Moderasi Islam dalam Al-Quran
Pada beberapa ayat al-Quran, Allah swt. Memberi petunjuk
pelaksanaan bagi penterjemahan moderasi Islam, yang paling menonjol adalah
fleksibiliti al-Quran melalui pengakuaannya terhadap
kondisi yang berfariasi
yang selalu mengiringi kehidupan manusia. Pada waktu tertentu ia mengalami
kondisi normal dan pada waktu lain ia mengalami perubahan kondisi menjadi tidak
normal. Dalam terminologi al-Quran disebut dengan kondisi dharurah.
Pengakuan al-Quran terhadap kondisi dharurah manusia sebagai eksekutor ajaran
dan pesan ilahi merupakan pondasi yang sangat kokoh bagi berkembangnya moderasi
Islam, karena konsep dharurah adalah terjemahan bagi keberpihakan Islam
terhadap kemanusiaan. Al-Quran memberi penegasan bagi otoriti dharurah dalam
pelaksanaan hukum Islam dalam banyak kesempatan termasuk diantaranya firmannya
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[1]
Dalam konteks yang lain,
al-Quran mengemukakan otoriti dharurah
dalam mempengaruhi hukum. Allah berfirman “Barangsiapa yang kafir
kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia
tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Wacana moderasi dengan
perangkat dharurah yang telah dibangun kokoh dalam al-Quran mengalami
konseptualisasi yang mengagumkan dalam tradisi pakar hukum Islam. Pengakuan
mereka terhadap konsep dharurah sangat tinggi, hukum bagi mereka-bagaimana pun
kuatnya-tidak mampu bertahan di hadapan kondisi keterpaksaan yang dialami oleh
manusia. Dalam tradisi fiqhi kondisi dharurah dapat menggugurkan kewajiban dan
membolehkan larangan-larangan (al-Mahzurat). Banyak kaidah yang telah
dirumuskan oleh pakar hukum Islam untuk mempertajam konsep dharurah sekaligus
menjadi indikator atas apresiasi dan keberpihakan terhadap kemanusiaan (kemaslahatan). Kaidah-kaidah itu
sebagai berikut;
1.
Segala bentuk kemudaratan mesti ditiadakan (al-Dararu Yuzaal)
2.
Kemudaratan tidak boleh ditiadakan
dengan cara menciptakan kemudaratan baru (al-Dararu laa Yuzaalu bi al-Darari)
3.
Kondisi-kondisi darurat yang dialami
oleh manusia membolehkannya untuk melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama (al-Daruuraat
Tubiihul Mahzuuraat).
4.
Larangan yang dapat dilakukan disebabkan
karena kondisi darurat disesuaikan dengan substansi darurat itu sendiri (al-Daruuratu
Tuqaddaru bi qadarihaa)[2].
Yang menarik dalam wacana
darurah sebagai pilar moderasi Islam adalah posisi “keperluan” yang disetarakan dengan
“darurat”. Artinya, fleksibiliti hukum Islam tidak hanya dipengaruhi
oleh kondisi keterpaksaan tapi keperluan yang mendesak pun mampu melenturkan
hukum Islam. Kaidah yang dirumuskan untuk menopang ketentuan ini adalah al-Haajatu
Tunazzalu manzilat al-Daruurat ‘ammatan kaanat awa khaassah[3].
Konsep ini juga banyak mewarnai perkembangan hukum dalam Islam. Dalam wacana
fiqhi klasik, salah satu sampel yang dapat menjadi terapan teori otoriti
keperluan adalah transaksi jual beli yang tidak menghadirkan barang pada saat
transaksi yang dalam fiqhi disebut dengan Bai’u al-Salam atau ‘Aqdu
al-Istishnaa. Sementara salah satu standar
(ketentuan) bagi legaliti atau keabsahan transaksi jual beli adalah barang dan
harga harus diserahkan pada saat transaksi, dan ketentuan ini diberlakukan
untuk menghindari terciptanya riba. Transaksi istishnaa dan jual beli salam
masing-masing merupakan transaksi dimana barang tidak diserahkan pada saat
transaksi, lagi-lagi kedua bentuk transaksi ini dibolehkan, meskipun melanggar
ketentuan umum, kerana keduanya merupakan keperluan umum masyarakat, sehingga bila ia tidak
dibolehkan sangat berpotensi untuk
menciptakan stagnasi ekonomi masyarakat, sehingga dapat dibayangkan misalnya betapa beresikonya
kalau pemesanan-pemesanan barang seperti mobil (kreta) tidak dibolehkan. Dalam konteks
kekinian, tidak sedikit ilmuan membolehkan untuk berinteraksi dengan bank-bank
konvensional, meskipun bank-bank itu menerapkan sistem bunga (riba), hanya kerana salah satu alasannya bahawa berinteraksi dengan bank-bank itu merupakan keperluan mendesak dan belum sampai pada level
darurat[4].
[1]
QS al-Baqarah :
173, bandingkan dengan QS
al-Maidah : 3, QS al-An’am : 119, 145, QS al-Nahl : 115
[2] Lihat Imam al-Suyuti, al -Asybaah wa al-Nadzaair,
Dar al-Kutub al-ilmiyyah, Beirut, thn, cet, h.
[3] Lihat Ibid.
[4] Mayoritas ulama memakai standar terancamnya nyawa
seseorang atau terjadinya luka pada anggota badannya untuk menandai terjadinya
darurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar