Senin, 10 Desember 2012

Moderasi Islam Dan Kesuksesan Gerakan Dakwah:

 Dakwah dan Kontekstualisasi Ajaran Islam
            Ciri khas yang kedua yang mesti diperhatikan oleh gerakan dakwah  adalah pengakuan dirinya atas teori kontekstualisasi Ajaran Islam. Inti dari teori ini adalah upaya melacak unsur-unsur
sejarah yang melingkupi sebuah ajaran, kemudian memberi pengaruh bagi unsur-unsur itu bagi pemahaman atau penerapan sebuah ajaran atau hukum. Teori ini berasumsi bahwa sebuah hukum boleh jadi ditetapkan oleh Allah atau Nabi disebabkan oleh kondisi atau keadaan tertentu yang menghendaki adanya hukum tertentu pula. Konsekwensinya, bila kondisi itu sudah berubah dan terjadi kondisi baharu yang berbeza maka semestinya hukum yang dahulu tadi juga beruba  dan digantikan dengan hukum baharu atau kembali kepada hukum normal. Kerana itulah, teori ini berasumsi bahawa siapa pun yang ingin memahami pesan yang terkandung dalam sesebuah teks atau nash, maka pengetahuan tentang dua kondisi yaitu kondisi zaman turunnya wahyu atau kondisi zaman Nabi menuturkan hadisnya dan kondisi zaman sekarang adalah sebuah keharusan.
Kasus yang sesuai untuk menjadi contoh bagi teori ini adalah larangan Nabi bagi wanita untuk bepergian tanpa mahram. Kata Nabi, “Laa Tusaafirul Mar’atu Illa ma’a Dzii Mahramin” yang artinya seorang perempuan tidak boleh bepergian (melakukan perjalanan) tanpa mahram. Kalau formaliti hadis ini diterapkan maka seorang perempuan kemana sahaja ia pergi ia mesti dikawal atau ditemani oleh suaminya atau saudaranya atau bapaknya. Kalau ini benar, maka perilaku wanita moderen yang hidup zaman sekarang sudah tidak sesuai dengan hadis tadi.
Namun, apabila konsep Kontekstualisasi ajaran kita gunakan untuk mengukur perilaku wanita sekarang maka kita dapat mengatakan bahawa apa yang dilakukan wanita zaman sekarang (bepergian tanpa mahram) bukanlah sebuah pelanggaran agama. Alasannya kerana hadis yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram dituturkan oleh Nabi disebabkan oleh sebuah  konteks saat itu menghendakinya, dimana perjalanan seorang wanita sangat berbahaya bagi dirinya atau bagi reputasi baiknya. Hal itu mudah dipahami, kerana jarak yang mesti ditempuh seseorang pejalan adalah padang pasir yang sangat riskan dengan binatang buas atau kelompok penjahat yang tidak bermoral, ditambah dengan alat transportasinya adalah unta. Dengan kata lain, konteks hadis larangan itu adalah konteks tidak aman, sehingga kalau ingin dibandingkan dengan konteks sekarang maka kita dapat mengatakan bahawa konteks hadis itu sudah berubah kerana konteks sekarang adalah konteks aman. Seorang wanita yang ingin berangkat ke sebuah daerah misalnya tidak perlu dikawal oleh seorang mahramnya kerana perjalanan sangat aman[1]. Dengan demikian, maka pada intinya teori kontekstualisasi ajaran ingin menyampaikan bahwa ada hukum-hukum yang dibangun oleh Rasulullah berdasarkan konteks zaman itu menghendakinya, dan boleh jadi konteks sekarang tidak menghendakinya, dan kemudian hukum-hukum itu tentu tidak dapat dipertahankan kerana sudah kehilangan konteksnya[2].
Begitu besar pengaruh yang dimainkan teori ini dalam perkembangan pemikiran Islam terutama dalam bidang pengembangan hukum Islam, maka kita dapat mengatakan bahawa betapa banyak pendapat memiliki kekuatan pada zaman dahulu, namun zaman sekarang menjadi lemah kerana alasan bahawa pendapat-pendapat itu sudah kehilangan konteksnya.
Kontekstualisasi ajaran yang mengakar di dalam tradisi Nabi (Sunnah) telah banyak menginspirasi ulama-ulama yang datang kemudian. Salah seorang ulama yang cukup populer yang memiliki gagasan kuat mengenai teori ini adalah ulama yang bermazhab hanbali yakni Imam Ibn al-Qayyim. Dalam buku monumentalnya “ I’laam al-Muwaqqi’iin, ia telah memberi ruang khusus (pasal) untuk mengkristalkan konsep kontekstualisasi fiqhi Islam” dengan memberi judul ruang itu dengan “ Tagayyur al-Fatwaa Wakhtilafuhaa Bihasabi tagayyuri al-Azminati wa al-amkinati wa al-Ahwaal wal al-Niyyaat wal ‘Awaaid” yang artinya perubahan dan perbezaan fatwa karena perubahan zaman, tempat, kondisi, niat dan tradisi[3].


[1] Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqhi Maqasid al-Syariah, Dar al-Syuruq, Kairo, Thn 2006 h. 166.
[2] Untuk lebih memperdalam pengetahuan mengenai teori kontekstualisasi hukum dianjurkan merujuk ke gagasan yusuf al-Qaradhawi mengenai teori ini di berbagai bukunya diantaranya Kaifa Nata’amal Ma’ al-Sunnah”, Diraasah fi Fiqh Maqasid al-Syariah Bain al-Maqasid al-Kulliyah wa al-Nusus al-Juziyyah. Dalam buku-buku yang dimaksud Y.al-Qaradhawi banyak mengemukakan contoh kasus kontemporer yang bisa dijadikan bahan renungan betapa teori Kontekstualisasi memiliki orisinalitas yang mengakar dalam tradisi salaf dan bukanlah teori baru.
[3] Lihat Ibn al-Qayyim, I’laam al-Muwaqqi’in,  Dar –Aljil, Beirut, thn 1973 vol 2 h. 425

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...