Dakwah
dan Kontekstualisasi Ajaran Islam
Ciri khas
yang kedua yang mesti diperhatikan oleh gerakan dakwah adalah pengakuan dirinya atas teori
kontekstualisasi Ajaran Islam. Inti dari teori ini adalah upaya melacak
unsur-unsur
sejarah yang melingkupi sebuah ajaran, kemudian memberi pengaruh
bagi unsur-unsur itu bagi pemahaman atau penerapan sebuah ajaran atau hukum.
Teori ini berasumsi bahwa sebuah hukum boleh jadi ditetapkan oleh Allah atau
Nabi disebabkan oleh kondisi atau keadaan tertentu yang menghendaki adanya
hukum tertentu pula. Konsekwensinya, bila kondisi itu sudah berubah dan terjadi
kondisi baharu yang berbeza maka semestinya hukum yang dahulu tadi juga
beruba dan digantikan dengan hukum
baharu atau kembali kepada hukum normal. Kerana itulah, teori ini berasumsi
bahawa siapa pun yang ingin memahami pesan yang terkandung dalam sesebuah teks
atau nash, maka pengetahuan tentang dua kondisi yaitu kondisi zaman turunnya
wahyu atau kondisi zaman Nabi menuturkan hadisnya dan kondisi zaman sekarang
adalah sebuah keharusan.
Kasus yang sesuai untuk
menjadi contoh bagi teori ini adalah larangan Nabi bagi wanita untuk bepergian
tanpa mahram. Kata Nabi, “Laa Tusaafirul Mar’atu Illa ma’a Dzii
Mahramin” yang artinya seorang perempuan tidak boleh bepergian (melakukan
perjalanan) tanpa mahram. Kalau formaliti hadis ini diterapkan maka seorang perempuan kemana sahaja ia pergi ia mesti dikawal atau ditemani oleh suaminya
atau saudaranya atau bapaknya. Kalau ini benar, maka perilaku wanita moderen
yang hidup zaman sekarang sudah tidak sesuai dengan hadis tadi.
Namun, apabila konsep
Kontekstualisasi ajaran kita gunakan untuk mengukur perilaku wanita sekarang
maka kita dapat mengatakan bahawa apa yang dilakukan wanita zaman sekarang
(bepergian tanpa mahram) bukanlah sebuah pelanggaran agama. Alasannya kerana
hadis yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram dituturkan oleh Nabi
disebabkan oleh sebuah konteks saat itu
menghendakinya, dimana perjalanan seorang wanita sangat berbahaya bagi dirinya
atau bagi reputasi baiknya. Hal itu mudah dipahami, kerana jarak yang mesti ditempuh seseorang
pejalan adalah padang pasir yang sangat riskan dengan binatang buas atau
kelompok penjahat yang tidak bermoral, ditambah dengan alat transportasinya
adalah unta. Dengan kata lain, konteks hadis larangan itu adalah konteks tidak
aman, sehingga kalau ingin dibandingkan dengan konteks sekarang maka kita dapat
mengatakan bahawa konteks hadis itu sudah berubah kerana konteks sekarang
adalah konteks aman. Seorang wanita yang ingin berangkat ke sebuah daerah
misalnya tidak perlu dikawal oleh seorang mahramnya kerana perjalanan sangat aman[1].
Dengan demikian, maka pada intinya teori kontekstualisasi ajaran ingin
menyampaikan bahwa ada hukum-hukum yang dibangun oleh Rasulullah berdasarkan
konteks zaman itu menghendakinya, dan boleh jadi konteks sekarang tidak
menghendakinya, dan kemudian hukum-hukum itu tentu tidak dapat dipertahankan
kerana sudah kehilangan konteksnya[2].
Begitu besar pengaruh yang
dimainkan teori ini dalam perkembangan pemikiran Islam terutama dalam bidang pengembangan
hukum Islam, maka kita dapat mengatakan bahawa betapa banyak pendapat memiliki
kekuatan pada zaman dahulu, namun zaman sekarang menjadi lemah kerana alasan
bahawa pendapat-pendapat itu sudah kehilangan konteksnya.
Kontekstualisasi ajaran yang mengakar
di dalam tradisi Nabi (Sunnah) telah banyak menginspirasi ulama-ulama yang
datang kemudian. Salah seorang ulama yang cukup populer yang memiliki gagasan
kuat mengenai teori ini adalah ulama yang bermazhab hanbali yakni Imam Ibn
al-Qayyim. Dalam buku monumentalnya “ I’laam al-Muwaqqi’iin, ia telah memberi
ruang khusus (pasal) untuk mengkristalkan konsep kontekstualisasi fiqhi Islam”
dengan memberi judul ruang itu dengan “ Tagayyur al-Fatwaa Wakhtilafuhaa
Bihasabi tagayyuri al-Azminati wa al-amkinati wa al-Ahwaal wal al-Niyyaat wal
‘Awaaid” yang artinya perubahan dan perbezaan fatwa karena perubahan zaman,
tempat, kondisi, niat dan tradisi[3].
[1]
Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqhi Maqasid al-Syariah, Dar al-Syuruq,
Kairo, Thn 2006 h. 166.
[2] Untuk lebih memperdalam pengetahuan mengenai teori kontekstualisasi
hukum dianjurkan merujuk ke gagasan yusuf al-Qaradhawi mengenai teori ini di
berbagai bukunya diantaranya Kaifa Nata’amal Ma’ al-Sunnah”, Diraasah
fi Fiqh Maqasid al-Syariah Bain al-Maqasid al-Kulliyah wa al-Nusus al-Juziyyah.
Dalam buku-buku yang dimaksud Y.al-Qaradhawi banyak mengemukakan contoh kasus
kontemporer yang bisa dijadikan bahan renungan betapa teori Kontekstualisasi
memiliki orisinalitas yang mengakar dalam tradisi salaf dan bukanlah teori
baru.
[3] Lihat Ibn al-Qayyim, I’laam
al-Muwaqqi’in, Dar –Aljil, Beirut, thn
1973 vol 2 h. 425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar