Saddu Al-Dzaraai, Istihsan : Sebuah
Ikhtiar Membangun Fiqhi Dakwah
Kalau kita menggunakan
standar atau ukuran “fleksibiliti” dalam rangka mendeteksi kekuatan wacana atau
fenomena moderasi dalam Islam, maka konsep Istihsan dan Saddu al-Dzariah
merupakan lahan yang sangat subur bagi moderasi dalam Islam sekaligus menjadi
mesin yang sangat efektif bagi pengembangan dakwah. Ide yang menjadi muatan
Istihsan adalah otoriti yang diberikan kepada seorang mujtahid untuk
mengalihkan atau memindahkan hukum yang sudah tetap bagi suatu kasus tertentu
dan diperkuat oleh ketentuan umum dalam hukum Islam untuk kemudian menetapkan
hukum baru bagi kasus yang dimaksud karena ada pertimbangan-pertimbangan syar’i
yang lain atau karena penerapan hukum yang pertama tidak lagi mengandung
kemaslahatan atau penerapannya boleh jadi mendatangkan kemudaratan[1].
Untuk melihat posisi penting yang dimiliki konsep ini, bahkan berdasarkan
sebuah riwat, Imam Malik mengatakan “Sembilan persepuluh (9/10) dari realiti fikih dibangun atas konsep istihsan”.
Riwayat lain dari seorang ulama mazhab Maliki, ia mengatakan, “sesiapa yang
terlalu berlarut dalam menggunakan qiyas maka ia dikhawatirkan akan menyalahi
Sunnah”[2].
Nampaknya, statement ini dikemukakan dalam konteks penggunaan qiyas yang
berlebihan kerana ada anggapan bahawa qiyaslah yang lebih mendekati Nash (Teks)
ketika tidak ada hukum bagi kasus baru yang tidak dijelaskan di dalam nash,
padahal sikap berlebihan yang demikian berpotensi untuk mereduksi dimensi
kemanusiaan dalam bangunan Hukum Islam. Seorang dai harus mengadopsi atau
memanfaatkan fiqh al-Istihsan ketika ia menyampaikan dakwahnya di hadapan
masyarakat moderen apakah melalui mimbar, radio, tv, internet, media cetak dll.
Demikian halnya pendekatan
atau konsep saddu al-Dzariah, ia tidak kalah pentingnya dalam memperkaya misi
dakwah dan moderasi hukum Islam. Substansi yang terkandung dalam saddu
al-Dzariah adalah menutup akses, sarana, atau jalan yang mengantarkan kepada
kemafsadatan, atau kemudaratan. Sarana yang digunakan untuk terjadinya
kemudaratan harus ditutup atau dilarang untuk dilakukan meskipun ia memiliki
hukum kebolehan pada dasarnya, apa lagi kalau ia memang sudah diharamkan sejak
awal. Dengan demikian, bisa dipahami bahawa ijtihad dapat memproduk hukum yang
bertentangan secara kasat mata dengan hukum normal (awal) meskipun sesuai
dengan substansi atau inti paling dalam dari ajaran hukum, dan inilah yang
menjadi esensi konsep Saddu al-Dzariah dan Istihsan. Sisi lain dari Saddu
al-Dzariah adalah otoriti yang diberikan kepada seorang mujtahid untuk membuka
akses-akses atau jalan-jalan yang dapat membawa kepada terciptanya kemaslahatan
atau kebaikan universal. Sisi yang menarik dari teori ini, karena seorang
mujtahid diberi kewenangan untuk membuka akses kemaslahatan meskipun terpaksa menghalalkan yang dilarang dalam
Islam. Contoh yang sering dikemukakan oleh pakar hukum adalah berbohong yang
tadinya diharamkan dalam Islam, tapi dalam kasus-kasus tertentu dibolehkan demi
menghindari terjadinya kemafsadatan[3].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar