Era
globalisasi sering digambarkan sebagai sebuah babak sejarah dimana setiap
negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain sama ada antar negara mahupun antar
individu. Persaingan yang
terjadi di era global ini memiliki keberkesanan dan dampak yang negatif jika
dicermati dengan seksama. Globalisasi memang menjadi lokomotif perubahan tata
dunia yang tentu saja akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran
mahupun materi. Ada beberapa
dampak negatif globalisasi yang digulirkan oleh dunia Barat yang sangat
berpotensi mempengaruhi kehidupan seorang muslim, dan sekaligus menjadi
tantangan dakwah di era globalisasi, iaitu:
Pertama,
kecenderungan maddiyyah (materialisme).
Kedua,
adanya proses individualisasi. Kehidupan kolektif, kebersamaan, gotong royong,
telah diganti dengan semangat individualisme yang kuat.
Ketiga,
sekulerisme yang sentiasa memisahkan kehidupan agama dengan urusan masyarakat, sebab agama dinilai hanya
persoalan privat antar individu semata.
Keempat,
munculnya relativiti norma-norma etika, moral,
dan akhlak. Sehingga dalam suatu konteks masyarakat yang dianggap tabu bisa
saja dalam konteks masyarakat yang lain dianggap biasa-biasa sahaja.[1]
Mengikut Ali Syari'ati, bahawa bahaya yang paling besar yang dihadapi oleh umat
manusia zaman sekarang ini bukanlah
ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah [2].
Unsur kemanusiaan dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat,
inilah mesin-mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan
dan kehendak alam yang fitrah.
Dampak
globalisasi dalam dunia dakwah sangat dirasakan . Banyak kasus yang muncul,
misalnya pergaulan bebas, persoalan miras, narkoba, dan lain-lain, kesemua
perkara ini disebabkan oleh sebuah pemujaan terhadap kebebasan pribadi yang
tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama. Sehingga dampaknya ternyata bukan
hanya menimpa dirinya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat dan siswa yang
lain. Oleh kerana itu, nilai-nilai negatif tersebut
haruslah dinetralisir dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang sangat
menekankan keseimbangan kehidupan. Sikap seorang muslim dalam menghadapi
kehidupan adalah dengan tetap istiqamah dalam hidayah Allah swt. untuk menjalankan
kenikmatan agama Islam secara kaffah, bukan malah menggantinya dengan kekufuran
yang akan menyebabkan kerugian dirinya sendiri seperti yang Allah firmankan
dalam QS. Ibrahim (14): 28-29:
Globalisasi perspektif Yusuf al-Qaradawi
adalah upaya melenyapkan dinding dan jarak antara satu bangsa dengan bangsa
lain, dan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga,
semuanya menjadi dekat dengan kebudayaan dunia, pasar dunia dan keluarga dunia.[3]
Dengan kata lain globalisasi ialah suatu proses membuka keadaan, atau sebuah proses yang berjalan dan
bertujuan menjadikan negara-negara di dunia bagaikaan satu unit. Masih kata
Yusuf al-Qardhawi, bahawa terdapat perbezaan mendasar antara makna globalisasi
(al-‘aulamah) yang dipahami dunia barat pada hari ini dengan makna globalisasi
(al-‘alamiah) yang dimaksudkan oleh Islam. Menurtu dia, Universaliti Islam merujuk kepada ayat QS. Al-Anbiya
(21): 107:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين.
Dan tidaklah Kami mengutus
kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Globalisasi
atau al-‘alamiah yang dipahami oleh Islam
adalah sesuatu yang berasaskan nilai-nilai penghormatan dan persamaan
kepada seluruh manusia,(QS. Al-Isra: 70) bahawa setiap manusia memiliki hak dan tanggung jawab yang
sama dihadapan Allah swt. Hal ini berbeza dengan pemahaman Barat mengenai globalisasi
(al-‘aulamah) sekarang ini, yang mengartikannya sebagai keharusan untuk
menguasai secara politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosio kultural masyarakat
agar sejalan dengan kepentingan Negara-negara Barat yang disponsori oleh Amerika. Penguasaan tersebut kemudian
diarahkan lebih fokus lagi pada penguasaan Barat terhadap tatanan dunia Islam [4].
Pengaruh
globalisasi terhadap dunia pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bahagian
utama, yaitu :
Pertama, globalisasi
politik yang dimulai dari berakhirnya perang dunia kedua dan dimulainya perang
dingin antara kekuatan-kekuatan besar di dunia untuk saling memperebutkan
otoriti, pengaruh, hegemoni dan
perebutan sumber ekonomi dan pasar internasional serta perang peradaban dan
kultural di dunia global yang tak terbatasi lagi oleh wilayah teritorial. Dan
berakhirnya perang dingin merupkan awal bagi
era globalisasi dalam arti yang sebenarnya.
Kedua,
Globalisasi Ekonomi. Menurut Jamaluddin ‘Atiyah, yang dimaksud dengan
globalisasi di bidang ekonomi ialah menyatukan seluruh dunia kepada satu pasar
bebas (free market) atau pemindahan kepemilikan umum dan perseroan-perseroan
kepemilikan khusus untuk mengurangi pengawasan dan campur tangan pemerintah
dalam negeri.[5]
Dengan tatanan ekonomi baru yang oleh dunia Barat disebut dengan globalisasi
atau pasar besar, mereka menjanjikan dunia dimana setiap orang menjadi pintar
dan kaya. Tapi kenyataan yang terjadi adalah negara-negara maju dengan
perusahaan-perusahaan besarnya menjadikan tatanan ekonomi baru yang disebut
dengan globalisasi atau pasar bebas sebagai penjajahan model baru.
Ketiga,
Globalisasi Sosial dan Budaya. Pengaruh
globalisasi telah masuk kedalam seluruh kehidupan masyarakat, serta
menghilangkan sekat-sekat geografis antara satu negara dengan negara yang lain,
antara satu budaya dengan budaya yang lain. Dengan menggunakan istilah
“kebudayaan internasional” atau “modernisme”, Barat yang dimotori oleh Eropa
dan Amerika secara gigih mengekspor kebudayaan mereka ke belahan dunia yang
lain. Dengan isu globalisasi ini, Barat ingin mewajibkan model, pemikiran,
perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap bangsa lain. Sedangkan
orang-orang Prancis memandang bahawa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikanisasi yang
mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa
kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide
rendah namun fasiliti yang fantastik, dan (3)
minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya. [6].
Tetapi
yang lebih penting dari semua itu adalah globalisasi pemikiran (gazwul fikri)
atau perang pemikiran sebagai hasil daripada perkembangan teknologi dan
informasi khususnya televesi dan internet. Dibandingkan dengan perang fisik
atau militer, maka ghazwul fikri ini memiliki beberapa keunggulan. Antaranya
ialah: Pertama, dana yang diperlukan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk
perang fisik. Kedua, sasaran daripada ghazwul fikri ini tidak terbatas. Ketiga,
serangannya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja. keempat,
tidak ada korban dari pihak penyerang. Kelima, korban tidak merasakan bahawa sesungguhnya dirinya dalam kondisi
diserang. Keenam, kesan yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
Ketujuh, efektif dan efisien [7].
Dengan
demikian, gerakan dan lembaga atau insitusi dakwah mesti mempertimbangkan
kondisi real ini dalam mengemban misi dakwah di era globalisasi dan bagaimana
metode dakwah yang diterapkan di era globalisasi. Kecangggihan dan kemodernan
globalisasi harus dijawab dengan dakwah yang canggih dan modern, bukan dengan
dakwah konvensional.
[1]
Rais, Amin. Tauhid Sosial. Cet. I; Bandung: Mizan, 1998, h. 65-66.
[2] Ali Syariati dalam Agustian, Ari Ginanjar.
ESQ; Emotional Spiritual Quetiont. Cet. VI; Jakarta: Arga, 2002, h. Xiii.
[3]
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta: CV. Pustaka
Al-Kautsar, 2001, h. 21
[4] Ibid.
[5]
Atiyah,Jamaluddin, al-Waqi’
wa al-mitsal fi al-fikri al-islami
al-mu’asir, Beirut: Dar al-hadi?, 2002, h. 52.
[6]
Jamilah, Maryam, Islam dalam Kancah Modernisasi, Bandung: NV Tarate, 1983, h. 84.
[7]
Halim, Abdul El-Muhammady, Dinamika Dakwah Suatu Perspektif dari Zaman Awal
Islam hingga Kini, Kuala Lumpur: Budaya Ilmu, 1992, h. 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar