Senin, 10 Desember 2012

Potret Era Globalisasi

Era globalisasi sering digambarkan sebagai sebuah babak sejarah dimana setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain sama ada antar negara mahupun antar
individu. Persaingan yang terjadi di era global ini memiliki keberkesanan dan dampak yang negatif jika dicermati dengan seksama. Globalisasi memang menjadi lokomotif perubahan tata dunia yang tentu saja akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran mahupun materi. Ada beberapa dampak negatif globalisasi yang digulirkan oleh dunia Barat yang sangat berpotensi mempengaruhi kehidupan seorang muslim, dan sekaligus menjadi tantangan dakwah di era globalisasi, iaitu:
Pertama, kecenderungan maddiyyah (materialisme).
Kedua, adanya proses individualisasi. Kehidupan kolektif, kebersamaan, gotong royong, telah diganti dengan semangat individualisme yang kuat.
Ketiga, sekulerisme yang sentiasa memisahkan kehidupan agama dengan urusan masyarakat, sebab agama dinilai hanya persoalan privat antar individu semata.
Keempat, munculnya relativiti norma-norma etika, moral, dan akhlak. Sehingga dalam suatu konteks masyarakat yang dianggap tabu bisa saja dalam konteks masyarakat yang lain dianggap biasa-biasa sahaja.[1]

Mengikut Ali Syari'ati, bahawa bahaya yang paling besar yang dihadapi oleh umat manusia zaman sekarang ini  bukanlah ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah [2]. Unsur kemanusiaan dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, inilah mesin-mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah.

Dampak globalisasi dalam dunia dakwah sangat dirasakan . Banyak kasus yang muncul, misalnya pergaulan bebas, persoalan miras, narkoba, dan lain-lain, kesemua perkara ini disebabkan oleh sebuah pemujaan terhadap kebebasan pribadi yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama. Sehingga dampaknya ternyata bukan hanya menimpa dirinya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat dan siswa yang lain. Oleh kerana itu, nilai-nilai negatif tersebut haruslah dinetralisir dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang sangat menekankan keseimbangan kehidupan. Sikap seorang muslim dalam menghadapi kehidupan adalah dengan tetap istiqamah dalam hidayah Allah swt. untuk menjalankan kenikmatan agama Islam secara kaffah, bukan malah menggantinya dengan kekufuran yang akan menyebabkan kerugian dirinya sendiri seperti yang Allah firmankan dalam QS. Ibrahim (14): 28-29:

 Globalisasi perspektif Yusuf al-Qaradawi adalah upaya melenyapkan dinding dan jarak antara satu bangsa dengan bangsa lain, dan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga, semuanya menjadi dekat dengan kebudayaan dunia, pasar dunia dan keluarga dunia.[3] Dengan kata lain globalisasi ialah suatu proses membuka keadaan,  atau sebuah proses yang berjalan dan bertujuan menjadikan negara-negara di dunia bagaikaan satu unit. Masih kata Yusuf al-Qardhawi, bahawa terdapat perbezaan mendasar antara makna globalisasi (al-‘aulamah) yang dipahami dunia barat pada hari ini dengan makna globalisasi (al-‘alamiah) yang dimaksudkan oleh Islam. Menurtu dia, Universaliti Islam merujuk kepada ayat QS. Al-Anbiya (21): 107:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين.
Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.

Globalisasi atau al-‘alamiah yang dipahami oleh Islam  adalah sesuatu yang berasaskan nilai-nilai penghormatan dan persamaan kepada seluruh manusia,(QS. Al-Isra: 70) bahawa setiap manusia memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dihadapan Allah swt. Hal ini berbeza dengan pemahaman Barat mengenai globalisasi (al-‘aulamah) sekarang ini, yang mengartikannya sebagai keharusan untuk menguasai secara politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosio kultural masyarakat agar sejalan dengan kepentingan Negara-negara Barat yang disponsori oleh  Amerika. Penguasaan tersebut kemudian diarahkan lebih fokus lagi pada penguasaan Barat terhadap tatanan dunia Islam [4].

Pengaruh globalisasi terhadap dunia pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bahagian utama, yaitu :
Pertama, globalisasi politik yang dimulai dari berakhirnya perang dunia kedua dan dimulainya perang dingin antara kekuatan-kekuatan besar di dunia untuk saling memperebutkan otoriti, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasional serta perang peradaban dan kultural di dunia global yang tak terbatasi lagi oleh wilayah teritorial. Dan berakhirnya perang dingin merupkan awal bagi  era globalisasi dalam arti yang sebenarnya.
            Kedua, Globalisasi Ekonomi. Menurut Jamaluddin ‘Atiyah, yang dimaksud dengan globalisasi di bidang ekonomi ialah menyatukan seluruh dunia kepada satu pasar bebas (free market) atau pemindahan kepemilikan umum dan perseroan-perseroan kepemilikan khusus untuk mengurangi pengawasan dan campur tangan pemerintah dalam negeri.[5] Dengan tatanan ekonomi baru yang oleh dunia Barat disebut dengan globalisasi atau pasar besar, mereka menjanjikan dunia dimana setiap orang menjadi pintar dan kaya. Tapi kenyataan yang terjadi adalah negara-negara maju dengan perusahaan-perusahaan besarnya menjadikan tatanan ekonomi baru yang disebut dengan globalisasi atau pasar bebas sebagai penjajahan model baru.
Ketiga, Globalisasi  Sosial dan Budaya. Pengaruh globalisasi telah masuk kedalam seluruh kehidupan masyarakat, serta menghilangkan sekat-sekat geografis antara satu negara dengan negara yang lain, antara satu budaya dengan budaya yang lain. Dengan menggunakan istilah “kebudayaan internasional” atau “modernisme”, Barat yang dimotori oleh Eropa dan Amerika secara gigih mengekspor kebudayaan mereka ke belahan dunia yang lain. Dengan isu globalisasi ini, Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya terhadap bangsa lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahawa globalisasi adalah wujud halus dari Amerikanisasi yang mewujud dalam tiga simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun fasiliti yang fantastik, dan (3) minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya. [6].
Tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah globalisasi pemikiran (gazwul fikri) atau perang pemikiran sebagai hasil daripada perkembangan teknologi dan informasi khususnya televesi dan internet. Dibandingkan dengan perang fisik atau militer, maka ghazwul fikri ini memiliki beberapa keunggulan. Antaranya ialah: Pertama, dana yang diperlukan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik. Kedua, sasaran daripada ghazwul fikri ini tidak terbatas. Ketiga, serangannya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja. keempat, tidak ada korban dari pihak penyerang. Kelima, korban tidak merasakan bahawa sesungguhnya dirinya dalam kondisi diserang. Keenam, kesan yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang. Ketujuh, efektif dan efisien [7].
Dengan demikian, gerakan dan lembaga atau insitusi dakwah mesti mempertimbangkan kondisi real ini dalam mengemban misi dakwah di era globalisasi dan bagaimana metode dakwah yang diterapkan di era globalisasi. Kecangggihan dan kemodernan globalisasi harus dijawab dengan dakwah yang canggih dan modern, bukan dengan dakwah konvensional.


[1] Rais, Amin. Tauhid Sosial. Cet. I; Bandung: Mizan, 1998, h. 65-66.
[2] Ali Syariati dalam Agustian, Ari Ginanjar. ESQ; Emotional Spiritual Quetiont. Cet. VI; Jakarta: Arga, 2002, h. Xiii.
[3] Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta: CV. Pustaka Al-Kautsar, 2001, h. 21
[4] Ibid.
[5] Atiyah,Jamaluddin, al-Waqi’ wa al-mitsal fi al-fikri al-islami al-mu’asir,  Beirut: Dar al-hadi?, 2002, h. 52.
[6] Jamilah, Maryam, Islam dalam Kancah Modernisasi, Bandung: NV Tarate, 1983, h. 84.
[7] Halim, Abdul El-Muhammady, Dinamika Dakwah Suatu Perspektif dari Zaman Awal Islam hingga Kini, Kuala Lumpur: Budaya Ilmu, 1992, h. 95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...