HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kampung Texas merupakan
sebuah perkampungan yang berada di Pesisir Utara Kota manado yang berhadapan
langsung dengan Samudera Pasifik. Perkampungan ini mulai dihuni pada kisaran
tahun 1940-an oleh para pendatang yang berasal dari Gorontalo, Sangir, Sulawesi
Selatan, dan daerah lainnya. Pada tahun 1960-an pasca pemberontakan Permesta
(Perjuangan rakyat Semesta), Kampung ini semakin ramai didatangi
oleh pemukim
yang tinggal di lahan tanah milik negara. Kampung Texas terletak di Keluahan
Wenang Utara Kecamatan Wenang, sebagian besar penduduk adalah muslim. Demi
memenuhi kebutuhan ibadat umat muslim yang tinggal di Kampung tersebut, maka
pada tahun 1968 di masa kepemimpinan walikotamadya Manado Rauf Mo’o
didirikanlah sebuah mesjid yang kemudian diberi nama mesjid al-Khairiyah.
Seluruh kampung Texas yang merupakan pemukiman padat penduduk termasuk Mesjid
Al-Khairiyah berlokasi di atas lahan tanah milik negara.
Pada
awal dibangunnya, Mesjid Al-Khairiyah masih berupa bangunan mesjid kecil dengan
luas bangunan 10x10 meter berbahan kayu dan hanya satu lantai. Seiring dengan
perkembangan penduduk maka sedikit demi sedikit dilakukan renovasi atas
bangunan Mesjid Al-Khairiyah hingga seluas 16x20 meter dengan bangunan permanen
dengan tinggi bangunan 2 lantai. Menurut Mursyid, mantan Panglima Brigade
Mesjid Sulawesi Utara yang merupakan penduduk yang lahir dan besar di Kampung
Texas, Mesjid Al-Khairiyah menjadi pusat kegiatan peribadatan dan keagamaan
bagi umat Islam di Kampung Texas. Mesjid tersebut merupakan satu-satunya
bangunan rumah ibadat yang berdiri di Kampung Texas, meski di Kampung Texas
juga bermukim sebagian penduduk yang beragama Kristen, namun di kampung
tersebut tidak ada bangunan gereja maupun rumah ibadat lainnya.
Pada
awal tahun 2000-an dilakukan reklamasi laut di sekitar lokasi Kampung Texas
yang belakangan menjadi kawasan Boulivard yang merupakan pusat kegiatan ekonomi
dan bisnis di Kota Manado. Pada lokasi hasil reklamasi tersebut berdiri
berbagai sentra bisnis seperti ruko, hotel, bahkan 3 mall besar berdiri di
kawasan tersebut, pada tahun 2015 diresmikan jembatan Sukarno yang saat ini
menjadi landmark baru Kota Manado. Akhirnya, kawasan Kampung Texas yang
awalnya berada di pinggir kota berubah menjadi di pusat kota. Oleh pemerintah
Kota Manado yang pada saat itu menjadi walikota adalah Jimmy Rimbarogi, kawasan
pemukiman di sekitar pantai dilakukan penggusuran dan penduduknya direlokasi ke
tempat lain termasuk Kampung Texas. Akibat penggusuran tersebut, seluruh
bangunan yang ada di Kampung tersebut dibongkar, kecuali bangunan Mesjid
Al-Khairiyah. Oleh penduduk setempat tidak dibongkarnya bangunan Mesjid
Al-Khairiyah merupakan hasil negosiasi mereka dengan pemerintah kota. Mereka
bersedia digusur dengan catatan Mesjid Al-Khairiyah tidak dibongkar dan tetap
secara fungsional digunkan sebagai tempat ibadat bagi umat Islam.
Meski
tidak ada lagi penduduk yang bermukim di sekitaran mesjid tersebut, namun
mesjid tetap fungsional digunakan sebagai tempat ibadat oleh para karyawan dan
pedagang serta musafir yang lewat di kawasan Boulivard. Ketika peneliti datang
ke mesjid tersebut dan sempat menunaikan shalat Ashar, tampak jamaah yang
shalat cukup banyak, bahkan ketika shalat Ashar sudah selesai, masih banyak
umat Islam yang dating silih berganti untuk singgah menunaikan shalat. Hingga
pukul 17.00 WITA peneliti menghitung lebih dari 30 orang singgah secara
bergantian untuk menunaikan shalat Ashar di Mesjid Al-Khairiyah. Hal ini
menunjukkan bahwa Mesjid Al-Khairiyah keberadaannya sangat penting untuk
memenuhikebutuhan ruhani umat Islam yang ada di sekitar kawasan tersebut, yang
meski bukan sebagai jamaah mukim.
Dengan
makin ramainya dibangun pertokoan di kawasan tersebut, maka jamaah Mesjid
Al-Khairiyah pun semakin banyak. Di hamper seluruh shalat lima waktu kecuali
Subuh, Mesjid Al-Khairiyah selalu ramai ditempati oleh umat Islam yang
melakukan shalat berjamaah. Pelaksanaan shalat Jumat di mesjid tersebut sudah
tidak mampu lagi menampung jamaah yang sangat banyak hingga membludak keluar bahkan
terkadang ada jamaah yang tidak mendapatkan tempat untuk melaksanakan shalat
Jumat. Hal ini juga terjadi karena Mesjid Al-Khairiyah merupakan satu-satunya
mesjid yang berada pada kawasan pertokoan di sekitar Jembatan Sukarno tersebut.
Melihat fenomena tersebut dan demi memenuhi kebutuhan umat Islam yang ingin
shalat serta tidak mampunya lagi daya tamping mesjid, khususnya ketika shalat
Jumat, maka pengurus mesjid pada tahun 2013 memutuskan untuk memperluas
bangunan mesjid dengan menambah luas bangunan menjadi 1500 meter persegi (50x30
m) dan perencanaan bangunan setinggi 4 lantai. Meski status tanah yang masih
sebagai milik Negara dan tidak ada IMB untuk renovasi bangunan mesjid, rencana
tersebut tetap dilaksanakan dengan membentuk panitia pembangunan mesjid yang
diketuai oleh Jafar Al-Katiri (Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara yang juga
Ketua DPW PPP Sulut) dan Abdurrahman Musa (seorang pengacara) sebagai
sekertaris.
Pengurus
mesjid dan sebagian elemen pemuda muslim yang dikoordinasi oleh BKPRMI (Badan
koordinasi Pemuda dan Remaja Mesjid Indonesia) Sulawesi Utara tetap melanjutkan
pembangunan perluasan mesjid. Meski mendapat peringatan dari pemerintah kota,
pembangunan mesjid tetap terus berjalan. Hingga kini pembangunan mesjid tetap
berjalan, meski proses renovasi bangunan mesjid tersebut dianggap tidak
mengikuti prosedur yang berlaku, misalnya perizinan IMB. Pengurus mesjid
beralasan, bagaimana mungkin mereka mengurus IMB, sedangkan tanah loaksi mesjid
tersebut telah atas nama pemerintah kota, dan pemerintah kota berniat hendak
membongkar mesjid tersebut. Saat ini lokasi mesjid telah dikelilingi oleh ruko
dan di dekat bangunan mesjid berdiri sebuah rumah yang merupakan rumah dinas
bagi imam mesjid. Rumah dinas imam mesjid tersebut merupakan satu-satunya rumah
yang berdiri di kawasan tersebut.
Pada
tahun 2011, oleh pemerintah kota Manado (pada saat itu walikota Vicky
Lumentut), Mesjid Al-Khairiyah diminta untuk dibongkar, dan pak imam mesjid
(Hariyanto Halid) diminta untuk meninggalkan rumah dinasnya yang berlokasi
dekat dengan bangunan mesjid. Pihak pemerintah kota mempersoalkan bahwa mesjid
tersebut sudah tidak layak lagi berdiri karena tidak memiliki minimal 90
pengguna sebagaimana yang diatur dalam PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006. Tidak
adanya penduduk sebagai jamaah mukim dari mesjid tersebut menjadi hal yang
dipersoalkan oleh Pemkot sehingga berpandangan bahwa mesjid tersebut harus
dibongkar, terlebih lagi kawasan tersebut akan dibangun taman wisata religi.
Namun, permintaan ini tidak digubris oleh pak imam dan orang Islam yang ada di
sekitar, yang meski bukan jamaah mukim, tapi kerap menggunakan mesjid tersebut
untuk menunaikan shalat lima waktu. Secara de jure, mesjid tersebut
memang tidak lagi memiliki jamaah mukimin, karena pemukiman di sekitarnya telah
mengalami relokasi. Namun, mesjid tersebut secara faktual tetap aktif digunakan
bahkan selalu ramai di setiap waktu shalatnya, terlebih di hari Jumat karena
jamaah berasal dari pedagang di sekitar serta karyawan perkantoran, maupun
orang-orang yang sedang berkunjung di kawasan Boulivard.
Pemerintah
kota Manado berencana akan mendirikan taman wisata religi berupa semua miniatur
rumah ibadat (mesjid, gereja, kapel, pura, dan vihara) di lokasi tersebut.
Namun, rencana ini mendapat penolakan keras dari masyarakat Islam kota Manado.
Penolakan tersebut, karena mesjid tersebut tetap berfungsi aktif, bahkan selalu
ramai oleh jamaah di setiap waktu shalat. Kemudian untuk mengadvokasi
keberadaan mesjid tersebut, kalangan pemuda muslim di kota Manado membentuk
Forum Penyelemat Mesjid al-Khairiyah yang diketuai oleh Joko Sutrisno dan
hamdani Rukmana selaku sekertaris. Pembentukan forum tersebut dilakukan pada
bulan Oktober 2013 demi menyikapi sikap pemerintah kota yang hendak membongkar
bangunan mesjid.
Demi
legalitas status mesjid, pengurus mesjid kemudian berinisiatif untuk
mensertifikasi tanah mesjid tersebut atas nama mesjid al-Khairiyah, namun pada
tanggal 12 September 2012, terbit sertifikat tanah mesjid tersebut atas nama
pemerintah Kota, yang di mana dalam gambar tanah di sertifikat tersebut adalah
tanah kosong tanpa bangunan.
Bermodalkan
sertifikat tanah dari BPN kota Manado, pemerintah Kota mengajukan proposal
pembangunan taman wisata religi kepada Kantor Pusat Kementerian Agama, dan
akhirnya mendapat alokasi dana sebesar 15 milyar. Dana tersebut telah hamper
cair dari APBN Kementerian Agama, namun dana tersebut urung cair dikarenakan,
kemudian diketahui bahwa di atas tanah loaksi pembangunan taman wisata religi
telah berdiri sebelumnya sebuah mesjid padahal di proposal yang diajukan
dilampirkan copy sertifikat tanah yang kosong tanpa bangunan.
Di
lain pihak, panitia pembangunan mesjid tetap melanjutkan pembangunan perluasan
mesjid. Meski mendapat peringatan dari pemerintah kota, pembangunan mesjid
tetap terus berjalan. Bahkan suatu hari, tepatnya di hari Minggu, wakil
walikota Manado dan camat Wenang Utara beserta beberapa jajaran terkait datang
ke loaksi mesjid tersebut untuk meminta penghentian pembangunan mesjid karena
tanah tersebut adalah tanah milik pemerintah Kota dan pembangunan mesjid
tersebut tidak memiliki IMB. Namun kedatangan wakil walikota beserta jajarannya
tidak juga membuat pembangunan mesjid tersebut berhenti. Masalah ini pun
kemudian sempat memanas dan sangat rentan dan berpotensi memicu konflik SARA.
Masalah mesjid ini pun sampai terdengar di kementerian agama pusat, dan pada
bulan September 2013, wakil menteri agama, Bapak Nazaruddin Umar datang ke mesjid
tersebut dan selepas menunaikan shalat Ashar, beliau memberikan sambutan
setelah menunaikan shalat Ashar dan mempermaklumkan bahwa keberadaan mesjid
tersebut tidak boleh diganggu gugat.
Antara
tahun 2013 hingga tahun 2016 tercatat telah terjadi 4 kali demonstrasi yang
dilakukan oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Masyarakat Adat Kawanua
Pencinta Toleransi (MAKAPETOR) terhadap pembangunan Mesjid Al- Khairiyah.
Penolakan didasarkan pembangunan mesjid yang telah melampaui space awalnya
sehingga mengambilruang bagi pembangunan miniature rumah ibadah agama lainnya
dalam rangka pembangunan taman wisata religi. Aksi demonstrasi di tahun 2013
dan 2014 masih berlangsung dengan aman meski sempat terjadi sedikit ketegangan.
Pada tanggal 25 Maret tahun 2015 kembali demonstrasi dilakukan guna menuntut
penghentian pembangunan Mesjid Al- Khairiyah yang diperluas. Aksi terbesar
terjadi pada hari Rabu tanggal 26 Oktober 2016. Massa yang berjumlah 300 orang
dari kelompok MAKAPETOR menuntut pembongkaran bangunan liar yang ada di lahan
yang mestinya menjadi taman wisata reigi. Pengurus mesjid dan Brigade Mesjid
Sulawesi Utara yang intens memperjuangkan kelanjutan pembangunan Mesjid
Al-Khairiyah beralasan bahwa tuntutan untuk membangun taman wisata religi di
eks Kampung texas sudah tidak relevan lagi mengingat sudah banyaknya terbangun
ruko, sehingga space untuk membangun taman religi sudah tidak
memungkinkan lagi. Selain itu, terbetik juga asumsi bahwa “sasaran tembak” yang
sebenarnya dari aksi-aksi tersebut adalah eksistensi Mesjid Al-Khairiyah.
Menurut
Imam masjid, sebelum demonstrasi dia mendapatkan surat dari pemerintah kota
tertanggal 24 Oktober 2016. Surat tersebut bernomor 317/D.10/TK/X/2016
ditandatangani oleh J.B. Mailangkay selaku Kepala Dinas Tata Kota Manado.
Surattersebut merupakan kelanjutan dari beberapa surat peringatan sebelumnya
yang telah dilayangkan kepada panitia pembangunan Mesjid Al-Khairiyah.
Sebelumnya pemerintah kota melalui Dinas Tata Kota telah 6 kali melayangkan
surat kepada panitia pembangunan. Diawali dari surat peringatan (1, II, dan
III), masing-masing Nomor 56/D.10/TK/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 (Peringatan
I), nomor 169/D.10/TK/VII/2014 tanggal 14 Juli 2014 (peringatan II), dan nomor
240/D.10/TK/X/2015 tanggal 1 Oktober 2015. Selain itu pemkot juga melayangkan
surat nomor 75/D.10/ III/2015 tanggal 24 Maret 2015 perihal kegiatan
menghentikan membangun, dan surat nomor 185/D.10/TK/VI/2015 tanggal 26 Juni
2015 juga tentang perihal menghentikan kegiatan membangun, serta surat nomor
165/D.10/VI/2016 tanggal 7 Juni 2016 perihal penghentian kegiatan membangun dan
peninjauan lapangan petugas Dinas Tata kota terhadap pelaksanaan kegiatan
pembangunan Mesjid Al-Khairiyah di lokasi kawasan pembangunan wisata religi ex
Kampung texas Kelurahan Wenang Utara Kecamatan Wenang. Tak satu pun dari surat
tersebut digubris oleh pengurus dan panitia pembangunan mesjid. Meski telah 6
kali dilayangkan surat dari pemkot namun pembangunan Mesjid Al-Khairiyah tetap
berjalan. Untuk ketujuh kalinya pemerintah kota melalui Dinas Tata Kota
melayangkan surat tertanggal 24 Oktober 2016 namun diterima oleh pengurus dalam
hal ini imam mesjid sendiri pada tanggal 27 Oktober (1 hari setelah aksi
demonstrasi). Isi surat tersebut menyampaikan 3 hal pokok: Pertama, bahwa
luasan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah tidak sesuai dengan kesepakatan dengan
pemerintah kota di mana sekarang ini bangunan mesjid telah dibangun pada
separuh luasan lahan ex Kampung texas. Kedua, bahwa akibat pembangunan
ini maka untuk pembangunan bangunan social lainnya seperti gereja, kapel, pura,
dan vihara taman sudah tdak dimungkinkan lagi. Ketiga, Untuk itu
dimintakan agar panitia pembangunanMesjid Al-Khairiyah segera membongkar
sendiri dan menyesuaikan dengan perencanaan pemerintah kota.
Menyikapi
surat-surat yang telah dilayangkan dari pemerintah kota tersebut, utamanya
surat yang terakhir, Imam Mesjid Al-Khairiyah menyatakan sikap bahwa surat
tersebut mencantumkan hal yang tidak benar berkaitan dengan poin nomor satu
tentang kesepakatan dengan pemerintah kota. Menurut pak imam tidak pernah ada
kesepakatan tersebut dengan pemerintah kota. Untuk itu, pak imam tetap
bersikukuh pada sikapnya untuk tetap melanjutkan pembangunan Mesjid
Al-Khairiyah sesuai dengan rancangan sebelumnya dengan laus bangunan 1500 meter
persegi (30x50 m) dengan tinggi bangunan 4 lantai.
Hari
rabu siang tanggal 26 Oktober 2016 merupakan waktu yang direncanakan oleh
kelompok MAKAPETOR untuk melakukan demonstrasi atas bangunan liar yang
terbangun di atas lahan ex Kampung Texas yang sedianya dibangun taman wisata
religi. Rencana demonstrasi tersebut telah dilaporkan ke pihak Kapolresta
Manado, dan melalui informasi yang tersebar di media sosial rencana aksi
tersebut sudah tersebar termasuk di kalangan umat Islam. Sebagian kalangan umat
Islam menanggapi aksi yang akan dilakukan ini sebenarnya “sasaran tembaknya”
adalah eksistensi Mesjid Al-Khairiyah, oleh karena itu sejak pagi berbagai
elemen umat Islam dari berbagai kalangan telah dating ke Mesjid Al-Khairiyah
hingga waktu shalat Dhuhur jumlah umat Islam yang telah bersiaga di Mesjid
Al-Khairiyah telah mencapai ratusan orang. Mereka datang dengan maksud untuk bersiaga
di Mesjid Al-Khairiyah dan bersiap jika sekiranya massa demonstran dari
MAKAPETOR hendak menyerang mesjid.
Joko
Sutrisno mengakui kalau reaksi masyarakat Islam pada demonstrasi tanggal 26
Oktober yang lalu merupakan yang terbesar. Ada ratusan warga muslim dari
berbagai tempat sudah mendatangi masjid sejak pagi hari. Ini karena informasi
yang berkembang ke warga sudah mulai tercium sejak dua hari menjelang
demonstrasi. Surat izin demonstrasi yang ditujukan kepada pihak kepolisian oleh
pihak Makapetor bocor ke media social. Dalam surat itu, tertera catatan yang
menyebutkan ada 10.000 anggota Makapetor yang akan turun ke jalan untuk meminta
pengembalian fungsi lahan eks kampong Texas sebagai taman religi.
Informasi
dari media online baik grup WA maupun Facebook memicu warga muslim untuk
bersiap dan datang ke lokasi masjid untuk “melindungi” masjid dari kemungkinan
terjadinya serangan fisik dari pihak Makapetor. Mursyid dan Joko mengakui bahwa
ratusan warga muslim yang berjaga di masjid Al-Khairiyah bersiap untuk
melakukan kontak fisik jika diperlukan. Mursyid bahkan sudah meminta izin
kepada istrinya untuk merelakan dirinya jika terjadi kemungkinan yang paling
buruk.
Pihak
muslim meyakinkan bahwa kedatangan warga muslim merupakan reaksi spontan dari
apa yang mereka dengar. Tidak ada kelompok radikal yang bermain dalam kasus
ini. Warga muslim berdatangan sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap masjid
yang diisukan akan diserang oleh kelompok Makapetor dan sudah tersiar di media
sosial.
Massa
dari kelompok MAKAPETOR sebelum pukul 14.00 wita telah berkumpul untuk
melakukan demonstrasi. Menurut laporan dari Kapolresta Manado, Kombes hisar
Sialagan, massa aksi berjumlah sekitar 300 orang dengan coordinator lapangan
Wellen Kumaunang. Massa pengunjuk rasa terlebih dahulu berkumpul di lapangan
basket Mega Mas manado, kemudian dengan bergerak berjalan kaki menuju ke
kompleks ex Kampung Texas. Pada pukul 14.00 Wita, massa pengunjuk rasa tiba di
depan Mako polresta Manado dan langsung diterima oleh Kapolresta Manado. Saat
diterima oleh Kapolresta Manado, korlap aksi menyampaikan maksud dan tujuan
mereka, yaitu; Pertama, mengharapkan agar Kapolresta Manado dapat
memahami aksi unjuk rasa damai yang dilakukan sehingga mengizinkan mereka untuk
masuk ke lokasi ex Kampung Texas Kelurahan Wenang Utara Kecamatan Wenang Kota
manado. Kedua, Aksi unjuk rasa ini dilakukan karena adanya penyimpangan
dalam pembangunan ex Kampung Texas. Ketiga, mengharapkan Walikota
Manado, Vicky lumentut untuk hadir di lokasi aksi tersebut dalam waktu 30
menit.
Penyampaian
dari korlap aksi tersebut kemudian ditanggapi oleh Kapolresta manado dengan
mengatakan bahwa; Pertama,Kehadiran pihak kepolisian di tempat ini untuk
mengamankan aksi unjuk rasa damai yang dilakukan. Kedua, pihak
kepolisian tidak memiiki wewenang untuk menghadirkan bapak Walikota manado di
tempat ini serta tidak memiliki kapasitas dalam mengambil keputusan. Oleh
karena itu, Kapolresta Manado memberikan solusi kepada pengunjuk rasa untuk
menyampaikan aspirasi mereka langsung ke Pemkot Manado. Tanggapan dari
Kapolresta Manado ini ditanggapi kembali oleh Korlap dengan mengatakan; Pertama,
Memohon sekali kepada pihak Kapolresta untuk mengizinkan mereka masuk ke ex
Kampung Texas. Kedua, Menolak menyampaikan aspirasi di Pemkot Manado
karena sasaran utama adalah ex Kampung Texas serta tuntutan mereka masih sama
dengan tuntutan yang disampaikan pada tanggal 25 Maret 2015 yang lalu namun
tidak ditindak lanjuti oleh Pemkot Manado. Adapun tuntutan pihak pengunjuk rasa
adalah: a) Meminta mengembalikan kembali pembangunan taman religi di ex Kampung
Texas di mana saat ini pembangunanya sudah beralih fungsi. b) Meminta kepada
pemerintah kota untuk mempercepat pembangunan taman wisata religi. c) Meminta
kepada Pemkot Manado untuk membongkar bangunan liar tidak termasuk Mesjid yang
dibangun di lahan ex Kampung Texas karena tidak memiliki IMB serta surat-surat
lainnya. d) Kesepakatan yang telah disepakati dengan Pemkot Manado pada tanggal
28 maret 2015 untuk segera menyelesaikan permasalahan ex Kampung Texas yang
tercanntum dalam 3 poin di atas sampai dengan saat ini tidak dilaksanakan,
malahan bangunan yang berada di ex Kampung Texas sudah semakin besar. Menurut Welen
Kumaunang, permasalahan tersebut tetap terus mereka dengungkan karena sebagai
orang Minahasa harga diri mereka seakan telah terinjak-injak.
Setelah
melakukan negosiasi antra pihak Kapolresta Manado dengan pihak pengunjuk rasa
akhirnya disetujui untukmengizinkan 9 orang perwakilan untuk masuk ke lokasi ex
Kampung Texas. Adapun 9 orang perwakilan tersebut adalah: Welen kumaunang,
Maikel Manoppo, Donny Lasut, Jemmy Monintja, Pdt. J. Sampelan, Pdt. Rocky
Ronoko, Alva Borong, Steven Kambuan, dan Gilby Roeroe. 9 perwakilan tersebut
dengan diantar oleh pihak kepolisian kemudian masuk ke lokasi ex Kampung Texas
untuk melihat bangunan di lokasi tersebut. Saat berada di lokasi tersebut
perwakilan massa berdialog dengan Imam Mesjid Al-Khairiyah, Hariyanto Halid.
Dalam dialog tersebut Imam Mesjid Al-Khairiyah menyatakan bahwa; Pertama, sebagian
tanah di kompleks ex Kampung Texas ini sebagian besar telah dijual oleh pihak
Pemkot Manado kepada pihak swasta untuk dijadikan ruko. Kedua, Tanah di
ex kompleks Kampung Texas ini merupakan tanah negara yang telah ditempati oleh
umat muslim sejak tahun 1968 sehingga sesuai dengan Undang-undang Darurat
Agraria bahwa tanah negara yang telah dihuni selama 20 tahun atau lebih
penghuni di atas tanah tersebut memiliki hak atas tanah tersebut. Ketiga,
Permasalahannya sampai saat ini Pemkot Manado belum juga mengeluarkan
sertifikat atas tanah mesjid tersebut. Keempat, Dengan adanya
pembangunan ruko oeh pihak swasta di samping mesjid mengakibatkan umat Islam
kesulitan untuk beribadah apalagi kalau shalat Jumat karena jumlah umat yang
hadir jumlahnya sangat banyak. Kelima, Pada saat perencanaan pembangunan
taman wisata religi Pemkot Manado yang pada saat itu dipimpin Walikota Jimmy
Rimbarogi tidak menghargai umat Islam karena di tempat tersebut telah berdiri
mesjid yang telah difungsikan untuk kebutuhan ibadah umat Islam.
Pernyataan
imam mesjid tersebut ditanggapi oleh Welen Kumaunang dengan mengatakan bahwa; Pertama,
bahwa Aliansi MAKAPETOR tidak pernah mempermasalahkan berdirinya mesjid di
atas lahan ex Kampung texas namun yang dipermasalahkan adalah beralih fungsinya
pembangunan yang dahulunya ditujukan untuk pembangunan taman wisata religi
namun sampai saat ini belum juga dibangun bahkan sebagian tanah telah dijual
kepada pihak swasta untuk dijadikan ruko. Kedua, Status tanah ini
sebenarnya adalah status quo berdasarkan hasil pertemuan dengan Kapolda Sulut,
namun pembangunan tetap berjalan. Ketga, Jika pak imam mesjid memiliki
bukti-bukti bahwa ada permasalahan di tanah ex Kampung Texas maka mari
bersama-sama untuk mempertanyakan dan melaporkan pihak Pemkot Manado agar
permasalahan ini bisa diselesaikan. Keempat, mari bersama-sama mencari
solusi dari permasalahan ini dan jangan kita saling membenci satu sama lain
yang berujung pada perkelahian.
Setelah
dilakukan dialog kedua belah pihak kemudian sepakat bersama untuk mencari
permasalahan dengan mempertanyakan pembangunan ruko oleh pihak swasta di atas
tanah yang rencananya akan dibangun taman wisata religi. Perwakilan pengunjuk
rasa bersama-sama dengan umat muslim memasang spanduk di lokasi tersebut yang bertuiskan;
“Tanah ini akan Dibangun taman Wisata Religi” dan dilanjutkan dengan foto
bersama. Aksi unjuk rasa ini kemudian ditutup dengan doa yang dibacakan oleh
Welen Kumaunang selaku korlap aksi. Pukul 17.00 Wita massa pengunjuk rasa
membubarkan diri dan kembali berkumpul di titik kumpul semula di kompleks
lapangan basket Mega Mas Manado.
Versi
yang didapatkan dari rilis Kapolresta ini ketika dikonfirmasi dengan saksi
kejadian yaitu Joko Sutrisno selaku mantan Ketua Forum Penyelamat Mesjid
Al-Khairiyah, Mursyid Laiya (Mantan Panglima Brigade Mesjid Sulut) dan Haryanto
Halid (Imam Mesjid Al-Khairiyah) mebantah beberapa hal kronologi tersebut.
Menurut mereka sasaran utama dari aksi tersebut adalah menggugat pembangunan
Mesjid Al-Khairiyah, gugatan terhadap bangunan ruko dan tuntutan atas
pembangunan taman wisata religi tersebut hanyalah alibi untuk menutupi tujuan
mereka yang sebenarnya. Pada saat kejadian massa aksi sudah tidak punya iktikad
baik untuk aksi damai, karena massa aksi sebagian diantaranya membawa senjata
tajam dan berteriak-teriak menuntut pembongkaran Mesjid Al-Khairiyah. Massa
yang dating juga ternyata diketahui banyak diantaranya tidak berasal dari
Manado, melainkan berasal dari luar Manado seperti Bitung, Tomohon, Tondano,
Minsel, dan daerah lain di luar Manado. Mereka juga mempertanyakan klaim
MAKAPETOR yang mengatasnamakan masyarakat adat Minahasa yang merasa memiliki
tanah tersebut, karena jika ditilik dari sejarah wilayah pesisir sebenarnya
merupakan kawasan orang Bantik dan bukan Minahasa yang sebenarnya mereka
bermukim di wilayah pegunungan.
Menurt
ketiga informan tersebut, aksi yang berlangsung bukanlah aksi damai dan hamper
saja terjadi bentrokan antara massa yang dating dan umat Islam yang telah
bersiaga di mesjid. Jika sekiranya aksi tersebut ditujukan sebagai aksi damai,
kenapa mereka memaksa masuk ke lokasi yang notabene adalah lokasi Mesjid
Al-Khairiyah dan mereka memaksa masuk untuk berdialog dengan Imam Mesjid. Hal
ini menunjukkan bahwa arah aksi mereka adalah teror kepada pembangunan Mesjid
Al-Khairiyah. Hampir terjadi bentrokan ketika massa memaksa masuk dan umat
Islam sudah bersiap untuk bentrok fisik jika massa mendekat. Untungnya diantara
kedua kelompok massa tersebut ada barikade aparat sebanyak 3 lapis, sehingga
kedua kelompok massa tidak sempat bertemu. Di tengah ketegangan tersebut,
tiba-tiba seorang anggota kepolisian mengalami “kemasukan” dan berteriak
“Allahu Akbar” berulang kali dengan teriakan yang keras. Kejadian ini
menciutkan nyali massa unjuk rasa. Massa pengunjuk rasa menurut Joko Sutrisno
memaksa untuk memasang spanduk yang bertuliskan “Tanah ini akan Dibangun taman
Wisata Religi” di tembok mesjid, namun hal itu urung dilakukan karena
mendapatkan penentangan yang keras dari umat Islam, sehingga pemasangan spanduk
dialihkan tidak lagi di tembok mesjid. Spanduk tersebut hanya terpasang lebih
dari satu jam karena pada waktu Maghrib spanduk tersebut dilepas oleh jamaah
Mesjid Al-Khairiyah.
Menurut
kesaksian Joko dan Mursyid yang ada di lokasi kejadian menyatakan bahwa aksi
terseut memang dipersiapkan untuk chaos, namun karena adanya barikade aparat
chaos tidak sampai terjadi. Sasaran tembak dari pihak pengunjuk rasa MAKAPETOR
adalah pembangunan Mesjid Al-Khairiyah. Ada problem identitas yang mereka tidak
bisa terima karena di kawasan yang telah menjadi landmark Kota Manado
yaitu Jembatan Soekarno yang sekaligus juga merupakan pusat Kota Manado berdiri
sebuah mesjid yang megah. Hal ini menjadi problematic bagi ikon Manado yang
dikenal sebagai Kota “Seribu Gereja”. Dengan demikian menurut Joko sejatinya
yang diinginkan dari massa unjuk rasa dan dengan memaksakan dibangunnya taman
religi di lokasi tersebut adalah upaya menghilangkan atau setidaknya
mengecilkan Mesjid Al-Khairiyah. Menurut pak imam Haryanto Halid, mereka akan
terus melanjutan pembangunan mesjid apa pun yang terjadi.
Pasca
kejadian aksi massa MAKAPETOR pada Rabu 26 Oktober 2016 marak informasi di
media sosial terkait hal tersebut hingga merembet pada persoalan agama antara
Muslim dan Kristen di manado. Reaksi dari kalangan tokoh muslim Manado sendiri
beragam, ada yang menganggap bahwa aksi unjuk rasa tersebut pada dasarnya
hendak menggugat eksistensi dan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah. Meski ada juga
yang beranggapan bahwa inti persoalannya adalah pembangunan mesjid Al-Khairiyah
yang mengambil lahan di samping bangunan awal tanpa izinlah yang memicu
aksi-aksi tersebut. Di Kalangan tokoh muslim Manado memang telah muncul pro dan
kontra terkait pembangunan taman religi di kawasan tersebut, sebagian tokoh
termasuk Imam Mesjid Al-Khairiyah menolak pembangunan taman wisata religi di
lokasi tersebut namun sebagian tokoh Islam yang lain setuju dengan pembangunan
taman wisata religi dengan catatan tidak mengganggu fungsi mesjid selaku tempat
ibadah.
Beberapa
aktivis muslim dari beberapa ormas keislaman dengan difasilitasi oleh Benny
Ramdani selaku Senator dari Sulawesi Utara melakukan pertemuan di Kantor MUI
Sulawesi Utara pada hari Sabtu Malam tanggal 29 Oktober 2016. Dalam pengamatan
peneliti yang hadir dalam pertemuan tersebut, aktivis muslim yang hadir pada
pertemuan itu sebanyak 12 orang. Beragam pandangan muncul dalam pertemuan yang
berlangsung lebih kurang 2 jam tersebut. Benny Ramdani memulai pembicaraan
dengan mengemukakan beberapa poin penting. Menurut Benny, Mesjid Al-Khairiyah
yang telah dibangun sejak tahun 1968 dapat dijadikan situs sejarah kerukunan
dan toleransi di Manado dengan pertanda diterimanya agama Islam sebagai agama
yang dipeluk oleh sebagian penduduk Manado. Benny juga menegaskan bahwa pemerintah
harus pro aktif guna menyelesaikan permasalahan status tanah Mesjid
Al-Khairiyah karena Mesjid Al-Khairiyah tetap harus ada dan fungsional sebagai
tempat iabdah. Lebih lanjut Benny mengatakan perlu adanya komunikasi dan
koordinasi dengan pihak kepolisiaan agar tidak ada lagi aksi demo di lokasi
Mesjid Al-Khairiyah dari massa MAKAPETOR.
Umumnya
peserta rapat memberikan penegasan tentang perlunya persatuan segenap umat
Islam untuk memperjuangkan status legalitas tanah Mesjid Al-Khairiyah dan
pembangunan Mesjid Al-Khairiyah harus tetap terus dilaksanakan. Seluruh peserta
juga menegaskan untuk mencegah berbagai pihak agar tidak mempolitisasi
persoalan terkait Mesjid Al-Khairiyah. Diantara rekomendasi dari pertemuan
tersebut ditindaklanuti dengan mengadakan audiens kepada pihak Kapolda dan
pemerintah provinsi dalam hal ini Wakil Gubernur Sulawesi Utara pada hari Senin
tanggal 31 Oktober 2016. Namun, hingga hari yang dijadwalkan pertemuan tersebut
belum sempat dilakukan. Hingga penelitian ini dilakukan tokoh-tokoh muslim
terus melakukan pembicaraan dan upaya strategis guna menghindari kejadian aksi
massa selanjutnya dan eksistensi serta fungsi Mesjid Al-Khairiyah tetap
bertahan.
Persoalan
Masjid Al-Khairiyah sejatinya adalah persoalan kebijakan. Pasca pengosongan
wilayah pemukiman, pihak Pemerintah Kota berencana membangun taman religi yang
menegaskan ekspresi simbolik dari adagium Sulawesi Utara sebagai wilayah yang
paling rukun di nusantara. Rencana ini mendapat penolakan dari pihak pengurus
Masjid karena taman religi akan mematikan fungsi masjid dari fungsional menjadi
artifisial. Apalagi Imam Masjid Al-Khairiyah pernah melihat masterplan taman
religi dan menilai kurang adil karena gambar gereja lebih besar daripada
bangunan rumah ibadah yang lain.
Atas
rencana itu, pihak masjid melakukan “perlawanan simbolik” menolak ide taman
religi dengan memperluas lahan pembangunan masjid. Panitia pembangunan masjid
dibentuk dan tiang-tiang besar sudah dipancang. Tindakan ini dianggap sebagai show
power dari pihak masjid yang kemudian memicu terjadi gelombang protes dari
warga Manado yang direpresentasi oleh Aliansi Makapapetor.
Keadaan
semakin runyam ketika di area sekitar masjid yang semula menjadi lahan taman
religi sudah berdiri rumah toko (ruko) untuk kepentingan bisnis. Hal ini
semakin memperkuat keinginan pihak masjid untuk tetap melanjutkan pembangunan
karena menganggap rencana pembangunan taman religi hanya konsep belaka, bukan
upaya serius. Bahkan ada yang mengatakan taman religi hanya isu yang menjadi
landasan agar masjid di bongkar dan kepentingan bisnis masuk. Hal ini terlihat
dari sertifikat pemerintah kota atas tanah itu yang menunjukkan kalau tanah di
eks kampun Texas adalah tanah kosong.
Demontrasi
pihak Makapetor yang mendesak pemerintah kota untuk menertibkan bangunan liar
dipahami oleh pihak masjid sebagai upaya untuk menjadikan masjid sebagai
sasaran. Pihak masjid merasa, Makapetor hanya menjadikan lahan taman religi
sebagai alasan untuk menolak keberadaan atau perluasan pembangunan masjid
Al-Khairiyah. Makapetor dianggap tidak rela apabila di areal yang strategis
(berada di bawah jembatan Soekarno) berdiri sebuah masjid megah. Hal inilah
kemudian memicu “perlawanan” dari pihak muslim terhadap rencana demonstrasi
Makapetor terhadap masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar