Seperti
sedia maklum bahawa Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah tokoh yang memiliki tempat
tersendiri dikalangan kaum Sunni, kerana melalui ulama kharismatik itulah ahli Sunnah Wal
jama’ah lahir sebagai aliran teologi keagamaan.
Aliran ini
lahir sebagai reaksi terhadap perkembangan
pemikiran kelompok Mu’tazilah yang begitu ‘liar’ dalam doktrin ketuhanan
dan keimanan, mereka menimbulkan
kegoncangan spiritual idiologis yang dahsyat dikalangan ummat Islam, apatahlagi
kerana fahaman Muktazilah mendapat sokongan
(legitimasi) kerajaan yang berkuasa.
Dengan
demikian, Ahli sunnah waljama’ah yang
diajarkan Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah sebuah aliran pemikiran yang terbuka
dan secara berani melakukan koreksi total terhadap berbagai doktrin ketuhanan
dan keimanan yang dipandang berbahaya
bagi kelangsungan ajaran Rasululullah dan para sahabatnya.
Berangkat
dari realiti diatas, terlihat bahawa ajaran
al-Asy’ari yang tertuang dalam
teologi Ahli sunnah waljama’ah sentiasa
bersikap kritis, terbuka, selektif, dan akomodatif serta penuh responsive terhadap berbagai issu yang berkaitan dengan
kehidupan ummat Islam, sama ada yang berhubungkait dengan persoalan politik,
social mahupun issu keagamaan.
Paradigma
pemikiran dan essensi ajaran Aswj dalam upaya
melakukan kontekstualisasi ideologis adalah berupaya menyelaraskan
makna-makna teks agama (al-Quran dan Hadis) dengan nilai-nilai budaya lokal
sebagai aspek penting dalam reality kehidupan kontemporari.
Sebab penyelarasan
Islam dengan tradisi dan budaya lokal, tidaklah dapat dipandang sebagai sebuah
‘pembiaran’ atas ajaran agama untuk tetap terkontaminasi dengan berbagai
penyelewengan dan khurafat, kerana penyelarasan dalam batasan yang jelas justru
akan membuat ajaran agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang ini
terakumulasi dalam sebuah kaidah ushul fiqh “al-Muhafazah ala al-qadim al-salih
wal akhzu bil al-jadid al aslah” (mempertahankan milik lama yang baik, dan
mengambil sesuatu yang baharu yang lebih baik).
Itu sebabnya, menjadi karakteristik dalam teologi Ahli
sunnah kaitannya dengan operasionalisasi pengambilan sumber hokum, lebih cenderung kepada konsep
Syafi’iyyah kerana konsep ini dianggap sebagai sesebuah konsep pemikiran yang
dapat mengantar penganutnya tampil dalam
segala situasi secara fleksibel dan akomodatif.
Imam
Syafi’i sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, watak itu didasari
oleh aspek hisroris kehidupannya yang banyak mengembara dalam mengajarkan
missinya di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir, ajarannyapun berkembang sesuai
dengan ‘pelik persoalan sosial keagamaan’ penganutnya.
Secara
konsepsi Fiqhiyah Imam Syafi’i memilih jalan tengah (al-tawassut) dari
pemikiran Abu Hanifah al-Nu’man yang cenderung rasionalistik dan pemikiran Imam Malik bin Anas yang terpaku
pada dogma al-Sunnah sahaja, dalam fisi aqidah Imam al-Asy’ari telahpun ‘mengawinkan’ pemikiran Mu’tazilah
yang rasionalis dengan pola pemikiran Ahmad ibn Hanbal yang berpijak pada
kontek Nash.
Epoc
keagamaan semacam itu pada gilirannya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri
khas Ahli sunnah waljamaah, yang selalu I’tidal dan tawassuth
(moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan
bersama, sikap tasamuh, (toleran terhadap perbedaan) tawazun (seimbang
dan tidak ekstrim) serta ta’awun atas dasar kebajikan dan taqwa dan tidak
berta’awun atas dasar al-itsm (perilaku
dosa) dan ‘udwan (permusuhan), amar ma’ruf dan nahi mungkar, (menganjurkan
kebaikan dan mencegah keburukan) dalam menterjmahkan hidup dan kehidupan yang
ada.
Permasalahannya
adalah sudahkah perangkat ideology Ahli sunnah waljamaah itu menjadi bagian
yang integral dalam diri kita untuk kita wujudnyatakan dalam kedidupan
kontemporari?.
Apapun klaim
yang disandangkan, satu hal yang tidak boleh kita nafikkan bahwa epoc ideology Aswj adalah salah satu
denyut terpenting dalam totalitas kehidupan beragama di Negara ini, yang
terihat begitu jelas dalam berbagai dimensi kehidupan yang ada. Sebab pelaku
ideology ahli sunnah waljamaah yang basis massanya adalah para pecinta Allah,
Rasul, para sahabat dan salaf al-Shaleh lebih dekat dan akrab dengan alam dimana
sahaja mereka berada.
Pandangan
kosmologis mereka, kapan dan dimanapun, mereka lebih mengutamakan harmoni dan sebisa
mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama ketimbang nalar
(rasio), mempercayakan nasib dan takdir setelah ikhtiar jauh lebih di condongi
ketimbang hanya mempertaruhkannya kepada kemampuan dan prakarsa sendiri.
Dalam
sudut organisasi dan kenegaraan, komuniti Ahli sunnah waljamaah lebih terasa
tumbuh sebagai masyarakat yang memiliki kesetiaan dan kecintaan dengan penuh
totaliti kepada tokoh yang bersifat formal-impersonal (baca : para umara dan
ulama) yang menjadi ‘panutan’ dalam berbagai bentuk konsensus keagamaan.
Hal itu dapat
dimaklumi, terlebih dalam menyikapi taqdir global kehidupan saat ini,
dimana ‘model’ kehidupan masyarakat bandar dan kampong sudah begitu
samar terkubur dan terpolakan oleh berbagai saluran media
elektronik dan media massa. Hal ini
banyak menyentuh berbagai strata kehidupan masyarakat yang mempunyai nilai
tersendiri.
Itu
pulalah sebabnya, bagi komuniti ahli sunnah waljamaah, sentiasa melakukan
aktiviti yang bersifat antisifatif kearah mempertahankan nilai dan tradisi
masyarakatnya berupa pengajian-pengajian yang bernuansa keagamaan semisal tahlilan,
diba’an (membaca barzanji), dzikir yasinan, sholawat badar dll. Ditengah gebyar
arus ‘model’ kehidupan modern yang kian global, peran Umara dan ulama, kaum cerdik cendekia muslim dalam usaha
mengekalkan tradisi kecintaan kepada rasul seperti ini, dirasakan sangat
diperlukan adanya.
Esensi permasalahan yang
sebenarnya bukanlah pada tradisionalitas maupun modernitas dalam mewajahkan
sikap keagamaan yang ada, akan tetapi kebesaran dan keberanian kita dalam
menata hati dan fikiran dalam menyikapi aneka
permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi keyakinan kita dalam beridiologi,
sekaligus mentransfer nilai-nilai Ahli sunnah
waljamaah pada diri dan komuniti kita.
Itulah ‘garapan’
yang perlu kita pikirkan, sebab ‘kemajuan’ tidak mesti di pungkiri, akan
tetapi harus di ‘sikapi’ sebagai konsekuwensi logis kehidupan insani, kerana
pada saatnya bukan suatu hal yang mustahil bila seorang kiyai (ulama) dikampong
yang terpencil ikut mengisi pengajian via internet.
Para ulama tidak saja disibukkan
dengan memberkahi tasyakuran haul dan acara-acara haflah, akan tetapi
dituntut pula dengan berkah aktifiti ilmiah yang tertuang dalam karya tulis,
makalah-makalah ilmiah keislaman lainnya. Para ulama tiadak saja duduk pada seremonial ritualitas semata,
akan tetapi duduk pula dalam forum
seminar dan temuan temuan ilmiah yang ada.
Cara
atau metod memang boleh berbeza (karena kondisi zaman) namun misi dan muatan
haruslah tetap sama dengan menjadikan pesan al-Qur’an sebagai pijakan awal langkah
amalan kita sekaligus tetap memegang teguh tradisi kenabian dan Sunnah Rasul
Saw, beserta para sahabatnya dengan mengikuti jejak Salaf al-shaleh. Sebab, kebesaran
adalah semangat konsistensi dalam menghadapi realiti yang ada, serta mampu
menyikapi segala permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi kejujuran
dalam berkata dan berbuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar