Potret Moderasi Islam
Sejatinya adalah perubahan
zaman akan mempengaruhi perubahan sosial atau perlakuan masyarakat terhadap
institusi zaman dengan berbagai kerumitan atau problematika kehidupan yang
melingkupinya. Kecanggihan media turut mempengaruhi tingkat dan cara berpikir
masyarakat moderen, sehingga banyak orang mengkategorikan zaman ini sebagai
zaman pemikiran dan falsafah sehingga masyarakat moderen cenderung
mempertanyakan segala yang ada termasuk nilai dan ajaran-ajaran agama. Kondisi
ini mengharuskan setiap dai, ulama, harus menjelaskan pemikiran-pemikiran
keagamaan dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan karakter zaman seperti
yang sudah disinggung sebelumnya. Sejatinya ini tidak menjadi problem bagi
dakwah Islamiyyah, karena Islam sesungguhnya adalah agama yang rasional dan
filosofis yang sejak awal boleh dideteksi melalui ajakan al-Quran dengan bentuk
yang cukup berfariasi untuk berfikir mendalam mengenai isu-isu penting dalam
kehidupan ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan, kemanusiaan, dan
kehidupan. Dengan demikian memperkenalkan Islam dengan menggunakan
logika-logika Islam dan ide-ide moral yang universal merupakan bagian dari
proses moderasi Islam yang merupakan ciri khas atau karakter Islam. Moderasi
Islam menghendaki seorang dai untuk tidak hanya melihat teks-teks suci, tapi
harus juga mempertimbangkan konteks sosial masyarakat dakwah. Dan ini merupakan
metode al-Quran dalam membangun masyarakat dakwah. Bukan hanya itu tapi sikap
moderat mengharuskan seseorang untuk membuka kran rasionalisasi ajaran Islam
dalam arti harus mengemukakan nilai dan ajaran Islam dengan mengaitkan dengan
rahsia-rahsia atau hikmah-hikmah yang ada di balik ajaran-ajaran Islam.
Kalau kita merujuk kepada
al-Quran sebagai acuan ekspresi keberagamaan sama ada pada level pemahaman mahupun penerapan, maka secara eksplisit ia
menegaskan eksistensi umat moderat (Ummatan Wasathan)[1].
Berdasarkan kenyataan diatas,
maka harus ditegaskan lebih awal bahawa ketika artikel ini menganjurkan untuk menjadikan
al-washatiyyah sebagai acuan dalam melakukan gerakan dakwah maka ia memaknainya
dengan mengacu pada esensi dan substansi yang dikandungnya. Apa lagi substansi
“Moderasi” memiliki akar yang jelas dalam sumber Islam yaitu al-Quran dan
Sunnah Nabi. Berangkat dari hal itu, maka memberi pengertian apa yang dimaksud
moderasi Islam sangat perlu untuk menghindari kekeliruan dalam memahami Artikel
ini..
Moderasi Islam adalah sebuah
pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua
sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap
yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata
lain seorang muslim moderat adalah muslim yang memberi setiap nilai atau aspek
yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari hak yang semestinya. Karena
manusia-siapa pun ia-tidak mampu melepaskan dirinya dari pengaruh dan bias sama
ada pengaruh tradisi, pikiran, keluarga mahupun zaman dan tempatnya, maka ia
tidak mungkin merepresentasikan atau mempersembahkan moderasi penuh dalam dunia
nyata. Yang mampu melakukan hal itu adalah hanya Allah.[2]
Kehadiran Islam sebagai agama
adalah untuk menarik manusia dari sikap ekstrim yang berlebihan dan
memposisikannya pada posisi yang seimbang. Maka dalam ajaran-ajaran Islam
terdapat unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan Insaniyyah (kemanusiaan),
mengkombinasi antara Maddiyyah
(materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu
(revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al-jamaaiyyah) dan
maslahah individu (al-fardiyyah), dan lain-lain sebagainya. Konsekwensi dari
moderasi Islam sebagai agama, maka tidak satupun unsur atau hakikat-hakikat
yang disebutkan diatas dirugikan.[3]
Ajaran moderasi yang
disampaikan oleh Islam melalui al-Quran dan Sunnah Nabi mengalami kristalisasi
dalam interaksi-interaksi sosial Nabi, para sahabatnya dan ulama-ulama yang
datang kemudian. Meskipun dalam prakteknya sahabat Nabi sendiri kadang-kadang
mengekspresikan keberagamaannya tidak sejalan dengan ajaran washatiyyah
sebagaimana mestinya. Bukan hanya priode Nabi, distorsi terhadap moderasi Islam
juga terjadi pada generasi selanjutnya. Kelompok khawarij yang kemudian
dilanjutkan oleh kelompok zahiriyyah merupakan bentuk eksperesi keagamaan yang
bisa merepresentasikan pemahaman keagamaan yang tidak moderat.
Dengan demikian, maka kita
dapat mengatakan bahawa pemahaman atau sikap ekstrim atau berlebihan dalam
memahami dan mengeksekusi ajaran dan pesan-pesan Islam merupakan cabaran
bagi moderasi Islam di semua zaman
dengan level atau tingkatan yang berbeza. Oleh kerana itulah, layak untuk kita
mengatakan bahawa peran yang harus dimainkan oleh institusi dakwah dengan
seluruh unsurnya yang penting yakni seluruh ulama, ilmuan, cendikiawan muslim
adalah melakukan mainstreaming wacana moderasi Islam di semua level keilmuan.
Sebelum kita melihat lebih
jauh pandangan ulama Islam menyangkut moderasi Islam, maka secara umum dapat
dikatakan bahawa isu keilmuan yang telah menjadi pemicu terbentuknya moderasi
Islam sejak dahulu sehingga sekarang adalah pengakuan adanya dialektika antara
wahyu, akal (maslahat), dan realiti. Sikap seorang dai dan ulama yang mengakui
adanya sentralisasi teks dalam arti bahawa teks adalah sumber dan mekanisme
ijtihad yang hampa dari maksud tertentu dan tidak mengandung ide moral maka ia
akan berpotensi untuk memproduk pemahaman keagamaan (fiqhi) yang bernuansa
radikal. Karena hasil ijtihad yang bersumber dari pemisahan teks dari ide moral
yang dikandungnya (kemaslahatan, keadilan, persamaan, kerahmatan), maka ijtihad
itu lepas dari unsur dan nilai humanistik dan hanya dipenuhi oleh nilai
ketuhanan. Berpihak kepada nilai ketuhanan dengan cara menampakkan keberpihakan
kepada wahyu secara ekstrim tanpa ingin memberi porsi bagi nilai kemaslahatan
manusia itulah sesungguhnya embrio dari
munculnya radikalisme dalam memahami dan menerapkan pesan agama. Sisi lain yang dapat memicu munculnya sikap
moderat dalam diri seorang ulama (dai)
adalah pengakuannya terhadap posisi realiti kehidupan dan teks-teks secara seimbang. Kesiapan dan kemampuan seseorang melibatkan
realiti dalam proses pembacaan atau pemahaman teks-teks suci merupakan bagian
dari terbentuknya
sikap moderat. Dalam wacana hukum Islam
istitusi “realiti” sering sekali dijabarkan dalam bentuk zaman, tempat, kondisi
dan orang. Keinginan seorang muslim (terutama ilmuan Islam) untuk memahami
dengan baik dan benar zaman yang ia hidupi dan orang beraktifiti, kondisi
manusia, orang yang melakukan ajaran-ajaran Islam kemudian melibatkannya dalam
memahami teks-teks suci adalah potensi utama bagi munculnya moderasi Islam.
Salah satu contoh yang bisa menjadi sampel kurangnya
apresiasi terhadap realiti dalam memahami dan menerapkan pesan teks-teks suci
adalah konflik yang terjadi antara Abdullah bin Umar dan anaknya Bilal[4].
Suatu ketika Abdullah menyampaikan kepada anaknya sebuah riwayat dari Nabi
mengenai perempuan dan salat jamaah di mesjid. Kata Ibnu Umar, berdasarkan
sabda Nabi (teks) perempuan tidak boleh dilarang pergi ke mesjid[5].
Ibnu Umar nampaknya ingin hadis itu diamalkan pada zaman ia hidup meskipun di
zamannya sudah terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan berbeda dengan
kondisi di zaman Nabi. Ia tidak berusaha mencoba mendialogkan zamannya dengan
zaman Nabi. Berbeda dengan Ibnu Umar, Bilal anaknya ternyata punya sensitifiti
dengan perubahan zamannya, ia cukup mengerti dengan realiti kehidupan zamannya.
Berangkat dari kesadarannya atas perubahan zaman yang
dihidupinya, Bilal dengan lantang mengatakan kepada bapaknya, “hadis itu sudah
tidak releven lagi untuk diterapkan zaman sekarang”. Kata dia,
perempuan-perempuan sekarang harus dilarang ke Mesjid. Pernyataan yang cukup
berani itu membuat bapaknya marah. Dalam sebuah riwayat Ibnu Umar, saking
marahnya, langsung memukul wajah (menampar) anaknya[6].
Sudah bisa ditebak, kemarahan Ibnu Umar karena Bilal berani menggugat teks Nabi
sebagai sumber primer. Bagi Ibnu Umar, tidak ada`argumen yang bisa digunakan di depan sebuah teks.
Berangkat dari penjelasan yang sudah dikemukakan sebelumnya,
maka dapat dikatakan bahawa apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar adalah bagian
dari pemahaman atau sikap yang tidak mencerminkan moderasi Islam. Penyebabnya
adalah ia tidak mencoba mengungkap realiti sosial pada saat hadis (teks) itu dituturkan oleh Nabi.
Seperti yang sudah dikemukakan bahawa memahami teks-apakah itu al-Quran atau
pun hadis- dan melepaskan dari konteksnya adalah salah satu faktor atau potensi
sikap radikal[7].
Apa yang dituduhkan oleh Ibnu
Umar terhadap anaknya iaitu kelancangannya menggugat
dan melecehkan teks ternyata tidak realistis dan kurang beralasan. Berdasarkan
riwayat, perbedaan yang terjadi antara Ibnu Umar dan anaknya seputar masalah
tadi ternyata sampai di telinga Aisyah. Pada saat Aisyah mengetahui perdebatan
itu, Aisyah kemudian mengeluarkan pernyataan yang cukup menarik dan sedikit
mengagetkan. Aisyah mengatakan, “Andai saja Rasulullah masih hidup dan
melihat bagaimana ulah dan perilaku perempuan-perempuan sekarang niscaya Nabi
akan merubah pendapatnya dan pastilah beliau melarang perempuan pergi ke mesjid”[8].
Berdasarkan pembelaan Aisyah
bagi Bilal, kiranya dapat dipahami sebab perbedaan antara bilal dan bapaknya
mengenai masalah ini iaitu perbedaan keduanya mengapresiasi realiti sosial dan
pengaruhnya bagi pengembangan atau perubahan hukum yang dikandung oleh sebuah
teks.
Dari keterangan diatas
kiranya dapat disimpulkan bahawa kurangnya pengetahuan mengenai dinamika
realiti kehidupan dan tidak adanya pengakuan terhadap pengaruh yang boleh ditimbulkan oleh dinamika itu terhadap pemahaman
dan penerapan pesan teks-teks suci merupakan potensi besar bagi pemahaman dan
prilaku keislaman yang radikal dan tentu tantangan besar bagi tumbuh-kembangnya
moderasi Islam.
Dengan demikian, perlu
ditegaskan sejak awal bahawa kesuksesan, keberhasilan dan kejayaaan misi,
institusi, gerakan dan lembaga dakwa di era ini adalah tergantung pada
kemampuannya membangun tipe fiqhi dakwah yang selalu memperhatikan dan
meng-update informasi-informasi aktual berkaitan dengan kondisi sosial dan
kemampuan masyarakatnya kemudian mengemukakan atau menjelaskan misi-misi agama
berdasarkan kondisi-kondisi zaman yang sudah dipahaminya dengan benar dan
sempurna.
[1] QS al-Baqarah : 143 bandingkan dengan ayat sebelumnya “
Shiratan Mustaqiman” dan QS Ali Imran :111. Ayat-ayat yang dimaksud menjadi
referensi bagi banyak ilmuan dalam membangun ajaran moderasi dalam Islam.
[2] Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Kalimaat fi al-Wasatiyyah
al-Islamiyyah wa Ma’alimuha, Kuwait: al-Markaz al-Alami Lilwasatiyyah, thn
2007.
[3] Lihat ibid.
[4] Lihat Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam,
Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, Beirut. Mustafa Shalabi di tahun 60-an telah
menulis sebuah disertasi di Fak. Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar dengan
judul Ta’lil al-Ahkam. Buku ini menjadi rujukan awal dan utama dalam
konteks diskursus dialektika ijtihad dan realita dan kemaslahatan.
[5] Hadis itu bunyinya : “Laa Tamna’uu Nisaa’akum
al-Masaajida”.
[6] Lihat Opcit.
[7] Untuk memudahkan pemahaman bagi kasus Ibnu Umar dan
anaknya, sebaiknya kita membandingkannya dengan kasus ziarah kubur yang tadinya
dilarang oleh Nabi dan pada akhirnya diizinkan karena larangan yang terjadi
sebelumnya memiliki konteksnya tersendiri yang berbeda ketika pembolehan itu
dikeluarkan oleh Nabi.
[8] Terjemahan bebas dari riwayat yang berbunyi “Law
Ra’aannabiyyu Maa Fa’alathun Nisaaulyaum Lamana’aha al-Masaajida”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar