HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
“Orang luar saja yang heboh, kita disini biasa-biasa saja!” Ini ungkapan cuek seorang warga Kota Palu menanggapi peristiwa
penangkapan terduga jaringan teroris di Parigi Moutong Sulawesi Tengah yang di-blow
up secara aktif oleh media massa nasional dan lokal baik elektronik maupun
cetak. Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa penangkapan kelompok
yang dianggap
jaringan Santoso itu tidak sampai mengganggu ‘ketentraman publik’. Bisa pula
dimaknai bahwa masyarakat tidak memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
keberadaan jarigan teroris di tengah-tengah mereka. Atau bisa pula dimaknai,
bahwa beberapa lapisan masyarakat telah memiliki tingkat kematangan psikologis
untuk tidak cepat panik terhadap kemunculan jaringan teroris.
Mengapa warga Palu tetap tenang dan cenderung cuek? Salah satu
faktornya adalah pola respon publik terhadap fenomena teror yang semakin matang
akibat dari frekwensi kejadian yang cukup tinggi. Terorisme dalam beberapa
kasus percobaan (bom bunuh diri dan penembakan aparat) tidak berhasil memancing
amarah publik untuk saling menyalahkan apalagi saling menyerang. Meski bom yang
meledak di Palu (pasca konflik Poso) sengaja diarahkan kepada simbol agama
Kristen (Gereja dan Pasar Maesa) tetapi hal tersebut tidak dapat memancing
reaksi publik Kristen. Di Poso pun serupa. Kasus bom bunuh diri di depan Kantor
Polsek Poso beberapa waktu yang lalu malah menjadi tontonan warga sekitar.
Publik mulai memahami dan menyadari bahwa gerakan terorisme pasca konflik
komunal tahun 2000 telah bergeser menjadi konflik vertikal dimana polisi
khususnya Densus 88 menjadi musuh utama para teroris. Fenomena seperti ini
tentu berbeda ketika eskalasi konflik masih tinggi di tahun 2000. Setiap
peristiwa bom disikapi oleh dua pihak (Muslim dan Kristen) dengan mempersiapkan
diri untuk siap siaga berperang.11
Di luar Palu, berita penangkapan ini –meminjam istilah warga
diatas- memang ‘heboh’. Selain karena diberitakan secara aktif dan ekslusif
seluruh media massa nasional (termasuk media lokal), juga karena sikap Presiden
SBY yang
11 Diolah dari hasil wawancara dari berbagai sumber
langsung melakukan rapat terbatas dengan kementerian yang terkait
guna membahas persoalan fenomena ISIS di Indonesia. Ini karena empat orang yang
tertangkap adalah WNA yang beretnik Uighur (Mongolia) tetapi dengan paspor
Turki. Artinya, ada masalah besar dalam soal keimigrasian dan pertahanan
nasional yang kelihatannya sangat mudah dimasuki oleh kelompok teroris dari
luar negeri. Presiden SBY mengkhawatirkan situasi keamanan nasional dan
mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak terlena terhadap fenomena
ISIS.
Peringatan SBY memang penting karena sebelum kejadian penangkapan
itu, berbagai lapisan masyarakat yang ditemui meyakini kalau kelompok radikal
seperti ISIS tidak ada dan tidak bisa berkembang di Kota Palu. Ada berbagai
alasan yang dikemukakan. Ada alasan keagamaan, bahwa nalar dominan masyarakat
Palu atau Sulawesi Tengah adalah nalar Islam moderat yang mengedepankan
perdamaian, dengan Pesantren Al-Khaerat sebagai rumah produksinya yang paling
utama. Ada pula alasan kultural, bahwa orang Kaili (sebagai suku lokal utama di
Kota Palu) tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal seperti. Atau alasan faktual,
bahwa sejak peristiwa bom Maesa tahun 2011 tidak ada lagi kejadian serupa atau
kejadian yang mengaitkannya dengan kelompok teroris di Kota Palu hingga
munculnya penangkapan jaringan teroris itu. Perspektif lain dari kalangan
akademisi adalah bahwa isu terorisme di Sulawesi Tengah lebih cenderung
berorientasi pada permainan perspektif ketimbang faktual. Ada penyederhanaan persepsi
yang terus menerus direproduksi oleh negara dan media massa. Poso –mengutip
istilah Tahmidi, Sosiolog Universitas Tadulako Palu- menjadi semacam outlet dimana
terorisme menjadi pajangan yang paling populer dan menarik. Menyebut Poso
berarti menyebut ketidakamanan, kekerasan, konflik, dan terorisme tentunya,
atau ketika fenomena terorisme global seperti ISIS mulai meningkat eskalasinya,
semua mata melirik ke Sulawesi Tengah sebagai tempat yang harus diwaspadai.
Simplifikasi yang terus menerus ini membawa warga Sulawesi Tengah pada titik
jenuh. Akibatnya, isu terorisme dianggap sebagai hal yang biasa.12
Hal yang senada diungkapkan oleh RS, salah seorang wartawan koran
nasional yang berdomisili di Kota Palu. Menurutnya, ada semacam kejenuhan yang
dirasakan oleh masyarakat Sulawesi Tengah khususnya masyarakat Palu dan Poso
dalam melihat persoalan terorisme. Mereka mulai apatis dan menganggap ada
“permainan” di balik semua ini. Ketidakmampuan aparat keamanan menangkap
gembong teroris Santoso membuat sebagian kalangan bertanya,
12 Diolah dari hasil wawancara dengan Tahmidi,
aktivis sosial dan dosen Sosiologi Universitas Tadulako, tanggal 18 September
2014 di Kota Palu.
tentang apakah terorisme benar sulit diselesaikan, apakah Santoso
sedemikian hebatnya hingga tidak bisa tertangkap atau sengaja dipelihara untuk
kepentingan tertentu? Yang jelas hingga saat ini, keberadaan Santoso di hutan
Poso tetap dianggap sebagai bahaya dan Sulawesi Tengah (khususnya Poso) tetap
sebagai ‘kawah candradimuka’ bagi terorisme di Indonesia, khususnya kawasan
Timur Indonesia. Karenanya, Sulawesi Tengah harus terus diamati, diawasi, dan
dijadikan sebagai daerah operasi intelejen.13
Itulah mungkin sebabnya, kita tidak menemukan parade deklarasi penolakan
terhadap kehadiran ISIS di Indonesia dilakukan oleh komunitas muslim Sulawesi
Tengah sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia
lainnya. Contoh yang paling dekat adalah deklarasi penolakan ISIS yang
dilakukan oleh FDUI (Forum Daulat Ukhuwah Islamiyah) di Mamuju Sulawesi Barat
(14 Agustus 2014), Forum Persaudaraan Imam Masjid Sulawesi Utara (30 Agustus
2014) dan deklarasi penolakan yang dilakukan oleh beberapa komponen organisasi
Islam di Kab. Gowa Sulawesi Selatan (September 2014). Masyarakat Sulawesi
Tengah tampak lebih tenang menghadapi isu ISIS meski potensi
13 Diolah dari hasil wawancara dengan RS (nama
sengaja dirahasiakan), pada tanggal 18 September 2014 di Kota Palu. Tentu saja
patut untuk melihat kembali persepsi publik terhadap situasi Poso setelah
keberhasilan Pihak TNI-Pori membunuh Santoso dan mengeliminir gerakan Santoso
pada tahun 2015.
pengembangan ISIS jauh lebih besar di wilayah mereka ketimbang
wilayah lain di Kawasan Timur Indonesia.
Tertangkapnya tujuh orang (4 orang diantaranya WNA berpaspor
Turki) yang diduga jaringan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Santoso
yang juga dianggap sebagai salah satu jaringan ISIS di Indonesia pada hari
Sabtu, 13 September 2014 di Kabupaten Parigi Moutong, disusul dengan
penangkapan A seorang yang dianggap penggalang dana di salah satu kos di Jl.
Tangkasi Kelurahan Birobuli Selatan, Palu Selatan dan satu lagi di Desa
Tinggede (Kab. Sigi) seharusnya menjadi peringatan bagi warga Palu dan sekitarnya.
Bahwa kegiatan terorisme ada di sekitar mereka dan bukan imajiner. Apalagi,
tiga orang WNI yang tertangkap adalah warga Kota Palu dan Donggala yang
sehari-hari bekerja sebagai guru, petani, dan sopir mobil rental. Hal itu
mengindikasikan bahwa jaringan kelompok radikal masih aktif merekrut sel-sel di
Kota Palu. Tidak menutup kemungkinkan masih ada sel jaringan lain yang menyebar
di Kota Palu dan sekitarnya. Sistem kerja para kelompok teroris selama ini
dalam bentuk sel-sel yang terpisah. Beberapa kelompok bisa saja saling tidak
mengenal.
Dugaan bahwa terorisme adalah permainan persepsi ketimbang faktual
harus segera dikesampingkan atau diendapkan dulu. Kita tidak bisa membiarkan
diri untuk menggunakan teori konspirasi karena itu sangat sulit untuk dibuktikan.
Faktanya, jaringan kelompok teroris masih ada di sekitar kita. Jaringannya
bukan orang luar –sebagaimana keyakinan banyak orang- tetapi orang Palu yang
sehari-hari hidup dan bekerja di Palu dan sekitarnya. Mereka terlihat seperti
orang-orang “lugu” yang seharusnya tidak layak menjadi bagian dari gerakan
terorisme. Fakta lain, bahwa kelompok teroris internasional pun ‘menjadikan’
Poso sebagai tempat yang baik untuk membangun jaringan dan konsolidasi bersama.
Kedatangan 4 WNA itu memberi indikasi yang kuat terhadap dugaan itu. Termasuk
penangkapan dan penembakan jaringan teroris di Dompu yang ditengarai sebagai
bagian dari jaringan Santoso. Salah satu terduga yang terlibat disana adalah
orang yang diduga melakukan penembakan di pos polisi di Poso beberapa waktu
yang lalu.
Jaringan kelompok radikal memang bekerja dengan sangat rapi. Tidak
mudah untuk dideteksi. Bahkan orang-orang terdekat pun tidak menyadari dan
tidak menduga keterlibatan seseorang dari kerabat atau kolega mereka. Misalnya,
S (salah seorang yang tertangkap) adalah seorang guru olah raga di SLB Negeri 1
Kota Palu. Dia dikenal sebagai orang yang baik. Sebagai guru, dia dikenal
penyayang, sabar, dan kerap mengajak anak muridnya ke rumah. Dia juga punya metode
pembelajaran olahraga yang spesifik dalam mengajari anak muridnya yang memang difabel.
Sebagai anak, dia dikenal sebagai anak yang taat dan berbakti. Dia sering
mencuci baju orang tuanya dan setiap hari mengantar adiknya ke sekolah (Radar
Sulteng, 18-19/9). Seluruh citra yang dilekatkan kepada S adalah citra orang
baik. Citra yang –dalam pandangan publik- tidak memungkinkan untuknya terlibat
dalam kasus kekejahatan apalagi kejahatan yang luar biasa (extraordinary
crime) seperti terorisme. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan, terorisme
di Indonesia berkaitan dengan spirit keislaman. Orang-orang yang selama ini
tertangkap sebagai terduga teroris dalam berbagai kasus di Indonesia adalah
orang-orang yang secara sosial baik. Mereka orang yang taat beragama dan
karenanya menampilkan akhlak yang sangat baik. Semangatnya adalah jihad.
Tujuannya adalah perbaikan nilai dan norma Islam yang dianggap sudah melenceng.
Kekeliruan utama mereka ada pada cara pandang terhadap negara, pemerintah, modernitas,
dan metode tindakannya. Mereka menghalalkan kekerasan sebagai cara untuk
mencapai tujuan. Mereka menghalalkan perampokan dan pencurian untuk mendukung
logistik perjuangan. Di titik ini, mereka dipandang secara pejoratif sebagai
pelaku kejahatan.
Ada fakta lain yang menarik dalam kasus jaringan Santoso yang
tertangkap itu. S misalnya tampil biasa sebagaimana masyarakat umum Kota Palu.
Dia tidak berjanggut dan bercelana cingkrang. Dua identitas yang seringkali
dialamatkan kepada kelompok terorisme Islam sebagai refleksi nyata dari cara
pandang keagamaan yang simbolis. Perfomance S yang “tidak Islamis”
menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada politik permainan tanda baru yang
sedang dimainkan kepentingannya tentu untuk penyamaran. Identitas berjanggut
dan celana cingkrang adalah tanda yang mudah dikenali dan mudah dikaitkan
dengan terorisme. Karenanya, mereka tampil seperti masyarakat pada umumnya agar
tidak mudah tercurigai. Kedua, boleh jadi S cs hanyalah kurir yang tidak
mendapatkan indoktrinasi keagamaan yang ketat. Dia hanya memainkan peran
tertentu untuk kepentingan para jaringan teroris di Poso. Contoh ini dengan
mudah dilihat pada IC, supir mobil yang ikut tertangkap. Orang ini sehari-hari
dikenal sebagai penjual miras selain sebagai supir rental mobil. Tentu agak
sulit membayangkan dia sebagai bagian dari gerakan Islamis. Bisa jadi, dia
hanya bekerja untuk mengantar WNA tadi dengan bayaran tertentu. Ini semuanya
terpulang kepada hasil investigasi pihak kepolisian yang -sampai saat
penelitian ini dilakukan- masih terus berproses.14
Ketiga, bahwa identitas janggut, celana cingkrang, dan juga cadar
seharusnya dipahami lebih proporsional. Tiga simbol ini memang melekat kepada
kelompok Islamis di Indonesia tetapi itu harus dipahami sebagai ekspresi
beragama bukan simbol dari kekerasan ansich. Bagaimana pun juga,
identitas itu didasarkan pada teks hadits nabi. Hanya saja mengalami
simplifikasi akibat dari perilaku sebagian kelompok Islamis radikal. Simbol itu
mengalami pergeseran makna dari ekspresi keagamaan yang bersumber dari teks
14 Diolah dari hasil wawancara dengan RS.
primer ke simbol kaum Islamis, bahkan dalam satu fase menjadi
simbol kaum teroris. Cara pandang ini harus segera diubah karena bisa membangun
sentimen negatif terhadap orang-orang yang bercelana cingkrang dan berjanggut.
Sebagai contoh yang baik adalah JT (Jamaah Tablig). JT adalah kelompok janggut
dan bercelana cingkrang yang paling mendapatkan respon positif dari masyarakat.
JT tidak dicitrakan sebagai kelompok yang membahayakan. Mereka hanya fokus
mengajak orang beribadah. Mereka tidak hirau dengan hiruk pikuk politik dan isu
global. Konsistensi mereka pun mendapatkan apresiasi yang baik dari masyarakat.
Kalaupun ada penolakan, itu hanya pada dua hal; sistem khuruj (meninggalkan
rumah dengan durasi waktu tertentu untuk berdakwah) yang dianggap bertentangan
dengan nilai “tanggung jawab” seorang muslim terhadap keluarga dan kebiasaan
hidup nomaden yang abai pada masalah kebersihan, terutama kebersihan
masjid tempat mereka tinggal.
Kelompok teroris bekerja dengan memanfaatkan kelemahan sistem
pengawasan pemerintah kota terhadap rumah kos. Rumah kos yang berkembang dengan
cepat di Kota Palu menjadi tempat yang ‘aman’ bagi jaringan teroris untuk
‘merekrut’ anggota baru atau setidaknya menempatkan jaringan untuk kepentingan
tertentu misalnya pasokan logistik. Salah seorang jaringan teroris yang
ditangkap di rumah kos di Jalan Tangkasi Kelurahan Birobuli Selatan, Palu
Selatan diduga sebagai salah seorang pelaku curanmor yang sudah lama beroperasi
di Palu. Dia menjadi fai (penyokong dana) bagi kelompok teroris yang
bersembunyi di Poso (Radar Sulteng, 17/9). Artinya, kota Palu menjadi lahan
subur untuk mendapatkan sumber dana. Rumah kos yang mudah diakses tanpa sistem
pengawasan administrasi menjadi tempat singgah yang paling tepat. Sebagai
contoh rumah kos Pak W. Para jaringan teroris sudah satu bulan menyewa rumah
kos tersebut tetapi Pak W tidak tahu siapa dan darimana orang tersebut.
Artinya, sikap acuh Pak W menyebabkan para jaringan teroris bisa ‘hidup tenang’
selama sebulan sebelum penangkapan tujuh orang rekannya di Parigi Moutong. Artinya,
kalau penangkapan itu belum terjadi bisa diduga para jaringan teroris ini masih
tinggal lama di rumah kos tanpa diketahui identitas, asal, dan kepentingannya
tinggal di Kota Palu.
Publik Sulawesi Tengah memang harus waspada mengingat penangkapan tujuh
orang tersebut lebih bersifat “kebetulan” ketimbang pencarian yang mendalam.
Berita media lokal menunjukkan bahwa penangkapan orang itu karena kesalahannya
sendiri. Konstruksi informasi menunjukkan bahwa penangkapan para jaringan
teroris lebih pada ketidaktenangan mereka menghadapi razia polisi. Gestur
mereka yang tiba-tiba berhenti dan berbalik arah tentu saja menimbulkan
kecurigaan. Apalagi Densus 88 sebelumnya telah memberikan informasi tentang
mobil Avanza merah yang bergerak tengah malam ke arah Poso via Parimo. Ini menunjukkan
bahwa kelompok teroris ini adalah kelompok amatir. Mereka mudah panik dan
menghindar. Mereka sama sekali tidak memperkirakan kalau gelagat seperti itu
justeru memancing kecurigaan. Perhatikan petikan berita berikut ini:
Kapolres Parimo AKBP
Novia Jaya mengatakan awalnya Polres Parimo melakukan razia rutin. Saat
melakukan razia, sebuah mobil Avanza bernomor polisi B 1925 UKY yang
mencurigakan berhenti sejenak beberapa meter dari lokasi razia. Kecurigaan
polisi muncul karena tiba-tiba langsung berbalik arah dan langsung kabur.
Lanjut Novia Jaya,
melihat mobil berbalik arah para petugas langsung melakukan pengejaran. Bahkan
pihak kepolisian sempat melepaskan tembakan tiga kali ke arah mobil tadi, namun
mobil berwarna merah itu terus melaju. Polisi akhirnya menemukan mobil tersebut
di Desa Marantele sekitar pukul 03.00 dinihari (Radar Sulteng, 14/9/2104)
Perhatikan pula petikan
berita selanjutnya:
Boy Rafli (Karopenmas
Divhumas Polri): Penangkapan berawal saat Tim Survellence Densus 88 membuntuti
sebuah mobil Avanza merah yang keluar dari rumah kos di Jalan Banteng, Touwa
Palu pada Jumat tengah malam. Setelah yakin mobil itu mengarah ke Poso via
Parimo, Tim langsung berkoordinasi dengan Polres setempat untuk menggelar
razia. (Radar Sulteng, 16/9/2014)
Ada dua hal yang patut
diperhatikan dari konteks penangkapan ini. Pertama, Poso sebagai tujuan
sangat mudah menimbulkan kecurigaan. Tim survaillence Densus 88 menghubungi Polres
Parimo setelah yakin mobil Avanza Merah yang keluar tengah malam itu menuju
Poso. Sebagaimana yang telah didiskusikan sebelumnya, Poso memiliki citra yang
spesifik terkait dengan gerakan terorisme. Motif tujuan-lah yang menyebabkan
tim survellence mengambil kesimpulan, bukan orangnya. Artinya, orang diatas
mobil avanza tersebut tidak tercurigai sebagai jaringan teroris. Kalau mobil
tersebut tidak menuju Poso, boleh jadi penangkapan ini belum terjadi. Kedua,
karena penangkapan itu bersifat ‘kebetulan’, diyakini kelompok sel jaringan
teroris yang lain masih ada di Palu dan sedang bersembunyi. Informasi dari
seorang penduduk menyebutkan kalau orang yang menyewa kos pak W ada enam orang.
Mereka menyewa dua kamar. Setiap pagi dua kamar itu ramai pengunjung. Namun
yang tertangkap setelah penangkapan di Parimo hanya ada dua orang. Selebihnya
masih kabur. Yang mengkhawatirkan adalah sel jaringan lain yang tidak terhubung
secara langsung dengan kelompok sel yang tertangkap ini. kelemahan sistem
pengawasan penduduk yang datang dan pergi khususnya di rumah kontrakan menjadi
titik yang paling rawan. Artinya, kelompok sel yang tertangkap ini adalah
kelompok sel amatir yang tidak memperhitungkan secara cermat dan detil yang
memungkinkan mereka tertangkap. Termasuk rute Sulawesi Selatan-Palu-Parimo-Poso
adalah rute yang sangat rawan. Mereka bisa memanfaatkan rute Sulsel langsung ke
Poso tanpa melalui Palu. Padahal, mereka masuk ke Palu melalui jalur darat
bukan udara.
Cara penangkapan jaringan teroris Sulawesi Tengah berbeda dengan
konstruksi penangkapan Jaringan teroris di Dompu, NTB (Nusa Tenggara Barat).
Kelompok ini memang diburu oleh Densus 88. Orang-orang yang terlibat memang
sebelumnya sudah masuk dalam DPO. Penggerebekan dimulai ketika Densus 88
menangkap seorang buronan yang terlibat di bom Poso. Dia juga seorang yang
pernah ikut latihan militer di Poso bersama Santoso. Dari sini, Densus
melakukan pengembangan, lalu melakukan operasi ke Desa OO Dompu dan Desa Sai.
Proses penangkapan pun terkesan alot. Para tersangka teroris melakukan
perlawanan hingga meninggal dunia.
Best Payout Casino Sites in India: 2021 List of Top Sites
BalasHapusFind the best Payout Casino sites for Indian players. Read 김천 출장마사지 through the 광주광역 출장안마 list of 서산 출장마사지 all 정읍 출장샵 casino sites in 보령 출장샵 India right here.