedangkan LPPI, FPI, HTI, dan Wahda
Islamiyah memberikan sikap yang lebih tegas menolak. Bahkan FPI melakukan
penyerangan dan penyegelan terhadap markas Ahmadiyah di Jalan Anuang Makassar
pada tahun 2011 (sebagai aksi lanjutan terhadap penyerangan dan intimidasi
terhadap kaum Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia).
Pun perbedaan tentang pengucapan selamat Natal kepada umat
Kristiani yang sudah mulai menjadi wacana tahunan sejak tahun 2006 terletak
pada cara meletakkan ekspresi itu. Satu kelompok seperti FPI, Wahda Islamiyah,
HTI, dan MUI meletakkannya sebagai bagian inheren dalam sistem teologi
Islam. Mengucapkan selamat natal berarti “membenarkan” sistem teologi Kristen
tentang Ketuhanan Yesus yang sudah difalsifikasi oleh Alquran ribuan tahun yang
lalu. Mengucapkan natal bagi satu kelompok dihukumi haram karena bisa “merusak”
akidah umat Islam. Satu kelompok lain seperti NU dan Muhammadiyah memandangnya
sebagai penghargaan sosial. Penghargaan atas perbedaan. Bukan masuk pada sendi
akidah.
Artinya perbedaan antara NU-Muhammadiyah sebagai representasi
Islam mainstream di Indonesia dan kelompok yang disebut fundamentalis hanya
terletak pada cara pandang tentang negara Islam, tradisi, afiliasi politik,
tata cara ibadah, penggunaan simbol-simbol Islam dalam kehidupan sehari-hari,
jihad, dan pandangan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang. Topik
perdebatannya berada pada ranah ijtihadi (pilihan) atau furuiyah (cabang),
bukan dharury (mutlak) atau ushuly (ajaran dasar). Bahkan
yang disebut oleh Fedrick M. Danny sebagai poin yang sejalan dengan
fundamentalisme Kristen ‘hanyalah yang menyangkut ketidaksalahan kitab Injil
(tentu saja dalam Islam, al-Qur’an”- pun tidak bisa dijadikan sebagai landasan.
Keyakinan bahwa Alquran, kitab yang tidak memuat kesalahan apapun adalah
keyakinan seluruh kelompok Islam, apapun jenisnya. Kelompok liberal sekalipun
tidak pernah berkeyakinan bahwa Alquran memiliki kemungkinan untuk salah. Yang
ada hanya lah pada cara mendekati Alquran dengan menggunakan cara hermeneutik.
Hasil dari cara tafsir inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang.
Penolakan terhadap tafsir hermeneutik inilah yang menjadi tolak ukur untuk
menyebut satu kelompok fundamental atau tidak. Sekali lagi, ini pun sangat
absurd.
Persoalan lain adalah bahwa posisi “memegang” teks primer Islam
(Alquran dan Sunnah) secara kuat bisa dilakukan oleh setiap kelompok Islam
dalam situasi dan posisi yang berbeda-beda. NU misalnya, sebagai kelompok Islam
tradisional yang dikenal dengan ideologi keislaman yang lentur tiba-tiba
menjadi sangat tekstualis ketika berkaitan dengan “ru’yah hilal”. NU berpegangan
kuat terhadap ru’yah hilal dan menolak hisab karena teks Alquran dan Hadits
Nabi memang secara harfiah menyebutkan. Dalam konteks ini, NU bisa dibaca
sangat skriptualis, tekstualis yang menjadi ciri khas kaum fundamentalis.
Padahal, NU tentu saja tidak berciri itu. Karenanya istilah fundamentalis tidak
tepat digunakan dan tidak komprehensif, apabila ingin membaca secara tegas
perbedaan antara kelompok Islam yang ada di Indonesia saat ini.
Istilah fundamentalisme mulai dilekatkan dengan masyarakat Islam
ketika ilmuwan Barat kesulitan untuk memberikan padanan kata untuk gerakan
Salafiyah Jamaluddin Al-Afgani. Satu-satunya kata yang dekat adalah
fundamentalisme. Khususnya dalam hal gerakan kaum Salafis yang cenderung
radikal. (Syarkoun dan Ghorara, 443). Media-media asing kemudian mempopulerkan
istilah ini untuk menyebut semua gejala gerakan keagamaan yang radikal,
sebagaimana yang disebutkan oleh Patrik J Ryan (1984):
Mengklaim sebagian orang
sebagai fundamentalis telah menjadi stock-in-trade dalam diskursus
politik dan jurnalis pada tahun-tahun akhir ini. Seperti beberapa tahun lalu,
tepatnya pada tahun 1980, surat kabar utama Amerika memuat iklan yang
menyesalkan tentang meningkatnya fundamentalisme religius ke dalam bidang
politis di dalam dan luar negeri. Para sekularis mengaku menandatangani iklan
ini, dan menyebutkan contoh spesifik dari apa yang mereka maksud dengan
fundamentalisme religius. Beberapa figur disebutkan seperti Rev Jerry Falwell,
Ayatullah Rohullah Khomeini dan Paus John Paulus 2. Istilah fundamentalis telah
digunakan pers dalam bulan-bulan terakhir ini, untuk kategorisasi revolusioner
separatis Sikh di India.
Istilah lain yang sepadan dan relatif komprehensif adalah
Islamisme. Istilah ini merujuk pada cara pandang yang meletakkan Islam sebagai
ideologi yang tidak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik, tapi juga
pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern (Oliver Roy, 2004: 58). Dalam
pandangan kelompok ini, Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam
masyarakat tersebut, dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga
kebudayaan dan ekonomi. Negara atau sistem Islam menjadi hal yang sangat
fundamental bagi kelompok Ini.
Istilah ini menjadi lebih relevan digunakan ketimbang istilah
fundamentalisme atau radikalisme. Istilah ini pun lebih luas dan bisa digunakan
untuk menyebut berbagai kelompok Islam yang berbeda tetapi dengan cita-cita
yang relatif sama, yaitu penerapan sistem Islam dan menolak hal lain di luar
Islam. Setiap kelompok Islamis hampir pasti dapat dihubungkan dengan fanatisme,
eksklusifisme, intoleran, dan militanisme (Martin E Marty, 1992). Mereka juga
memiliki kesamaan pada titik mempromosikan Islam sebagai simbol, sistem, dan
semangat untuk membangun masyarakat Islam yang diinginkan tetapi berbeda pada
gerakannya. Ini memungkinkan kita untuk menyatukan HTI, WI, Salafi, MMI, JI,
dan bahkan ISIS dalam satu barisan (atau memiliki genre) yang sama meski
kita sadar betul mereka memiliki akar, model gerakan, dan tujuan yang
berbeda-beda. Bahkan dalam banyak hal, mereka saling mengkritik. Misalnya
kelompok Salafi yang terafilisi dalam Yayasan Ma’had An-Nasyat Al- Islami
(Manis) Baji Rupa, Makassar menganggap Wahda Islamiyah sebagai “bukan” salafi
dengan alasan tertentu. Termasuk pernyataan pimpinan HTI Sulawesi Selatan yang menolak
keras diassosiasikan dengan ISIS meski sama-sama memiliki agenda khilafah
Islamiyah.
Kita juga tetap harus memberi tekanan yang tegas bahwa kelompok
Islamis seperti HTI, Wahda Islamiyah, Salafi adalah kelompok yang tidak
menggunakan kekerasan sebagai cara menyampaikan gagasan dan mencapai tujuan.
Mereka bergerak dalam level akademik dengan organisasi yang rapi dan tertata.
Mereka bisa dikategorikan sebagai soft Islamisme. Sedangkan kelompok
MMI, JI, ISIS, dan FPI adalah kelompok Islamis yang menggunakan kekerasan
sebagai cara untuk mencapai tujuan atau Islamis-radikal. Pembedaan ini penting
agar simplikasi istilah Islamisme tidak menyeret kita kepada ruang simplikasi
mutlak.
Perspektif
ini juga memberi ruang kepada kita untuk menarik garis tegas antara NU,
Al-Khaerat, DDI, As’adiyah, dan Muhammadiyah di satu sisi dengan HTI, Salafi,
dan WI (serta kelompok teroris) di sisi lain. Kelompok pertama lebih terbuka
terhadap sistem yang diproduksi dari luar Islam seperti demokrasi dan
pluralisme sedangkan kelompok kedua menutup diri dari sistem yang diproduksi
oleh selain Islam. Kelompok pertama tidak terlalu mementingkan simbol Islam
seperti formalisasi Syariat Islam, negara Islam, berjanggut, cadar, bercelana
cingkrang sedangkan kelompok kedua mementingkan hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar