Senin, 15 Januari 2018

Mendiskusikan Istilah

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & APRILLAH
Sejauh ini, istilah yang paling sering digunakan untuk mengkategorikan kelompok Islam seperti ISIS, MI, JI, dan Jihadis adalah Islam radikal atau teroris. Tindakan-tindakan destruktif yang mereka lakukan membuat mereka dicap seperti itu. Istilah ini sempat
menjadi perdebatan hangat di awal tahun 2000an. Sebagian umat Islam tidak terima dengan istilah ini karena dianggap terlalu pejoratif terhadap Islam.
Pembacaan simplistis yang menyebabkan Islam tersangka secara normatif. Meski pada akhirnya, istilah ini menjadi istilah ‘resmi’ kepolisian, milter, dan media massa. Penangkapan tujuh orang di Kab. Parimo (Parigi Moutong) Sulawesi Tengah pada bulan September 2014 misalnya pun langsung diberitakan media massa (baik cetak maupun elektronik) sebagai “kelompok teroris” meski diakui masih sedang diselidiki dan didalami oleh pihak kepolisian. Sedangkan bagi para ‘tertuduh’ teroris sebenarnya lebih senang menyebut diri mereka sebagai pejuang Islam, jihadis, atau penegak kebenaran Tuhan di bumi.
Istilah lain yang cukup populer adalah Islam fundamentalis. Istilah ini pada awalnya muncul dari sosiolog untuk menyebut kelompok fundamentalist Kristen. Jhon L Esposito (1994; 17-18) menyebutkan istilah ini digunakan setidaknya dalam tiga hal. Pertama, semua usaha untuk kembali pada kepercayaan dasar. Dalam konteks masyarakat Islam adalah usaha kembali kepada Alquran dan Hadis sebagai model hidup normatif. Kedua, pengertian yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme adalah gerakan Protestanisme abad 20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Bagi kebanyakan orang Kristen, cap ini bernada penghinaan yang berarti dekat dengan sesuatu yang statis, kemunduran dan kejumudan. Ketiga, istilah untuk untuk menyebut sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.
Dalam konteks pemahaman ini, fundamentalisme dan radikalisme dianggap memiliki cara pandang yang sama tetapi dengan tipikal gerakan yang berbeda. Karenanya muncul istilah fundamentalisme puritan dan fundamentalisme radikal. Yang pertama bergerak di level akademik, kultural, dan politis sedangkan yang kedua bergerak di level bawah tanah dengan aksi kekerasan sebagai ciri khasnya. Kelompok Wahda Islamiyah, HTI (Hidzbuttahrir Indonesia) dan kelompok salafi lainnya dikategorikan sebagai kelompok pertama sedangkan kelompok yang selama disebut kelompok teroris dikategorikan sebagai kelompok kedua. FPI berada di posisi unik dalam konteks ini. Meski kerap melakukan tindakan kekerasan atau radikal tetapi FPI tidak pernah dikategorikan sebagai kelompok teroris.
Sejak semula, penggunaan istilah fundamentalisme sudah menimbulkan perdebatan, seperti Bernard Lewis (1993) berikut ini:
Sekarang sudah merupakan hal umum untuk menggunakan istilah “fundamentalisme” kepada sejumlah kelompok-kelompok militan dan radikal Islam. Pemakaian istilah ini sudah mapan dan pasti diterima, tapi hal itu masih disayangkan karena dapat menyesatkan. Fundamentalis adalah istilah orang Nasrani. Tampaknya itu dimulai dipakai pada awal abad ini yang menunjuk pada gereja-gereja dan organisasi Protestan tertentu, lebih khusus lagi terutama menerjemahkan keilahian dan kebenaran Injil secara harfiah.
Dalam hal ini mereka (kaum muslim) menentang pendekatan kaum liberal dan modernis terhadap Qur’an, sikap semua kaum muslim terhadap teks-teks Al-Qur’an terhadap teks-teks Al-Qur’an, paling tidak, pada prinsipnya fundamentalis.”
Atau pendapat Fedrick M. Danny (1987:117) berikut:
Istilah fundamentalis muncul pada awal abad ini sebagai kerangka kerja kaum Protestan Konservatif du Amerika. Istilah ini digunakan untuk menunjuk ciri suatu doktrin yang berdasarkan Kitab Injil, yang meliputi lima poin (kelahiran Yesus dari Sang Perawan, kebangkitan fisiknya, Kitab Injil yang tanpa salah, penebusan dosa subtitusional, dan kedatangan Kristus yang kedua). Poin yang sejalan dengan kaum muslimin hanyalah ketidaksalahan kitab Injil (dalam konteks Islam, Al-Qur’an). Pada tahun-tahun terakhir penggunaan istilah fundamentalisme tersebut menjadi populer, ditujukan kepada militan konservatif muslim. Sebutan itu pasti tidak akan benar-benar dipergunakan, jika kita mengacu pada pengertian orisinil.
Istilah fundamentalis dengan begitu adalah istilah yang bermasalah. Selain bersumber dari tradisi gerakan Kristen, ciri skriptualisme sebagai ciri utama dari kelompok (yang disebut fundamental) ternyata tidak cukup kuat untuk menggambarkan kenyataan seperti ini dalam Islam. Perdebatan dalam Islam di Indonesia tidaklah terkait dengan isu fundamental (mendasar) dalam ajaran Islam seperti tauhid, kenabian Muhammad, rukun iman dan Islam. Seluruh aliran dalam Islam (Sunni) sama sekali tidak memperdebatkan persoalan empat persoalan pokok itu. Seluruh aliran dalam Islam-Sunni sepakat untuk tidak memperdebatkan hal-hal yang dianggap pokok-pokok ajaran Islam sebagai wilayah ushuly dan membolehkan perdebatan pada persoalan yang dianggap cabang atau furuiyah.
NU, Muhammadiyah, Wahda Islamiyah, HTI dan Kaum Salafi tidak pernah berbeda pendapat soal ketauhidan Tuhan, Muhammad sebagai Nabi Terakhir, rukun Iman dan Islam. Ketika Ahmadiyah datang dengan promosi Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, tidak ada satu pun kelompok Islam yang memberi pembelaan teologis (kecuali kelompok liberalis Islam). Perbedaannya hanyalah pada soal sikap. NU dan Muhammadiyah bersifat akomodatif dengan mempertimbangkan hak kewarganegaraan pengikut Ahmadiyah. Sedangkan LPPI, FPI, HTI, dan Wahda Islamiyah memberikan sikap yang lebih tegas menolak. Bahkan FPI melakukan penyerangan dan penyegelan terhadap markas Ahmadiyah di Jalan Anuang Makassar pada tahun 2011 (sebagai aksi lanjutan terhadap penyerangan dan intimidasi terhadap kaum Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia).
Pun perbedaan tentang pengucapan selamat Natal kepada umat Kristiani yang sudah mulai menjadi wacana tahunan sejak tahun 2006 terletak pada cara meletakkan ekspresi itu. Satu kelompok seperti FPI, Wahda Islamiyah, HTI, dan MUI meletakkannya sebagai bagian inheren dalam sistem teologi Islam. Mengucapkan selamat natal berarti “membenarkan” sistem teologi Kristen tentang Ketuhanan Yesus yang sudah difalsifikasi oleh Alquran ribuan tahun yang lalu. Mengucapkan natal bagi satu kelompok dihukumi haram karena bisa “merusak” akidah umat Islam. Satu kelompok lain seperti NU dan Muhammadiyah memandangnya sebagai penghargaan sosial. Penghargaan atas perbedaan. Bukan masuk pada sendi akidah.
Artinya perbedaan antara NU-Muhammadiyah sebagai representasi Islam mainstream di Indonesia dan kelompok yang disebut fundamentalis hanya terletak pada cara pandang tentang negara Islam, tradisi, afiliasi politik, tata cara ibadah, penggunaan simbol-simbol Islam dalam kehidupan sehari-hari, jihad, dan pandangan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang. Topik perdebatannya berada pada ranah ijtihadi (pilihan) atau furuiyah (cabang), bukan dharury (mutlak) atau ushuly (ajaran dasar). Bahkan yang disebut oleh Fedrick M. Danny sebagai poin yang sejalan dengan fundamentalisme Kristen ‘hanyalah yang menyangkut ketidaksalahan kitab Injil (tentu saja dalam Islam, al-Qur’an”- pun tidak bisa dijadikan sebagai landasan. Keyakinan bahwa Alquran, kitab yang tidak memuat kesalahan apapun adalah keyakinan seluruh kelompok Islam, apapun jenisnya. Kelompok liberal sekalipun tidak pernah berkeyakinan bahwa Alquran memiliki kemungkinan untuk salah. Yang ada hanya lah pada cara mendekati Alquran dengan menggunakan cara hermeneutik. Hasil dari cara tafsir inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang. Penolakan terhadap tafsir hermeneutik inilah yang menjadi tolak ukur untuk menyebut satu kelompok fundamental atau tidak. Sekali lagi, ini pun sangat absurd.
Persoalan lain adalah bahwa posisi “memegang” teks primer Islam (Alquran dan Sunnah) secara kuat bisa dilakukan oleh setiap kelompok Islam dalam situasi dan posisi yang berbeda-beda. NU misalnya, sebagai kelompok Islam tradisional yang dikenal dengan ideologi keislaman yang lentur tiba-tiba menjadi sangat tekstualis ketika berkaitan dengan “ru’yah hilal”. NU berpegangan kuat terhadap ru’yah hilal dan menolak hisab karena teks Alquran dan Hadits Nabi memang secara harfiah menyebutkan. Dalam konteks ini, NU bisa dibaca sangat skriptualis, tekstualis yang menjadi ciri khas kaum fundamentalis. Padahal, NU tentu saja tidak berciri itu. Karenanya istilah fundamentalis tidak tepat digunakan dan tidak komprehensif, apabila ingin membaca secara tegas perbedaan antara kelompok Islam yang ada di Indonesia saat ini.
Istilah fundamentalisme mulai dilekatkan dengan masyarakat Islam ketika ilmuwan Barat kesulitan untuk memberikan padanan kata untuk gerakan Salafiyah Jamaluddin Al-Afgani. Satu-satunya kata yang dekat adalah fundamentalisme. Khususnya dalam hal gerakan kaum Salafis yang cenderung radikal. (Syarkoun dan Ghorara, 443). Media-media asing kemudian mempopulerkan istilah ini untuk menyebut semua gejala gerakan keagamaan yang radikal, sebagaimana yang disebutkan oleh Patrik J Ryan (1984):
Mengklaim sebagian orang sebagai fundamentalis telah menjadi stock-in-trade dalam diskursus politik dan jurnalis pada tahun-tahun akhir ini. Seperti beberapa tahun lalu, tepatnya pada tahun 1980, surat kabar utama Amerika memuat iklan yang menyesalkan tentang meningkatnya fundamentalisme religius ke dalam bidang politis di dalam dan luar negeri. Para sekularis mengaku menandatangani iklan ini, dan menyebutkan contoh spesifik dari apa yang mereka maksud dengan fundamentalisme religius. Beberapa figur disebutkan seperti Rev Jerry Falwell, Ayatullah Rohullah Khomeini dan Paus John Paulus 2. Istilah fundamentalis telah digunakan pers dalam bulan-bulan terakhir ini, untuk kategorisasi revolusioner separatis Sikh di India.
Istilah lain yang sepadan dan relatif komprehensif adalah Islamisme. Istilah ini merujuk pada cara pandang yang meletakkan Islam sebagai ideologi yang tidak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik, tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern (Oliver Roy, 2004: 58). Dalam pandangan kelompok ini, Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat tersebut, dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Negara atau sistem Islam menjadi hal yang sangat fundamental bagi kelompok Ini.
Istilah ini menjadi lebih relevan digunakan ketimbang istilah fundamentalisme atau radikalisme. Istilah ini pun lebih luas dan bisa digunakan untuk menyebut berbagai kelompok Islam yang berbeda tetapi dengan cita-cita yang relatif sama, yaitu penerapan sistem Islam dan menolak hal lain di luar Islam. Setiap kelompok Islamis hampir pasti dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, dan militanisme (Martin E Marty, 1992). Mereka juga memiliki kesamaan pada titik mempromosikan Islam sebagai simbol, sistem, dan semangat untuk membangun masyarakat Islam yang diinginkan tetapi berbeda pada gerakannya. Ini memungkinkan kita untuk menyatukan HTI, WI, Salafi, MMI, JI, dan bahkan ISIS dalam satu barisan (atau memiliki genre) yang sama meski kita sadar betul mereka memiliki akar, model gerakan, dan tujuan yang berbeda-beda. Bahkan dalam banyak hal, mereka saling mengkritik. Misalnya kelompok Salafi yang terafilisi dalam Yayasan Ma’had An-Nasyat Al- Islami (Manis) Baji Rupa, Makassar menganggap Wahda Islamiyah sebagai “bukan” salafi dengan alasan tertentu. Termasuk pernyataan pimpinan HTI Sulawesi Selatan yang menolak keras diassosiasikan dengan ISIS meski sama-sama memiliki agenda khilafah Islamiyah.
Kita juga tetap harus memberi tekanan yang tegas bahwa kelompok Islamis seperti HTI, Wahda Islamiyah, Salafi adalah kelompok yang tidak menggunakan kekerasan sebagai cara menyampaikan gagasan dan mencapai tujuan. Mereka bergerak dalam level akademik dengan organisasi yang rapi dan tertata. Mereka bisa dikategorikan sebagai soft Islamisme. Sedangkan kelompok MMI, JI, ISIS, dan FPI adalah kelompok Islamis yang menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan atau Islamis-radikal. Pembedaan ini penting agar simplikasi istilah Islamisme tidak menyeret kita kepada ruang simplikasi mutlak.

Perspektif ini juga memberi ruang kepada kita untuk menarik garis tegas antara NU, Al-Khaerat, DDI, As’adiyah, dan Muhammadiyah di satu sisi dengan HTI, Salafi, dan WI (serta kelompok teroris) di sisi lain. Kelompok pertama lebih terbuka terhadap sistem yang diproduksi dari luar Islam seperti demokrasi dan pluralisme sedangkan kelompok kedua menutup diri dari sistem yang diproduksi oleh selain Islam. Kelompok pertama tidak terlalu mementingkan simbol Islam seperti formalisasi Syariat Islam, negara Islam, berjanggut, cadar, bercelana cingkrang sedangkan kelompok kedua mementingkan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...