HAMZAH HARUN AL RASYID, M.A & SAPRILLAH
Buku ini merupakan refleksi dari beberapa hasil riset yang
dilakukan oleh tim peneliti
Balai Litbang Agama Makassar tentang gerakan
kekerasan yang berbasis agama dalam kawasan Timur Indonesia, yang merupakan
wilayah kerja Balai Litbang Agama Makassar. Basis data sebagian besar diambil
dari riset tentang perspektif Publik terhadap radikalisme agama di Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2014.
Fenomena radikalisme agama telah menjadi fenomena internasional.
Ada banyak motif yang menjadi latar belakang munculnya gerakan radikalisme
agama. Dan sebagai gerakan internasional, Indonesia menjadi salah satu tempat
sasaran dan rekruitmen kader dalam jaringan gerakan radikalis internasional.
Penulis menyadari bahwa istilah radikalisme (juga terorisme dan
istilah-istilah lain) merupakan istilah yang mengundang perdebatan. Beberapa
elemen Islam menolak untuk disebut sebagai radikalis atau ekstrimis dilekatkan
secara semena-mena kepada Islam. Mereka menganggap gerakan mereka sebagai misi
keagamaan dan bernilai ibadah. Tentu saja dapat dimaklumi keberatan-keberatan
yang terkait dengan istilah karena impilikasi sosio-politiknya bisa menimpa
semua elemen masyarakat Islam. Oleh karena itu, buku ini berupaya untuk
memberikan pemahaman tentang peta gerakan keagamaan Islam kontemporer yang
berkembang pasca reformasi. Ada gerakan politik, gerakan kultural, dan juga ada
gerakan kekerasan. Kelompok-kelompok ini tidaklah terkait secara otomatis satu
sama lain. Sehingga menguniversalisasi istilah radikal untuk semua kelompok
yang secara tampilan dan basis epistemologi memiliki kemiripan.
Buku ini –meski tidak terlalu banyak- menjelaskan bahwa fenomena
kekerasan berbasis agama adalah fenomena universal. Beberapa kasus yang dibahas
melibatkan kekerasan dari kelompok agama non muslim seperti kasus Tolikara.
Kalaupun istilah ini lebih banyak dilekatkan kepada kelompok Islam, itu karena
frekwensi kasus dan proses ideologisasi yang memang lebih banyak terjadi di
kalangan gerakan Islam di Indonesia.
Bagaimanapun dan dari kelompok (agama) manapun, gerakan
radikalisme tidak bisa dibenarkan dan ditolerir. Semua elemen bangsa ini harus
bergerak bersama untuk menangkal dan melawan arus radikalisme yang semakin
gencar di era media sosial. Di bagian akhir buku ini, penulis mengusul tiga
cara sebagai model perlawanan terhadap gerakan radikalisme berbasis agama.
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar