Aqidah adalah bentuk masdar dari kata ‘aqada ya’qidu, ‘aqdan, ‘aqidatan’. Kata Aqdan menurut al-Raghib al-Ashfahani adalah al-jam’u bayna athraf al-syay’ artinya menyatukan atau mangikat dua ujung dari sesuatu. Makna kata tersebut biasanya dihumbungkan dengan kegiatan fisik seperti ikatan tali dan ikatan bangunan yang kokoh, juga bersifat maknawi (bathin) seperti ikatan jual beli, ikatan perjanjian dan ikatan pernikahan.
Dengan demikian kata Aqidah menurut bahasa “berarti sesuatu yang berbuhul” sedangkan menurut Istilah adalah urusan yang harus diberikan hati, di terima dengan rasa puas serta terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan atau dirusak oleh hal-hal yang bersifat syubhat (kepercayaan dan keyakinan).
Ibnu Taymiyah dalam bukunya “Aqidah Al-Wasitiyyah” menerangkan makna aqidah dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak dipengaruhi oleh kekurangan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka.[1] Sedang Shekh Hasan al-Bannah dalam bukunya “aL-Aqaid” menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehinga menjadi ketenagan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan. [2]
Kalau kata Aqidah diikuti dengan kata Islam, maka dapat berarti bahwa ikatan yang berdasarkan pada ajaran Islam. Hal-hal tersebut sama dengan iman (yakni) yang terpatri kuat dalam hati. Menurut Yusuf Qardhawi aqidah Islamiyah adalah ”suatu kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan tidak tercampur syak dan ragu serta memberi pengawas dari pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari”.
Aqidah Islamiyah pun mengandung makna ketundukan hati, kepatuhan, kerelaan dan kejujuran dalam menjanlankan perintah Allah (al-Nisa(4): 65). Karena itu ‘aqidah Islamiyah harus terintegrasi antara unsur hati, ucapan dan perbuatan dalam seluruh aspek terjang manusia baik sebagai individu maupun kelompok sosial (Q.s. al-Nisa (4):59).
Ungkapan tersebut memberikan makna bahwa bagi orang yang beriman harus mempunyai keihklasan memeluk Islam secara keseluruhan (totalitas). Itu berarti bahwa dalam beragama tidak boleh hanya secara serpihan (parsial), bukan hanya mengambil satu sisi dari agama, misalnya beragama secara spiritual (anjuran-anjuran Agama yang berhubungan dengan shalat, puasa, zakat saja), akan tetapi juga harus dilengkapi dengan beragama secara sosial. Konteks social didasrkan pada nilai-nilai Islam, yang berhubungan dengan kejujuran, keadilan, transparansi, akuntabilitas dan lain-lain.
Pengertian tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri Aqidah dalam Islam adalah sebagai berikut:
a. Aqidah didasarkan pada keyakinan hati, karena itu aqidah tidak yang serba rasional, sebab ada masalah tertantu yang tidak rasional dalam aqidah.
b. Aqidah Islam sesui dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan aqidah menimbulkan ketenteraman dan ketenangan.
c. Aqidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan Aqidah harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan.
d. Aqidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan dengan kalimat “Thayyibah” (Shahadatain) dan diamalkan dengan perbuatan yang shaleh.
e. Keyakinan dalam aqidah Islam merupakan masalah yang supra empirik, maka dalil yang digunakan dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indera dan kemampuan manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para rasul Allah.
Term Aqidah selanjutya menjadi iman, tauhid, ushuluddin, ilmu kalam, fiqhul akbar, dan teologi jika aqidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu tersandiri.
terimakasih atas Tulisannya.. Sangat membantu saya semoga ilmu yang diberikan menjadi amal jariyah bagi penulisnya.. Aamiin
BalasHapus