Senin, 15 Januari 2018

Kasus Demonstrasi terhadap Masjid Al-Khairiyah, di Eks Kampung Texas, Kota Manado

HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Kampung Texas merupakan sebuah perkampungan yang berada di Pesisir Utara Kota manado yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Perkampungan ini mulai dihuni pada kisaran tahun 1940-an oleh para pendatang yang berasal dari Gorontalo, Sangir, Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya. Pada tahun 1960-an pasca pemberontakan Permesta (Perjuangan rakyat Semesta), Kampung ini semakin ramai didatangi
oleh pemukim yang tinggal di lahan tanah milik negara. Kampung Texas terletak di Keluahan Wenang Utara Kecamatan Wenang, sebagian besar penduduk adalah muslim. Demi memenuhi kebutuhan ibadat umat muslim yang tinggal di Kampung tersebut, maka pada tahun 1968 di masa kepemimpinan walikotamadya Manado Rauf Mo’o didirikanlah sebuah mesjid yang kemudian diberi nama mesjid al-Khairiyah. Seluruh kampung Texas yang merupakan pemukiman padat penduduk termasuk Mesjid Al-Khairiyah berlokasi di atas lahan tanah milik negara.
Pada awal dibangunnya, Mesjid Al-Khairiyah masih berupa bangunan mesjid kecil dengan luas bangunan 10x10 meter berbahan kayu dan hanya satu lantai. Seiring dengan perkembangan penduduk maka sedikit demi sedikit dilakukan renovasi atas bangunan Mesjid Al-Khairiyah hingga seluas 16x20 meter dengan bangunan permanen dengan tinggi bangunan 2 lantai. Menurut Mursyid, mantan Panglima Brigade Mesjid Sulawesi Utara yang merupakan penduduk yang lahir dan besar di Kampung Texas, Mesjid Al-Khairiyah menjadi pusat kegiatan peribadatan dan keagamaan bagi umat Islam di Kampung Texas. Mesjid tersebut merupakan satu-satunya bangunan rumah ibadat yang berdiri di Kampung Texas, meski di Kampung Texas juga bermukim sebagian penduduk yang beragama Kristen, namun di kampung tersebut tidak ada bangunan gereja maupun rumah ibadat lainnya.
Pada awal tahun 2000-an dilakukan reklamasi laut di sekitar lokasi Kampung Texas yang belakangan menjadi kawasan Boulivard yang merupakan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis di Kota Manado. Pada lokasi hasil reklamasi tersebut berdiri berbagai sentra bisnis seperti ruko, hotel, bahkan 3 mall besar berdiri di kawasan tersebut, pada tahun 2015 diresmikan jembatan Sukarno yang saat ini menjadi landmark baru Kota Manado. Akhirnya, kawasan Kampung Texas yang awalnya berada di pinggir kota berubah menjadi di pusat kota. Oleh pemerintah Kota Manado yang pada saat itu menjadi walikota adalah Jimmy Rimbarogi, kawasan pemukiman di sekitar pantai dilakukan penggusuran dan penduduknya direlokasi ke tempat lain termasuk Kampung Texas. Akibat penggusuran tersebut, seluruh bangunan yang ada di Kampung tersebut dibongkar, kecuali bangunan Mesjid Al-Khairiyah. Oleh penduduk setempat tidak dibongkarnya bangunan Mesjid Al-Khairiyah merupakan hasil negosiasi mereka dengan pemerintah kota. Mereka bersedia digusur dengan catatan Mesjid Al-Khairiyah tidak dibongkar dan tetap secara fungsional digunkan sebagai tempat ibadat bagi umat Islam.
Meski tidak ada lagi penduduk yang bermukim di sekitaran mesjid tersebut, namun mesjid tetap fungsional digunakan sebagai tempat ibadat oleh para karyawan dan pedagang serta musafir yang lewat di kawasan Boulivard. Ketika peneliti datang ke mesjid tersebut dan sempat menunaikan shalat Ashar, tampak jamaah yang shalat cukup banyak, bahkan ketika shalat Ashar sudah selesai, masih banyak umat Islam yang dating silih berganti untuk singgah menunaikan shalat. Hingga pukul 17.00 WITA peneliti menghitung lebih dari 30 orang singgah secara bergantian untuk menunaikan shalat Ashar di Mesjid Al-Khairiyah. Hal ini menunjukkan bahwa Mesjid Al-Khairiyah keberadaannya sangat penting untuk memenuhikebutuhan ruhani umat Islam yang ada di sekitar kawasan tersebut, yang meski bukan sebagai jamaah mukim.
Dengan makin ramainya dibangun pertokoan di kawasan tersebut, maka jamaah Mesjid Al-Khairiyah pun semakin banyak. Di hamper seluruh shalat lima waktu kecuali Subuh, Mesjid Al-Khairiyah selalu ramai ditempati oleh umat Islam yang melakukan shalat berjamaah. Pelaksanaan shalat Jumat di mesjid tersebut sudah tidak mampu lagi menampung jamaah yang sangat banyak hingga membludak keluar bahkan terkadang ada jamaah yang tidak mendapatkan tempat untuk melaksanakan shalat Jumat. Hal ini juga terjadi karena Mesjid Al-Khairiyah merupakan satu-satunya mesjid yang berada pada kawasan pertokoan di sekitar Jembatan Sukarno tersebut. Melihat fenomena tersebut dan demi memenuhi kebutuhan umat Islam yang ingin shalat serta tidak mampunya lagi daya tamping mesjid, khususnya ketika shalat Jumat, maka pengurus mesjid pada tahun 2013 memutuskan untuk memperluas bangunan mesjid dengan menambah luas bangunan menjadi 1500 meter persegi (50x30 m) dan perencanaan bangunan setinggi 4 lantai. Meski status tanah yang masih sebagai milik Negara dan tidak ada IMB untuk renovasi bangunan mesjid, rencana tersebut tetap dilaksanakan dengan membentuk panitia pembangunan mesjid yang diketuai oleh Jafar Al-Katiri (Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara yang juga Ketua DPW PPP Sulut) dan Abdurrahman Musa (seorang pengacara) sebagai sekertaris.
Pengurus mesjid dan sebagian elemen pemuda muslim yang dikoordinasi oleh BKPRMI (Badan koordinasi Pemuda dan Remaja Mesjid Indonesia) Sulawesi Utara tetap melanjutkan pembangunan perluasan mesjid. Meski mendapat peringatan dari pemerintah kota, pembangunan mesjid tetap terus berjalan. Hingga kini pembangunan mesjid tetap berjalan, meski proses renovasi bangunan mesjid tersebut dianggap tidak mengikuti prosedur yang berlaku, misalnya perizinan IMB. Pengurus mesjid beralasan, bagaimana mungkin mereka mengurus IMB, sedangkan tanah loaksi mesjid tersebut telah atas nama pemerintah kota, dan pemerintah kota berniat hendak membongkar mesjid tersebut. Saat ini lokasi mesjid telah dikelilingi oleh ruko dan di dekat bangunan mesjid berdiri sebuah rumah yang merupakan rumah dinas bagi imam mesjid. Rumah dinas imam mesjid tersebut merupakan satu-satunya rumah yang berdiri di kawasan tersebut.
Pada tahun 2011, oleh pemerintah kota Manado (pada saat itu walikota Vicky Lumentut), Mesjid Al-Khairiyah diminta untuk dibongkar, dan pak imam mesjid (Hariyanto Halid) diminta untuk meninggalkan rumah dinasnya yang berlokasi dekat dengan bangunan mesjid. Pihak pemerintah kota mempersoalkan bahwa mesjid tersebut sudah tidak layak lagi berdiri karena tidak memiliki minimal 90 pengguna sebagaimana yang diatur dalam PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006. Tidak adanya penduduk sebagai jamaah mukim dari mesjid tersebut menjadi hal yang dipersoalkan oleh Pemkot sehingga berpandangan bahwa mesjid tersebut harus dibongkar, terlebih lagi kawasan tersebut akan dibangun taman wisata religi. Namun, permintaan ini tidak digubris oleh pak imam dan orang Islam yang ada di sekitar, yang meski bukan jamaah mukim, tapi kerap menggunakan mesjid tersebut untuk menunaikan shalat lima waktu. Secara de jure, mesjid tersebut memang tidak lagi memiliki jamaah mukimin, karena pemukiman di sekitarnya telah mengalami relokasi. Namun, mesjid tersebut secara faktual tetap aktif digunakan bahkan selalu ramai di setiap waktu shalatnya, terlebih di hari Jumat karena jamaah berasal dari pedagang di sekitar serta karyawan perkantoran, maupun orang-orang yang sedang berkunjung di kawasan Boulivard.
Pemerintah kota Manado berencana akan mendirikan taman wisata religi berupa semua miniatur rumah ibadat (mesjid, gereja, kapel, pura, dan vihara) di lokasi tersebut. Namun, rencana ini mendapat penolakan keras dari masyarakat Islam kota Manado. Penolakan tersebut, karena mesjid tersebut tetap berfungsi aktif, bahkan selalu ramai oleh jamaah di setiap waktu shalat. Kemudian untuk mengadvokasi keberadaan mesjid tersebut, kalangan pemuda muslim di kota Manado membentuk Forum Penyelemat Mesjid al-Khairiyah yang diketuai oleh Joko Sutrisno dan hamdani Rukmana selaku sekertaris. Pembentukan forum tersebut dilakukan pada bulan Oktober 2013 demi menyikapi sikap pemerintah kota yang hendak membongkar bangunan mesjid.
Demi legalitas status mesjid, pengurus mesjid kemudian berinisiatif untuk mensertifikasi tanah mesjid tersebut atas nama mesjid al-Khairiyah, namun pada tanggal 12 September 2012, terbit sertifikat tanah mesjid tersebut atas nama pemerintah Kota, yang di mana dalam gambar tanah di sertifikat tersebut adalah tanah kosong tanpa bangunan.
Bermodalkan sertifikat tanah dari BPN kota Manado, pemerintah Kota mengajukan proposal pembangunan taman wisata religi kepada Kantor Pusat Kementerian Agama, dan akhirnya mendapat alokasi dana sebesar 15 milyar. Dana tersebut telah hamper cair dari APBN Kementerian Agama, namun dana tersebut urung cair dikarenakan, kemudian diketahui bahwa di atas tanah loaksi pembangunan taman wisata religi telah berdiri sebelumnya sebuah mesjid padahal di proposal yang diajukan dilampirkan copy sertifikat tanah yang kosong tanpa bangunan.
Di lain pihak, panitia pembangunan mesjid tetap melanjutkan pembangunan perluasan mesjid. Meski mendapat peringatan dari pemerintah kota, pembangunan mesjid tetap terus berjalan. Bahkan suatu hari, tepatnya di hari Minggu, wakil walikota Manado dan camat Wenang Utara beserta beberapa jajaran terkait datang ke loaksi mesjid tersebut untuk meminta penghentian pembangunan mesjid karena tanah tersebut adalah tanah milik pemerintah Kota dan pembangunan mesjid tersebut tidak memiliki IMB. Namun kedatangan wakil walikota beserta jajarannya tidak juga membuat pembangunan mesjid tersebut berhenti. Masalah ini pun kemudian sempat memanas dan sangat rentan dan berpotensi memicu konflik SARA. Masalah mesjid ini pun sampai terdengar di kementerian agama pusat, dan pada bulan September 2013, wakil menteri agama, Bapak Nazaruddin Umar datang ke mesjid tersebut dan selepas menunaikan shalat Ashar, beliau memberikan sambutan setelah menunaikan shalat Ashar dan mempermaklumkan bahwa keberadaan mesjid tersebut tidak boleh diganggu gugat.
Antara tahun 2013 hingga tahun 2016 tercatat telah terjadi 4 kali demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Masyarakat Adat Kawanua Pencinta Toleransi (MAKAPETOR) terhadap pembangunan Mesjid Al- Khairiyah. Penolakan didasarkan pembangunan mesjid yang telah melampaui space awalnya sehingga mengambilruang bagi pembangunan miniature rumah ibadah agama lainnya dalam rangka pembangunan taman wisata religi. Aksi demonstrasi di tahun 2013 dan 2014 masih berlangsung dengan aman meski sempat terjadi sedikit ketegangan. Pada tanggal 25 Maret tahun 2015 kembali demonstrasi dilakukan guna menuntut penghentian pembangunan Mesjid Al- Khairiyah yang diperluas. Aksi terbesar terjadi pada hari Rabu tanggal 26 Oktober 2016. Massa yang berjumlah 300 orang dari kelompok MAKAPETOR menuntut pembongkaran bangunan liar yang ada di lahan yang mestinya menjadi taman wisata reigi. Pengurus mesjid dan Brigade Mesjid Sulawesi Utara yang intens memperjuangkan kelanjutan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah beralasan bahwa tuntutan untuk membangun taman wisata religi di eks Kampung texas sudah tidak relevan lagi mengingat sudah banyaknya terbangun ruko, sehingga space untuk membangun taman religi sudah tidak memungkinkan lagi. Selain itu, terbetik juga asumsi bahwa “sasaran tembak” yang sebenarnya dari aksi-aksi tersebut adalah eksistensi Mesjid Al-Khairiyah.
Menurut Imam masjid, sebelum demonstrasi dia mendapatkan surat dari pemerintah kota tertanggal 24 Oktober 2016. Surat tersebut bernomor 317/D.10/TK/X/2016 ditandatangani oleh J.B. Mailangkay selaku Kepala Dinas Tata Kota Manado. Surattersebut merupakan kelanjutan dari beberapa surat peringatan sebelumnya yang telah dilayangkan kepada panitia pembangunan Mesjid Al-Khairiyah. Sebelumnya pemerintah kota melalui Dinas Tata Kota telah 6 kali melayangkan surat kepada panitia pembangunan. Diawali dari surat peringatan (1, II, dan III), masing-masing Nomor 56/D.10/TK/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 (Peringatan I), nomor 169/D.10/TK/VII/2014 tanggal 14 Juli 2014 (peringatan II), dan nomor 240/D.10/TK/X/2015 tanggal 1 Oktober 2015. Selain itu pemkot juga melayangkan surat nomor 75/D.10/ III/2015 tanggal 24 Maret 2015 perihal kegiatan menghentikan membangun, dan surat nomor 185/D.10/TK/VI/2015 tanggal 26 Juni 2015 juga tentang perihal menghentikan kegiatan membangun, serta surat nomor 165/D.10/VI/2016 tanggal 7 Juni 2016 perihal penghentian kegiatan membangun dan peninjauan lapangan petugas Dinas Tata kota terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah di lokasi kawasan pembangunan wisata religi ex Kampung texas Kelurahan Wenang Utara Kecamatan Wenang. Tak satu pun dari surat tersebut digubris oleh pengurus dan panitia pembangunan mesjid. Meski telah 6 kali dilayangkan surat dari pemkot namun pembangunan Mesjid Al-Khairiyah tetap berjalan. Untuk ketujuh kalinya pemerintah kota melalui Dinas Tata Kota melayangkan surat tertanggal 24 Oktober 2016 namun diterima oleh pengurus dalam hal ini imam mesjid sendiri pada tanggal 27 Oktober (1 hari setelah aksi demonstrasi). Isi surat tersebut menyampaikan 3 hal pokok: Pertama, bahwa luasan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah tidak sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah kota di mana sekarang ini bangunan mesjid telah dibangun pada separuh luasan lahan ex Kampung texas. Kedua, bahwa akibat pembangunan ini maka untuk pembangunan bangunan social lainnya seperti gereja, kapel, pura, dan vihara taman sudah tdak dimungkinkan lagi. Ketiga, Untuk itu dimintakan agar panitia pembangunanMesjid Al-Khairiyah segera membongkar sendiri dan menyesuaikan dengan perencanaan pemerintah kota.
Menyikapi surat-surat yang telah dilayangkan dari pemerintah kota tersebut, utamanya surat yang terakhir, Imam Mesjid Al-Khairiyah menyatakan sikap bahwa surat tersebut mencantumkan hal yang tidak benar berkaitan dengan poin nomor satu tentang kesepakatan dengan pemerintah kota. Menurut pak imam tidak pernah ada kesepakatan tersebut dengan pemerintah kota. Untuk itu, pak imam tetap bersikukuh pada sikapnya untuk tetap melanjutkan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah sesuai dengan rancangan sebelumnya dengan laus bangunan 1500 meter persegi (30x50 m) dengan tinggi bangunan 4 lantai.
Hari rabu siang tanggal 26 Oktober 2016 merupakan waktu yang direncanakan oleh kelompok MAKAPETOR untuk melakukan demonstrasi atas bangunan liar yang terbangun di atas lahan ex Kampung Texas yang sedianya dibangun taman wisata religi. Rencana demonstrasi tersebut telah dilaporkan ke pihak Kapolresta Manado, dan melalui informasi yang tersebar di media sosial rencana aksi tersebut sudah tersebar termasuk di kalangan umat Islam. Sebagian kalangan umat Islam menanggapi aksi yang akan dilakukan ini sebenarnya “sasaran tembaknya” adalah eksistensi Mesjid Al-Khairiyah, oleh karena itu sejak pagi berbagai elemen umat Islam dari berbagai kalangan telah dating ke Mesjid Al-Khairiyah hingga waktu shalat Dhuhur jumlah umat Islam yang telah bersiaga di Mesjid Al-Khairiyah telah mencapai ratusan orang. Mereka datang dengan maksud untuk bersiaga di Mesjid Al-Khairiyah dan bersiap jika sekiranya massa demonstran dari MAKAPETOR hendak menyerang mesjid.
Joko Sutrisno mengakui kalau reaksi masyarakat Islam pada demonstrasi tanggal 26 Oktober yang lalu merupakan yang terbesar. Ada ratusan warga muslim dari berbagai tempat sudah mendatangi masjid sejak pagi hari. Ini karena informasi yang berkembang ke warga sudah mulai tercium sejak dua hari menjelang demonstrasi. Surat izin demonstrasi yang ditujukan kepada pihak kepolisian oleh pihak Makapetor bocor ke media social. Dalam surat itu, tertera catatan yang menyebutkan ada 10.000 anggota Makapetor yang akan turun ke jalan untuk meminta pengembalian fungsi lahan eks kampong Texas sebagai taman religi.
Informasi dari media online baik grup WA maupun Facebook memicu warga muslim untuk bersiap dan datang ke lokasi masjid untuk “melindungi” masjid dari kemungkinan terjadinya serangan fisik dari pihak Makapetor. Mursyid dan Joko mengakui bahwa ratusan warga muslim yang berjaga di masjid Al-Khairiyah bersiap untuk melakukan kontak fisik jika diperlukan. Mursyid bahkan sudah meminta izin kepada istrinya untuk merelakan dirinya jika terjadi kemungkinan yang paling buruk.
Pihak muslim meyakinkan bahwa kedatangan warga muslim merupakan reaksi spontan dari apa yang mereka dengar. Tidak ada kelompok radikal yang bermain dalam kasus ini. Warga muslim berdatangan sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap masjid yang diisukan akan diserang oleh kelompok Makapetor dan sudah tersiar di media sosial.
Massa dari kelompok MAKAPETOR sebelum pukul 14.00 wita telah berkumpul untuk melakukan demonstrasi. Menurut laporan dari Kapolresta Manado, Kombes hisar Sialagan, massa aksi berjumlah sekitar 300 orang dengan coordinator lapangan Wellen Kumaunang. Massa pengunjuk rasa terlebih dahulu berkumpul di lapangan basket Mega Mas manado, kemudian dengan bergerak berjalan kaki menuju ke kompleks ex Kampung Texas. Pada pukul 14.00 Wita, massa pengunjuk rasa tiba di depan Mako polresta Manado dan langsung diterima oleh Kapolresta Manado. Saat diterima oleh Kapolresta Manado, korlap aksi menyampaikan maksud dan tujuan mereka, yaitu; Pertama, mengharapkan agar Kapolresta Manado dapat memahami aksi unjuk rasa damai yang dilakukan sehingga mengizinkan mereka untuk masuk ke lokasi ex Kampung Texas Kelurahan Wenang Utara Kecamatan Wenang Kota manado. Kedua, Aksi unjuk rasa ini dilakukan karena adanya penyimpangan dalam pembangunan ex Kampung Texas. Ketiga, mengharapkan Walikota Manado, Vicky lumentut untuk hadir di lokasi aksi tersebut dalam waktu 30 menit.
Penyampaian dari korlap aksi tersebut kemudian ditanggapi oleh Kapolresta manado dengan mengatakan bahwa; Pertama,Kehadiran pihak kepolisian di tempat ini untuk mengamankan aksi unjuk rasa damai yang dilakukan. Kedua, pihak kepolisian tidak memiiki wewenang untuk menghadirkan bapak Walikota manado di tempat ini serta tidak memiliki kapasitas dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, Kapolresta Manado memberikan solusi kepada pengunjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi mereka langsung ke Pemkot Manado. Tanggapan dari Kapolresta Manado ini ditanggapi kembali oleh Korlap dengan mengatakan; Pertama, Memohon sekali kepada pihak Kapolresta untuk mengizinkan mereka masuk ke ex Kampung Texas. Kedua, Menolak menyampaikan aspirasi di Pemkot Manado karena sasaran utama adalah ex Kampung Texas serta tuntutan mereka masih sama dengan tuntutan yang disampaikan pada tanggal 25 Maret 2015 yang lalu namun tidak ditindak lanjuti oleh Pemkot Manado. Adapun tuntutan pihak pengunjuk rasa adalah: a) Meminta mengembalikan kembali pembangunan taman religi di ex Kampung Texas di mana saat ini pembangunanya sudah beralih fungsi. b) Meminta kepada pemerintah kota untuk mempercepat pembangunan taman wisata religi. c) Meminta kepada Pemkot Manado untuk membongkar bangunan liar tidak termasuk Mesjid yang dibangun di lahan ex Kampung Texas karena tidak memiliki IMB serta surat-surat lainnya. d) Kesepakatan yang telah disepakati dengan Pemkot Manado pada tanggal 28 maret 2015 untuk segera menyelesaikan permasalahan ex Kampung Texas yang tercanntum dalam 3 poin di atas sampai dengan saat ini tidak dilaksanakan, malahan bangunan yang berada di ex Kampung Texas sudah semakin besar. Menurut Welen Kumaunang, permasalahan tersebut tetap terus mereka dengungkan karena sebagai orang Minahasa harga diri mereka seakan telah terinjak-injak.
Setelah melakukan negosiasi antra pihak Kapolresta Manado dengan pihak pengunjuk rasa akhirnya disetujui untukmengizinkan 9 orang perwakilan untuk masuk ke lokasi ex Kampung Texas. Adapun 9 orang perwakilan tersebut adalah: Welen kumaunang, Maikel Manoppo, Donny Lasut, Jemmy Monintja, Pdt. J. Sampelan, Pdt. Rocky Ronoko, Alva Borong, Steven Kambuan, dan Gilby Roeroe. 9 perwakilan tersebut dengan diantar oleh pihak kepolisian kemudian masuk ke lokasi ex Kampung Texas untuk melihat bangunan di lokasi tersebut. Saat berada di lokasi tersebut perwakilan massa berdialog dengan Imam Mesjid Al-Khairiyah, Hariyanto Halid. Dalam dialog tersebut Imam Mesjid Al-Khairiyah menyatakan bahwa; Pertama, sebagian tanah di kompleks ex Kampung Texas ini sebagian besar telah dijual oleh pihak Pemkot Manado kepada pihak swasta untuk dijadikan ruko. Kedua, Tanah di ex kompleks Kampung Texas ini merupakan tanah negara yang telah ditempati oleh umat muslim sejak tahun 1968 sehingga sesuai dengan Undang-undang Darurat Agraria bahwa tanah negara yang telah dihuni selama 20 tahun atau lebih penghuni di atas tanah tersebut memiliki hak atas tanah tersebut. Ketiga, Permasalahannya sampai saat ini Pemkot Manado belum juga mengeluarkan sertifikat atas tanah mesjid tersebut. Keempat, Dengan adanya pembangunan ruko oeh pihak swasta di samping mesjid mengakibatkan umat Islam kesulitan untuk beribadah apalagi kalau shalat Jumat karena jumlah umat yang hadir jumlahnya sangat banyak. Kelima, Pada saat perencanaan pembangunan taman wisata religi Pemkot Manado yang pada saat itu dipimpin Walikota Jimmy Rimbarogi tidak menghargai umat Islam karena di tempat tersebut telah berdiri mesjid yang telah difungsikan untuk kebutuhan ibadah umat Islam.
Pernyataan imam mesjid tersebut ditanggapi oleh Welen Kumaunang dengan mengatakan bahwa; Pertama, bahwa Aliansi MAKAPETOR tidak pernah mempermasalahkan berdirinya mesjid di atas lahan ex Kampung texas namun yang dipermasalahkan adalah beralih fungsinya pembangunan yang dahulunya ditujukan untuk pembangunan taman wisata religi namun sampai saat ini belum juga dibangun bahkan sebagian tanah telah dijual kepada pihak swasta untuk dijadikan ruko. Kedua, Status tanah ini sebenarnya adalah status quo berdasarkan hasil pertemuan dengan Kapolda Sulut, namun pembangunan tetap berjalan. Ketga, Jika pak imam mesjid memiliki bukti-bukti bahwa ada permasalahan di tanah ex Kampung Texas maka mari bersama-sama untuk mempertanyakan dan melaporkan pihak Pemkot Manado agar permasalahan ini bisa diselesaikan. Keempat, mari bersama-sama mencari solusi dari permasalahan ini dan jangan kita saling membenci satu sama lain yang berujung pada perkelahian.
Setelah dilakukan dialog kedua belah pihak kemudian sepakat bersama untuk mencari permasalahan dengan mempertanyakan pembangunan ruko oleh pihak swasta di atas tanah yang rencananya akan dibangun taman wisata religi. Perwakilan pengunjuk rasa bersama-sama dengan umat muslim memasang spanduk di lokasi tersebut yang bertuiskan; “Tanah ini akan Dibangun taman Wisata Religi” dan dilanjutkan dengan foto bersama. Aksi unjuk rasa ini kemudian ditutup dengan doa yang dibacakan oleh Welen Kumaunang selaku korlap aksi. Pukul 17.00 Wita massa pengunjuk rasa membubarkan diri dan kembali berkumpul di titik kumpul semula di kompleks lapangan basket Mega Mas Manado.
Versi yang didapatkan dari rilis Kapolresta ini ketika dikonfirmasi dengan saksi kejadian yaitu Joko Sutrisno selaku mantan Ketua Forum Penyelamat Mesjid Al-Khairiyah, Mursyid Laiya (Mantan Panglima Brigade Mesjid Sulut) dan Haryanto Halid (Imam Mesjid Al-Khairiyah) mebantah beberapa hal kronologi tersebut. Menurut mereka sasaran utama dari aksi tersebut adalah menggugat pembangunan Mesjid Al-Khairiyah, gugatan terhadap bangunan ruko dan tuntutan atas pembangunan taman wisata religi tersebut hanyalah alibi untuk menutupi tujuan mereka yang sebenarnya. Pada saat kejadian massa aksi sudah tidak punya iktikad baik untuk aksi damai, karena massa aksi sebagian diantaranya membawa senjata tajam dan berteriak-teriak menuntut pembongkaran Mesjid Al-Khairiyah. Massa yang dating juga ternyata diketahui banyak diantaranya tidak berasal dari Manado, melainkan berasal dari luar Manado seperti Bitung, Tomohon, Tondano, Minsel, dan daerah lain di luar Manado. Mereka juga mempertanyakan klaim MAKAPETOR yang mengatasnamakan masyarakat adat Minahasa yang merasa memiliki tanah tersebut, karena jika ditilik dari sejarah wilayah pesisir sebenarnya merupakan kawasan orang Bantik dan bukan Minahasa yang sebenarnya mereka bermukim di wilayah pegunungan.
Menurt ketiga informan tersebut, aksi yang berlangsung bukanlah aksi damai dan hamper saja terjadi bentrokan antara massa yang dating dan umat Islam yang telah bersiaga di mesjid. Jika sekiranya aksi tersebut ditujukan sebagai aksi damai, kenapa mereka memaksa masuk ke lokasi yang notabene adalah lokasi Mesjid Al-Khairiyah dan mereka memaksa masuk untuk berdialog dengan Imam Mesjid. Hal ini menunjukkan bahwa arah aksi mereka adalah teror kepada pembangunan Mesjid Al-Khairiyah. Hampir terjadi bentrokan ketika massa memaksa masuk dan umat Islam sudah bersiap untuk bentrok fisik jika massa mendekat. Untungnya diantara kedua kelompok massa tersebut ada barikade aparat sebanyak 3 lapis, sehingga kedua kelompok massa tidak sempat bertemu. Di tengah ketegangan tersebut, tiba-tiba seorang anggota kepolisian mengalami “kemasukan” dan berteriak “Allahu Akbar” berulang kali dengan teriakan yang keras. Kejadian ini menciutkan nyali massa unjuk rasa. Massa pengunjuk rasa menurut Joko Sutrisno memaksa untuk memasang spanduk yang bertuliskan “Tanah ini akan Dibangun taman Wisata Religi” di tembok mesjid, namun hal itu urung dilakukan karena mendapatkan penentangan yang keras dari umat Islam, sehingga pemasangan spanduk dialihkan tidak lagi di tembok mesjid. Spanduk tersebut hanya terpasang lebih dari satu jam karena pada waktu Maghrib spanduk tersebut dilepas oleh jamaah Mesjid Al-Khairiyah.
Menurut kesaksian Joko dan Mursyid yang ada di lokasi kejadian menyatakan bahwa aksi terseut memang dipersiapkan untuk chaos, namun karena adanya barikade aparat chaos tidak sampai terjadi. Sasaran tembak dari pihak pengunjuk rasa MAKAPETOR adalah pembangunan Mesjid Al-Khairiyah. Ada problem identitas yang mereka tidak bisa terima karena di kawasan yang telah menjadi landmark Kota Manado yaitu Jembatan Soekarno yang sekaligus juga merupakan pusat Kota Manado berdiri sebuah mesjid yang megah. Hal ini menjadi problematic bagi ikon Manado yang dikenal sebagai Kota “Seribu Gereja”. Dengan demikian menurut Joko sejatinya yang diinginkan dari massa unjuk rasa dan dengan memaksakan dibangunnya taman religi di lokasi tersebut adalah upaya menghilangkan atau setidaknya mengecilkan Mesjid Al-Khairiyah. Menurut pak imam Haryanto Halid, mereka akan terus melanjutan pembangunan mesjid apa pun yang terjadi.
Pasca kejadian aksi massa MAKAPETOR pada Rabu 26 Oktober 2016 marak informasi di media sosial terkait hal tersebut hingga merembet pada persoalan agama antara Muslim dan Kristen di manado. Reaksi dari kalangan tokoh muslim Manado sendiri beragam, ada yang menganggap bahwa aksi unjuk rasa tersebut pada dasarnya hendak menggugat eksistensi dan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah. Meski ada juga yang beranggapan bahwa inti persoalannya adalah pembangunan mesjid Al-Khairiyah yang mengambil lahan di samping bangunan awal tanpa izinlah yang memicu aksi-aksi tersebut. Di Kalangan tokoh muslim Manado memang telah muncul pro dan kontra terkait pembangunan taman religi di kawasan tersebut, sebagian tokoh termasuk Imam Mesjid Al-Khairiyah menolak pembangunan taman wisata religi di lokasi tersebut namun sebagian tokoh Islam yang lain setuju dengan pembangunan taman wisata religi dengan catatan tidak mengganggu fungsi mesjid selaku tempat ibadah.
Beberapa aktivis muslim dari beberapa ormas keislaman dengan difasilitasi oleh Benny Ramdani selaku Senator dari Sulawesi Utara melakukan pertemuan di Kantor MUI Sulawesi Utara pada hari Sabtu Malam tanggal 29 Oktober 2016. Dalam pengamatan peneliti yang hadir dalam pertemuan tersebut, aktivis muslim yang hadir pada pertemuan itu sebanyak 12 orang. Beragam pandangan muncul dalam pertemuan yang berlangsung lebih kurang 2 jam tersebut. Benny Ramdani memulai pembicaraan dengan mengemukakan beberapa poin penting. Menurut Benny, Mesjid Al-Khairiyah yang telah dibangun sejak tahun 1968 dapat dijadikan situs sejarah kerukunan dan toleransi di Manado dengan pertanda diterimanya agama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh sebagian penduduk Manado. Benny juga menegaskan bahwa pemerintah harus pro aktif guna menyelesaikan permasalahan status tanah Mesjid Al-Khairiyah karena Mesjid Al-Khairiyah tetap harus ada dan fungsional sebagai tempat iabdah. Lebih lanjut Benny mengatakan perlu adanya komunikasi dan koordinasi dengan pihak kepolisiaan agar tidak ada lagi aksi demo di lokasi Mesjid Al-Khairiyah dari massa MAKAPETOR.
Umumnya peserta rapat memberikan penegasan tentang perlunya persatuan segenap umat Islam untuk memperjuangkan status legalitas tanah Mesjid Al-Khairiyah dan pembangunan Mesjid Al-Khairiyah harus tetap terus dilaksanakan. Seluruh peserta juga menegaskan untuk mencegah berbagai pihak agar tidak mempolitisasi persoalan terkait Mesjid Al-Khairiyah. Diantara rekomendasi dari pertemuan tersebut ditindaklanuti dengan mengadakan audiens kepada pihak Kapolda dan pemerintah provinsi dalam hal ini Wakil Gubernur Sulawesi Utara pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2016. Namun, hingga hari yang dijadwalkan pertemuan tersebut belum sempat dilakukan. Hingga penelitian ini dilakukan tokoh-tokoh muslim terus melakukan pembicaraan dan upaya strategis guna menghindari kejadian aksi massa selanjutnya dan eksistensi serta fungsi Mesjid Al-Khairiyah tetap bertahan.
Persoalan Masjid Al-Khairiyah sejatinya adalah persoalan kebijakan. Pasca pengosongan wilayah pemukiman, pihak Pemerintah Kota berencana membangun taman religi yang menegaskan ekspresi simbolik dari adagium Sulawesi Utara sebagai wilayah yang paling rukun di nusantara. Rencana ini mendapat penolakan dari pihak pengurus Masjid karena taman religi akan mematikan fungsi masjid dari fungsional menjadi artifisial. Apalagi Imam Masjid Al-Khairiyah pernah melihat masterplan taman religi dan menilai kurang adil karena gambar gereja lebih besar daripada bangunan rumah ibadah yang lain.
Atas rencana itu, pihak masjid melakukan “perlawanan simbolik” menolak ide taman religi dengan memperluas lahan pembangunan masjid. Panitia pembangunan masjid dibentuk dan tiang-tiang besar sudah dipancang. Tindakan ini dianggap sebagai show power dari pihak masjid yang kemudian memicu terjadi gelombang protes dari warga Manado yang direpresentasi oleh Aliansi Makapapetor.
Keadaan semakin runyam ketika di area sekitar masjid yang semula menjadi lahan taman religi sudah berdiri rumah toko (ruko) untuk kepentingan bisnis. Hal ini semakin memperkuat keinginan pihak masjid untuk tetap melanjutkan pembangunan karena menganggap rencana pembangunan taman religi hanya konsep belaka, bukan upaya serius. Bahkan ada yang mengatakan taman religi hanya isu yang menjadi landasan agar masjid di bongkar dan kepentingan bisnis masuk. Hal ini terlihat dari sertifikat pemerintah kota atas tanah itu yang menunjukkan kalau tanah di eks kampun Texas adalah tanah kosong.

Demontrasi pihak Makapetor yang mendesak pemerintah kota untuk menertibkan bangunan liar dipahami oleh pihak masjid sebagai upaya untuk menjadikan masjid sebagai sasaran. Pihak masjid merasa, Makapetor hanya menjadikan lahan taman religi sebagai alasan untuk menolak keberadaan atau perluasan pembangunan masjid Al-Khairiyah. Makapetor dianggap tidak rela apabila di areal yang strategis (berada di bawah jembatan Soekarno) berdiri sebuah masjid megah. Hal inilah kemudian memicu “perlawanan” dari pihak muslim terhadap rencana demonstrasi Makapetor terhadap masjid. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...