Senin, 10 Desember 2012

Relevansinya dalam kehidupan kontemporari.

Seperti sedia maklum bahawa Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah tokoh yang memiliki tempat tersendiri dikalangan kaum Sunni, kerana melalui  ulama kharismatik itulah ahli Sunnah Wal jama’ah lahir sebagai aliran teologi keagamaan.

Aliran ini lahir sebagai reaksi terhadap perkembangan  pemikiran kelompok Mu’tazilah yang begitu ‘liar’ dalam doktrin ketuhanan dan keimanan,  mereka menimbulkan kegoncangan spiritual idiologis yang dahsyat dikalangan ummat Islam, apatahlagi kerana fahaman Muktazilah  mendapat sokongan (legitimasi)  kerajaan yang berkuasa.
Dengan demikian,  Ahli sunnah waljama’ah yang diajarkan Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah sebuah aliran pemikiran yang terbuka dan secara berani melakukan koreksi total terhadap berbagai doktrin ketuhanan dan keimanan  yang dipandang berbahaya bagi kelangsungan ajaran Rasululullah dan para sahabatnya.
Berangkat dari realiti  diatas, terlihat bahawa ajaran al-Asy’ari  yang tertuang dalam teologi  Ahli sunnah waljama’ah sentiasa bersikap kritis, terbuka, selektif, dan akomodatif serta penuh responsive  terhadap berbagai issu yang berkaitan dengan kehidupan ummat Islam, sama ada yang berhubungkait dengan persoalan politik, social mahupun issu  keagamaan.
Paradigma pemikiran dan essensi ajaran Aswj dalam upaya  melakukan kontekstualisasi ideologis adalah berupaya menyelaraskan makna-makna teks agama (al-Quran dan Hadis) dengan nilai-nilai budaya lokal sebagai aspek penting dalam reality kehidupan kontemporari.
Sebab penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya lokal, tidaklah dapat dipandang sebagai sebuah ‘pembiaran’ atas ajaran agama untuk tetap terkontaminasi dengan berbagai penyelewengan dan khurafat, kerana penyelarasan dalam batasan yang jelas justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang ini terakumulasi dalam sebuah kaidah ushul fiqh “al-Muhafazah ala al-qadim al-salih wal akhzu bil al-jadid al aslah” (mempertahankan milik lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baharu yang lebih baik).
Itu sebabnya, menjadi karakteristik dalam teologi Ahli sunnah kaitannya dengan operasionalisasi pengambilan  sumber hokum, lebih cenderung kepada konsep Syafi’iyyah kerana konsep ini dianggap sebagai sesebuah konsep pemikiran yang dapat mengantar penganutnya  tampil dalam segala situasi secara fleksibel dan akomodatif.
Imam Syafi’i sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, watak itu didasari oleh aspek hisroris kehidupannya yang banyak mengembara dalam mengajarkan missinya di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir, ajarannyapun berkembang sesuai dengan ‘pelik persoalan sosial keagamaan’ penganutnya.
Secara konsepsi Fiqhiyah Imam Syafi’i memilih jalan tengah (al-tawassut) dari pemikiran Abu Hanifah al-Nu’man yang cenderung rasionalistik dan  pemikiran Imam Malik bin Anas yang terpaku pada dogma al-Sunnah sahaja, dalam fisi aqidah Imam al-Asy’ari  telahpun ‘mengawinkan’ pemikiran Mu’tazilah yang rasionalis dengan pola pemikiran Ahmad ibn Hanbal yang berpijak pada kontek Nash.
Epoc keagamaan semacam itu pada gilirannya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas Ahli sunnah waljamaah, yang selalu I’tidal dan tawassuth (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan bersama, sikap tasamuh, (toleran terhadap perbedaan) tawazun (seimbang dan tidak ekstrim) serta ta’awun atas dasar kebajikan dan taqwa dan tidak berta’awun atas dasar  al-itsm (perilaku dosa) dan ‘udwan (permusuhan), amar ma’ruf dan nahi mungkar, (menganjurkan kebaikan dan mencegah keburukan) dalam menterjmahkan hidup dan kehidupan yang ada.
Permasalahannya adalah sudahkah perangkat ideology Ahli sunnah waljamaah itu menjadi bagian yang integral dalam diri kita untuk kita wujudnyatakan dalam kedidupan kontemporari?.
Apapun klaim yang disandangkan, satu hal yang tidak boleh kita nafikkan  bahwa epoc ideology Aswj adalah salah satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan beragama di Negara ini, yang terihat begitu jelas dalam berbagai dimensi kehidupan yang ada. Sebab pelaku ideology ahli sunnah waljamaah yang basis massanya adalah para pecinta Allah, Rasul, para sahabat dan salaf al-Shaleh  lebih dekat dan akrab dengan alam dimana sahaja mereka berada.
Pandangan kosmologis mereka,  kapan dan dimanapun,  mereka lebih mengutamakan harmoni dan sebisa mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama ketimbang nalar (rasio), mempercayakan nasib dan takdir setelah ikhtiar jauh lebih di condongi ketimbang hanya mempertaruhkannya kepada kemampuan dan prakarsa sendiri.
Dalam sudut organisasi dan kenegaraan, komuniti Ahli sunnah waljamaah lebih terasa tumbuh sebagai masyarakat yang memiliki kesetiaan dan kecintaan dengan penuh totaliti kepada tokoh yang bersifat formal-impersonal (baca : para umara dan ulama) yang menjadi ‘panutan’ dalam berbagai bentuk konsensus keagamaan.
Hal itu dapat dimaklumi, terlebih dalam menyikapi taqdir global kehidupan saat ini, dimana ‘model’ kehidupan masyarakat bandar dan kampong sudah begitu samar terkubur dan terpolakan oleh berbagai saluran media elektronik dan media massa.  Hal ini banyak menyentuh berbagai strata kehidupan masyarakat yang mempunyai nilai tersendiri.
Itu pulalah sebabnya, bagi komuniti ahli sunnah waljamaah, sentiasa melakukan aktiviti yang bersifat antisifatif kearah mempertahankan nilai dan tradisi masyarakatnya berupa pengajian-pengajian yang bernuansa keagamaan semisal tahlilan, diba’an (membaca barzanji), dzikir yasinan, sholawat badar dll. Ditengah gebyar arus ‘model’ kehidupan modern yang kian global, peran Umara dan ulama,  kaum cerdik cendekia muslim dalam usaha mengekalkan tradisi kecintaan kepada rasul seperti ini, dirasakan sangat diperlukan adanya.
                Esensi permasalahan yang sebenarnya bukanlah pada tradisionalitas maupun modernitas dalam mewajahkan sikap keagamaan yang ada, akan tetapi kebesaran dan keberanian kita dalam menata hati dan fikiran dalam menyikapi  aneka permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi keyakinan kita dalam beridiologi, sekaligus  mentransfer nilai-nilai Ahli sunnah waljamaah pada diri dan komuniti kita.
Itulah ‘garapan’ yang perlu kita pikirkan, sebab ‘kemajuan’ tidak mesti di pungkiri, akan tetapi harus di ‘sikapi’ sebagai konsekuwensi logis kehidupan insani, kerana pada saatnya bukan suatu hal yang mustahil bila seorang kiyai (ulama) dikampong yang terpencil ikut mengisi pengajian via internet.
                Para ulama tidak saja disibukkan dengan memberkahi tasyakuran haul dan acara-acara haflah, akan tetapi dituntut pula dengan berkah aktifiti ilmiah yang tertuang dalam karya tulis, makalah-makalah ilmiah keislaman lainnya. Para ulama  tiadak saja duduk pada seremonial ritualitas semata, akan tetapi  duduk pula dalam forum seminar dan temuan temuan ilmiah yang ada.
                Cara atau metod memang boleh berbeza (karena kondisi zaman) namun misi dan muatan haruslah tetap sama dengan menjadikan  pesan al-Qur’an sebagai pijakan awal langkah amalan kita sekaligus tetap memegang teguh tradisi kenabian dan Sunnah Rasul Saw, beserta para sahabatnya dengan mengikuti jejak Salaf al-shaleh. Sebab, kebesaran adalah semangat konsistensi dalam menghadapi realiti yang ada, serta mampu menyikapi segala permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi kejujuran dalam berkata dan berbuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...