Dakwah Dan Fiqh Moderat
Perangkat yang tidak kalah
pentingnya dalam memajukan dan menumbuh-kembangkan misi dakwah sekaligus
menjadi icon besar bagi moderasi yang dimaksud adalah fiqh al-Taysir.
Fiqhi al-Taysir adalah fiqhi
yang memposisikan hukum Islam sebagai hukum yang bertujuan untuk mendidik
manusia bukan menyiksanya. Fiqhi ini memahami bahawa ketika manusia merasa
sempit perasaannya dan mengalami kesulitan dalam menjalankan pesan hukum, maka
ia harus diberi kemudahan sesuai ketentuan yang berlaku dalam agama. Fiqhi ini
tidak seperti yang disalahpahami oleh segelintir orang bahawa ia merupakan
upaya menundukkan teks-teks suci untuk ditafsirkan atau diinterpretasi sesuai
dengan apa yang dianggap mudah oleh hawa nafsu, tapi fiqhi ini adalah upaya
mencari pendapat yang paling mudah dari berbagai pendapat fiqhi yang ada kerana
pendapat itulah yang sesuai dengan kemaslahatan manusia (mashlahah syar’iyyah).
Mencari atau memilih yang mudah dari pilihan-pilihan yang ada bukanlah sesuatu
yang baharu dalam Islam. Fiqhi
al-Taysir telah dibangun oleh al-Quran- dan Sunnah. Betapa banyak ayat dalam
al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah menginginkan kemudahan bukan
kesusahan bagi hambanya. Berdasarkan riwayat Aisyah, Rasulullah selalu memilih
yang mudah dari dua perkara yang ditawarkan kepadanya[1].
Salah satu rumusan kaidah fiqhi yang sangat tepat untuk dikemukakan dalam hal
moderasi Islam dan relevansinya dengan fiqhi al-Taysir adalalah rumusan kaidah
yang dikonstruk oleh Imam al-Gazali yaitu “ Idzaa Dhaaqa al-Amru ittasa’a Wa
Idza ittaa’a al-Amru Dhaaqa (apa bila perkaranya menjadi sempit maka
perkara itu harus diperluas dan apabia perkaranya menjadi luas maka perkara itu
harus dipersempit). Potongan pertama kaidah ini mencerminkan fiqhi al-Taysir
sementara gabungan dua potongan itu menggambarkan moderasi dalam produk fiqhi.
Kalau kita merenungkan kaidah al-Gazali ini maka kita menemukan relevensinya
dengan perangkat lain yaitu konsep Saddu al-Dzaraai dan Istihsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar